NovelToon NovelToon

Dulu Kakak Iparku, Kini Suamiku

1. Kehilangan Yang Tak Pernah Siap Di Terima

Pernahkah kalian merasakan kehilangan seseorang yang begitu kalian cintai?

Mungkin hampir semua orang pernah. Namun bagi Selena, kehilangan itu datang terlalu cepat—terlalu tiba-tiba. Ia bahkan belum sempat bersiap, belum sempat membayangkan hidup tanpanya.

Kehilangan suami di saat keluarga kecil mereka sedang merajut kenangan, adalah luka yang tak terbayangkan. Putrinya yang baru berusia tiga tahun pun harus merasakan kehilangan yang bahkan tak sanggup ia pahami.

Selena tak pernah membayangkan akan kehilangan Kavi secepat itu. Tanpa aba-aba, tanpa firasat—semuanya berakhir di hari ketika mobil Kavi mengalami kecelakaan seusai menghadiri rapat di luar kota.

Laki-laki yang begitu ia cintai, meninggalkannya setelah berjanji akan pulang membawa kebahagiaan. Kini, semua yang tersisa hanyalah kenangan.

Tiga tahun berlalu, namun luka itu tak pernah benar-benar sembuh.

Selena belajar berdiri kembali demi Arunika—putri semata wayangnya. Tapi setiap malam, saat sunyi menyelimuti kamar, ia masih menatap kosong ke langit-langit, berharap Kavi hanya sedang dinas di luar kota dan akan segera pulang.

 

“Mah... aku nggak bisa. Aku nggak mau menikah lagi. Aku nggak mau menggantikan Mas Kavi dengan siapa pun,” ucap Selena lirih, menatap ibunya dengan mata basah.

“Selen, Kavi sudah tiada tiga tahun yang lalu, Nak,” jawab Laras lembut. “Kamu harus belajar mengikhlaskan dan melanjutkan hidup. Pikirkan juga Arunika. Ia butuh sosok ayah. Lihat dia sekarang, dia iri pada teman-temannya yang di antarkan sekolah oleh ayahnya."

Selena terdiam. Tatapannya beralih pada Arunika yang duduk di sudut ruangan, masih sesenggukan sepulang sekolah.

Anak itu terus meminta ayahnya pulang, ingin seperti teman-temannya yang diantar ke sekolah oleh sang ayah.

Namun Selena bisa apa? Kavi sudah tiada.

Dengan hati remuk, Selena memeluk anaknya erat. “Maaf, Sayang... Mama nggak bisa bawa Papa pulang,” bisiknya dengan suara bergetar.

Air mata mereka pun bercampur—antara rindu dan kehilangan yang belum selesai.

Arunika masih terisak di pelukan Selena. Tubuh mungilnya bergetar, tangan kecilnya mencengkeram erat baju ibunya seolah takut kehilangan lagi. Selena membelai rambut putrinya perlahan, berusaha menenangkan meski hatinya sendiri nyaris hancur berkeping.

“Papa bohong ya, Ma?” suara lirih itu keluar di sela tangis. “Papa janji mau ajak aku ke taman pas udah bisa makan sendiri mau ajak aku ke kebun binatang... tapi Papa nggak pulang-pulang...”

Selena menahan napas. Dada kirinya sesak, seolah ada batu besar menimpa. Ia tak tahu harus menjawab bagaimana.

Tangannya gemetar saat menyeka air mata di pipi Arunika.

“Nggak, Sayang... Papa nggak bohong,” katanya pelan, menahan suaranya agar tidak pecah. “Papa cuma... udah pulang ke rumah yang jauh. Rumah yang nggak bisa Mama dan Aru datangi sekarang.”

Arunika menatap ibunya dengan mata bulat basah. “Terus... Papa nanti balik, Ma?”

Pertanyaan polos itu menancap tepat di hati Selena.

Ia memejamkan mata, menggigit bibir agar tak menangis lebih keras dari putrinya sendiri.

"Sudah tidak bisa, sayang. Tapi papa bakal selalu jagain kita dari jauh, Sayang.”

Hening. Hanya suara hujan di luar jendela yang menemani mereka.

Pelukan Selena semakin erat, seolah berusaha menyatukan dua hati yang sama-sama kehilangan.

Hujan deras di luar terasa seirama dengan derasnya air mata mereka malam itu.

 

Keesokan harinya, setelah tangisan panjang malam itu, Arunika kembali ceria seperti biasanya—seolah badai kecil di hatinya telah berlalu begitu saja. Anak itu memang mudah tersenyum, mudah pula terluka. Selena tahu, di balik tawa polos itu masih tersisa ruang kosong yang belum terisi; ruang yang dulu diisi oleh sosok Kavi.

Namun siang itu, saat mereka sedang duduk di meja makan, Arunika tiba-tiba berkata dengan mata berbinar, “Mama, besok Aru mau main sama Depa, ya. Aru nggak mau sekolah.”

Selena menghentikan sendoknya sejenak, menatap heran. “Depa? Emangnya Pakde Daren udah pulang dari Paris, Sayang?”

Anak itu mengangguk mantap, pipinya sedikit belepotan saus stroberi. “Iya! Kemarin Aru ketemu Depa waktu jalan sama Tante Nayla di taman. Katanya besok mau ajak Aru main. Aru boleh, kan?”

Selena tersenyum lembut, mencoba menyesuaikan diri dengan antusiasme putrinya. “Boleh, Sayang. Tapi Aru janji jangan nakal, ya. Jangan makan sembarangan juga. Mama nggak mau kamu sakit lagi.”

Arunika langsung mengangguk semangat, kedua kakinya menendang-nendang kursi dengan riang. “Janji, Ma!”

Selena terkekeh kecil. Melihat tawa itu, hatinya sedikit hangat. Sudah lama ia tak melihat Arunika sebahagia ini.

 ---

Memasuki halaman rumah mertuanya, rumah yang dulu sering ia datangi bersama Kavi, tapi sekarang ia datang hanya bersama Arunika, anaknya.

“Len!!”

Suara berat itu terdengar dari arah pintu. Selena menoleh, dan di sana berdiri seorang pria bertubuh tegap—Daren Aurelio Vance, kakak kandung Kavi.

Wajahnya berubah hangat begitu melihat Arunika. “Wih, anak Depa udah tinggi banget sekarang!” ujarnya sambil mengangkat Aru ke gendongannya.

“Long time no see, baby girl! Pakde kangen banget sama kamu!” katanya sambil mencubit pipi keponakannya.

“Depa, aku bukan anak kecil lagi, tau! Aku udah besar, buktinya sekarang aku udah bisa makan sendiri,” protes Aru cemberut.

Daren pura-pura merajuk. “Waduh, ponakan gue sekarang udah sombong, ya! Udah gak mau dipanggil baby girl lagi."

Selena hanya bisa menggeleng kecil. “Kak, tolong bahasanya dijaga. Nanti Aru ngikutin,” katanya lembut.

Daren terkekeh. “Siap, siap. Yuk, masuk. Mama udah masak banyak.”

Selena berjalan mengikuti Daren yang lebih dulu masuk ke dalam rumah dengan Arunika di gendongannya.

 

Makan bersama kali ini terasa lebih hangat dari biasanya. Pasalnya, anak sulung mereka, Daren, menantunya Selena, dan cucu kecil mereka datang berkunjung. Hal itu membuat Arga dan Sekar tak bisa menyembunyikan senyum bahagia yang terus mengembang di wajah mereka.

Suasana meja makan dipenuhi tawa dan cerita.

Daren bercerita panjang lebar tentang kepulangannya dari Paris—tentang proyek besar yang baru saja ia rampungkan, tentang cuaca musim gugur di sana, dan tentang betapa ia merindukan masakan rumah. Sesekali, ia menggoda Aru, keponakannya yang duduk di samping.

“Waktu di Paris, aku kangen banget sama sambal buatan Mama,” ujar Daren sambil tersenyum. “Ternyata selama ini aku baru sadar, rasa rumah cuma bisa dibuat sama Mama.”

Sekar tertawa kecil, “Kalau begitu, mulai sekarang kamu sering-sering makan masakan mamah sampai bosen sendiri."

Semua tertawa mendengar jawabannya.

Namun perhatian Selena teralihkan ketika matanya menatap piring makan putrinya, Arunika, yang masih penuh dengan lauk dan nasi. Arunika tampak serius—alisnya berkerut, tangannya kecilnya menggenggam sendok dengan hati-hati. Ia memandangi piring itu seolah sedang berhadapan dengan ujian besar.

“Sayang, kenapa nggak dimakan?” bisik Selena lembut sambil mengusap rambut anaknya.

Arunika langsung mendongak dan berkata dengan penuh semangat, “Aku bisa makan sendiri, Ma. Lihat ya! Aku makan banyak biar Pakde tau,” katanya dengan suara lantang, membuat semua orang di meja makan spontan menoleh.

Daren menahan tawa, lalu menatap keponakannya dengan senyum hangat.

“Wah, hebat banget Aru. Pakde jadi tau deh Aru makannya udah sendiri. Tapi pelan-pelan ya, nanti keselek.”

Arunika mengangguk cepat, lalu menyendok nasi besar-besar dan berusaha memasukkannya ke mulut. Sekar menatap cucunya geli sambil berkomentar,

“Duh, kayaknya ada yang lagi pamer nih."

"Iya dong," jawab Arunika percaya diri.

Tawa pun pecah memenuhi ruangan. Arga sampai menepuk meja ringan sambil terkekeh.

Selena ikut tertawa, meski di matanya terselip kehangatan yang tak bisa disembunyikan. Pemandangan sederhana itu—anaknya yang berusaha tumbuh mandiri, dan tawa yang memenuhi rumah—membuat dadanya terasa hangat.

 

Setelah makan, Selena duduk bersama mertuanya di ruang tengah. Dari jendela, ia bisa melihat Daren dan Aru bermain di halaman belakang, tertawa bersama.

“Selen,” panggil Sekar lembut. “Mama mau bicara sebentar, boleh?”

Selena mengangguk pelan. “Boleh, Mah. Ada apa?”

“Nak, kemarin Mama dan Papa sempat bertemu orang tuamu. Kita membicarakan banyak hal—tentang kamu, tentang Aru, dan... tentang Kavi.”

Selena menunduk, memainkan jemarinya yang gemetar. Perasaannya tak enak.

“Mama tahu kamu masih sangat mencintai Kavi,” lanjut Sekar. “Tapi Aru sudah semakin besar. Ia butuh sosok ayah, Nak. Mama dan Papa nggak apa-apa kalau kamu mau menikah lagi.”

Selena menggeleng cepat, air matanya mulai menetes.

“Aku bisa hidup sama Aru aja, Mah. Aku nggak bisa gantiin Mas Kavi. Aku juga nggak tertarik untuk menikah lagi. Aku akan jaga Aru sebaik mungkin.”

Sekar terdiam, sedih.

Sementara Arga, ayah mertua Selena, menepuk bahu menantunya lembut. “Sudahlah, Sekar. Jangan dipaksa. Kita nggak tahu bagaimana rasanya kehilangan seperti dia. Biarkan waktu yang menyembuhkan.”

Selena menatap Arga dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Pah...”

 

“MAA! Lihat! Aru dapet banyak coklat dari Depa!”

Suara kecil itu memecah keheningan. Arunika berlari masuk bersama Daren yang menggendongnya di bahu.

Tawa mereka memenuhi ruangan, membuat semua mata menoleh.

“Depa besok anterin Aru ke sekolah, ya!” seru anak itu ceria.

“Aru mau kenalin Depa ke temen-temen!”

Selena tak sempat menjawab saat Aru tiba-tiba berlari ke arahnya dan berkata dengan polosnya,

“Mama... boleh nggak Depa jadi papanya Aru?”

Kalimat itu membuat semua orang di ruangan terdiam.

Daren terpaku, Selena menatap putrinya dengan mata berkaca, dan Sekar menutup mulutnya menahan haru.

Dalam sekejap, seluruh perasaan yang selama ini ditahan Selena kembali menyeruak—rindu, kehilangan, dan kehangatan yang tak pernah ia duga akan muncul dari tawa sederhana seorang anak kecil.

 

2. Depa...Mau Enggak Jadi Papa, Aru?

Ucapan polos dari Arunika jatuh seperti petir di siang bolong—

“Mama... boleh nggak Depa jadi papanya Aru?”

Kalimat sederhana itu seakan membekukan seluruh ruangan.

Sekar terdiam, Arga menahan napas, sementara Selena dan Daren saling menatap dalam kebisuan yang menyesakkan.

Ada sesuatu di antara tatapan itu—rasa yang belum sempat terucap, tapi cukup kuat untuk membuat dada mereka sama-sama bergetar.

Namun Daren lebih dulu memalingkan wajah. Ia berusaha menghapus tatapan itu, seolah-olah kalimat kecil Arunika tak mengoyak sesuatu di dalam dirinya.

Dengan langkah tergesa, ia menghampiri si kecil dan mengangkatnya kembali ke pelukannya.

“Depa kan udah jadi papa kamu, Sayang,” ucapnya pelan sambil tersenyum lembut, berusaha mengalihkan suasana yang tiba-tiba terasa berat. “Yuk, kita main lagi di belakang sambil petik mangga, ya?”

Tanpa menunggu jawaban, Daren membawa keponakannya keluar menuju halaman belakang.

Ia tahu betul—topik tentang ayah selalu menjadi luka lama yang belum sembuh bagi Selena. Dan Daren tidak ingin menambah canggungnya suasana di ruang tengah itu.

 

Di halaman belakang, angin sore berembus lembut. Daun mangga bergoyang pelan, dan suara burung kecil terdengar dari kejauhan.

Daren menurunkan Arunika dari gendongannya lalu menatap wajah kecil itu yang kini tampak murung.

“Aru lagi kangen Papa, ya?” tanyanya pelan.

Gadis kecil itu hanya mengangguk. Ia melingkarkan tangannya ke leher pakdenya, lalu membenamkan wajahnya di sana.

“Depa... Aru udah nggak bisa ketemu Papa lagi, ya? Papa kok nggak pulang-pulang?” tanyanya lirih, suaranya nyaris pecah.

Daren menelan ludah, lalu menarik napas panjang. Ia duduk di bangku taman, mendudukkan Arunika di pangkuannya.

“Papa kamu sekarang udah di surga, Sayang,” ujarnya lembut. “Bukan cuma Aru yang nggak bisa ketemu Papa... Depa juga udah nggak bisa ketemu Papa Aru lagi.”

Arunika mengangkat wajahnya, menatap pamannya dengan mata besar yang basah.

“Jadi... kalau Aru kangen, Aru harus gimana?”

Daren tersenyum kecil, meski hatinya berdenyut nyeri. “Kalau kangen, Aru doain Papa, ya. Doa Aru bisa sampai ke sana—ke tempat Papa sekarang.”

Anak kecil itu diam sejenak. Lalu jemarinya yang mungil mulai memainkan kancing baju Daren dengan ragu.

Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.

“Depa... mau nggak jadi Papa Aru?”

Waktu seakan berhenti.

Angin yang semula berhembus tenang kini terasa berat di dada Daren. Ia memandangi wajah mungil itu—wajah yang mengingatkannya pada Kavi, adik yang telah tiada, juga pada perempuan di dalam rumah yang diam-diam selalu ia jaga dari jauh.

Daren menahan napas, menatap Arunika dengan mata yang berkaca.

Perlahan, ia tersenyum dan memeluk si kecil erat.

“Depa bakal selalu ada buat Aru,” bisiknya pelan.

“Selalu.”

Arunika tertawa kecil di pelukan pamannya. Tawanya ringan, tapi terasa seperti cahaya kecil yang menembus gelap di dada Daren.

Ia menepuk pipi pamannya dengan jemari mungilnya, lalu berucap polos,

“Aru sayang sama Depa.”

Ucapan itu membuat senyum Daren mengembang tipis.

“Depa juga sayang banget sama Aru,” jawabnya sambil mengusap rambut lembut gadis kecil itu.

Beberapa detik berlalu tanpa kata. Hanya suara daun yang bergesekan di antara angin sore.

Daren menatap pohon mangga di hadapan mereka, buahnya bergelantungan, sebagian masih hijau, sebagian lagi mulai menguning.

Ia mengulurkan tangan dan memetik satu, lalu memberikannya pada Arunika.

“Nih, mangga buat Aru. Tapi jangan makan dulu, ya. Nanti Mama marah kalau belum dicuci.”

Arunika mengangguk patuh, lalu memeluk mangganya seperti harta karun kecil.

 

Dari balik jendela dapur, Selena berdiri diam.

Tangan kanannya masih memegang kain basah, tapi matanya tak beranjak dari pemandangan di luar sana.

Ia melihat Daren yang sedang mengelus kepala putrinya dengan tatapan lembut — tatapan yang dulu hanya dimiliki Kavi.

Ada sesuatu yang menusuk halus di dadanya, semacam rasa syukur bercampur nyeri, antara kehilangan dan pengganti yang tak pernah ia minta.

Sekar yang baru keluar dari ruang makan menghampirinya pelan. “Len...” panggilnya lembut.

Selena menoleh, cepat-cepat menghapus air matanya yang hampir jatuh.

“Iya, Ma?” suaranya serak, berusaha terdengar biasa.

Sekar ikut menatap ke arah halaman belakang. “Daren kelihatannya sayang sekali sama Aru, ya.”

Selena hanya tersenyum tipis. “Iya, Ma. Dari dulu dia memang begitu. Waktu mas Kavi masih ada pun... Kak Daren sering main sama Aru. Katanya, Aru itu salinan kecil dari mas Kavi.”

Sekar mengangguk pelan. “Dan juga dari kamu, Len. Aru punya hatimu. Lembut, tapi kuat.”

Ucapannya membuat Selena menunduk. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Yang ia tahu, setiap kali melihat Daren, ada kenangan yang bangkit — kenangan tentang Kavi, tapi juga tentang seseorang yang tanpa sadar terus menjaga jarak dengannya agar tak salah langkah.

 

Sementara itu, di taman belakang, Daren dan Arunika masih duduk berdua.

Langit mulai berubah jingga. Sisa cahaya matahari menimpa wajah mereka, menciptakan bayangan hangat yang seolah membungkus momen itu dalam diam.

“Depa, kalau Papa di surga, Papa bisa lihat Aru dari sana nggak?” tanya Arunika tiba-tiba.

Pertanyaan itu membuat dada Daren kembali mengencang.

Ia mengangguk pelan. “Bisa, Sayang. Papa pasti lihat Aru setiap hari. Papa bangga banget lihat Aru tumbuh jadi anak baik.”

Arunika tersenyum kecil, lalu bersandar di dada pamannya. “Aru juga mau Papa di surga bahagia.”

Daren menatap langit sore yang perlahan memudar.

“Papa kamu pasti bahagia, Aru,” katanya lirih. “Soalnya Aru dijaga sama Mama yang kuat... dan sama Depa yang nggak akan ninggalin Aru, apa pun yang terjadi.”

 

Beberapa menit kemudian, Selena keluar membawa dua gelas jus mangga dingin.

Langkahnya pelan, tapi degup jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri.

Daren mendongak ketika mendengar suara langkah itu, lalu buru-buru berdiri.

“Len... aku—eh, aku bantuin, ya,” ucapnya gugup sambil menaruh Arunika di bangku.

Selena menggeleng lembut. “Nggak usah, Kak. Aku cuma mau bawain ini. Aru pasti haus.”

Anak kecil itu langsung berlari kecil menghampiri ibunya. “Mamaaa! Aru petik mangga banyak banget sama Depa!”

Selena tersenyum, menunduk mencium kening putrinya. “Wah, hebat banget anak Mama.”

Tatapannya kemudian beralih ke arah Daren — singkat, tapi cukup untuk membuat keduanya sama-sama salah tingkah.

“Terima kasih, Kak... udah nemenin Aru,” ucap Selena pelan.

Daren tersenyum samar, menatap gelas jus di tangannya sebelum membalas, “Aku yang makasih, Len... udah izinin aku deket sama dia lagi.”

Selena terdiam, ada sesuatu yang menegang di tenggorokannya.

Daren menyadari hal itu, lalu buru-buru menatap ke arah lain.

Sore itu, antara mereka hanya tersisa keheningan—panas matahari yang perlahan meredup, aroma mangga matang di udara, dan sesuatu yang tumbuh diam-diam di antara dua hati yang sama-sama terluka.

3. Jalan-Jalan Bersama Depa

Wajah rupawan, tubuh atletis, tinggi semampai, kaya raya, baik hati, dan tidak sombong—siapa yang tak akan menoleh dua kali pada sosok sulung keluarga Vance ini?

Daren Aurelio Vance.

Nama itu selalu disebut dengan kekaguman di setiap lingkaran sosial tempat ia berada. Seorang pengusaha muda sukses yang baru saja kembali dari Paris setelah tiga tahun menetap di sana. Aura percaya diri dan ketenangannya selalu menjadi pusat perhatian, namun di balik tatapan teduhnya, tersimpan sesuatu yang tak banyak orang tahu—sebuah luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.

Ia kehilangan adiknya, Kavi, dalam kecelakaan tiga tahun silam. Sejak itu, Daren tak lagi sama. Di balik senyum hangat dan tutur lembutnya, ada beban yang terus ia pikul: rasa bersalah karena tidak sempat mengucapkan kata terakhir pada adik yang selama ini menjadi sahabat sekaligus saingannya.

Kini, kepulangannya ke tanah air bukan hanya untuk urusan bisnis keluarga, tapi juga… untuk seseorang yang tak pernah lepas dari pikirannya.

Seseorang yang diam-diam selalu ia jaga dari jauh.

Seseorang yang dulu adalah milik adiknya—Selena.

Dan tanpa ia sadari, langkah kakinya kali ini akan membawa kembali kenangan, luka, sekaligus kemungkinan baru yang selama ini ia hindari.

Karena cinta—bahkan yang paling tulus sekalipun—kadang datang di waktu yang salah.

Tapi siapa bilang waktu yang salah tak bisa menuntun pada takdir yang benar?

---

Hari ini, Daren Aurelio Vance bersiap menepati janjinya.

Janji kecil yang terucap di tengah tawa polos seorang anak perempuan—Arunika.

Sejujurnya, ia sendiri tak mengerti mengapa janji sesederhana itu membuatnya gelisah sejak semalam. Padahal, sebagai pria dewasa yang terbiasa menghadapi rapat bisnis dan negosiasi besar, seharusnya ia tak perlu merasa gugup hanya karena akan mengajak anak kecil jalan-jalan.

Namun entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Ada perasaan gugup yang susah untuk di jelasnya dan dirinya juga tak mengerti. Perasaan yang sudah lama tak pernah ia rasakan.

Mungkin karena anak itu adalah Arunika Kaviandra Vance—keponakan yang wajahnya begitu mirip dengan Kavi, adiknya yang telah tiada.

---

Pagi itu, matahari menembus lembut tirai kamar Selena. Ia tengah memakaikan pita di rambut Arunika yang berdiri di depan cermin dengan senyum lebar.

“Mama, cantik nggak?” tanya Arunika sambil berputar, memamerkan gaun kuning muda yang baru ia kenakan.

Selena tersenyum hangat. “Cantik banget. Tapi jangan lupa jaketnya, ya. Nanti kalau jalan sama Depa, kamu bisa masuk angin.”

Anak itu mengangguk cepat, matanya berbinar. “Depa katanya mau ajak Aru ke taman dan makan es krim!”

Selena hanya tersenyum kecil, meski di dalam hatinya ada rasa aneh yang tak bisa ia jelaskan.

Daren—kakak dari almarhum suaminya—memang sering berkunjung sejak kepulangannya dari Paris dua minggu lalu. Pria itu selalu membawa tawa untuk Arunika, dan entah bagaimana, juga membawa kembali kenangan yang telah lama ia kubur.

Ketika bel rumah berbunyi, Arunika langsung berlari ke arah pintu.

“Depaaa!” serunya riang.

Daren berdiri di depan pintu, mengenakan kemeja putih dan celana jeans hitam, sederhana tapi tetap memancarkan pesona yang tak bisa disembunyikan.

Ia tersenyum begitu melihat gadis kecil itu berlari ke arahnya.

“Wah, Aru kelihatan makin cantik aja. Depa harus hati-hati, nanti banyak yang naksir,” ujarnya sambil mengacak rambut Arunika.

“Depa lucu deh!” balas Aru terkekeh. “Ayo, ayo, kita jalan!”

Selena muncul tak lama kemudian, berdiri di ambang pintu dengan senyum sopan.

“Pagi, Kak.”

“Pagi, Len.”

Daren menatapnya sejenak—mungkin sedikit terlalu lama. Ada sesuatu di sorot mata itu, sesuatu yang membuat dada Selena tiba-tiba terasa sesak.

Ia masih sama seperti dulu—tatapan teduh, senyum menenangkan, dan aura tenang yang entah kenapa selalu membuatnya merasa aman.

Namun kali ini, ada jarak di antara mereka yang sulit dijelaskan.

“Aru sudah siap, Kak. Tolong dijaga ya, jangan terlalu lama di luar,” ucap Selena lembut sambil merapikan jaket putrinya.

“Siap, Mama Aru,” jawab Daren ringan. “Kalau kamu nggak sibuk, ikut aja. Lumayan, udara pagi bagus.”

Selena sempat terdiam, ragu.

“Tapi aku masih harus beresin beberapa kerjaan rumah…”

Daren tersenyum kecil. “Ya sudah. Tapi nanti sore, boleh kan aku mampir lagi? Aru pasti bakal minta cerita hasil jalan-jalan kita.”

Selena hanya mengangguk pelan. “Boleh, Kak.”

Arunika melambaikan tangan ceria. “Bye, Mama! Aru pergi dulu sama Depa!”

Selena tersenyum, menatap kepergian keduanya dari balik jendela.

Namun begitu mobil Daren melaju menjauh, senyum itu perlahan memudar—berganti dengan tatapan kosong yang sarat kenangan.

Karena setiap kali melihat Daren, ia seakan kembali melihat Kavi.

Dan itu adalah luka yang belum sanggup benar-benar ia hadapi.

---

Sementara di dalam mobil, Arunika duduk di kursi belakang sambil menyanyikan lagu anak-anak. Daren menatapnya lewat kaca spion, bibirnya membentuk senyum samar.

“Depa,” panggil Aru tiba-tiba.

“Kenapa, Sayang?” tanya Daren, menoleh sedikit melalui kaca spion.

“Aku boleh makan es krim banyak-banyak kan?” Arunika bertanya dengan mata berbinar, penuh harap.

Daren tertawa ringan, menepuk bahu kecilnya. “Hmmm… boleh, tapi dengan syarat. Kamu harus habis main di taman dulu, ya. Kalau nggak, Depa nggak mau tanggung kalau perutmu sakit.”

Aru mengerutkan kening, pura-pura cemberut. “Huh, Depa pelit!”

“Pelit? Nggak, Sayang. Depa cuma peduli sama kamu. Nanti kalau perutmu sakit, siapa yang jagain Depa?” balas Daren sambil tersenyum hangat.

Arunika akhirnya tertawa, puas dengan alasan itu, dan menepuk-nepuk tangannya sendiri. “Oke deh! Tapi nanti Depa janji ya, es krimnya banyak banget!”

Daren mengangguk, mata menatap putri kecil itu dengan hangat. “Janji, Sayang. Banyak banget. Tapi ingat, kamu harus habiskan waktumu di taman dulu. Banyak main, ya!”

Mobil terus melaju, meninggalkan rumah Selena di belakang. Di luar, matahari pagi menembus pepohonan, menciptakan bayangan panjang di jalanan. Arunika menatap ke luar jendela, matanya bersinar penuh antusiasme, sementara Daren menatapnya diam-diam.

Ada rasa hangat yang perlahan mengalir di dada Daren—rasa yang tak hanya karena melihat keceriaan Arunika, tapi juga karena menyadari betapa pentingnya peran yang kini ia pegang. Sosok kecil itu, meski begitu polos dan lugu, membawa kembali kenangan akan Kavi, sekaligus memberi Daren kesempatan untuk memperbaiki sedikit luka lama yang selama ini ia pendam.

Dan di saat itu, Daren menyadari satu hal: perjalanan pagi ini bukan sekadar untuk membawa Arunika senang… tapi juga untuk membawa sesuatu kembali ke hidupnya sendiri, sesuatu yang selama ini ia hindari—keberanian untuk membuka hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!