NovelToon NovelToon

Mendadak Nikah : Jodohku Ternyata Seberang Rumah

Keinginan Terakhir

Suara monitor detak jantung terus berbunyi pelan. Lampu putih di langit-langit memancarkan cahaya redup, membingkai sosok tua yang terbaring lemah di atas ranjang dengan napas terengah-engah. Nenek Annisa.

Di sampingnya, Annisa menggenggam tangan sang nenek erat, seolah ingin mentransfer kekuatannya agar wanita itu tetap bertahan. Namun, kulit yang dulu hangat kini semakin dingin. Tubuh ringkih itu terbaring tanpa daya, kelopak matanya tertutup, hanya nafas tipis yang menjadi bukti bahwa ia masih di sini, di dunia ini.

Di sudut ruangan, Ayah dan Ibu Annisa berbicara dengan suara pelan. Mereka tengah membahas tentang nenek yang sempat mati suri.

"Dokter bilang ini keajaiban tetapi seolah-seolah ibu menunggu sesuatu," ucap Bu Hanifah-ibu Annisa-

Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Hanya suara alat medis yang berdering pelan, menyuarakan detakan kehidupan yang tersisa.

Lalu, tiba-tiba, tangan nenek Annisa bergerak sedikit. Jari-jarinya yang lemah mencengkeram tangan Annisa dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Perlahan, kelopak matanya terbuka, menatap cucunya dengan pandangan buram.

“Nek?” Annisa langsung mendekat, suaranya bergetar.

Sang nenek tidak berbicara, tetapi sorot matanya berbicara banyak. Ada harapan, ada permohonan, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan.

Ibu Annisa buru-buru mendekat. Menatap pilu ibu mertuanya lalu berbisik lirih, “Apakah, Ibu masih menginginkan itu, Bu?”

Neneknya berkedip pelan, satu-satunya isyarat bahwa ia masih sadar. Tatapannya bergeser ke arah Annisa, lalu jemarinya berusaha menguatkan genggamannya.

Annisa tidak mengerti. Tetapi kedua orang tuanya langsung bertukar pandang, seolah memahami pesan yang tersirat dalam tatapan wanita tua itu.

Ayah Annisa-Pak Suprab- menarik napas berat. "Nisa ...." Panggilnya.

Annisa menoleh dengan bingung.

"Ini tentang permintaan terakhir Nenek..."

Jantung Annisa mencelos.

"Beliau ingin melihatmu menikah sebelum pergi." Dengan sangat hati-hati Bu Hanifah mengatakan permintaan terakhir sang nenek.

Ruangan seketika terasa mencekik. Napas Annisa tertahan, otaknya berusaha mencerna kata-kata itu. Pernikahan? Sekarang?

Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata yang keluar. Di ranjangnya, nenek Annisa tetap menatapnya dengan penuh harap.

Sementara kedua orang tua Annisa bingung harus bagaimana mewujudkan keinginan ibu mereka. Bu Hanifah dan Pak Suprap keluar ruangan untuk berdiskusi.

"Carilah laki-laki yang dewasa dan tanggung jawab untuk putri kita." Bu Hanifah menatap suaminya.

"Ayah tidak tahu siapa yang cocok untuk putri kita," jawab Pak Suprap tampak kebingungan.

Bu Hanifah berpikir sejenak. "Sagala. Bagaimana dengan Sagala." Bu Hanifah menyebutkan satu nama dan itu membuat sang suami langsung menatapnya. Bu Hanifah segera melanjutkan, "kudengar, dia baru kembali dari Ibu Kota kemarin."

"Sagala?" Pak Suprap mengerutkan keningnya. Dia merasa kurang yakin. "Apakah tidak terlalu tua untuk Nisa?" Tanyanya.

Sagala laki-laki berumur tiga puluh lima tahun yang tak kunjung menikah. Sampai-sampai dia dijuluki perjaka tua di kampungnya.

"Laki-laki dewasa kan lebih matang, Yah. Dia bisa membimbing Nisa dan menyayanginya. Kita juga sudah kenal keluarga mereka dengan baik. Sejauh ini, Sagala juga laki-laki yang baik tapi tidak beruntung soal perjodohan atau mungkin memang sebenernya dia adalah jodoh untuk Nisa." Bu Hanifah menjelaskan.

Pak Suprap diam tidak bisa memberikan jawaban apa-apa. Mungkin ucapan istrinya benar. Lagi pula, selain Sagala siapa yang akan mereka pilih untuk Annisa dalam waktu yang mendesak ini.

"Sudah. Sana cepat-cepat. Cepat datang ke rumah Pak Karta" ucap Bu Hanifah. Pak Karta adalah bapak Sagala.

"Bagaimana Ayah harus menjelaskannya."

Bu Hanifah menghembuskan nafas cepat. "Ayo sama Ibu." Bu Hanifah menarik lengan suaminya. Mereka segera berjalan menuju parkiran.

"Apa kita tidak berunding dulu sama Nisa. Bagaimana kalau dia menolak?" Pak Suprap sangat bimbang dengan situasi dan keadaan ini.

"Nisa sangat menyayanginya neneknya. Dia tidak mungkin menolak." Bu Hanifah sudah tidak bisa berpikir yang lain lagi selain segera menuruti keinginan terakhir ibu mertuanya. Hati siapa yang tidak teriris melihat keadaan nenek.

***

Di sana, Sagala tengah duduk di teras. Dia sedang membalas chat pada seseorang.

"Abang, aku sedih." Pesan itu masuk di ponsel Sagala. Pesan dari seorang gadis bernama Annisa. Putri tetangga depan rumah.

"Sedih kenapa? Tadi pagi masih lompat-lompat depan Abang." Balas Sagala.

"Nenek aku kritis, Bang." Balasan dengan banyak emot menangis khas remaja.

"Semoga nenekmu segera melewati masa kritis dan sembuh. Kamu banyak-banyak doa ya," Sagala mencoba menenangkannya.

"Bagaimana kalau nenek mati, Bang. Aku sedih banget."

"Nggak usah berpikir yang bukan-bukan. Nenek pasti sembuh."

Setelah pesan itu terkirim, terlihat mobil parkir di halaman rumah Sagala.

Bu Hanifah berjalan tergesa setelah keluar dari mobil lalu diikuti suaminya.

Sagala segera berdiri. Bukankah nenek tengah kritis lalu kenapa Bu Hanifah dan Pak Suprap malah datang ke rumah, batin Sagala.

"Ibu dan bapak ada Gal?" tanya Pak Suprap menanyakan keberadaan orang tua Sagala.

"Ibu dan bapak lagi kondangan di desa sebelah, Pak," jawab Sagala sopan.

"Baiklah kita bicara dulu sama kamu."

"Mari silahkan duduk." Sagala mempersilahkan kedua orang itu untuk masuk ke dalam rumah.

"Sepertinya sesuatu yang serius," ucap Sagala. Dia meletakkan dua gelas minuman dan sepiring buah untuk tamunya.

"Gal, maaf kalau ibu lancang. Boleh ibu tanya sesuatu?" Bu Hanifah tidak membuang-buang waktu.

"Ya, Bu. Silahkan."

"Kamu udah punya pacar apa belum?" Bu Hanifah bertanya hati-hati.

Sagala terdiam karena terkejut oleh pertanyaan ini. Pertanyaan yang seringkali ia dengar dari orang lain juga.

"Belum." Sagala menjawab rendah.

Bu Hanifah tersenyum lega. Saling menatap dengan Pak Suprap sebelum akhirnya Bu Hanifah berkata, "Nah, Gal. Bagaimana dengan Nisa?"

Kening Sagala berkerut otomatis. "Maksudnya?"

"Bagaimana kalau kamu menikah dengan Nisa?"

Sagala lebih terkejut lagi mendengar jawaban Bu Hanifah. Otaknya berdenyut. Menikah dengan Nisa? Gadis kecil yang baru lulus SMA itu? Mana mungkin. Dia bisa sakit kepala setiap hari jika harus momong bocah.

"Maaf Pak, Bu, saya tidak paham maksud Bapak dan Ibu." Sagala menatap mereka.

"Jadi ...." Bu Hanifah menceritakan semuanya. Tentang permintaan terakhir sang nenek. Dan tentang kondisi nenek yang sempat mati suri. Mereka sudah melakukan berbagai cara untuk kesembuhan nenek tapi tidak berhasil. Nenek terlihat sangat kesakitan tetapi seolah enggan untuk pergi.

Permintaan terakhir nenek adalah ingin melihat Annisa menikah dengan orang yang tepat. Untuk waktu yang mendesak dan keadaan yang seperti ini, selain Sagala mereka tidak tahu lagi.

Meskipun Sagala perjaka tua tapi sepertinya cocok dengan Annisa. Sagala sudah sangat akrab dengan Annisa.

"Tolong Ibu ya, Gal. Nisa meskipun kecil tapi dia punya pikiran dewasa kok. Dia pintar masak dan beberes rumah. Nisa juga cantik." Bu Hanifah tak lupa mempromosikan putrinya dengan baik.

Sagala pusing dengan ini. Dia tidak bisa memberikan jawaban. Dia benar-benar pusing.

"Ibu tunggu jawaban kamu segera ya, Gal." Bu Hanifah dan suaminya pamit dan langsung kembali ke rumah sakit.

🌱🌱🌱

Bocil Manja

Selepas kepergian tamunya, Sagala duduk di teras rumahnya. Membuka chat yang belum terbuka.

"Abang, aku pengen cerita ke Abang boleh nggak?" Chat dari Annisa. Gadis yang baru saja jadi pembahasan.

"Bang kok chat aku nggak di buka."

"Abang lagi sibuk ya. Aku ganggu?"

"Nggak boleh curhat sama Abang ya. Ya udah. Aku nggak cerita."

"Abang ...."

Sagala menggaruk tengkuknya bingung. Gadis kecil ini seperti adiknya sendiri. Bocil satu ini memang sering mengganggu Sagala dan Sagala tidak pernah keberatan dengan itu. Annisa adalah adik kecil bagi Sagala. Jika tiba-tiba Annisa jadi istrinya rasanya aneh sekali.

"Mau cerita apa?" Akhirnya Sagala membalasnya. Dia membuka pesan temannya setelah mengirimkan balasan itu. Dia dan teman-temannya janjian bertemu nanti malam.

Pesan Nisa masuk.

"Tapi janji Abang jangan ketawa ya."

"Ya."

"Masa aku disuruh nikah, Bang. Kan aku masih kecil ya. Kan aku ge baru lulus SMA. Ijazah juga belum keluar. Mana aku nggak ada pacar. Umm ada sih tapi kan dia masih kecil juga. Aku bingung dan sedih. Aku harus gimana ya, Bang."

Pesan ini panjang. Sagala bisa membayangkan betapa cerewetnya gadis kecil itu jika mengatakannya secara langsung. Pasti nyerocos tiada henti.

"Tolak aja. Kamu masih kecil. Harusnya kuliah dulu, seneng-seneng dulu sama temen-temen. Nanti kalau udah nikah nggak bisa bareng temen-temen lagi lho." Balasan Sagala memprovokasi untuk menolak pernikahan itu.

Sungguh dia tidak sanggup menerima lamaran dadakan ini. Heh, lamaran?

"Iya, Bang. Aku juga mikirnya gitu. Tapi ini adalah keinginan nenek aku yang lagi di icu, Bang." Balasan pesan ini disertai emot menagis yang sangat panjang.

Sagala menggaruk kepalanya lagi. Kepalnya mumet tiba-tiba.

"Nenek pasti sembuh. Pasti sebentar lagi sehat lagi." Balas Sagala.

"Aamiin."

🌱🌱🌱

Sagala, di usianya yang tiga puluh lima tahun, masih terlihat muda dan penuh pesona. Wajahnya tegas dengan garis rahang yang kuat, hidung tegap, dan sorot matanya tajam tapi lembut. Dia bekerja di ibu kota sebagai pegawai administrasi di sebuah perusahaan manufaktur.

Pukul lima sore, Annisa kembali ke rumah untuk mengambil pakaian ganti ibu dan ayahnya. Gadis itu turun dari boncengan ojek online.

Sagala yang berada di teras menatapnya dan merasa frustasi seketika. Gadis kecil ini? Gadis kecil yang sudah seperti adiknya sendiri. Gadis kecil yang dulu suka hujan-hujanan di depan rumahnya hanya memakai celana dalam gambar Frozen.

Rumah mereka memang saling berhadapan.

"Bagaimana keadaan nenek, Nis?" tanya Bu Yuni-Ibu Sagala- yang baru saja datang dengan suaminya.

Anisa menangis mendapatkan pertanyaan ini. Dan Bu Yuni tidak berani bertanya lagi. Tangis Anisa sudah menjawab pertanyaannya.

Bu Yuni hanya memeluknya. Sementara suaminya pamit pergi lagi untuk menghadiri undangan lain di desa sebelah.

"Sudah cup, anak cantik. Nenek pasti sembuh." Bu Yuni mencoba menenangkannya. "Kamu pulang mau ambil baju ganti ya?"

Anisa menyeka air matanya dan mengangguk. Sejenak ia melirik Sagala yang duduk di teras. Kemudian kembali menatap Bu Yuni.

"Bude siapin makan ya, nanti bawa ke rumah sakit," ucap Bu Yuni.

"Nggak perlu repot-repot, Bude. Nanti Nisa beli saja buat makan di sana," tolak Nisa sopan.

"Nggak repot, Sayang." Bu Yani menoleh menatap putranya. "Gal, tolong anter Nisa beresin baju-bajunya."

'Aku?' pekik Sagala dalam hati. Sagala menggaruk kepalanya frustasi. Meskipun begitu, dia mau menemani. Meskipun frustasi tapi dia punya empati. Dia kasihan dengan keadaan keluarga ini karena salah satu keluarga ini ada di rumah sakit.

"Ayo Abang anter," ucap Sagala.

Anisa mengangguk dan ia segera membuka gerbang rumahnya.

Sagala diam membuntuti Anisa masuk ke dalam rumah.

"Abang tunggu di ruang tamu ya," ucap Sagala setelah ia menyalakan lampu utama.

"Nggak mau. Aku takut, anter Nisa ke dalem." Anisa sungguh menghentikan langkahnya dan menoleh menatap Sagala. "Abang, anter aku kedalem. Aku takut ada hantu."

"Mana ada hantu siang bolong."

"Ini udah sore, Bang. Surup tuh kata ibu banyak hantu."

"Tapi ini di rumah kamu sendiri Nisa."

"Hantu kan nggak tau tempat, Bang. Di mana-mana selalu ada. Ntar kalau tiba-tiba nongol di belakang pintu gimana. Kan serem."

Sagala menggelengkan kepalanya.

"Iya, iya. Ayo Abang anter."

Nah kan kalau bocil tuh gini, masuk ke dalam rumah sendiri aja takut. Hantu, hantu. Mana ada hantu.

Nisa masuk ke kamar ibunya untuk mengambil baju milik ibu dan ayahnya. Dia melangkah dengan pelan seperti maling. Meraba-raba tangannya untuk menyalakan lampu.

"Abang!" dia berteriak untuk memastikan Sagala masih di depan pintu.

"Ya."

"Abang jangan tinggalin aku lho."

"Iya, ya. Buruan."

Klik. Lampu berhasil dinyalakan.

"Bang." Annisa memastikan lagi.

"Iya."

Annisa melangkah menuju lemari ibunya. Tiba-tiba otaknya berpikir sesuatu. Gimana kalau tiba-tiba ada kepala setan di dalam lemari ini?

"Abang!" Dia berteriak memastikan.

"Iya."

Pelan, Nisa mengulurkan tangannya untuk membuka pintu. Bertepatan dengan itu, cicak jatuh dari atas. Pluk.

"Abaaaaaang!!!!" Dia semakin berteriak keras.

"Iya, Nisa iyaaaa. Astaga nih bocil."

Sagala membuka pintu kamar dan masuk kedalam.

"Dah diam, buruan cari bajunya. Abang tunggu di sini."

Annisa menoleh menatap Sagala dan tersenyum. "Makasih, Abang."

Sagala bersandar di tembok dengan kedua tangan yang di lipat di dada. Dia memperhatikan Annisa dengan diam.

Menikah dengan gadis kecil ini? Bermimpi saja dia tidak berani. Sepertinya merepotkan sekali.

Annisa sesekali menoleh ke arah Sagala dan kemudian sibuk mencari baju lagi. Begitu terus entah berapa kali.

"Sudah," ucapnya setelah ia mendapatkan baju ganti ayah dan ibunya.

Mereka keluar kamar. Kini Annisa minta diantar ke dapur. Dia ingin minum air dingin. Ke dapur pun takut? Sagala menggelengkan kepalanya lagi.

"Kamu takut hantu tapi apa nggak takut sama Abang?" tanya Sagala.

"Kenapa harus takut Abang. Abang kan ganteng."

Hah?!! Tiba-tiba Sagala tersenyum lebar. Dia menepuk keningnya pelan.

"Abang tolong tungguin di sini ya. Aku mau ke kamar mandi," pinta Nisa.

"Ya. Buruan."

Annisa melangkah cepat dan menghilang di balik kamar mandi.

"Abang ...." Dia mulai memanggil lagi.

"Iya."

"Bang...."

"Iya, Abang masih nunggu di sini."

"Abang."

"Iya, Nisa."

"Abang."

"Apa Abang harus masuk ke kamar mandi juga?"

"Ish Abang, ya nggak lah."

"Ya udah jangan panggil-panggil terus."

"Abang jangan pergi lho."

"Iya, ya, Nisa iyaaa."

Tekanan darah mendadak naik tinggi kalau begini terus.

🌱🌱🌱

Mereka Beda Usia

Annisa, gadis delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA dua minggu lalu, adalah sosok yang penuh energi. Wajahnya cantik dengan mata besar yang selalu berbinar, bibir mungil yang tak henti berceloteh, serta pipi yang sedikit tembam, membuatnya terlihat semakin manja.

Rambutnya panjang sebahu, sering diikat asal-asalan saat sedang di rumah. Dibandingkan dengan Sagala yang tenang dan serius, Annisa seperti angin ribut, selalu berisik, selalu ingin tahu, dan tak pernah bisa diam terlalu lama.

Perbedaan usia mereka yang terpaut tujuh belas tahun terasa begitu jelas. Sagala, dengan kedewasaan dan pemikirannya yang matang, sementara Annisa yang kekanakan.

Bagi Sagala, gadis itu masih seperti bocah kecil yang dulu sering ia gendong dan ajak bermain. Namun bagi Annisa, Sagala adalah segalanya, pelindungnya, sandarannya, dan mungkin… seseorang yang selama ini diam-diam ia cintai.

Setelah lengkap semua, Anisa pamit pada Bu Yuni.

"Kamu ngojek lagi, Nis?" tanya Bu Yuni. Dia menyerahkan rantang dan dua bungkus buah-buahan.

"Iya, Bude. Ayah sama ibu nungguin Nenek." Nisa menjawab sopan.

"Dianter sama Abang aja ya, gimana?" Bu Yuni menawarkan karena tidak tega.

Mendengar itu, Sagala segera menoleh menatap ibunya. Matanya sedikit melebar seolah berkata, KOK AKU?

"Aku ada janji sama temen Bu," ucap Sagala segera menyahut. Dia belum berani bertemu dengan Pak Suprap dan Bu Hanifah. Apalagi kesana bareng Annisa.

"Ketemu temen bisa besok pagi. Kasian Nisa. Dah anter sono, Bang," jawab Bu Yuni.

Pada akhirnya Sagala mengantar Nisa ke rumah sakit dengan mobilnya.

"Abang, maaf Nisa ngerepotin, Abang." Nisa berkata pelan. Dia menatap ke depan memperhatikan jalan. Dia duduk di bangku depan bersebelahan dengan Sagala.

"Nggak apa-apa," jawab Sagala santai.

Nisa diam. Menggigit bibirnya. Dia tahu Sagala keberatan mengantarnya.

"Bang, turun di depan sana aja. Di sana banyak kang ojeg pengkolan. Aku bisa ke rumah sakit naik ojek."

Sagala menoleh menatapnya sebentar.

"Abang anter aja," jawab Sagala.

"Nggak usah, Bang. Terima kasih. Aku bisa ke rumah sakit sendiri kok. Abang bisa ketemu temen-temen Abang." Annisa minta di turunkan saja. "Aku nggak bakal bilang ke Bude kalau Abang nggak anter aku, sumpah," lanjutnya.

"Abang mana tega biarin kamu ngojeg dan ke rumah sakit sendirian."

"Umm." Anisa terdiam. Bibirnya menahan senyum mendengar itu. Dia menoleh ke samping.

__

Sesampainya di rumah sakit.

Bu Hanifah dan Pak Suprap tersenyum melihat kedatangan Nisa dan Sagala. Jika keputusan mereka jatuh pada Sagala, itu sudah tepat kan. Sagala laki-laki dewasa, pasti bisa menjaga dan menyayangi Nisa dengan baik. Mereka juga sudah mengenal baik keluarga Sagala.

"Gal, maaf ya ngerepotin kamu," ucap Bu Hanifah.

"Nggak apa-apa, Bu," jawab Sagala. "Bagaimana keadaan nenek?" tanya Sagala kemudian.

"Masih di icu," jawab Bu Hanifah. "Kemarin sempat sadar dan mengatakan permintaannya itu, Gal. Ibu tunggu jawaban kamu ya."

Sagala membawa pandangannya pada Annisa. Menikah dengan gadis kecil itu? Bolehkah ia menolaknya. Dia benar-benar nggak sanggup momong bocah.

🌱🌱

Annisa kembali pulang dengan Sagala. Awalnya Annisa ingin menginap saja di rumah sakit tapi ayah dan ibunya tidak mengizinkan. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman. Lebih baik Nisa pulang saja.

"Mau makan apa? Kita nyari makan dulu." Sagala menawari.

"Aku nggak laper." Annisa menoleh ke samping memperhatikan jalan.

"Tapi Abang laper. Kita mampir ke alun-alun bentaran ya."

"Iya."

Mereka duduk di tempat lesehan menunggu ayam bakar dan es campur datang. Sesekali Sagala melirik Annisa. Sesekali ganti Annisa yang melirik Sagala. Dan berakhir saling berpaling saat tak sengaja pandangan mereka bertemu.

"Nisa ...." teman-teman SMA Nisa datang. Ada tiga cewek. Mereka teman sekampung dan satu sekolahan.

"Eh ada Om Sagala. Hallo, Om." Sapa salah satu teman Annisa begitu melihat Sagala. Dia bernama Rohmah.

"Hai, Om." Satu lagi menyapa. Bernama Nurul.

"Om baru balik dari Jakarta, ya?" Dan satu lagi bernama Alika.

Sagala menarik paksa kedua sudut bibirnya agar tersenyum. Satu saja bikin pusing nih bocil, sekarang tambah tiga cewek bocil. Hadeh.

"Om, kok bareng Nisa?" Alika bertanya menyelidik. Si paling kepo.

"Iya. Kok di alun-alun berdua?" Tambah Nurul. Si paling detektif. Dia langsung mendeteksi ada kisah asmara keduanya.

"Kalian ...." Imbuh Rohmah si paling kompor.

"Dari rumah sakit," sahut Annisa segera. Dia segera melanjutkan, "Abang habis nganter aku ke rumah sakit."

Tiga temennya langsung mengangguk dan merasa bersalah seketika. Mereka tahu jika nenek kesayangan Annisa tengah di rawat di rumah sakit.

"Bagaimana keadaan nenek kamu, Nis?" tanya Alika.

"Nenek masih kritis." Nisa menjawab sedih.

"Semoga Nenekmu cepet sembuh ya, Nis," ucap Nurul tulus.

"Amiin." Semua mengamini.

Pesanan mereka datang. Sagala memesan lagi untuk teman-teman Nisa.

"Waah terima kasih, Om."

Mereka bertiga memilih duduk dekat Sagala. Sagala meskipun berumur tiga puluh lima tahun tetapi memiliki wajah yang terlihat muda dari usianya. Gaya busana khas orang ibu kota menambah kesan luar biasa pada dirinya. Tentu jika dilihat, dia sedikit berbeda dengan pemuda-pemuda di kampung halamannya.

"Om, Ibu Kota pasti bagus ya. Aku penasaran sama monas." Rohmah bertanya seraya menyeruput es cendol.

"Aku penasaran sama air mancur bundaran HI." Nurul menambahkan.

"Kalau aku penasaran sama artis-artis. Apa Om pernah ketemu artis?" Imbuh Alika.

Mumpung ketemu Om Sagala, mereka ingin dekat-dekat dan tanya banyak hal tentang Ibu Kota.

"Nanti kalau kalian udah dewasa dan punya uang banyak, mainlah ke Jakarta. Saat kalian dewasa nanti mungkin Ibu Kota kita sudah pindah."

Mereka mengangguk.

"Jadi aku mau ke Jakarta dan IKN."

"Iya aku juga."

"Om pernah ke IKN?"

"Belum."

"Ayok, Om bareng adek."

"Eeeeaaaak."

"Hahahaaaaa." Dan mereka tertawa kecuali Nisa. Dia menekuk wajahnya merasa tidak suka dengan kehadiran teman-temannya. Apalagi dekat-dekat Abang. Trus Abang juga ramah banget sama mereka.

Dih Abang genit. Annisa kesal.

🌱🌱🌱

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!