Setting : tahun 1989
...----------------...
“Bik, bukan maksudku tak menghargai kalian, tapi tolong hormati kedua orang tuaku yang terbujur kaku. Biarkan mereka dikebumikan dulu agar dapat beristirahat dengan tenang.” Kedua tangannya tertangkup, mata sembab, suara parau. Dia baru saja tiba dari perjalanan jauh – begitu sampai di kediaman masa kecilnya, bukan raga sehat yang ditemui, melainkan ayah dan ibunya sudah dikafani.
“Bibik mengerti, paham, Padmini. Kami pun dirundung duka atas kehilangan dalam ini, tapi selaku keluargamu dan diberikan amanah sebelum ayah dan ibumu menghembuskan napas terakhirnya, kami tak berani membantah. Sebab ini permintaan terakhir orang yang sudah meninggal dunia. Tolong mengertilah! Supaya langkah kedua orang tuamu kembali ke alam abadi diterangi, ringan, tak berat.” Jemarinya mengelus sedikit bertenaga lengan keponakannya, Padmini.
“Padmini, pak penghulunya sudah hadir, pernikahan ini pun dapat dilaksanakan. Agar cepat pula jasad Ibu dan ayahmu dimakamkan,” beritahu Wandi, suaminya Sumi.
Padmini, gadis berumur 21 tahun yang sudah tiga tahun ini tinggal di kota dikarenakan sedang menempuh pendidikan kedokteran – melepaskan tangan bibinya yang memeluk pundak. Menggunakan lutut, dia maju sampai duduk di tengah-tengah sosok yang ditutupi kain jarik panjang, bagian wajah tertutup selendang transparan.
Dipandanginya sayang kulit wajah pucat, mata tertutup, bagian hidung disumpal kapas, rahang bawah disanggah ikatan kain kafan agar bagian mulut bisa tertutup rapat. Ibu dan bapaknya yang begitu ia sayangi, tanpa berpamitan telah berpulang dengan cara sangat menyakitkan – mobil yang ditumpangi oleh kedua orang tuanya masuk ke dalam jurang.
Yang lebih membuat hatinya berdarah-darah, kedua orang tuanya mengalami kecelakaan saat hendak ke kota menemuinya.
“Ibuk, Bapak … hiks hiks hiks.” Kedua tangannya terentang, memeluk raga tak lagi bernyawa. Tangisnya tumpah, sampai suara sedu sedan nya menyesakkan dada.
‘Padmi tak mau menikah dengan dia, Buk. Apa betul kalian telah menjodohkan kami? Lantas kenapa tidak ada memberitahu sebelumnya?’ batinnya terus bertanya-tanya. Kedua orangtuanya sama sekali tidak pernah membahas ataupun menyinggung perihal perjodohan.
Lantas, mengapa sekarang seolah dia dipaksa menikah dengan dalih amanah yang wajib dipenuhi. Dirinya juga tak mengenal betul calon suaminya, cuma tahu nama dan sekali dua kali berpapasan saat dulu ke puskesmas, sebab pria itu berprofesi sebagai Mantri.
“Tak elok menunda-nunda pemakaman! Hari pun mulai beranjak sore. Seharusnya kedua orang tuamu sudah dikebumikan tadi pagi, tapi dikarenakan menunggu kepulanganmu, maka harus ditunda. Sekarang kau telah disini, laksanakan lah amanah terakhir nya, Padmi. Para pelayat dan tetangga pun punya urusan lain!” Sumi kembali memperingati.
“Padmini ….”
Padmini menoleh ke sumber suara yang sudah dia kenal, wajah sahabatnya berlinang air mata. “Rinda!”
Wanita yang dipanggil Rinda itu berjalan jongkok mendekati sahabatnya, ia peluk tubuh lemas bagaikan tak bertenaga. “Kau pasti kuat, bisa melewati semua ini. Ada kami yang selalu menjadi pelipur laramu, Padmi. Ayo tunaikan bakti terakhirmu sebagai seorang anak.”
Dengan berat hati, dan tak mau membuat kegaduhan serta dirinya pun tidak memiliki tenaga untuk sekadar protes, sementara jiwanya terguncang hebat – ia menyetujui menikah dengan pemuda masih satu desa dengannya.
Pria berpeci hitam, mengenakan kemeja dan celana hitam – menjabat tangan pak penghulu. Di depan kedua mayit orang tua calon istrinya, ia berkata lantang dengan satu tarikan napas.
“Saya terima nikah dan kawinnya Padmini binti Pandu dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Genggamannya bertambah erat, rautnya terlihat tegas, seserius kata-kata yang terlontar.
Bambang berhasil mempersunting pewaris tunggal juragan Pandu – bermodalkan uang dua puluh ribu, dan cincin polos milik mendiang ibunya yang selalu dipakai dijadikan bandul kalung.
Kata sah dari para saksi pun bergema pelan.
Padmini yang bahkan belum berganti pakaian, masih mengenakan kemeja lengan panjang putih, rok lebar hitam, cuma memakai selendang hitam – tergugu. Ini bukan pernikahan impiannya, sangat jauh dari keinginannya yang ingin menikah dengan kekasih hatinya. 'Maaf Kang, aku menodai tali kasih kita, tak menepati janji.'
Tak ada kata-kata selamat menempuh hidup baru, para pelayat yang turut menyaksikan mengucapkan ‘Semoga kau tabah menerima takdir Tuhan atas kehilangan orang terkasih.’
“Jangan terlalu bersedih, Padmi. Kau tak sendirian, kini telah bersuami. Ada kami yang akan selalu bersamamu.” Lengan berkulit halus itu mengelus selendang sepupunya.
“Terima kasih, Sundari.” Angguknya lemah. Sundari dan Rinda adalah sahabatnya. Mereka tumbuh besar bersama.
Wanita yang baru saja berganti status dari gadis menjadi seorang istri lewat pernikahan siri itu, dihampiri oleh suaminya.
Padmini sedikit mendongak menatap punggung tangan berkulit kuning langsat. Meskipun hatinya menolak, tapi tetap saja ia salim tangan suaminya.
Usapan lembut menyapa pucuk kepala Padmini, tak ada kecupan di dahi, hanya kata-kata lirih. “Sekarang dirimu tanggung jawabku, Padmini.”
Tak ada desiran hangat. Hambar dan hampa yang dirasakan oleh Padmini. Dia enggan merespon, hanya berdiam diri sampai pria bernama Bambang itu menjauh darinya.
“Kali ini jangan halangi saya menghantarkan Ayah dan Ibu ke peristirahatan terakhirnya, Bik.” Ia berdiri, enggan menurut kala disuruh berdiam diri di rumah.
Sumi dan Wandi saling pandang, lalu mengangguk. Mereka membiarkan sang keponakan ikut serta ke pemakaman.
Dua keranda tertutup kain hijau, berkalungkan untaian bunga melati segar – diangkat oleh pemuda desa.
Bambang ambil bagian, dia menyanggah ujung besi keranda bapak mertuanya.
Padmini tanpa mengenakan alas kaki, berjalan terseok-seok. Sesekali nyaris terjatuh kala tidak dapat menahan keseimbangan tubuhnya diakibatkan terlalu bersedih.
Rinda dan Sundari selalu ada di samping Padmini. mereka memapah dan merangkul pundak wanita yang masih terus menangis.
Begitu tiba di pemakaman, acara penguburan pun langsung dilakukan dengan dipimpin oleh tetua desa yang juga seorang ustadz.
Ketika gundukan tanah telah meninggi, menimbun dua orang yang paling dikasihi Padmini – satu persatu para pelayat melangkah kembali ke hunian mereka.
Padmini duduk berselonjor di tanah bersisian dengan kuburan ayah dan ibunya. Ia termenung seolah tengah mengenang masa silam. Saat-saat penuh canda tawa bersama keluarganya.
“Ayah, Ibuk … mengapa begitu cepat kalian berpulang? Bukankah sangat ingin melihat anakmu ini menjadi seorang dokter lalu mengabdi di desa kita? Lalu, bagaimana dengan aku, Buk?” bisiknya diiringi linangan air mata.
“Padmini ….” Sosok pria bertubuh tegap, warna kulit sawo matang – berjongkok di depan wanita yang dunianya tengah runtuh.
Perlahan wajah menunduk itu terangkat, kala pandangan mata mereka bertemu – Padmini histeris. “Kang Adi! Ibuk, Ayah, mereka ….”
“Kakang ikut berduka cita ya, Sayang. Maaf juga, karena kelalaian Bapak – Ayah dan ibumu ikut meninggal dunia.” Rahardi menunduk sangat dalam. Dia adalah anak sopir orang tua Padmini, dan kekasih putrinya sang majikan.
Pada saat kejadian, mobil itu dikendarai oleh ayahnya Rahardi. Tak ada yang selamat! kedua penumpang berikut sang sopir meninggal saat diperjalanan menuju rumah sakit kota.
Padmini mengangguk pelan, dia sangat mengenal keluarga kekasih hatinya ini.
“Jangan sentuh istriku! Dasar keluarga pembunuh!”
.
.
Bersambung.
“Jangan sentuh istriku! Dasar keluarga pembunuh!” Bambang menarik belakang kerah kemeja pria yang bekerja sebagai pengelola keuangan bisnis milik mertuanya, sampai empunya ikut berdiri.
“Suami?” Adi langsung menoleh kebelakang, kakinya bergerak sesuai arah kepala. Ia tepis tangan lancang yang mencengkram kain. “Apa maksudmu?!”
Bambang menatap sinis, ia seperti seorang suami pencemburu. Ditepuk-tepuknya telapak tangan. “Padmini adalah istriku! Kami baru saja menikah beberapa jam yang lalu.”
Pria berpeci hitam dan wajah lesu itu secepat kilat memandang sang kekasih yang sudah dipacarinya selama dua tahun lamanya. “Benarkah itu, Ami?”
Padmini yang dipanggil dengan nama kesayangan dan hanya kedua orang tua, serta Rahardi saja diperbolehkan, memilih bungkam. Dia mengais tanah gundukan, meremas kuat seolah menyalurkan rasa kesakitannya.
Diam berarti benar, hal tersebut bagaikan suara petir disiang hari tanpa badai maupun langit mendung. “Tolong jelaskan ke Kakang! Sebenarnya apa yang telah terjadi, Ami?”
Permintaan tanpa adanya pemaksaan dikarenakan dia paham wanita yang menyembunyikan wajah di lipatan lutut itu jiwanya tengah terguncang.
Bambang tak tinggal diam, begitu lancang melompati makam ibu mertuanya. Menarik sedikit kasar lengan sang istri hingga beranjak. “Ayo pulang! Kau bukan lagi seorang gadis! Wajib menjaga martabat keluarga!”
Wajah Padmini bersimbah air mata, menatap nelangsa sang kekasih hati. “Ma_af, Kang. Kisah kita sampai di sini saja, aku telah menikah dengan pilihan Ayah dan Ibuk.”
“Berhenti!” suara tegas Rahardi, menghentikan langkah Bambang yang setengah menyeret Padmini.
“Dia manusia bukan binatang! Kedua orangtuanya memperlakukannya bak berlian, mengapa kau lancang sekali menyeretnya seperti seekor hewan!” Didorongnya dada Bambang sampai dia mundur nyaris terjengkang. Kemudian ditarik lembut lengan Padmini, dia bawah agak menjauh.
“Sakit kah ini?” tanyanya parau kala melihat bekas cengkeraman di pergelangan tangan sang wanita.
“Kang, tolong jangan buat gaduh! Aku tak mau bila mereka lebih parah lagi menyalahkan Paman atas kecelakaan maut itu,” beberapa kali telinganya mendengar kasak kusuk entah siapa yang menyebarkan fitnah.
Selentingan kabar mengatakan kalau ayahnya Rahardi, sengaja mencelakai kedua orang tua Padmini – supaya bila putranya menikahi putri tunggal pemilik perkebunan tebu dan sawah terluas perkampungan Hulu, maka derajat keluarganya akan ikutan terangkat.
“Apa karena itu juga kau menerima pernikahan aneh ini, Padmi? Tolong jawab!” Dagu sang kekasih ia tahan menggunakan telunjuk dan ibu jari, lalu secepatnya dilepaskan. Ingin rasanya dihapus lelehan air mata itu, tapi dirinya tidak ingin menjatuhkan kehormatan gadisnya.
“Iya. Aku tak mau mereka menghina Paman, dan kalian,” aku nya jujur.
“Ya Tuhan, Padmi. Sudah berapa kali Kakang katakan! Jangan dengarkan mereka! Yang terpenting, orang tua kita merestui, itu saja sudah cukup!” betapa gemasnya dia melihat sifat tidak enakan Padmini.
Bambang menatap tak suka, tapi dia menahan diri untuk tidak menyerang.
Beberapa orang yang masih disana memandang rendah pasangan yang sebelumnya sudah digadang-gadang akan menikah dalam waktu dekat.
“Dasar tak tahu malu, di pemakaman pun berani mereka memperlihatkan kemesraan.”
“Si Padmini juga, jadi perempuan murahan sangat – telah menikah tapi masih juga menggatal!”
Cibiran disertai tatapan merendahkan tertuju pada dua sosok yang berdiri berhadapan dan sama sekali tidak lagi bersentuhan.
Namun di wilayah mereka, bila berduaan dengan lawan jenis sudah melanggar peraturan adat yang ketat.
“Aku pun bingung, Kang. Ayah dan Ibuk sudah tahu kalau kita saling mencintai, dan mereka merestui. Namun tiba-tiba _”
“Padmini!” Sumi mendatangi sang keponakan, menarik kuat lengannya. “Kau itu sudah bersuami! Jaga marwah mu sebagai seorang wanita dan istri!”
“Dan kau, Rahardi!” Tudingnya menggunakan jari telunjuk. “Mulai hari ini, engkau dipecat! Juragan Pandu sendiri yang mengatakan sewaktu di puskesmas desa tetangga, sebelum dilarikan ke rumah sakit kota.”
Adi tertawa geli, tatapannya merendahkan. “Oh, jadi ini rencana kotor kalian, ya? Menyebarkan fitnah menuduh ayahku sengaja bunuh diri dan mencelakai kedua orang tua Padmini, tak lain ingin menguasai harta gadis malang yang baru saja kehilangan ayah dan ibunya.”
Ada getar pada netra hitam Sumi. Sebisa mungkin dia mengatur ekspresi. “Jangan asal menuduh kau! Kalau tak percaya, bisa tanyakan pada suamiku, dan tim penolong sewaktu di kejadian!”
Padmini ditarik paksa sampai langkahnya terseok-seok. Sebelum keluar dari area pemakaman, sosok memprihatinkan itu menoleh ke belakang, menatap sendu pria yang ia cintai.
Ingin rasanya Rahardi menerjang, dan membawa pergi sang kekasih hati. Namun hal tersebut sama saja dengan menjatuhkan martabat keluarga Padmini, dan menodai kehormatannya sebagai seorang gadis dikenal baik hati, lemah lembut, berjiwa welas asih.
Pria yang juga tengah berduka akibat kehilangan sang ayah itu hanya bisa memandang nanar. Dia akan mencari tahu dalang dibalik musibah besar ini.
***
Pada malam hari – kediaman paling besar di kampung Hulu, terlihat terang benderang. Empat buah lampu petromax dinyalakan menerangi ruangan luas, tikar plastik dan pandan sudah digelar.
Sumi dan suaminya, Wandi, serta Bambang – terlihat menyambut para tamu yang hendak tahlilan. Senyum mereka sendu, sorot mata pilu. Sesekali bibinya Padmini menyeka air mata di pipi, ia seperti belum ikhlas akan kehilangan adik sepupunya.
Para pemuda dan bapak-bapak, duduk rapi bersandar pada dinding tembok. Mereka bercengkrama dengan suara lirih seraya menunggu kedatangan pak ustadz yang akan memimpin acara tahlilan.
Di bagian dapur luas, ibu-ibu tengah sibuk menyiapkan teh hangat, dan kudapan berupa kue tradisional.
Padmini tidak ikut acara tahlilan, memilih mengurung diri di kamar kedua orang tuanya.
Dipandanginya potret hitam putih ayah dan ibunya dan ada juga dirinya yang tergantung di dinding tembok. Air matanya kembali berderai, sesekali isak tangisnya lolos.
“Padmi.” Rinda dan Sundari masuk ke kamar bercahayakan lampu minyak.
“Kau tak ikut melantunkan doa untuk kedua orang tuamu?” Sundari merangkul sang sepupu yang duduk di atas tilam sambil memeluk lututnya.
Rinda meletakkan nampan berisi nasi dan lauk, serta teh hangat di meja rias kayu jati.
“Aku disini saja,” jawabnya lirih, masih dengan posisinya memeluk lutut.
“Padmi, aku suapi ya? Sedari siang ku perhatikan kau sama sekali tak ada makan apapun. Mau, ya?” tanya Rinda dengan nada membujuk.
“Aku belum lapar, sama sekali tak berselera.”
“Kalau tak mau makan, paling tidak minum teh hangatnya. Supaya tak lemas badanmu, dan perutmu pun menjadi hangat,” rayu Sundari penuh perhatian.
Akhirnya Padmini mengangguk. Menerima gelas kaca bening berisi teh. Ia meneguk sedikit minuman hangat itu, keningnya mengernyit kala lidahnya terasa getir.
“Kenapa?” tanya Rinda, memandang lembut.
“Rasanya lebih pahit dari yang biasa kuminum,” jawab Padmini, ia memperhatikan warna teh yang sangat pekat, lalu kembali meneguk minumannya.
“Ya itu karena gulanya dikurangi dan daun tehnya dibanyakin, jadinya sedikit pahit,” Sundari memberikan alasan masuk akal.
Segelas teh pun sudah tandas. Rinda mengambil wadah minuman dalam genggaman Padmini, kembali meletakkan di meja rias.
Tidak lama kemudian, pandangan mata Padmini mengabur, kepalanya terasa berat sekali. “Kenapa aku jadi pusing dan mengantuk, ya ...?”
.
.
Bersambung.
Pandangan mata sayu itu mengabur, kepalanya terasa berat sekali. “Kenapa aku jadi pusing dan ngantuk, ya?” Ia menggelengkan kepala guna mengusir rasa kantuk luar biasa, dan mengenyahkan sakit berdenyut-denyut di pucuk kepala. Tetap saja gagal.
Sundari merangkul pundak sepupunya. “Mungkin efek terlalu lelah dan kelamaan menangis, Padmi. Sebaiknya kau tidur saja, urusan lainnya biar kami yang menyelesaikan.”
Padmini hanya mampu mengangguk lemah. Hampir tidak menyadari kalau dirinya sudah berbaring. Matanya benar-benar sulit dibuka seperti diberi perekat, nyeri dikepala nya pun semakin menjadi, tapi rasa kantuk lebih mendominasi.
Setelah memastikan Padmini tertidur pulas – Sundari dan juga Rinda, keluar dari kamar. Nampan berisi menu makan malam pun dibawa lagi ke dapur.
“Masih tak mau makan si Padmi?” tanya seorang ibu yang malam ini membantu di kediaman almarhum juragan Pandu.
“Bagaimana bisa makan kalau pikirannya terus ke Kang Adi, bahkan sampai terbawa mimpi,” dusta Sundari.
“Ya wajar juga lah, mereka sudah lama menjalin hubungan dan santer kabar mau melangsungkan pernikahan. Tiba-tiba si Padmini dinikahi oleh pria belum dikenal baik olehnya, tentu tak semudah itu melupakan sosok lama,” bela ibu berkerudung lebar, istrinya pak ustadz.
Rinda memilih bungkam. Membuang makanan yang tidak disentuh oleh sang majikan, lalu mencuci wadahnya – Rinda sudah sedari tamat SMP menjadi pembantu rumah tangga di kediaman sahabatnya. Sementara sang ibu selain jadi dukun beranak, ia sering dipinta memijat ibunya Padmini.
Sundari terdiam, tidak memiliki kata-kata ampuh yang bisa dijadikan senjata.
Tak lama kemudian, acara tahlilan pun usai. Para ibu-ibu berpamitan pulang, agar bisa berjalan bersama suami mereka yang membawa obor, ada juga memegang senter sebagai penerangan.
Di kampung Hulu, arus listrik belum masuk. Penerangan masih mengandalkan lampu minyak tanah maupun petromax bagi yang memiliki ekonomi lebih baik.
.
.
Tok!
Tok!
Seorang pemuda yang sendirian dirumah, bergegas membuka pintu kala mendengar suara ketukan.
“Ada apa, Jun?” tanyanya pada adik iparnya, suami Rinda.
Ekspresi Juned terlihat tegang, gesture tubuh tak bisa diam. “Anu, Kang _ si Padmini dipukuli oleh suaminya! Tadi, aku mendengar teriakan dia saat menjemput Rinda. Terus, istriku menyuruh melaporkan ke kang Adi.”
Deg.
Tanpa berpikir dua kali, pintu kayu dihempaskan. Pemuda yang sehabis membersihkan rumah setelah acara tahlilan usai – berlari menembus malam tanpa mengenakan alas kaki.
“Badjingan kau Bambang!” napasnya tersengal-sengal, laju kakinya layaknya Kuda, semua tenaga ia kuras habis demi menyelamatkan gadis yang ia jaga bak intan permata, Padmini.
Jarak rumah Rahardi dan Padmini, sekitar dua kilometer jauhnya. Pemuda berkaos singlet dan kemeja polos itu sedikitpun tak melambatkan larinya.
Terangnya cahaya rembulan memudahkan langkahnya agar tidak menabrak pepohonan maupun pagar bambu rumah warga.
Saat sampai di halaman luas, Adi merasakan keanehan. Rumah bos nya terlihat seperti tidak berpenghuni, tak diterangi lampu, gelap gulita. Hanya atap rumah dari seng yang terlihat dikarenakan cahaya bulan penuh.
Namun pemuda yang sudah dilanda cemas itu tetap melangkah, mencari dalam keheningan malam keberadaan gadis pujaannya.
Langkahnya terasa ringan, lebar, matanya menatap penuh kewaspadaan. Dia mengenal seluk-beluk hunian mewah ini, tempatnya mencari rezeki bersama sang ayah.
Begitu tiba di bagian pintu samping, tiba-tiba sorot lampu senter menyilaukan netra Rahardi.
Secepat kilat dia menoleh seraya melindungi mata menggunakan telapak tangan seperti orang hormat bendera.
"Cih! Besar sekali nyalimu, Adi!”
Sebuah suara membuat sang pria menggerakkan kaki ke arah kanan. “Dimana Padmini, Bangsat!”
Bertepatan dengan itu, dua orang menyerang, memukul tengkuk Adi menggunakan kayu sebesar betis orang dewasa.
Bugh!
Bug!
Argh!
Bukan sekali, tapi sampai empat kali – hingga kekasih hati Padmini ambruk sewaktu kepalanya dihantam kayu, perutnya ditendang.
“Penge_cut kali_an!” Adi jatuh pingsan.
Sorot lampu senter menyorot pria terkapar di tanah, suara tawa lirih terdengar puas, setiap pasang mata memandang sinis.
Dua pemuda menggotong pria yang terkenal lumayan pintar bela diri, tapi bila diserang dengan cara curang, dan kondisinya pun tengah berduka kehilangan ayahnya, sementara sang kekasih hati tiba-tiba dinikahi pria lain, ditambah mendapat kabar tentang pemukulan Padmini – membuat kewaspadaan Rahardi terjun bebas.
.
.
“Hem …. auch,” suara ringisan itu terdengar seperti rintihan.
Dalam keremangan cahaya lampu obor pada pilar penyanggah bangunan, Padmini berusaha duduk. Kepalanya sangat pusing, lalu pandangannya turun pada bagian bawah.
Akh!
Pekikan kecil itu memenuhi ruangan yang tidak berdinding.
“Kenapa aku bisa ada disini? Terus mengapa tak mengenakan baju?” Jarik yang membalut badan dibawah ketiak itu ia raba. Padmini didera rasa terkejut sekaligus takut, ia tidak mengenakan dalaman, tapi tidak merasakan ada yang janggal pada area kewanitaannya.
Dia mengenali tempat ini, selep gabah. Bangunan yang digunakan untuk proses mengupas kulit padi, terletak di halaman belakang rumahnya.
Matanya bergerak liar, memindai sekitar, lalu netra lelah itu melotot sempurna saat mendapati sosok lain ada di dekatnya dalam keadaan tertidur.
“Kang Adi!” Perlahan ia mendekati sosok yang bergeming, tergeletak di atas tumpukan jerami.
Padmini memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan, dan jari telunjuknya merasai ada tidaknya hembusan napas, lalu telapak tangannya mencoba meraba tengkuk sang pria.
“Darah?” tanyanya pada diri sendiri saat tangannya berlumuran cairan kental. Padmini menjadi panik, diguncangnya bahu pemuda yang sedari ia kecil, selalu menemaninya. “Bangun, Kang! Bangun! Jangan buat aku takut!”
Cara sedikit kasar itu berhasil membangunkan Rahardi, kala pertama kali membuka mata – wajah bersimbah air mata Padmini yang dilihatnya, lalu ingatannya langsung kejadian yang entah kapan tepatnya terjadi tadi.
“Padmini, kita harus pergi dulu dari sini!” ia enyahkan rasa sakit pada bahu, leher dan kepalanya.
Dengan dibantu oleh Padmini, Adi berhasil duduk. Memandang geram pada pakaian tak layak gadisnya. “Mereka mau menjebak kita, ini semua sudah direncanakan matang-matang.”
“Maksudnya apa, Kang? Kenapa kita harus melarikan diri? Kan, kita tak berbuat salah. Terus, mengapa bisa ada disini?”
“Pakai ini, Sayang!” Kemeja tak dikancingkan, ia buka dan berikan kepada wanita yang masih berusaha mencerna keadaan aneh ini.
Tangan Padmini bergetar sewaktu mengenakan kemeja berlengan panjang, sedikit demi sedikit dia mulai paham perkataan Rahardi, dan mencocokkan dengan kondisi dimana saat ini mereka berada. Belum sempat kancing kemeja dikaitkan, sudah terdengar teriakan membahana!
“Betul kan apa aku bilang! Mereka berzina! Pasti baru saja melepaskan nafsu binatang! Ayo arak! Bakar!” Juned mengacungkan obornya, dia yang tadi mengetuk rumah abang iparnya.
“Tak ku sangka kelakuanmu macam binatang, Padmini! Bibik malu, malu! Harus bagaimana menjelaskan kepada orang tuamu nanti sewaktu diakhirat?!” Sumi meraung-raung, menjambak rambutnya sendiri.
“Kami tak seperti yang kalian tuduhkan! Aku dan kang Adi tidak_”
“Halla! Maling mana mau ngaku! Aku berani bersumpah! Sewaktu ayah tiriku itu masih hidup, dan sedang bekerja di rumah juragan Pandu – aku sering mendapati Padmini diam-diam masuk ke hunian kami, mencari kang Adi!” Rinda menuding wajah wanita yang menganggap dirinya seorang sahabat, padahal aslinya musuh dalam selimut.
“Tunggu apalagi! Arak mereka! Seret ke tanah lapang!”
“Lainnya! Siapkan minyak tanah! Cepat!”
.
.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!