NovelToon NovelToon

Pewaris Dewa Perang

BAB.1 Bayangan Pedang Dan Darah Keluarga

Langit di atas Lembah Seribu Pedang selalu berkabut, seolah-olah para roh pedang zaman kuno sengaja menutupinya dari mata dunia luar. Di balik kabut itu, terdapat sebuah lembah yang luas, terjal, dan dipenuhi bangunan megah terbuat dari batu hitam. Di puncak-puncak tebingnya, ratusan pedang kuno tertancap, bersinar samar seperti bintang yang tertidur. Konon, setiap pedang telah menyaksikan darah dan kemenangan yang tak terhitung jumlahnya sepanjang ribuan tahun sejarah klan ini.

Di tempat inilah, klan terbesar dalam benua Timur, Klan Lembah Seribu Pedang, berdiri tegak sebagai simbol kekuatan, kejayaan, dan ketakutan.

Klan ini memiliki struktur kekuasaan yang ketat:

Murid luar, ribuan pemula yang menghabiskan waktunya untuk latihan dasar.

Murid dalam, mereka yang telah membuktikan bakat serta disiplin.

Murid senior, para ahli pedang yang menjadi pilar kekuatan klan.

Murid elit, generasi terpilih yang berhak memegang pedang roh dan mempelajari teknik pamungkas.

Di atas mereka semua, terdapat para tetua, penjaga warisan klan… dan penjaga rahasia kelam yang tak banyak diketahui.

Puncak kekuasaan itu berada pada Tetua Yumeng, sang Ketua Klan. Seorang pria berwajah dingin dengan rambut putih panjang yang tak pernah terlihat kusut. Matanya bagaikan dua bilah pedang tajam yang mampu menembus batin siapa pun. Di balik wibawanya, tersembunyi ambisi yang hanya diketahui segelintir orang—ambisi yang suatu hari akan menelan banyak nyawa.

Di salah satu rumah kecil di sisi timur lembah, tinggal seorang pemuda yang tidak berbeda dari yang lain. Namanya Xio Lun, berusia 15 tahun, murid luar yang masih dianggap lemah dan tidak memiliki bakat berarti.

Di mata para murid lain, ia hanyalah seorang anak yang kehilangan ayah dan memiliki ibu yang lembut namun rapuh. Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahui bahwa darah yang mengalir di tubuh Xio Lun menyimpan sesuatu yang jauh lebih menakutkan daripada pedang mana pun di lembah ini.

Ayahnya, Xio Wu, dahulu adalah murid elit berbakat. Pedangnya terkenal karena menghancurkan batu besar hanya dengan satu tebasan jurusnya. Namun dua tahun lalu, ia kembali dalam keadaan tak bernyawa dari sebuah misi rahasia. Luka-lukanya terlalu rapi—luka pedang dari anggota klan sendiri. Tidak ada monster, tidak ada bandit. Hanya pedang penghianatan.

Malam itu, Xio Lun menyaksikan sendiri tubuh ayahnya yang dingin dipulangkan tanpa kehormatan.

Dan sejak hari itu, hidup Xio Lun berubah.

Suatu pagi, kabut di lembah menyelimuti seluruh pemukiman. Xio Lun bangun lebih awal karena suara ibu nya, Lunting, sedang menyiapkan sarapan sederhana. Aroma sup herbal memenuhi udara.

“Lun’er, bangunlah. Kau harus ke lapangan latihan sebelum matahari naik.” Suara lembut Lunting selalu memberi kehangatan.

Xio Lun bangkit dengan cepat. Meskipun dianggap lemah, ia berlatih lebih keras dari siapa pun.

Saat ia tengah mengenakan pakaiannya, matanya memandang sebuah kotak kecil yang disimpan di rak kamar. Kotak itu terbuat dari kayu hitam dan selalu terkunci. Itu adalah satu-satunya peninggalan ayahnya. Ayahnya selalu berkata:

“Suatu hari, jika kamu cukup kuat… kotak ini akan terbuka.”

Xio Lun mengepalkar tangan.

Suatu hari… aku akan tahu apa yang ayah sembunyikan.

Di lapangan latihan, ratusan murid luar telah berkumpul. Mereka berlatih dengan pedang kayu, namun suara benturan kayu tetap terdengar keras.

Instruktur mereka, Tetua Liang, memperhatikan para murid dengan tatapan penuh perhitungan.

Xio Lun menghunus pedang kayu nya dan mengambil posisi. Ia memulai gerakan dasar, berulang-ulang, tanpa lelah. Peluh menetes, ototnya bergetar, namun ia tidak berhenti. Ia teringat ayahnya yang selalu berkata:

“Pedang bukan hanya senjata. Itu adalah jiwa, kemauan, dan takdir.”

Namun, di saat ia sangat fokus, suara cibiran terdengar di belakang:

“Haha, lihat si yatim piatu ini! Latihannya keras tapi tetap lamban!”

“Kasihan ya… ayahnya mati sia-sia!”

Beberapa murid menertawakannya.

Xio Lun menggertakkan gigi, tapi ia tidak melawan. Ia tahu ia belum memiliki kekuatan untuk membalas.

Tetua Liang hanya memandang tanpa peduli. Baginya, murid lemah seperti Xio Lun mungkin tak akan bertahan lama di klan ini.

Sore hari, setelah latihan selesai, Xio Lun duduk sendirian di bawah pohon pedang—pohon yang konon ditanam dari gagang pedang kuno, sehingga daunnya tajam bagai bilah kecil.

Ia menatap langit. Pikiran tentang ayahnya terus menghantui.

“Ayah… bagaimana kau bisa mati di tangan orang yang sama-sama mengabdi pada klan ini?”

Sebuah angin dingin berhembus, menerbangkan dedaunan. Tiba-tiba, seseorang berdiri di depan Xio Lun.

Seorang tetua berjubah hitam.

Suara langkahnya begitu pelan, seolah ia menyatu dengan bayangan.

“Xio Lun.”

Suara itu dalam dan dingin.

Xio Lun segera berdiri dan membungkuk. “Tetua, ada apa?”

Tetua itu mengamatinya dengan mata tajam, seolah hendak membedah rahasinya.

“Aku mendengar kau bekerja keras setiap hari meski tidak berbakat.”

Xio Lun hanya diam.

“Kerja kerasmu sangat… mengharukan,” ujarnya dengan nada yang tidak jelas. “Oleh sebab itu, klan memberikanmu sebuah kesempatan untuk membuktikan kesetiaanmu.”

Kesempatan?

Itu terdengar seperti harapan yang selama ini ia cari.

“Apa yang harus kulakukan, Tetua?”

Nada suara Xio Lun penuh tekad.

Tetua itu menyerahkan sebuah gulungan kecil.

Cap merah darah menandainya sebagai misi berbahaya.

“Misi tingkat menengah. Carilah Batu Inti Pedang di Hutan Terlarang. Jika kau berhasil… kau akan dipertimbangkan menjadi murid dalam.”

Murid dalam?

Itu adalah posisi yang bisa mengubah hidupnya dan ibunya!

“Aku… aku akan melakukannya!”

Tetua berjubah hitam tersenyum tipis—senyuman yang lebih mirip geraman ular.

“Kau boleh berpamitan pada ibumu. Setelah itu, pergilah ke gerbang timur sebelum fajar. Jangan terlambat.”

Ketika malam tiba, Xio Lun kembali ke rumahnya. Ia tidak langsung mengabarkan misi tersebut. Ia hanya memandangi ibunya dari jauh. Lunting menata kain-kain bekas sambil bersenandung lemah.

“Ibu…”

Xio Lun memanggil perlahan.

Lunting menoleh, tersenyum hangat. “Ada apa, Lun’er?”

Xio Lun ragu sejenak, lalu berkata:

“Aku… mendapat kesempatan untuk menjalankan misi dari klan.”

Lunting terdiam. Senyum di wajahnya memudar perlahan.

“Kemana… misi itu?”

“Hutan Terlarang.”

Wajah Lunting berubah pucat.

Tidak banyak orang mengetahui apa yang ada di dalam hutan itu. Tapi satu hal pasti: tidak ada murid luar yang pernah kembali dari sana.

Xio Lun melanjutkan,

“Jika aku berhasil… aku bisa menjadi murid dalam! Aku bisa menjaga Ibu dan… mengungkap kebenaran tentang Ayah.”

Lunting menggigil. Air mata mengumpul di sudut matanya.

“Lun’er… janji pada Ibu. Kembalilah hidup-hidup.”

Suaranya bergetar.

Xio Lun memeluk ibunya erat.

Untuk sesaat, dunia terasa damai…

Namun, di luar rumah itu, mata-mata klan telah mengintai.

Rencana kelam sudah digerakkan.

Malam semakin larut. Xio Lun masuk ke kamar dan membuka kotak kayu hitam—entah mengapa, malam ini kotak itu tidak lagi terkunci. Perlahan, ia mengangkat tutupnya.

Di dalamnya, ada sebuah pedang kecil—pedang roh yang belum aktif.

Dan secarik kertas:

*“Jika sesuatu terjadi padaku… lindungi Lun’er.

Darah dewa… jangan sampai mereka mengetahui.”*

— Xio Wu

Xio Lun terpaku.

Darah dewa?

Apakah itu… tentang dirinya?

Namun sebelum ia sempat memahaminya, suara pintu terbuka.

“Xio Lun! Segera keluar!”

Suara itu terdengar dingin, penuh tekanan.

Tetua berjubah hitam menunggu di luar bersama dua penjaga.

Mereka tidak mengizinkannya menunda keberangkatan.

Xio Lun menatap pedang kecil itu dan menggenggamnya.

“Ayah… Lindungi aku.”

Di gerbang timur, kabut begitu pekat hingga sulit melihat apa pun selain bayangan.

Tetua itu kembali tersenyum tipis.

“Pergilah, Xio Lun. Dan buktikan apakah kau pantas hidup sebagai bagian dari klan ini… atau mati dengan sia-sia.”

Tanpa mengetahui kebenaran pahit di balik misi tersebut,

Xio Lun melangkah ke dalam gelapnya Hutan Terlarang.

Sementara itu…

Di dalam lembah, sebuah tragedi lain mulai bergerak.

Beberapa pria berjubah gelap mengelilingi rumah kecil milik Lunting.

Pedang mereka sudah terhunus.

Malam itu, suara teriakan tertahan memenuhi kegelapan.

Lunting jatuh bersimbah darah.

Tangannya terulur ke arah hutan.

“Lun… er…”

Pandangannya meredup… sementara kabut menyelimuti tubuhnya.

Tanpa menyadari bahwa rumahnya telah diselimuti darah…

Xio Lun terus berjalan jauh dari tempat yang ia sebut rumah.

Dan dengan setiap langkah, dendam mulai tumbuh

seiring takdir besar yang menanti dalam kegelapan hutan itu.

BAB.2 Jebakan Hutan Terlarang Dan Jiwa Dewa Perang

Kabut gelap menggantung rendah di antara pepohonan raksasa, menghalangi pandangan Xio Lun yang berjalan sendirian dengan langkah hati-hati. Akar-akar besar menjalar di tanah, sementara suara binatang buas sesekali menggema di kejauhan, membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.

Hutan Terlarang, tempat di mana cerita-cerita horor lahir dan mimpi indah mati.

Banyak murid luar pernah dikirim ke sini dengan dalih misi mulia. Namun satu pun tidak pernah kembali. Dan saat ini, Xio Lun menapaki jalan yang sama—tanpa tahu bahwa rumahnya sudah tenggelam dalam darah.

Ia menggenggam pedang kecil warisan ayahnya erat di tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang gulungan misi yang diberikan sang tetua.

“Batu Inti Pedang… katanya terletak di dalam hutan ini,” gumamnya mencoba meyakinkan diri.

Namun di dalam hatinya, suara lain berbisik:

Ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang salah sejak awal.

Beberapa jam berlalu. Siang telah berganti senja, namun gelap tetap mendominasi hutan. Di sela-sela pepohonan yang menjulang tinggi, terdengar dentingan logam seperti pedang saling beradu.

Xio Lun berhenti. Tubuhnya menegang.

“Siapa di sana?”

Tak ada jawaban, hanya gema langkah kaki mendekat. Dari balik kabut, muncul tiga sosok berpakaian murid elit klan—tanpa penanda misi, tanpa senyum.

Xio Lun terkejut. “Senior? Apa kalian juga menjalankan misi?”

Hanya tawa dingin yang menjawab.

“Hahaha… dia masih bertanya.”

“Aku heran kenapa klan menyuruh kita mengotori pedang untuk sampah sepertimu.”

Xio Lun mundur satu langkah. “Apa maksud kalian?”

Salah satu murid elit itu mengangkat pedangnya perlahan, cahaya redup memantul pada bilahnya.

“Kau benar-benar bodoh, Xio Lun.”

“Klan ingin menghapus keluargamu.”

Xio Lun membelalakkan mata. “Hapus… keluargaku?”

“Xio Wu terlalu berbahaya bagi ambisi tetua. Dan kau memiliki darah yang sama.”

Darah Xio Lun mendidih.

“Jadi… Ayah… dibunuh oleh klan kita sendiri!?”

Tawa itu semakin keras.

“Baru sadar sekarang? Terlambat.”

Salah satunya menatap Xio Lun dengan senyum keji.

“Oh, dan ibumu—dia pasti sudah tidak bernapas.”

Dunia Xio Lun runtuh seketika.

“A…pa…?”

“Cepat atau lambat, penghalang harus disingkirkan. Keluarga Xio hanya duri bagi klan.”

Pedang itu terangkat.

“Dan sekarang, giliranmu menyusul mereka.”

Tanpa memperingatkan, tiga murid elit menyerang bersamaan. Xio Lun hampir tidak sempat bereaksi. Meski ia berusaha menangkis, kekuatannya terlalu lemah untuk menghadapi para elit.

Bakk!

Satu tendangan menghantam dadanya, membuat tubuhnya terpental menabrak batang pohon.

Batuk darah keluar dari mulutnya.

Dalam rasa sakit yang mengoyak, Xio Lun berteriak dengan amarah memuncak:

“KALIAN AKAN MENYESAL!!!”

Namun murid-murid itu hanya mengangkat alis, mengejek tekadnya.

“Berkata seperti pahlawan, tapi tubuhmu bahkan tidak bisa berdiri dengan benar.”

Satu pedang mengarah ke jantungnya.

Detik itu, Xio Lun memilih berlari.

Bukan karena ia pengecut.

Bukan karena ia takut mati.

Tetapi karena ia tidak boleh mati—belum saatnya.

Ia harus bertahan.

Ia harus kembali untuk menuntut balas.

Ia berlari tanpa arah, menembus gelap hutan yang semakin padat. Langkah kaki para pengejar terdengar jelas di belakangnya.

“Kau tidak akan lolos!”

“Berhenti, tikus kecil!”

Namun Xio Lun tidak berhenti. Setiap napas terasa seperti menelan bara api, tetapi ia terus bergerak.

Untuk ayahnya.

Untuk ibunya.

Untuk dirinya sendiri.

Tiba-tiba tanah di bawahnya hilang.

Jurang dalam membuka mulutnya tepat di hadapannya.

Xio Lun terpeleset—pedang kecil terlempar dari genggamannya.

“AAAARGHHH!!”

Tubuhnya jatuh berguling ke bawah, bebatuan tajam menggores kulitnya sementara dahan-dahan pecah saat ia menabraknya.

Gelap.

Dingin.

Tak berujung.

Seolah-olah ia jatuh ke dalam perut dunia.

Suara tawa dari atas terdengar samar.

“Hahaha! Lihat? Bahkan alam membencimu!”

“Selesai sudah riwayatnya.”

“Ayo kembali. Tidak ada yang bisa bertahan dari Jurang Iblis Kematian.”

Langkah mereka menjauh, meninggalkan Xio Lun yang terus jatuh—ke takdir yang berbeda.

Braaakkk!

Tubuh Xio Lun akhirnya menabrak dasar jurang. Sakit yang luar biasa menusuk seluruh tubuhnya. Pandangannya berputar.

“Aku… masih hidup…?”

Ia mencoba bangkit namun langsung terjatuh lagi. Napasnya berat, tubuhnya nyaris tak bergerak.

Dalam kabur antara hidup dan mati, ia melihat cahaya merah samar muncul dari kegelapan.

Suara bergema, dalam dan purba—seperti suara perang yang telah ada sebelum sejarah dimulai.

“Warisanku… akhirnya tiba.”

Xio Lun terbelalak. Suara itu tidak berasal dari luar. Itu bergema dalam kepalanya.

“Siapa… kau…?”

Suaranya lemah.

Cahaya merah itu semakin mendekat, berubah menjadi sosok raksasa berzirah emas yang dipenuhi bekas luka pedang. Matanya menyala seperti bara api neraka. Aura yang memancar darinya begitu kuat hingga tanah bergetar.

“Aku adalah… JENDRAL DEWA PERANG.”

Penghancur pegunungan. Penakluk ribuan clan. Pemegang Takdir Pedang Surgawi.”

Dan kau… pewarisku.”

Xio Lun ingin berbicara, namun mulutnya tak bergerak. Dadanya penuh sesak oleh emosi dan ketakutan.

“Kenapa… aku?”

Dewa Perang itu mendekat, suaranya menggelegar namun penuh keyakinan.

“Darah di tubuhmu bukan darah manusia biasa.

Itu darah dewa yang tersisa dari garis keturunan kami.

Ayahmu mati demi menyembunyikanmu dari mereka

yang takut akan kebangkitan kekuatan ini.”

Nama ayahnya bergema dalam kepalanya.

Dada Xio Lun serasa dihancurkan sekaligus dibakar bara dendam.

“Jika kau mau hidup dan membalas semuanya… terimalah aku.”

Dewa perang mengulurkan tangan besarnya yang berona energi pedang.

“Terimalah kekuatan perang.

Dan jadilah pedang yang memenggal para pengkhianat.”

Xio Lun memejamkan mata.

Ia membayangkan wajah ibunya tersenyum lembut… lalu pucat bersimbah darah.

Ia membayangkan ayahnya jatuh dengan luka dari pedang sesama klan.

Air mata mengalir.

“Aku… akan membalas mereka semua…”

Ia meraih tangan sang dewa.

“AKU TERIMA!!”

Ledakan energi dahsyat meledak dari tubuh Xio Lun.

DUAAAARRRR!!

Tanah retak.

Batu-batu melayang dan hancur.

Awan energi merah membentuk pusaran besar membungkus tubuhnya.

Jeritan roh-roh penghuni jurang memekik ketakutan dan melarikan diri ke kegelapan.

Tubuh Xio Lun terangkat ke udara seperti boneka di tengah badai kekuatan yang sedang bangkit.

Uranya mengembang. Retakan cahaya merah keemasan menyelimuti kulitnya, membentuk pola pedang yang menyala.

Suara Dewa Perang bergema, seolah dunia ini menjadi saksi:

“Mulai hari ini…

namamu akan menjadi kutukan bagi para penghianat.”

“Bangkitlah, Pewaris Dewa Perang!”

Suara dentingan ribuan pedang terdengar dari kejauhan—gaung sejarah berlutut di hadapan pemilik baru kekuatan perang.

Mata Xio Lun terbuka.

Pupilnya berubah menjadi merah menyala seperti logam panas.

Tubuhnya kembali jatuh ke tanah, namun kini ia berdiri perlahan dengan kekuatan yang jauh melampaui manusia.

Kesadarannya bercampur dengan kekuatan dewa.

Dan di dalam hati terdalam, satu perintah terukir jelas:

“Balas dendam.”

Dengan nafas yang mulai stabil, Xio Lun meraih pedang kecilnya yang tertancap di tanah.

Namun pedang itu kini berubah.

Bilahan tipis yang dulunya tampak biasa, sekarang berkilau seperti potongan bintang merah.

Pedang roh pertama Xio Lun… telah terbangun.

Pedang Darah Dewa.

Ia mengepalkan gagangnya.

“Tetua Yumeng… klan… kalian akan merasakan siksa pedangku,” gumamnya dengan suara rendah dan penuh tekad.

Luka-lukanya mulai sembuh dengan cepat—hasil dari energi dewa yang menyatu dengan jiwanya.

Xio Lun mendongak menatap tebing jurang.

Murid elit itu sudah pergi, percaya ia telah mati.

Kesalahan terbesar mereka.

Dalam diam jurang itu, Dewa Perang berbicara lagi, namun kali ini lebih lembut:

“Bangkitlah, Lun. Kau baru memulai perjalanan perangmu.”

Xio Lun menarik napas panjang.

Amarah, kehilangan, dan kekuatan baru bergumul di dalam dadanya.

“Mulai hari ini, aku bukan lagi murid luar lemah…”

Suaranya bergema di seluruh jurang.

“Aku adalah pewaris pedang yang akan menghancurkan mereka.”

Tatapan matanya bersinar tajam bagai bilah pedang.

“Aku adalah Xio Lun.”

Di atas sana, di dalam lembah penuh konspirasi…

Tak seorang pun tahu bahwa senjata paling mematikan yang pernah muncul dalam sejarah baru saja terlahir kembali.

Dan langit bergidik ketakutan.

BAB.3 Kebangkitan Ranah Leluhur

Jurang itu seolah tak memiliki dasar. Xio Lun jatuh menembus kegelapan yang seolah hendak melahap tubuhnya. Rasa sakit merobek kulitnya, tulangnya seperti retak, napasnya tercekik udara dingin yang mematikan. Saat tubuhnya hampir hancur berkeping, suara kuno menggema dalam relung terdalam jiwanya.

“Bangkitlah… pewaris pedang kegelapan… pewaris darah perlawanan…”

Suara itu bergema seperti dentuman perang ribuan tahun lalu. Cahaya merah kehitaman menyelimuti tubuh Xio Lun. Luka-lukanya terjahit kembali, darahnya mendidih, tulangnya memperkuat diri. Dengan erangan tertahan, Xio Lun terangkat di tengah kehampaan, tergantung seakan tak menyentuh tanah.

Di hadapannya muncul sosok pria berjubah hitam, berotot seperti terbuat dari baja, mata menyala seolah dua bintang perang jatuh ke dunia fana. Aura perang mengalir darinya seperti badai yang ingin menghancurkan seluruh benua.

“Aku… adalah Dewa Perang yang terlupakan. Kau jatuh ke tempat yang tepat, anak muda.”

Xio Lun gemetar. “Siapa… siapa kau?”

“Dunia pernah tunduk di bawah pedangku. Musuh-musuhku gugur seperti debu. Namun pengkhianatan menenggelamkanku dalam kegelapan.”

Dewa itu mengangkat tangan, menempelkan jari di dahi Xio Lun.

Seketika—

Serentetan energi dahsyat meledak dalam tubuhnya.

Praktisi B → Master → Grand Master → Roh → Raja → Kaisar → Leluhur

Tubuh Xio Lun melesat menembus batas kultivasi yang selama ini hanya bisa ia impikan ketika melihat bintang.

Ranah Dunia — Tingkat Leluhur!

Tubuhnya bergetar hebat ketika energi besar meluap dari setiap pori tubuhnya. Ia menjerit—campuran sakit dan kenikmatan kekuatan yang tak terbayangkan.

Dewa Perang menatapnya bangga.

“Kekuatan ini bukan hadiah… tapi awal dari perangmu.”

“Aku akan memandu jalanmu. Temukan empat artefakku yang tersebar di dunia:

Armor Berlian, Seruling Kematian, Tungku Ilahi… dan Pedang Kegelapan.

Dengan itu… kau akan kembali sebagai Dewa Perang Abadi.”

Xio Lun terengah, matanya membara dengan tekad dendam.

“Dewa… beri aku kekuatan… untuk membalas semua pengkhianatan mereka.”

“Kegelapan akan menuntunmu… Pewaris yang Terpilih.”

Dengan ayunan tangannya, jurang runtuh dan Xio Lun terlempar naik, menembus batas dimensi.

Xio Lun tersentak bangun di hutan lebat yang asing. Udara membawa aroma lembap tanah dan darah. Ia memandang sekitar—pohon menjulang, reranting patah, jejak pertempuran. Jauh dari Klan Lembah Seribu Pedang… jauh dari ibunya.

“Ibu…”

Pikiran itu menghantam keras dadanya. Kecemasan merayap di nadi. Namun saat ia hendak melangkah, suara dentingan logam dan jeritan pelan terdengar di kejauhan.

“Haaahh…!!”

“T-tidak… aku harus bertahan…”

Suara seorang gadis—penuh kesakitan.

Insting baru dalam diri Xio Lun menyala. Ia berlari mengikuti arah suara. Tubuhnya jauh lebih ringan, cepat seperti angin.

Setibanya di sebuah celah hutan, ia terperangah.

Seorang gadis muda berseragam putih merah, tubuhnya berlumur darah, berdiri dengan pedang terhunus menyangga tubuhnya. Mata indahnya dipenuhi tekad, rambut hitam panjangnya acak-acakan, dan nafasnya tersengal. Di sekelilingnya tergeletak para mayat pengawal berseragam klan berbeda.

“Aku… Xi Shi… putri dari Klan Bunga Persik… aku tidak boleh mati di sini…”

Namun tiga pria bertopeng mengurungnya, aura mereka mengerikan—bertaraf Ranah Dunia tingkat Roh dan Raja. Salah satu dari mereka menghina:

“Menyerahlah, Putri Xi Shi. Tukar hidupmu dengan peta harta karun leluhurmu! Barang berharga itu akan milik Klan Tengkorak Merah!”

Xi Shi terhuyung. Pengawal terakhirnya yang berada di Ranah Roh telah gugur beberapa saat lalu, tubuhnya masih hangat di tanah. Ia mengorbankan diri saat Xi Shi mencoba kabur.

“Ayahku sedang dalam kultivasi penting… Aku harus berhasil sampai ke Klan Lembah Abadi…”

“Aku… tidak boleh… mati di sini…”

Namun lututnya goyah. Pedangnya jatuh menancap tanah.

Pria bertopeng mendekat.

“Peta itu akan membawa Klan kami ke puncak dunia! Dan kau akan menjadi tiketnya!”

Tangan mereka meraih bahunya—

⚔️ Saat itulah angin hitam menerjang.

WHUUUSH!

Salah satu tetua bertopeng bahkan tak sempat berteriak sebelum tubuhnya terpental menghantam pohon besar, tulangnya patah.

Semua menoleh—mata mereka membelalak.

Seorang pemuda berjubah hitam berdiri di depan Xi Shi, memancarkan aura tak tertahankan. Napas bumi bergetar olehnya. Pemuda itu menatap dingin, matanya seperti jurang kematian.

“Sentuh dia… dan kalian semua mati.”

Gelombang tekanan aura Leluhur menghantam musuh—

“R-Ranah Leluhur…!? Bocah ini… siapa dia!?”

Xio Lun maju selangkah. Setiap langkahnya seperti palu perang.

“Aku memperingatkan kalian hanya sekali.”

Tetua Raja menggertakkan gigi dan menyerang dalam putus asa.

“Dia hanya bocah! Bunuh!!”

Mereka menerjang bersamaan.

“Jurang iblis mungkin telah menelan masa laluku… tapi sekarang aku adalah badai yang akan menenggelamkan kalian.”

—Xio Lun

Dalam sekejap—

Satu tebasan udara gelap—

CRAASH!!

Dua tubuh terbang dan jatuh tak bergerak lagi.

Tetua terakhir gemetar, lututnya roboh, jiwanya hampir terpisah dari tubuh karena ketakutan.

“A-a-aku minta am—”

Xio Lun menghilang dan muncul di belakangnya.

“Terlambat.”

DUARRR!

Petir hitam meledak, tubuh musuh hancur menjadi abu.

Hening menguasai hutan.

Xi Shi memandang pemuda itu dengan mata lemah, namun penuh keterkejutan.

“K-Kau… siapa…?”

Xio Lun menunduk, memeriksa luka gadis itu. Napasnya semakin lemah. Darah mengalir deras dari bahu, dada, dan punggungnya. Kulitnya pucat seperti salju.

Jika ia datang satu detik lebih lambat… Xi Shi sudah tidak ada lagi.

Dari balik dahan pohon, angin membawa suara serak:

“Ka…kabur… Putri…”

Itu pengawal terakhir yang terluka parah. Tubuhnya merangkak dengan sisa napas terakhir.

Xi Shi menangis lemah, “Tidak… jangan paksa dirimu!”

Pengawal itu tersenyum, lalu menatap Xio Lun.

“Tolong… lindungi Putri kami…”

Detik berikutnya—

Tubuhnya terkulai tanpa nyawa.

Xi Shi menjerit lemah, menggigit bibir hingga berdarah.

Xio Lun memejamkan mata, menundukkan kepala hormat.

“Pengorbanannya tidak akan sia-sia.”

Ia mengangkat tubuh Xi Shi perlahan, menatap wajahnya yang menahan sakit.

“Kita harus keluar dari sini. Akan kubawa kau kembali ke klanmu.”

Xi Shi menatap pemuda yang baru dikenalnya, melihat ketegasan dan kepedihan dalam matanya.

Xio Lun…

Nama yang akan melekat dalam hatinya…

“Terima kasih…”

bisiknya sebelum akhirnya pingsan dalam pelukan Xio Lun.

Xio Lun mengencangkan pegangan, lalu menatap ke langit malam.

“Aku tidak tahu apa yang menantiku… tapi jika dunia ingin menghancurkanku…”

“Maka aku akan menghancurkan dunia lebih dulu.”

Aura Dewa Perang bangkit sekali lagi—

membawa permulaan legenda baru.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!