Dalam sebuah acara peluncuran novel, suasana masih sepi karena memang acara tersebut belum dimulai.
Tampak beberapa orang tengah sibuk menata tumpukan novel di atas meja yang bentuknya agak memanjang.
Ada juga beberapa orang sedang memasang banner yang berukuran cukup besar, yang mana banner tersebut dijadikan background panggung.
Banner tersebut berisi beberapa penggalan kalimat dan beberapa foto lukisan kemungkinan adalah menggambarkan isi dari novel yang akan diluncurkan.
Panggung yang tidak terlalu besar dan terlihat sederhana, terdapat dua kursi diatasnya.
Seorang pria dengan setelan tuxedo berwarna coklat, sedang duduk di kursi diatas panggung sambil membaca novel.
Tangan kanan nya memakai sarung tangan, sedang tangan kirinya terlihat lebih aktif membuka halaman demi halaman novel.
Sesekali tangan kirinya menyibakan rambut panjang sedagu dan menyelipkan diatas telinga, karena menghalangi pandangan mata kirinya
Sedangkan rambut di sisi kanan, seperti sengaja dibiarkan tergerai untuk menutupi bekas luka memanjang dari pelipis mata sampai ke atas telinga. yang masih jelas terlihat walau sudah tertutupi oleh rambut.
“Apa semua sudah siap mas?” tanya Eris kearah mas Edi yang terlihat sedang merapikan tumpukan novel di atas meja
“Sudah seharusnya, uda aku sisain juga beberapa novel di sanggar seperti yang kau minta” jawab mas Edi
“Terima kasih mas, rencananya itu akan aku kirim ke beberapa teman” ucap Eris sambil menutup novel yang sedang dia baca
Tangan kanan Eris mencoba untuk menggenggam novel, tapi seberapapun Eris mencobanya hanya mampu membuat jari-jarinya sedikit bergerak, seolah jari-jari tangan kanan nya menolak perintah dari otaknya.
Hal ini membuat pikiran Eris kembali membayangkan kejadian tragis yang menimpanya sepuluh tahun yang lalu, dan kisah inilah yang menjadi latar belakang novel yang akan dirilisnya tersebut.
...****************...
Sepuluh tahun yang lalu
Eris berasal dari sebuah desa pelosok di kaki gunung slamet. Tepatnya di sebuah desa kecil di daerah kabupaten Brebes
Sebuah desa yang masih asri, pepohonan tumbuh dengan rindangnya di kanan kiri jalan yang masih berbatu dan belum teraspal. Udara yang sejuk menenangkan.
Eris tinggal seorang diri di sebuah rumah sederhana, karena kedua orang tuanya pergi merantau. Ditemani neneknya yang tinggal di rumah berbeda tapi masih dalam deret bangunan yang sama.
Sabtu pagi, matahari sudah beranjak meninggi, sinarnya menerobos masuk melalui lubang diatas jendela kamar. Memaksa Eris menarik selimut untuk menutupi matanya, kembali bersembunyi meringkuk dibalik selimut. Tak lama berselang suara langkah kaki mendekat kearah pintu, terdengar ketukan,
“tok-tok-tok, Eris bangun sudah siang” teriak nenek dari dari balik pintu.
“Iya nek” sembari membuka pintu, Eris melangkahkan kakinya menuju tempat duduk diruang tamu.
“Itu sarapan sudah nenek siapkan, kamu buruan makan!” ucap nenek sambil berlalu ke ruang belakang
“Iya, nek” sambil menahan kantuk Eris mengucek-ucek matanya, mulut terbuka lebar terdengar suara huammmm…
Berjalan ke ruang belakang, Eris ke kamar mandi mencuci muka, kemudian melangkah ke meja makan, membuka tudung nasi dan mulai melahap sarapanya.
“Hari ini kamu libur kerja kan, nanti kerumah paman Tasmun ya, anterin barang titipan bapakmu” tanya nenek sambil terus menyapu ruang belakang kearah ruang depan.
“Dimana barangnya, nek?” tanya Eris sembari merapikan tudung nasi dan beranjak ke tempat cuci piring.
Dengan cekatan Eris mulai mencuci piring kotor yang barusan digunakan. Hal seperti ini sudah biasa Eris lakukan, mengingat dia hanya tinggal sendirian dirumah.
“Itu barangnya di kardus samping lemari” jawab nenek
Paman Tasmun adalah rekan kerja orang tua Eris di perantauan, karena masih ada urusan paman Tasmun berangkatnya belakangan.
Pekerjaan orang tua Eris adalah pembuat jamu tradisional dari bahan tanaman obat yang didapat dari para petani di desa, tumbuh liar di hutan, jika ada kekurangan baru beli di toko. Jamu-jamu tersebut dikemas dalam botol kemasan atau diminum langsung.
Setelah merapikan diri, mandi dan berganti pakaian. Eris sudah berada di depan pintu sambil memanggul kardus.
“Saya berangkat ke rumah paman ya nek,” kemudian melangkahkan kaki berjalan keluar rumah.
“Hati-hati dijalan, salam buat pamanmu” seru nenek
“Iya nek” jawab eris
Sepanjang perjalanan Eris hanya diam dan fokus di setiap langkahnya, sesekali tangannya bergantian kanan dan kiri memegangi kardus yang dipanggulnya.
Suasana kampung memang selalu sepi, karena kebanyakan penghuninya berada di ladang atau sawah di siang hari.
Letak rumah paman Tasmun agak jauh, berada di gundukan bukit sebelah. Jadi harus berjalan menuruni bukit, melewati rel kereta api, menyeberangi sungai kemudian melewati beberapa petak sawah.
Saat melintasi rel kereta, Eris agak berhati-hati menengok kanan kiri untuk memastikan tidak ada kereta.
Masyarakat sekitar sudah memahami betul jadwal kereta api lewat, tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan malam hari. Karena di daerah pelosok, jadi penumpangnya tidak banyak, membuat jadwal kereta disesuaikan.
Walaupun sedikit bahaya tetapi tidak bisa dipungkiri jalur rel kereta ini sangat indah saat dipandang mata, besi sejajar sampai jauh di ujung meruncing menciptakan satu titik yang tidak dapat dijangkau oleh mata.
Kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon yang begitu kokoh dan tampak sejajar, menciptakan pemandangan yang sungguh indah dipandang, bak lorong yang lurus tak berujung. Rel kereta api ini juga persis melintasi area diantara dua bukit yang seolah mengapitnya
“Andai aku punya kekasih, suatu saat nanti aku pasti akan membawanya ke tempat ini” ucap Eris dalam hati
Keluar dari jalur kereta, menyusuri jalan setapak kemudian melewati jembatan kecil dari bambu.
Terlihat beberapa orang sedang sibuk di sawah, ada yang mencari rumput untuk pakan ternak, ada juga yang sedang sibuk bertani.
Tampak di kejauhan rumah paman Tasmun sudah terlihat, Eris mempercepat langkahnya sembari mengatur nafas yang sudah sedikit ngos-ngosan dan berhenti tepat di teras rumah paman Tasmun, menurunkan kardus dari pundaknya perlahan, kemudian duduk bersandar tiang teras rumah.
Waktu menunjukan hampir jam sebelas siang, terik sinar matahari seolah membakar kulit. Sembari mengibas-ngibas kerah bajunya Eris beranjak dari duduknya, berjalan perlahan mendekati pintu kemudian mengetuknya.
“Tok-tok-tok, permisi” ketukan pertama belum ada respon dari pemilik rumah. Eris mengulanginya untuk kedua kali
“tok-tok-tok, permisi paman Tasmun, ini Eris mau antar barang” seru eris sambil sedikit melongok melalui kaca jendela.
“Iya” suara seseorang menyaut dari arah dalam rumah, tidak lama kemudian “cetek” suara kunci pintu dibuka, dan keluarlah seorang gadis cantik, kira-kira seumuran dengan Eris.
“Eh mas Eris, maaf ya mas lama buka pintunya tadi dibelakang bantu ibu beres-beres dapur” seru Alfiah.
“Iya al, ndak apa-apa” jawab Eris.
Alfiah adalah anak pertama paman Tasmun, orangnya cantik kulitnya putih mulus, rambutnya lurus hitam lebat, badanya sedikit bongsor cenderung ke gemuk tapi masih dalam batas wajar.
“Taruh di dekat meja saja mas kardusnya” seru Alfiah, membuyarkan lamunan Eris yang sedari tadi terlihat mematung.
“Eh iya” jawab Eris dengan tergagap. Kemudian berjalan ke arah tempat yang ditunjuk Alfiah.
Selesai menaruh kardus Eris kemudian berjalan mendekati kursi tamu lalu mulai duduk disana.
“Paman kemana” tanya Eris sambil menyandarkan punggungnya ke bahu kursi.
“Ayah sedang keluar, mungkin sebentar lagi pulang” jawab Alfiah sambil tersenyum “aku buatkan minum dulu ya mas, mau minum apa?” Tanya Alfiah.
“Apa aja deh, yang penting gak ngerepotin” jawab Eris
Tidak berapa lama, Alfiah keluar dengan nampan berisi gelas agak tinggi, terlihat air berwarna hijau ada es batu di dalamnya, bulir-bulir air mulai merembes dari gelas seolah siap melepas dahaga tenggorokan siapa saja yang meminumnya.
“Silahkan diminum mas, adanya ini sirup marjan” Alfiah berkata sambil tersenyum, lebih ke arah menahan tawa sebenarnya.
“Apa sebenarnya yang salah dengan diriku, apa aku salah pakai baju atau apa?” Bisik Eris dalam hati
“Kenapa kamu sepertinya ingin tertawa al, apakah ada yang salah denganku?” tanya Eris sedikit penasaran
“Nggak ada mas, cuman ya itu mas Eris matanya gak lepas melototin minuman yang aku bawa ini, sampai-sampe menelan ludah gitu” jawab Alfiah sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan
“Hahaha” Eris spontan tertawa
“Maaf-maaf, cuacanya panas banget soalnya” jawab Eris
Alfiah yang memang sudah menebak apa yang sedang Eris rasakan dan bersikap biasa aja.
“Silahkan diminum mas” Alfiah berkata sambil menyodorkan gelas minuman
“Iya terima kasih” dengan secepat kilat Eris meraih gelas, kemudian meminumnya teguk dan teguk lagi
“glek-glek-glek, ahhhh… mantab” menyisakan sedikit didalam gelas dan hampir habis.
“Haus ya mas?” goda Alfiah sambil tersenyum
“Hehe, iya” Eris menjawab sembari kembali bersandar di kursi.
Sayup-sayup terdengar orang sedang mengobrol di ruang belakang, sehingga Eris memberanikan diri bertanya
“Di belakang Bibi ngobrol sama siapa?”
“Oh itu tetangga, rumahnya depan itu” jawab Alfiah sambil menunjuk ke rumah didepan yang berhadapan
“Dia dari kecil ikut orang tuanya di kota, dan sekarang akan menetap disini” ucap Alfiah
“Hemmm” jawab Eris. Belum sempat melanjutkan kata-kata
Dari ruang belakang keluar Bibi diikuti seorang gadis, seumuran dengan Alfiah
“Berdua seru amat ngobrolnya, Bibi gak diajak ngobrolnya?” Tanya Bibi sambil tersenyum
“Ah nggak juga bi, lagi ngobrolin anu.. eh..” jawab Eris sambil terbata-bata
“Pasti ngobrolin, cewek ini ya” tanya Bibi menggoda
“Iya tuh ma, mas Eris penasaran mamah ngobrol ama siapa dibelakang” ucap Alfiah sembari perlahan menarik tangan cewek yang barusan keluar dari ruang belakang untuk duduk disampingnya.
“Kenalin ini Fatia” kata Alfiah sambil menyodorkan tangan Fatia ke arah Eris.
Reflex tangan Eris maju kedepan dan menyambut uluran tangan fatia yang masih dipegang Alfiah
“Eh aku Eris, salam kenal” sambil berjabat tangan, sedikit gemetar tertahan
“Iya, salam kenal juga ya” jawab Fatia dengan suara lembut
Buat semua orang diruangan itu, mungkin suara itu biasa saja. Tapi buat Eris itu adalah suara yang paling merdu yang pernah dia dengar, bak nyanyian seribu syair yang menyentuh ke dalam lubuk hati paling dalam.
Membuatnya merasa damai, seolah berdiri di hamparan padang rumput yang luas dengan angin bertiup menghempas wajahnya.
“ehhmmm” ucap Alfiah saat sudah cukup lama Eris dan Fatia masih bersalaman
Dengan gugup Eris melepaskan genggaman tangan, jantungnya berdetak kencang, menendang-nendang di dada kirinya seolah-olah ingin menerobos sela-sela tulang rusuknya.
Dengan susah payah Eris mencoba mengatur irama nafasnya, meleraikan pertikaian detak di dada.
Dengan sungging di bibir yang terlihat dipaksakan kemudian merapikan posisi duduk sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ayu, eh anu.. “ terbata-bata Eris tidak mampu melanjutkan kata-katanya seolah mulutnya tersumpal sesuatu,
Hanya satu hal yang terpikir oleh Eris yaitu meraih gelas dan meneguk semua sisa minuman yang ada didalamnya.
“Glek-glek”
“Kenapa cantik? Cantikan mana sama aku” tanya Alfiah
“Cantikan kamu lah al, dikit. yang banyaknya buat Fatia” jawab Eris
“Hahaha” jawaban Eris membuat semua orang yang ada di ruangan itu tertawa
Dimata Eris, Fatia memanglah sangat cantik rambutnya lurus sebahu di ujungnya ikal alami, kulit sawo matang, tubuhnya ramping padat, wajahnya tirus dagu runcing ditambah gigi gingsul di bagian kiri semakin menambah pesonanya.
“Kenapa, suka?” tanya Bibi sambil menggoda
“Enggak berani lah Bi” jawab Eris dengan sedikit keraguan
“Emang kenapa kalau suka, coba tanya saja langsung sama orangnya boleh gak kalau suka” seru Bibi sambil menoleh ke arah Fatia.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Bibi, Fatia hanya tersenyum
“Alamak, senyumnya… mau pingsan ini jadinya” dalam hati Eris berteriak sekeras-kerasnya, saking kerasnya tidak ada seorangpun yang mendengar..
“Kalian ngobrol dulu, Bibi mau nyamperin pamanmu katanya keluar sebentar tapi kok lama” kata bibi sambil melangkah keluar rumah
“Iya bi” jawab Eris sambil mengarahkan pandangan mengikuti arah Bibi berlalu
Suasana hening sejenak tapi tidak berlangsung lama. Alfiah beranjak dari duduknya kemudian meraih gelas minum Eris yang sudah kosong.
“Aku buatin minum lagi ya, sama buatin minum buat Fatia juga” Alfiah berkata sambil berlalu ke ruang belakang
“Ndak usah al, aku ambil sendiri kalau pengen nanti” sahut Fatia.
“Udah nggak apa, kamu duduk aja disitu” jawab Alfiah
Eris dan Fatia hanya saling pandang, sama-sama tidak tahu harus memulai obrolan dari mana.
Sesekali saling senyum, dan lagi dan lagi yang dilakukan Eris hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tapi justru karena hal itu akhirnya kata-kata yang bisa memulai obrolan itu terjadi.
“Dari tadi garuk-garuk kepala terus, kenapa kepalanya gatal?” tanya Fatia
“Ah enggak kok” jawab Eris lagi-lagi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal
“Itu rambutnya udah gondrong, kok gak dicukur” tanya Fatia
“Iya sih, uda mau cukur dari kemarin-kemarin, tapi belum sempat” jawab Eris
“Pasti kalau dicukur nanti tambah ganteng” sahut Fatia sambil tersenyum mulutnya ditutup pakai telapak tangan
“Ah bisa aja, ngomong-ngomong masih kuliah atau sudah kerja?” tanya Eris
“Aku kerja di PT. KAI” jawab Fatia sambil merapikan posisi duduknya, sepertinya dia juga sudah agak rileks
“Seriusan?” ucap Eris sedikit terkejut
“Iya, aku dibagian staff akuntansi. Awalnya penempatan dikota, tapi dipindah ke sini” jawab Fatia sambil menundukkan wajah.
Melihat ekspresi Fatia, Eris sedikit penasaran atas apa yang terjadi denganya.
"Kenapa dia bisa dipindahkan ke desa terpencil ini?" ucap Eris dalam hati
Berniat menyelidiki terlebih dahulu, sebelum dia memberitahu bahwa dia juga bekerja di PT.KAI. Tapi niatan itu ia urungkan saat melihat wajah Fatia masih terlihat murung, dengan wajah masih tertunduk
“Emm.. kamu gak apa-apa kan?” tanya Eris bersimpati
“Iya, aku gak apa-apa kok” jawab Fatia
“Apakah pembahasan ini, membuatmu tidak enak hati?” Eris mencoba bertanya penuh ragu dalam hati.
“Beneran gak apa-apa, maaf pasti sikapku pasti membuatmu merasa tidak enak” jawab Fatia
“Kamu pasti penasaran kenapa aku bisa dipindahkan kesini” tanya Fatia
“Emmm, iya sih tapi kalau itu membuatmu menjadi seperti ini. Baiknya kita lanjutkan lain kali saja, masih banyak waktu yang kita miliki” jawab Eris memberi semangat
Fatia terdiam kemudian menganggukan kepala.
“Minuman datang!!” seru Alfiah
“Terima kasih, Al” jawab Eris dan Fatia hampir bersamaan
“Wahhh… kalian sudah kompak ya, sudah sehati. Hehehe” ucap Alfiah sambil tersenyum
"Apaan sih" ucap Fatia sambil menepuk lengan Alfiah
Eris hanya tersenyum melihat tingkah kedua cewek di hadapannya ini
“Ayo, diminum pasti sudah haus lagi” Alfiah berkata sembari bergantian memandangi Eris dan Fatia
“Iya” sekali lagi Eris dan Fatia menjawab hampir bersamaan
“Hahahaha” membuat mereka bertiga tertawa
Karena keasikan ngobrol tertawa dan bercanda tanpa mereka sadari paman dan Bibi sudah berdiri didepan pintu.
“Ngobrolin apa kalian kok kelihatannya seru banget” ucap paman Tasmun yang baru saja datang
“Ini paman, kami ngobrol gak jelas barat ke timur yang ada malah bikin ketawa” jawab Eris masih sambil menahan sisa-sisa tawa
“Oalah, paman tadi ada urusan, pesen bahan jamu titipan bapakmu, katanya hari ini siap tapi nyatanya barang belum ada jadi nungguin dulu” ucap paman
“Oiya paman, itu barang sudah saya taruh situ” ucap Eris sambil menunjuk ke arah kardus yang dia letakan di dekat meja
“Iya, itu yang kemarin harusnya dibawa bapakmu. Tapi karena kebanyakan bawaan jadi paman yang disuruh bawa” jawab paman Tasmun sambil menoleh ke arah kardus di dekat meja
“Oh gitu ya paman" jawab Eris
"Sepertinya sudah siang paman, saya pamit dulu" ucap Eris
“Buru-buru amat baru juga ngobrol” sahut paman Tasmun
"Takut kelamaan paman, nanti nenek nyariin" jawab Eris
"Ya sudah kalau begitu, salam buat nenek Tonah ya" ucap paman Tasmun
“Baik paman, nanti saya sampaikan” jawab Eris sambil menyalami paman, Bibi, Alfiah dan tak lupa juga Fatia
Setelah berpamitan Eris langsung melangkahkan kaki keluar pintu.
Baru beberapa langkah dihalaman suara terdengar sayup-sayup dari dalam rumah
“Cie Fatia, baru sehari disini sudah menemukan pujaan hati” samar terdengar Alfiah menggoda Fatia
“Apaan sih” jawab Fatia
“Gak apa kok, nanti kita bisa jadi sepupu ipar” Alfiah lagi menggoda Fatia
“Apaan sih, enggak gitu kok” jawab Fatia
Sambil tersenyum-senyum sendiri Eris berusaha tidak memperdulikan itu dan tetap melanjutkan perjalanan pulang kerumah.
Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya Eris tersenyum-senyum sendiri, sehingga tidak menyadari berapa kali berpapasan dengan orang dan berapa kali tidak menghiraukan saat disapa.
Kali ini sepertinya Eris dalam masalah besar, mulai detik ini hingga waktu kedepanya Fatia akan selalu terngiang-ngiang dalam pikiran pemuda ini.
Fatia telah masuk kedalam relung ruh terdalam sanubarinya. Fatia… oh.. Fatia…
Jika pernah ada fatwa pujangga yang mengatakan cinta terindah itu adalah pada pandangan pertama, itu adalah nyata, tidak perlu kata, tidak perlu dirangkai dalam bahasa. Itu ada dan dirasa olehnya yang merasakannya.
Sesampainya dirumah Eris menyandarkan tubuhnya di sofa ruang tamu, matanya nanar menatap langit-langit rumah.
Pikiranya tak bisa lepas dari apa yang baru saja dialaminya di rumah paman Tasmun.
Sambil mencerna apa sebenarnya yang sedang terjadi dengan hati dan perasaanya.
Satu hal yang belum pernah dialami, satu hal yang belum pernah dirasakan.
"Apa yang berbeda dari Fatia?"
"Kenapa dia terasa sangat istimewa?"
Semakin banyak pertanyaan dalam hatinya menggantung tanpa ada jawaban karena dia sendiri tidak tahu penyebabnya.
Semakin larut Eris dalam lamunannya, dikagetkan oleh suara nenek yang datang membawa makan siang.
“Ini makan siangnya, buruan dimakan ya” ucap nenek sambil meletakan sepiring nasi lengkap dengan lauk di atas meja.
“Kenapa dianterin nek, nanti saja saya ambil sendiri” jawab Eris
“Ndak apa, nenek sekalian mau ambil panci buat masak air, yang dirumah nenek bocor jadi ndak bisa dipakai” jawab nenek sambil melangkah ke ruang belakang
“Iya nek” jawa Eris
Kemudian beranjak dari duduknya menyusul nenek ke ruang belakang untuk mencuci tangan.
Kemudian kembali ke ruang depan dan menyantap makan siangnya dengan lahap.
Seusai makan Eris kembali duduk termenung, lagi-lagi bayangan wajah Fatia berlari melambai-lambai seolah mengajaknya untuk menyambut uluran tanganya.
Senyum di bibirnya begitu manis, helaian rambut yang berkibar saat dia mengibaskan kepala kekanan dan kekiri dengan tatap mata yang sayu mengarah kepadanya.
Membuat Eris tersenyum-senyum sendiri dalam buaian imajinasinya.
“Ngelamun apa?” tanya nenek
Eris yang tampak kaget mendapat pertanyaan itu tanpa sengaja menumpahkan air di gelas yang sedang dipegangnya
“Ndak ngelamun kok nek, karena kekenyangan aja” jawab Eris
Nenek tidak berkata apa-apa hanya menggeleng-gelengkan kepala, sambil melangkah pergi.
“Aku tidak boleh seperti ini, aku harus bisa melupakan bayangan Fatia, kalau terus seperti ini bisa-bisa aku jadi gila” gerutu Eris dalam hati.
Dia teringat untuk pergi potong rambut, segera Eris bersiap kemudian berangkat ke barbershop terdekat.
Sesampainya di lokasi Eris mendapati barbershop dalam kondisi sepi, hanya terlihat pak Tarno sedang duduk sambil mengibaskan kipasnya.
“Pak, potong rambut” Eris berkata dan langsung duduk di kursi potong yang sudah tersedia
“Iya nak, silahkan” jawab pak Tarno sambil memasangkan kain pelindung untuk menutupi dada sampai kaki yang dikaitkan di leher Eris.
“Mau potong model apa nih?” Tanya pak Tarno
“Samping kanan kiri tipis, atasnya dibikin keren pak” jawab Eris
“Ashiaapp, saya mulai ya nak! Yukk dibantu prok prok prok jadi apa” ucap pak Tarno
Dengan terampilnya pak Tarno menggerakan mata gunting keatas - kebawah, kekiri dan kekanan dipadu sisir ditangan kirinya crash-crash-crash.. suara mata gunting menebas helai-demi helai rambut Eris.
Setelah hampir satu jam, kini rambut Eris sudah rapi. Dibagian samping kanan dan kirinya tipis hingga kulit kepalanya terlihat. Sedangkan di bagian atasnya disisir ke atas.
“Udah mirip artis korea ini mah” ucap pak Tarno
“Hahaha, udah selesai ya pak” sahut Eris
Udah nak, upahnya seribu rupiah ya!” Kata pak Tarno sembari merapikan kursi dan menyapu rambut yang berserakan di lantai.
“Ini pak, terima kasih” ucap Eris sambil menyodorkan selembar uang seribuan.
“Iya nak, sama-sama. Ngomong-ngomong ini gak ada kembalian gimana ini?” ucap pak Tarno
“Lah pak biaya potong rambutnya berapa emangnya?” Tanya Eris gelisah
“seribu” jawab pak Tarno
“Uang saya seribu” ucap Eris menyelidik
“Iya, jadinya gak ada kembalian ini” jawab pak Tarno sambil menahan tawa.
Eris yang masih agak bingung, tapi mulai memahami arah pembicaraan menjawab sambil berjalan keluar
“Iya pak, bener-bener.. saya pamit ya pak”
Berjalan santai sambil bersiul menyahut kicauan burung di atas pepohonan, Eris melihat dari kejauhan bayangan seseorang yang sepertinya dia kenal.
“Mas Edi” teriak Eris
“Hoi!! Dari mana kamu” jawab mas Edi
Mendengar jawaban itu Eris bergegas mendekat, mempercepat langkah lebih ke berlari-lari kecil.
“Dari potong rambut, mas Edi mau kemana?” tanya Eris saat mereka berdua sudah saling berhadapan.
“Wahh… spakbor baru neh,.. “ ucap mas Edi meledek
“Mau ke pemandian, nyuci baju sedikit sekalian mandi” imbuhnya
“hehehe,... Ikut ya mas, aku juga mau mandi. Habis potong rambut gatel badan banyak serpihan rambut” ucap Eris
Mas Edi adalah anak ketiga dari pakde (kakak dari bapaknya Eris), artinya mereka adalah sepupu.
Berjalan di jalanan utama desa yang masih berbatu sedikit turunan mengikuti bentuk bukit, kemudian menyeberang rel kereta api, lurus ke lembah.
Jalan yang sama yang dilalui saat berkunjung ke rumah paman Tasmun, bedanya rumah paman Tasmun belok kiri dulu trus jalan diatas rel kereta sekitar lima ratus meter kemudian keluar rel ke arah lembah.
Sedang pemandian dari rel langsung turun ke lembah..
Memasuki lembah hamparan sawah memanjang mengikuti area lembah, terdapat anak sungai yang mengalir dari arah selatan ke utara.
Di Sepanjang pinggiran sungai inilah terdapat beberapa pemandian umum yang biasa digunakan oleh warga sekitar. Biasanya dibawah pohon besar yang terdapat sumber mata air.
Kali ini Eris mengikuti mas Edi berjalan ke salah satu pemandian tersebut. Bentuk pemandian nya sudah dibuat sekat-sekat untuk memisahkan bilik laki-laki dan bilik perempuan. Untuk biliknya sendiri kira-kira setinggi satu setengah meter
Sesampainya di pemandian, kondisi sudah lumayan ramai ada beberapa orang yang sedang mandi di bilik laki-laki dan di bilik perempuan beberapa ibu-ibu sedang mencuci pakaian.
Mas Edi langsung masuk ke bilik dan mencuci pakaian kotor yang dibawanya. Begitupun juga Eris langsung membuka kaos yang dikenakan, waktu mau membuka celana panjang dia teringat tidak membawa pakaian ganti.
“Waduh, aku gak bawa pakaian ganti. Pinjam celana pendek kotor ada mas buat mandi” ucap Eris
“Ada tuh, pilih saja!” Jawab mas Edi
Dipemandian untuk yang laki-laki biasanya menggunakan celana pendek, atau celana dalam bahkan ada yang tidak pakai pakaian sama sekali.
Untuk yang perempuan menggunakan kain kemben, dari kain batik atau sarung yang dililitkan ke atas dada.
Pemandangan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa.
Selesai mandi Eris kembali mengenakan pakaiannya, kemudian berjalan pulang diikuti mas Edi di belakangnya.
Sesampainya di rel kereta kondisi sudah ramai, banyak muda-mudi yang duduk bergerombol bahkan ada yang berpasang-pasangan.
Hal ini sudah menjadi kebiasaan di daerah ini setiap sore, untuk sekedar berkumpul dengan teman atau menikmati suasana senja di rel kereta.
Eris memutuskan untuk berhenti sejenak, ikut duduk bersama teman sebaya yang sedang duduk bergerombol.
Ada yang habis mandi dipemandian ada juga yang baru mau berangkat, bahkan ada yang sudah rapi, dandan maksimal dan sengaja nampang sore di rel kereta.
“Hoi, cewek banyak tuh, udah lama jomblo gak bosen apa?” Tanya Johan sembari menunjuk ke arah kejauhan ada beberapa cewek sedang duduk bergerombol.
“Gak ada yang mau Jo sama aku, uda miskin jelek pulak” jawab Eris
“Hahahaha” semua yang ada disitu tertawa
“Lah,.. kamu gak ada yang mau, gimana dengan nasibku” ucap Koimang sambil tertawa
Memang kalau dilihat-lihat Koimang ini anaknya item, dekil, rambutnya gondrong.
“Hahahaha” suasana tambah rame
Eris mengarahkan pandanganya ke arah kerumunan cewek yang ada di kejauhan.
"Sepertinya dua diantaranya aku kenal, Alfiah dan Fatia” gumamnya dalam hati.
"Mas Eris" teriak Alfiah sambil melambaikan tangan
Suara Alfiah cukup keras, sehingga semua yang ada disekitar Eris bisa mendengarnya.
Dan secara spontan serempak bersorak histeris,
“Hore…”
“Akhirnya, teman kita yang satu ini tidak akan jomblo lagi” ucap Johan
Eris hanya bengong, saat satu persatu teman mulai meledeknya.
Sedang dari kejauhan Alfiah dan Fatia sepertinya terlihat malu, keduanya menunduk dan menutupi wajah dengan kedua tangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!