Yat..." bisiknya, suaranya nyaris hilang, pecah oleh kepedihan yang menyesakkan. Jemarinya mencengkeram seprai usang, mencari kekuatan yang telah lama menguap. "Dokter... tadi... dia bilang..." Setiap kata terasa seperti pecahan kaca yang mengoyak tenggorokannya. "Kita... harus memilih." Tarikan napasnya pendek dan menyakitkan, seolah paru-parunya menolak untuk terisi. "Antara aku... atau... anak kita."
Kalimat itu menggantung di udara, dingin dan mematikan, meremukkan setiap harapan yang tersisa. Mata Yati, sembab dan perih, kembali digenangi air mata. Butiran bening itu tumpah, membasahi bantal lusuh yang menjadi saksi bisu malam-malam penuh nestapa.
"Mas..." Suara Yati lirih, bergetar seperti dedaunan kering yang diterpa angin malam. "Aku... aku tidak tahu, Mas. Aku takut..." Ucapannya tercekat di antara isak tangis yang menghimpit dada. Ia menatap Manto, suaminya, mencari setitik cahaya di tengah kegelapan yang pekat. "Mengapa... mengapa Tuhan sekejam ini? Dosa apa yang telah kita perbuat, Mas?"
Kesunyian mencekam menyelimuti mereka, hanya detak jam dinding tua yang terdengar, berdetak dengan irama yang stabil dan kejam, seolah menghitung mundur waktu yang tersisa. Manto menggenggam erat tangan Yati yang dingin, satu-satunya jangkar yang menahannya dari pusaran keputusasaan.
Emosi yang selama ini dipendam Yati akhirnya meledak. Ia menarik tangannya dari genggaman Manto, lalu menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"KENAPA?!" teriaknya histeris, memecah kesunyian yang menyesakkan. Tubuhnya bergetar hebat, tak terkendali. "Jika memang kami tidak pantas menjadi orang tua! Jika Dia di atas sana tidak mengizinkan kami memiliki keturunan! Mengapa Dia tanamkan benih ini di rahimku?! Mengapa Dia beri aku harapan dengan setangkai bunga?!"
Air mata terus mengalir, membasahi wajahnya yang pucat. Suaranya hancur menjadi isakan yang menyayat hati. "Kenapa... mengapa bunga itu harus layu sebelum sempat mekar? Sebelum sempat kita cium aromanya? Mengapa harus dicabut dengan begitu kejamnya?! JAWAB, MAS! KENAPA?!"
Yati memukuli kasur dengan tangan lemah, melampiaskan segala kepedihan dan ketidakrelaannya. Manto, yang menyaksikan kehancuran istrinya, tak kuasa menahan diri. Dengan hati hancur berkeping-keping, ia merengkuh Yati. Ia menarik tubuh istrinya yang bergetar ke dalam pelukannya, erat, seolah ingin melindunginya dari badai kehidupan yang menerjang.
Manto tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Tidak ada kata-kata yang mampu mewakili kedalaman duka ini. Ia hanya bisa membiarkan Yati menangis histeris di bahunya, sementara air matanya sendiri mengalir diam-diam, membasahi rambut istrinya.
Dalam pelukan yang pilu itu, mereka hanyut bersama dalam lautan duka yang sama. Dua jiwa yang tersesat, meratapi takdir yang merenggut calon buah hati mereka, meninggalkan luka menganga dan kehampaan yang mungkin tak akan pernah terisi.
Senin kelabu, 9 Februari 1969. Di sebuah desa kecil bernama Kedung dadap, di sebuah rumah kayu sederhana, duka merajalela. Kesunyian pekat menyelimuti kamar tidur pasangan muda yang baru menikah setengah tahun lalu. Kehamilan pertama, yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan, kini berubah menjadi duri yang menusuk jantung.
Sukacita itu telah dirampas oleh vonis kejam: kanker payudara ganas. Kata-kata dokter terus terngiang di telinga mereka, dingin dan tanpa ampun: kandungan harus diakhiri. Jika tidak, nyawa keduanya, ibu dan anak, akan melayang bersamaan.
Di balik jendela, senja meredup, seiring dengan meredupnya harapan di hati mereka. Hari ini, tanggal yang seharusnya biasa saja, kini tercatat sebagai hari di mana takdir memaksa mereka memilih di antara dua nyawa yang sama-sama mereka cintai.
"Sabar, Ti," bisik Manto, memecah kesunyian. Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Tangannya dengan lembut mengusap punggung Yati yang terbaring lemah. "Mungkin... mungkin semua tidak akan terjadi seperti yang kita bayangkan. Dokter juga manusia, Ti. Dia hanya bisa memprediksi. Tuhan tidak sekejam itu pada kita."
Ia menarik napas dalam, berusaha menanamkan keyakinan yang mungkin juga sedang goyah di dalam hatinya. "Aku yakin, akan ada jalan keluar. Mungkin... ini ujian untuk anak kita. Mungkin kelak dia akan menjadi anak yang istimewa, karena sejak dalam kandungan dia sudah diuji dengan cobaan yang berat."
Yati hanya mengangguk lemah, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. "Iya, Mas," bisiknya lirih, penuh dengan kepasrahan yang getir.
"Sudah, kamu tenang saja," sambung Manto, berusaha menyemangati istrinya. "Aku yakin, kita semua akan baik-baik saja. Aku lebih percaya pada Tuhan daripada dokter itu. Sekarang, makan dulu, ya? Kesehatanmu harus dijaga. Jangan pikirkan hal-hal buruk. Itu hanya akan memperburuk keadaanmu."
Yati mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit lebih pasti. Manto beranjak dari sisi ranjang, langkahnya terasa berat. Ia kembali dengan membawa sepiring nasi hangat. Dengan sabar, ia menyuapi Yati satu per satu. Setiap suapan terasa seperti ritual untuk mengembalikan kekuatan yang terkuras oleh penyakit dan kesedihan.
Setelah piring itu kosong, Manto kembali memecah keheningan. "Ti," panggilnya lembut.
Yati menatapnya, matanya berkaca-kaca, siap mendengarkan apa pun yang akan dikatakan suaminya.
"Apa pun keputusan yang harus kita ambil, apa pun yang akan terjadi," ujar Manto, menggenggam tangan Yati erat, "Bagaimana kalau nanti sore kita pergi ke rumah Rasmin? Kita ceritakan masalah kita. Siapa tahu dia punya jalan keluar. Kita tidak bisa memendam masalah ini sendirian. Jangan seperti katak dalam tempurung."
Ia mencoba tersenyum, berusaha menghangatkan suasana. "Rasmin itu kan kakakmu, seorang kepala sekolah. Pengalamannya luas, mungkin dia punya solusi. Kalaupun tidak, setidaknya kita tidak akan disalahkan oleh keluarga jika... jika terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan."
Mendengar nama kakaknya disebut, Yati menemukan secercah harapan. Air matanya kembali menetes. Dalam kepasrahan dan ketakutan yang mencekam, tawaran itu bagai seutas tali yang bisa ia raih. Dengan suara lirih, penuh harapan yang tersisa, ia menjawab, "Iya, Mas."
Manto membawa piring kotor itu ke belakang rumah. Di sudut pancuran yang sunyi, ia membuka keran. Air mengalir deras, menyirami sisa-sisa nasi dan lauk yang baru saja menghidupi tubuh lemah istrinya. Namun, air itu tak mampu membersihkan kegelisahan yang menggerogoti jiwanya.
Dalam hati, ia mulai bergumam, merambah ke wilayah yang lebih dalam dan getir. "Tuhan... aku selalu berusaha mengikuti jalan-Mu. Di dalam agama yang Kau ajarkan, aku berusaha menjadi umat yang taat. Kau berfirman, berharap selain kepada-Mu adalah kesia-siaan. Kini... kini aku ingin membuktikan kuasa-Mu. Benarkah Engkau ada? Ataukah Engkau hanya dongeng indah yang dibalut konspirasi langit?"
Piring di tangannya digosok kuat-kuat, seolah ia mencoba mengikis keraguan yang mendera dengan setiap gerakan. Sambil terus bergumam dalam diam, air dan sabun mengalir, membawa serta debu-debu keyakinan yang mulai goyah.
Sementara itu, di dalam kamar yang semakin kelam oleh senja, Yati terbaring sendirian. Tangannya yang kurus dengan lembut mengelus perutnya yang masih rata. Sebuah percakapan batin terjalin antara ibu dan calon bayinya.
"Nak, tenang saja," bisik hatinya, penuh keteguhan yang mengharukan. "Jika aku hidup, kamu pun akan hidup. Jika kamu mati, aku pun akan ikut mati. Jangan khawatir, sayang. Ibu tidak akan mengorbankanmu hanya untuk kehidupan dunia yang fana ini."
Air mata menetes pelan, membasahi bantal. Di balik kepasrahan itu, tersimpan tekad dan tantangan yang berani.
"Kalau sampai kita mati, kita akan menghadap Tuhan bersama-sama," gumamnya getir, namun penuh keyakinan. "Kita akan bertanya kepada-Nya, apa arti ketaatanku selama ini. Apakah di mata-Nya hanya sebuah permainan tanpa makna? Ataukah pengorbanan seorang ibu untuk anaknya akan berarti sesuatu di hadapan-Nya?"
Di luar, alam bersenandung dalam harmoni yang abadi. Deru jangkrik bersahut-sahutan, kidung katak menggema riang, dan orong-orong turut serta dalam orkestra malam. Namun, di balik dinding rumah yang sederhana, dua jiwa tengah memikul beban duka yang teramat berat, sebuah tragedi yang tak terucapkan.
"Ti, selepas Maghrib nanti, kita bertandang ke kediaman Rasmin," bisik Manto, suaranya berat dan bergetar, seolah menyimpan gundah yang tak terperi.
"Baiklah, Mas," sahut Yati lirih, jemarinya tak henti mengusap lembut perutnya yang baru mengandung empat bulan, seolah menyalurkan kekuatan dan harapan pada janin yang belum lahir.
Manto melangkah gontai menuju warung Mbok Darmi, tempat ia biasa mencari pelipur lara dalam secangkir kopi pahit. Di benaknya, doa-doa terus mengalir, bagai sungai yang tak pernah kering: "Ya Tuhan, tuntun lah langkah kami. Jangan biarkan hati kami remuk redam. Jika Engkau hendak mengambil istri atau anakku, sudilah kiranya mencabut nyawa kami bertiga dalam satu tarikan napas yang terakhir..." Tanpa disadarinya, ia telah tiba di warung yang remang-remang. Dengan perasaan hampa, ia membeli gula batu, teh, dan beberapa bungkus keripik tempe, lalu kembali ke rumah dengan langkah yang semakin berat.
Sesampainya di rumah, Yati telah menantinya di kursi kayu, siap untuk berangkat. Satu jam kemudian, mereka berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang berdebu menuju rumah Rasmin, yang terletak hanya seratus meter di belakang rumah mereka.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu memecah kesunyian malam yang mencekam. Rasmin, yang tengah bersantai di ruang depan, segera bangkit dan membuka pintu dengan senyum ramah.
"Krieeet..."
"Siapa gerangan?" tanya Rasmin.
"Ini aku, Manto dan Yati."
"Oh, kalian rupanya. Silakan masuk."
Rasmin mempersilakan mereka masuk dengan hangat, lalu bergegas ke belakang untuk menyiapkan teh manis yang harum. Yati menyerahkan gula batu, teh, dan keripik tempe yang mereka bawa sebagai buah tangan. "Ini, Kang, sekadar teman minum teh."
"Ah, kalian ini merepotkan saja. Bertamu kok membawa-bawa bekal," protes Rasmin, namun dengan nada bercanda yang tulus.
"Tidak apa-apa, Kang. Untuk menemani obrolan kita saja."
Setelah semua duduk dengan nyaman, Rasmin bertanya, "Bagaimana kabarmu? Sehat?"
Mendengar pertanyaan itu, mata Yati langsung berkaca-kaca, air mata menggenang di pelupuk matanya yang sayu. Ia menunduk, tak sanggup menjawab pertanyaan sederhana itu. Manto terdiam, tangannya mengepal erat, berusaha menahan gejolak emosi yang membuncah di dadanya. Melihat gelagat aneh ini, Rasmin menjadi bingung dan khawatir.
"Sebenarnya ada apa ini? Mengapa kalian berdua diam saja dan tampak begitu bersedih?"
Akhirnya, Manto menguatkan diri dan berbicara dengan suara bergetar, "Begini, Kang. Yati sedang mengandung empat bulan, namun kami baru saja menerima kabar yang sangat buruk."
Rasmin terkejut dan menatap mereka dengan cemas. "Kabar buruk apa? Katakan dengan jelas!"
"Yati didiagnosis menderita kanker payudara, Kang," ucap Manto dengan nada lirih yang menyayat hati.
Mendengar pengakuan itu, Yati tak kuasa menahan tangisnya. Air mata mengalir deras membasahi pipinya yang pucat. Manto menggenggam tangan istrinya erat-erat, mencoba menyalurkan kekuatan dan ketabahan. Ia melanjutkan, "Dokter mengatakan bahwa bayi dalam kandungan Yati harus digugurkan. Jika tidak, nyawa keduanya terancam bahaya. Kami datang ke sini untuk meminta doa restu jika suatu saat Yati harus menjalani operasi, dan siapa tahu Kang Rasmin memiliki solusi atau saran yang bisa membantu kami."
Rasmin terdiam sejenak, mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Kemudian, ia berkata dengan nada tegas namun penuh kepedulian, "Jangan sampai dioperasi! Justru jika dioperasi, meskipun bayinya digugurkan, nyawa Yati bisa ikut terancam. Begini saja, dulu teman saya juga pernah menderita kanker payudara, tetapi ia sembuh tanpa operasi. Ia berobat ke seorang sinshe di Purwokerto."
Mendengar kata-kata Rasmin, mata Yati berbinar penuh harapan. "Benarkah, Kang? Apakah Kang Rasmin tidak berbohong?" tanyanya dengan nada penuh keraguan, seolah berusaha memastikan bahwa ini bukanlah mimpi belaka.
"Tenanglah, Ti," Manto menggenggam tangan Yati semakin erat, memberikan tatapan yang menenangkan.
Melihat antusiasme Yati, Rasmin segera menegaskan, "Ya, benar, Ti. Banyak orang yang sembuh di sana, bahkan mereka yang seharusnya menjalani operasi. Semoga kamu juga termasuk orang yang mendapatkan kesembuhan."
"Semoga saja ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan," Yati dan Manto saling berpandangan dengan semangat yang membara, raut kesedihan mereka sedikit memudar, digantikan oleh secercah harapan. Bagi mereka, informasi ini bagaikan setitik cahaya di tengah kegelapan yang pekat.
"Iya, Kang," bisik Yati, suaranya bergetar haru namun sudah mulai diwarnai oleh keyakinan yang baru tumbuh. "Semoga ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan." Wajahnya yang tadi pucat pasi mulai memancarkan sedikit cahaya. Demikian pula dengan Manto, raut sedihnya berangsur-angsur menghilang, digantikan oleh semangat yang selama ini terpendam.
Informasi yang mereka peroleh mungkin hanya sekelumit, namun bagi mereka yang hampir tenggelam dalam lautan keputusasaan, hal itu bagaikan sebatang lilin yang tiba-tiba dinyalakan di tengah hutan yang gelap gulita. Kecil, namun mampu menembus kegelapan dan menunjukkan arah yang benar.
"Kang, di mana alamat pastinya?" tanya Manto, tak ingin harapan itu sirna begitu saja.
"Oh iya, nanti saya tuliskan," jawab Rasmin dengan ramah. Ia lalu beranjak dari duduknya dan menuju ke sebuah meja kayu di sudut ruangan. Ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan sebuah buku catatan kecil serta pena. Dengan teliti, ia menuliskan alamat lengkap sinshe tersebut di selembar kertas, lalu menyodorkannya kepada Manto dan Yati. Mereka menerimanya dengan hati yang berdebar-debar, penuh rasa syukur yang tak terhingga. Yati menggenggam kertas kecil itu erat-erat, seolah ia sedang memegang sebongkah berlian yang tak ternilai harganya. Itu bukan sekadar alamat; itu adalah kunci menuju harapan baru.
Dalam hati, Yati kembali berbicara pada calon bayinya, "Nak, akhirnya... akhirnya ada secercah harapan untuk kita. Meski hanya setetes embun, semoga ia bisa tumbuh menjadi api unggun yang akan menerangi jalan kehidupan kita, tanpa harus ada yang dikorbankan."
Suara Rasmin kemudian memecah lamunannya yang dalam. "Dulu, teman saya juga menderita kanker payudara dan hampir menjalani operasi. Dokter memaksa untuk melakukan operasi karena jika tidak, katanya penyakit itu pasti akan merenggut nyawanya. Namun, setelah ia pergi ke Sinshe Ko Acun, itulah namanya, sinshe itu mengatakan bahwa ia tidak perlu dioperasi. Katanya, kondisinya belum terlalu berbahaya, justru jika dioperasi malah berisiko menjadi ganas. Kemudian, Sinshe Ko Acun memberinya resep ramuan herbal. Teman saya itu rutin mengunjungi sinshe tersebut seminggu sekali, dan akhirnya... ia sembuh total. Ia bahkan melakukan pemeriksaan ulang di laboratorium rumah sakit, dan hasilnya negatif."
Mendengar penuturan itu, mata Manto dan Yati semakin berbinar penuh harapan. "Sungguh, Kang? Kami juga berharap bisa mendapatkan kesembuhan seperti teman Kang Rasmin," sahut Manto dengan suara yang terdengar lebih ringan dan penuh semangat.
Wajahnya yang tadi diliputi kesedihan kini tampak lebih cerah, bagaikan anak kecil yang baru saja menerima hadiah mainan yang sangat diidam-idamkannya. "Beruntung sekali kami datang ke sini. Jika tidak, mungkin kami sudah mengambil keputusan yang salah dengan menyetujui operasi."
Rasmin mengangguk dengan bijak, senyum kecil mengembang di bibirnya. "Ya, benar sekali. Manusia memang harus senantiasa berusaha dan berikhtiar. Jangan terpaku pada satu jalan saja. Ada banyak jalan yang bisa ditempuh, mengapa harus memaksakan diri pada satu jalan yang mungkin buntu? Meskipun jalan itu tampak bagus dan menjanjikan, namun jika tidak mendukung kepentingan kita, buat apa diteruskan? Tinggalkan saja jalan itu, dan carilah jalan lain yang lebih baik."
Kata-katanya mengalir dengan tenang dan penuh wibawa, seolah semua kegelisahan dan kepahitan hidup telah ditelan oleh waktu, menyisakan ketenangan dan keyakinan bahwa di balik setiap kesulitan, pasti ada kemudahan yang menanti.
Percakapan hangat di ruang tamu rumah Rasmin terus berlanjut, mengisi setiap sudut ruangan dengan cerita, harapan, dan tawa kecil yang sempat hilang. Mereka bertiga begitu asyik berbagi pengalaman dan pemikiran hingga tak menyadari bahwa malam telah larut dan kegelapan telah menyelimuti langit. Saat jarum jam dinding menunjuk pukul sembilan malam, Manto baru tersadar bahwa waktu telah beranjak jauh.
"Kang, sudah larut malam. Kami mohon pamit dulu, ya. Terima kasih banyak atas informasi yang sangat berharga ini," kata Manto sambil berdiri. Yati pun ikut berdiri, dengan senyum kecil yang mulai menghiasi bibirnya yang pucat. Mereka mengulurkan tangan, berjabat dan bersalaman penuh rasa hormat.
"Baiklah, hati-hati di jalan," ujar Rasmin sambil membalas jabat tangan mereka dengan erat. "Ingatlah, jalan selalu terbuka bagi orang-orang yang tidak pernah menyerah. Pasrah pada takdir memang baik, tetapi akan lebih baik lagi jika kita berani melawan takdir yang tidak sesuai dengan harapan kita. Karena terkadang, takdir buruk yang datang hanyalah ujian dari Tuhan untuk menguji keteguhan iman kita, apakah kita akan tetap bersandar kepada-Nya, atau justru bertekuk lutut pada godaan setan untuk menyerah begitu saja."
"Iya, Kang. Kami tidak akan menyerah," jawab Manto dengan penuh keyakinan, matanya berbinar dengan tekad yang baru ditemukan. Lalu, berpegangan tangan dengan erat, mereka melangkah keluar dari rumah itu, meninggalkan kediaman Rasmin dengan hati yang jauh lebih ringan daripada saat mereka datang.
Setibanya di rumah mereka yang sederhana, suasana hening namun tidak lagi mencekam. Manto menatap istrinya dengan penuh kasih sayang. "Ti, akhirnya ada secercah harapan untukmu dan anak kita," ujarnya pelan, suaranya bergetar haru. "Semoga ini bukanlah harapan palsu, melainkan benar-benar jalan terbaik yang ditunjukkan oleh-Nya."
"Iya, Mas," balas Yati dengan suara lembut namun pasti, senyum tulus menghiasi wajahnya.
"Ya sudah, sekarang kita istirahat," pinta Manto sambil membimbing Yati menuju tempat tidur mereka. "Kesehatanmu dan bayi kita harus dijaga dengan baik."
"Oh iya, Mas," sahut Yati tiba-tiba teringat sesuatu. "Besok kita berangkat ke sana naik apa?"
"Bagaimana kalau kita meminjam sepeda motor Mbah Lurah saja?" usul Manto. "Jika kita menggunakan mobil, jalannya berlubang-lubang dan sulit dihindari. Getarannya bisa membuat payudaramu sakit lagi."
"Baiklah, Mas. Besok pagi kita pergi ke rumah Mbah Lurah untuk meminjam motornya," kata Yati menyetujui usul suaminya.
Manto mengangguk, merasa lega dan bersyukur. "Iya, Ti. Sekarang tidurlah dengan tenang. Kita membutuhkan tenaga untuk esok hari."
Dalam balutan selimut tipis, di bawah cahaya rembulan yang menyelinap masuk melalui celah-celah jendela, kedua pasangan itu memejamkan mata dengan damai. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, mereka tidak disergap oleh mimpi buruk yang menakutkan, melainkan dibuai oleh harapan kecil yang bersinar laksana bintang di kegelapan malam, sebuah janji akan masa depan yang lebih baik.
Fajar belum sepenuhnya mengusir kegelapan ketika Manto bangkit dari pembaringannya. Udara pagi yang menusuk tulang menyapa kulitnya, tetapi tidak mampu meredam gejolak semangat yang berkobar di dalam dadanya. Asa untuk kesembuhan Yati telah menjadi suluh yang menerangi setiap langkahnya.
Tanpa menunggu lebih lama, ia bergegas menuju rumah Mbah Sirod, takut sang tetua telah berangkat ke balai desa sebelum ia sempat menyampaikan maksudnya. Jarak seratus meter yang memisahkan kedua rumah itu ditempuhnya dengan langkah cepat penuh tekad, seolah waktu adalah musuh yang harus dikalahkan.
Suara ketukan di pintu kayu yang rapuh itu memecah kesunyian pagi yang masih menggantung.
"Kulo nuwun," seru Manto dengan suara rendah yang jelas, memecah keheningan yang menyelimuti rumah Mbah Sirod.
Dari dalam rumah, terdengar langkah kaki mendekat, semakin lama semakin jelas. Krekett... Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Mbah Sirod yang berpakaian rapi, siap memulai aktivitasnya.
"Oh, Manto," suara Mbah Sirod terdengar agak heran namun tetap ramah. "Mari, masuklah. Ada keperluan apa pagi-pagi begini? Tidak biasanya kamu datang sepagi ini."
Manto pun melangkah masuk dan duduk di kursi kayu sederhana di ruang tamu yang terasa dingin. Nafasnya sedikit tersengal akibat terburu-buru.
"Begini, Mbah. Sebenarnya... saya ingin meminjam motor Mbah untuk pergi ke Purwokerto. Saya ingin mengantar Yati berobat," ucap Manto dengan nada sopan.
"Hah? Berobat?!" Nada suara Mbah Sirod meningkat drastis, menunjukkan keterkejutan mendalam. "Sakit apa? Mengapa kamu tidak pernah bercerita? Berobat ke mana?"
Rentetan pertanyaan itu meluncur deras bagai peluru dari senapan otomatis, membuat Manto tertegun sejenak. Ia tak menyangka kedatangannya akan menimbulkan reaksi sebesar ini.
"Tenanglah, Mbah," bujuk Manto lembut, berusaha meredakan keterkejutan Mbah Sirod. "Satu per satu saja pertanyaannya."
"Benar, benar," Mbah Sirod menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri yang masih diliputi keterkejutan. "Baiklah, ceritakan semuanya."
"Begini, Mbah. Yati sedang mengandung. Belakangan ini, ia sering mengeluh bahwa payudaranya terasa sakit. Namun, orang-orang bilang itu wajar dialami wanita hamil pada trimester awal, jadi kami tidak terlalu menghiraukannya. Tapi..." Suara Manto tiba-tiba tercekat, seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya.
"Seiring berjalannya waktu, rasa sakitnya semakin parah, bukannya berkurang. Karena itu, kami memutuskan untuk pergi ke dokter."
Manto menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ceritanya. "Setelah diperiksa, ternyata... Yati didiagnosis mengidap kanker payudara stadium 3.
Dokter menyarankan agar Yati segera menjalani operasi, dan juga..." Dia merasa hampir tak sanggup melanjutkan kalimatnya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Bayi yang ada di dalam kandungannya harus digugurkan terlebih dahulu sebelum operasi bisa dilakukan."
Mbah Sirod terdiam, wajahnya berkerut dalam seolah beban dunia turut menghimpit pundaknya. Kabar itu bagaikan petir di siang bolong, menghancurkan ketenangan pagi yang seharusnya damai.
"Kami benar-benar bingung, Mbah," lanjut Manto lirih, memecah kesunyian yang mencekam. "Tadi malam kami bertandang ke rumah Mas Rasmin.
Beliau merekomendasikan berobat ke Purwokerto kepada seorang sinshe bernama Ko Acun. Kabarnya, teman Mas Rasmin yang juga menderita kanker payudara berhasil sembuh di sana. Bahkan, banyak pasien kanker payudara lainnya yang juga mendapatkan kesembuhan."
Mbah Sirod mengangguk-angguk pelan, mencerna setiap kata yang diucapkan Manto. Ia tahu betapa besar harapan yang kini bertumpu di pundak pasangan muda itu.
"Namun, Yati tidak bersedia menggunakan mobil, Mbah," sambung Manto, menjelaskan alasannya. "Karena kondisi jalan yang rusak parah, Yati khawatir guncangan yang terlalu keras akan memperparah rasa sakitnya. Oleh karena itu, ia lebih memilih sepeda motor.
Dengan segala kerendahan hati, saya datang untuk memohon izin meminjam sepeda motor Mbah Sirod. Sekaligus memohon doa restu, semoga kami diberikan kemudahan dan kesembuhan."
Keheningan kembali menyelimuti ruangan setelah Manto menyampaikan segalanya. Mata Mbah Sirod yang telah renta perlahan berkaca-kaca, memancarkan kesedihan yang mendalam. Ia merasakan betapa beratnya beban yang harus dipikul oleh Manto dan Yati.
"Oh, baiklah... ambillah motor itu," gumam Mbah Sirod akhirnya, suaranya terdengar serak dan bergetar. "Kapan kalian berencana berangkat? Apakah kalian memiliki cukup bekal untuk perjalanan nanti?"
"Manto, tunggu sebentar!"
Suara seorang wanita yang panik memecah kesunyian pagi yang mulai hangat. Mbah Dalisah, istri Mbah Sirod, muncul dari balik pintu dengan nafas tersengal, wajahnya dipenuhi oleh kekhawatiran yang mendalam. "Ada apa dengan Yati? Mengapa kalian hendak berobat sejauh ini?"
Mbah Sirod segera melangkah mendekati istrinya, mencoba menenangkannya. "Yati menderita kanker, Ni. Mereka hendak berobat ke Purwokerto."
"HAH?!" teriak Mbah Dalisah histeris, matanya membulat sempurna. Suaranya mencerminkan rasa tidak percaya campur kecemasan. "Kanker?! Bagaimana bisa ia terkena kanker?!" Ucapannya melontarkan pertanyaan-pertanyaan tanpa arah yang jelas, seperti seseorang yang kehilangan pegangan.
Menyaksikan kepanikan istrinya, Mbah Sirod menempatkan tangannya di pundak Mbah Dalisah, mencoba menyalurkan ketenangan dan kekuatan. "Tenanglah, Ni. Jangan membuat suasana semakin kacau. Biarkan mereka berangkat dengan hati tenang dan pikiran jernih. Mari kita panjatkan doa, semoga mereka mendapatkan kesembuhan dan kemudahan dalam setiap langkahnya."
Kata-kata lembut suaminya seolah menuangkan ketenangan ke dalam hatinya yang sedang dilanda kekacauan. Mbah Dalisah menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Kemudian, ia mengangguk beberapa kali, air mata mulai membasahi pipinya yang berkerut. Air mata itu bukan lagi tanda kepanikan, melainkan ungkapan kepedulian dan doa yang tulus dari lubuk hatinya.
Manto, yang menyaksikan semua kejadian itu dengan haru, hanya bisa mengangguk hormat sebagai ungkapan terima kasih. "Terima kasih banyak, Mbah. Kalau begitu, saya mohon pamit terlebih dahulu."
Dengan hati yang berat namun dipenuhi harapan yang membumbung tinggi, Manto berbalik dan melangkah keluar dari rumah Mbah Sirod, membawa sepeda motor yang dipinjamnya.
Sinar mentari pagi mulai menyirami pelataran rumah kayu itu, menghadirkan kehangatan yang menenangkan. Manto kembali dengan langkah ringan, Vespa pinjaman di tangan akan menjadi saksi bisu perjalanan penuh harapan mereka. Di teras, Yati telah menanti dengan sabar, tas kecil berisi bekal dan perlengkapan sederhana tertata rapi di sampingnya. Wajahnya yang masih pucat menyimpan senyum tipis penuh keyakinan.
"Mas, mari sarapan dulu. Sudah kusiapkan hidangan sederhana untuk bekal perjalanan kita," ujar Yati lembut, menunjuk ke arah meja makan yang tertata rapi dengan semangkuk nasi hangat dan lauk-pauk sederhana.
Manto mengangguk dengan penuh kasih sayang sebelum duduk berhadapan dengan hidangan yang telah disiapkan istrinya.
Di meja makan yang sederhana itu, mereka tidak hanya menyantap sarapan pagi, tetapi juga merangkai rencana perjalanan penting yang akan menentukan arah hidup mereka. Setiap suapan nasi terasa begitu bermakna, seolah menyerap kekuatan dan keberanian untuk menghadapi segala rintangan yang mungkin menghalangi.
"Mas, mohon berhati-hati saat mengendarai motor nanti, ya," pinta Yati dengan suara berbisik, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Soalnya, jika guncangan terlalu keras, rasa sakit di sini akan semakin terasa," lanjutnya sambil menunjuk lembut ke arah dadanya.
"Tenanglah, Ti, aku akan berhati-hati," jawab Manto sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. "Jika kita berkendara santai, Purwokerto mungkin bisa kita capai dalam waktu dua setengah hingga tiga jam."
"Apakah Mas benar-benar tahu di mana tempatnya?" tanya Yati.
"Tentu saja, Ti. Dulu, ketika aku masih kecil, aku pernah ikut kakakku ke Purwokerto. Jadi, aku cukup familiar dengan jalan dan daerah di sekitar tempat praktik Sinshe Ko Acun. Tenang saja, aku akan mengantarmu dengan selamat," ujar Manto meyakinkan, berusaha menenangkan kegelisahan yang mungkin ada.
"Syukur kalau Mas tahu. Kita jadi tidak perlu menanyakan lagi," ucap Yati lega.
"Iya, Ti, benar," sahut Manto sambil membersihkan piringnya. "Mudah-mudahan Sinshe Ko Acun bisa menjembatani masalah kita."
"Iya, Mas. Kalau menurut cerita Mas Rasmin semalam, seharusnya... bisa," gumam Yati penuh keyakinan.
Tak terasa, sarapan pagi itu pun berakhir. Dengan hati-hati dan penuh kebersamaan, mereka mempersiapkan segala kebutuhan untuk di jalan. Akhirnya, dengan doa dan harapan besar dalam hati, mereka pun berangkat.
Membonceng Vespa pinjaman Mbah Sirod yang mesinnya berderum mantap, kedua pasangan itu melesat meninggalkan rumah.
Vespa tua itu bukan hanya membawa dua tubuh, tetapi juga mengangkut segenap harapan, doa, dan keyakinan akan kesembuhan yang mereka dambakan.
Dengan kesabaran tak terhingga, Manto mengendarai motor perlahan. Setiap lubang di jalan dihindarinya dengan saksama, bagaikan tupai lincah melompat dari dahan ke dahan, memastikan tidak ada guncangan keras yang menyakiti Yati. Perjalanan yang biasanya ditempuh dengan cepat kini dilalui dalam tempo lambat penuh kehati-hatian.
Butuh waktu dua setengah jam hingga akhirnya bangunan-bangunan di Purwokerto mulai tampak. Hati Manto berdebar-debar mengikuti petunjuk yang diberikan Rasmin hingga akhirnya mereka tiba di kawasan yang dikenal sebagai Ragas Mancang.
Ia mengerem motor tepat di depan sebuah rumah yang berfungsi sebagai toko kecil, dipenuhi rak-rempah, akar-akaran, dan aneka jamu yang menguar aroma khas.
Seorang lelaki tua keturunan Tionghoa sedang asyik menjemur daun-daunan herbal di teras. Manto turun dan mendekat dengan sikap hormat.
"Permisi, Mbah. Apa benar ini tempatnya Sinshe Ko Acun?" tanyanya pelan.
Pria tua itu menoleh, wajahnya berkeriput namun matanya tajam dan bersahabat. "Benar. Saya sendiri Ko Acun. Ada apa, Nak?"
Rasa lega menyirami hati Manto. "Ooh, Mbah Ko Acun. Iya, Mbah. Begini... Saya dapat info dari kakak saya. Katanya Mbah Ko Acun bisa mengobati kanker payudara. Istri saya... terkena kanker payudara, Ko."
"Oh, iya," jawab Ko Acun dengan tenang. "Ayo masuk, biar aku periksa dulu."
Manto segera menghampiri Yati yang masih duduk di boncengan. "Benar, Ti. Ini rumahnya. Kita disuruh masuk."
"Baik, Mas," jawab Yati, matanya menerawang penuh harapan dan sedikit degupan rasa takut.
Setelah memarkir Vespa dengan rapi, Manto menggandeng tangan Yati yang dingin. Mereka melangkah masuk ke dalam rumah sederhana yang dipenuhi bau menyengat ramuan herbal. Ko Acun sudah menunggu di ruang konsultasi kecil.
"Silakan duduk," suara Ko Acun lembut tetapi meyakinkan, membawa ketenangan di tengah kegelisahan mereka. Manto dan Yati pun duduk, siap menjalani pemeriksaan yang akan menentukan langkah selanjutnya.
Di ruangan ini, harapan mereka digantungkan pada kebijaksanaan dan pengalaman sang sinshe.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!