“Bagaimana?” tanya seorang pria tua berbisik kepada salah satu anak buahnya, nada suaranya tenang namun mengandung wibawa yang membuat siapa pun di ruangan itu menunduk.
“Semua sudah siap, Tuan,” jawab anak buahnya sambil membuka koper hitam berisi berkas kerja sama dan dokumen perjanjian.
Pria tua itu mengangguk pelan, kemudian menatap ke arah seorang pemuda yang duduk berhadapan dengannya di ruangan eksklusif di lantai atas Club de Oro, salah satu klub paling mewah di jantung Kota Meksiko.
Pemuda itu mengenakan jas silver yang kontras dengan aura tenangnya. Rahangnya tegas tanpa sehelai pun bulu, hidungnya mancung sempurna, dan manik matanya berwarna biru cerah—dingin, tapi memikat.
Dialah—Nicholas Navarro, pria yang sudah memiliki istri bernama Isabella, walaupun dari hasil perjodohan bisnisnya yang diatur Julian, mereka belum dikaruniai anak. Dia berusia dua puluh tujuh tahun yang dikenal cerdas, ambisius, dan nyaris mustahil untuk ditebak.
“Silakan diperiksa, Tuan Nicholas,” ucap pria tua itu, memperlihatkan berkas kepada sang tamu muda.
Nicholas menerima dokumen itu dengan tatapan tajam. Jemarinya yang panjang bergerak perlahan membuka setiap halaman, memeriksa rincian kerja sama antara perusahaannya dengan perusahaan Samon & Co, milik sahabat lama ayah angkatnya.
“Semua tertulis jelas. Tidak ada yang perlu diubah,” katanya datar, tapi berwibawa.
Pria yang dipanggil Tuan Samon tersenyum puas. “Kerja sama ini akan membawa banyak keuntungan bagi kedua pihak. Aku senang bisa bermitra dengan Navarro Group.”
Nicholas mengangguk ringan, lalu berdiri untuk menjabat tangan Samon. “Senang bekerja sama dengan Anda, Tuan Samon. Saya berharap proyek ini menjadi awal hubungan jangka panjang yang baik.”
“Begitu juga saya,” balas Samon dengan nada penuh hormat.
Setelah urusan selesai, Nicholas menatap tajam ke depan dan berjalan keluar dari ruangan pribadi itu. Langkahnya tenang, tapi setiap gerakannya memancarkan kharisma seorang pemimpin muda yang tahu betul nilai kepercayaan.
Begitu keluar dari klub, udara malam Meksiko yang hangat menyambutnya. Lampu-lampu kota memantul di kaca mobil hitam yang sudah menunggunya di depan. Ia membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara, memberi isyarat pada sopir untuk segera melaju.
Di balik ketenangannya, Nicholas memutar pikirannya. Ia bukan hanya seorang pengusaha sukses. Sejak diadopsi oleh Julian Navarro, salah satu tokoh berpengaruh di dunia bisnis Meksiko, Nicholas sudah masuk ke dalam daftar untuk menjadi lebih dari sekadar pewaris.
Setelah Wilton Navarro berusia 47 tahun—anak kandung Julian sendiri satu-satunya yang memang sudah sah menjadi pewaris unggul dan akan menurunkannya pada Gabriel putranya.
Julian tidak pernah mempercayakan proyek penting pada siapa pun, kecuali Nicholas. Bahkan anaknya sendiri—Wilton dan para asisten pribadinya pun tidak diizinkan menangani klien sebesar Samon & Co.
Bagi Julian, hanya Nicholas yang cukup cerdas, tenang, dan berani untuk memegang tanggung jawab sebesar itu.
Meski di hadapan publik Nicholas dikenal dingin dan selektif dalam bekerja sama, tak ada yang tahu sisi lain dari dirinya—bahwa Nicholas juga pemilik dari salah satu universitas ternama di Meksiko, tempat dia menanamkan cita-cita agar generasi muda bisa tumbuh dengan cara yang lebih jujur dari dunia yang membesarkannya.
Semua orang juga hanya tahu Nicholas Navarro adalah anak muda beruntung yang diadopsi oleh Julian Navarro—konglomerat terpandang di Meksiko. Mereka menganggap hidup Nicholas sempurna, tampan, cerdas, kaya, dan selalu menjadi kebanggaan keluarga Navarro. Namun, tidak ada satu pun yang tahu bahwa di balik citra itu, tersimpan bara persaingan yang mengakar sejak lama.
Sejak awal, Julian memang lebih mempercayai Nicholas dibandingkan anaknya sendiri—Wilton. Keputusan itu memunculkan iri hati, terutama di antara keluarga besar Navarro yang merasa Nicholas hanyalah anak adopsi tanpa darah keturunan.
Wilton, yang terbiasa hidup dalam bayang-bayang pujian, mulai menyimpan dendam dan menggunakan segala cara untuk menyingkirkan Nicholas dari lingkar kepercayaan Julian, agar putra sulungnya Gabriel bisa meneruskan sebagai pewaris Navarro bukan Nicholas.
Walaupun sebenarnya, Nicholas tidak pernah memperebutkan harta atau kekuasaan. Dia hanya ingin membalas kebaikan Julian yang telah membesarkannya. Namun, ketika kebusukan Wilton perlahan terbongkar—Nicholas tidak lagi bisa diam.
*
*
Pikiran Nicholas tidak mengarah pulang ke rumah di mana Isabella, istrinya, menanti. Sebaliknya, tujuan tunggalnya adalah lantai 27, tempat perlindungan sementara yang dibiayai penuh oleh kehendak sang ayah angkat.
Dia membutuhkan jeda, istirahat singkat yang hanya bisa ia temukan di sini, jauh dari mata Isabella, dan dia membawa serta bukti keberhasilannya, sebuah koper hitam penuh uang tunai. Namun, ketenangan yang ia cari buyar seketika.
Begitu pintu apartemen terbuka, aroma maskulin yang asing menyambutnya, dan di ruang tengah, duduk santai di sofa kulit mahal, adalah Deo. Asisten pribadi ayahnya itu sudah menunggu, seolah apartemen itu miliknya sendiri.
Keterkejutan Nicholas segera berubah menjadi rasa jengkel yang sudah familier. Tentu saja Deo bisa masuk. Apartemen ini, dengan segala perabot dan tagihannya, adalah di bawah kuasa Deo—pengurus segala keperluan pribadi Nicholas atas nama Julian.
Meskipun Nicholas sudah berulang kali mengganti kata sandi digital apartemen untuk menjaga sedikit sisa privasinya, bagi Deo, tembok digital itu tidak lebih dari angin lalu.
“Apakah aku memang tidak boleh memiliki privasi?” Nicholas menggeram. Tanpa peringatan, koper hitam itu meluncur dari tangannya, menghantam karpet mahal tepat di depan kaki Deo beserta dokumen kerja sama.
Deo tertawa kecil, suara kering yang menusuk kesunyian. Dia membungkuk, membuka koper itu tanpa tergesa, dan matanya memindai tumpukan uang tunai yang mengilat. Uang asli, jumlah yang disepakati. Kepuasan terlihat jelas di wajahnya. Sambil menutup koper, Deo mengeluarkan sebuah ponsel dan menyodorkannya pada Nicholas, putra angkat dari bosnya.
“Kau hanya memiliki privasi sendiri di rumahmu bersama istrimu, bukan di apartemen ini,” ujar Deo, melangkah mendekat, auranya yang dominan terasa menekan. “Kenapa kau pulang ke apartemen, bukan ke rumah? Istrimu sedang menunggumu pulang.”
Nicholas hanya menerima telepon seluler itu, tanpa menjawab pertanyaan yang jelas-jelas ditujukan untuk memancingnya. Ponsel itu langsung dia tempelkan ke telinga, mengetahui bahwa sang ayah pasti menelepon melalui perantara ini.
“Kau sudah bekerja keras hari ini, sebagai ucapan terima kasih Papa. Papa punya hadiah untukmu malam ini, semoga kau suka dengan hadiah pemberian Papa,” suara Julian terdengar hangat namun penuh kekuasaan di ujung sana. “Ingat jangan menolak! Karena Papa tidak suka penolakan!”
“Terserah, Papa! Sekarang Nicholas capek ingin mandi, apakah asistenmu juga berguna untuk memandikanku?” Nicholas menyindir, tatapannya dingin dan sinis tertuju pada Deo. Rasa muak atas invasi tak berizin ini sudah mencapai puncaknya.
Suara tawa Julian berderai, mengisi keheningan apartemen. Pria tua itu tahu betul bahwa putranya tidak senang dengan kehadiran Deo yang tanpa permisi. “Baiklah, jika dia mau, maka gajinya akan berlipat-lipat.”
Nicholas tidak mengacuhkan tawaran sinis sang ayah. Dia langsung melempar ponsel itu kembali ke arah Deo dan, dengan gestur yang jelas, menyuruhnya untuk segera angkat kaki dari apartemen.
“Hai, ayolah jangan marah,” canda Deo, mengambil ponsel itu dengan mudah. “Dengan senang hati jika kau memerlukan bantuanku untuk membantumu menggosok punggungmu!” Deo tertawa, berhasil memancing kekesalan Nicholas satu tingkat lebih tinggi. Dia berbalik, menikmati momen itu, lantas melangkah keluar.
Saat Deo melintasi ambang pintu, dia sengaja tidak menutupnya. Pintu luar apartemen Nicholas dibiarkan sedikit menganga, sebuah celah kecil namun signifikan.
Deo melakukannya dengan sengaja, memberikan akses mudah bagi seseorang untuk masuk dan membawa hadiah dari Julian, sebuah kejutan yang sudah diatur untuk putra angkatnya. Nicholas, yang sudah lelah dan jengkel, tidak menyadarinya. Dia hanya ingin membersihkan diri dari hari yang panjang dan penuh intrik. Julian.
To be continued
Kemarahan yang membara setelah pertemuannya dengan Deo, membuat Nicholas ingin menghapus segala jejak kekesalan. Dia bergegas menuju kamar mandi.
Keran shower dia putar, membiarkan semburan air dingin memukul keras tubuhnya yang berotot, membasahi setiap inci kulitnya yang kini polos tanpa sehelai benang pun.
Air mengalir deras, seolah membawa pergi semua kemuakan dan jebakan yang baru saja dia alami.
Di saat yang sama, tanpa sedikit pun disadari oleh Nicholas yang sedang membersihkan diri, pintu apartemen yang sengaja dibiarkan sedikit terbuka oleh Deo kini berfungsi sebagaimana mestinya.
Dua sosok pria muncul, membawa seorang wanita di antara mereka. Langkah mereka cepat dan sunyi saat mereka merebahkan tubuh wanita itu di atas sofa ruang tamu yang mewah.
“Kamu yakin apartemen-nya yang ini?” salah satu pria berbisik, nadanya terdengar ragu.
“Yakinlah! Kan apartemen-nya cuma ada dua di lantai 27 ini, tepat di samping kiri pintu lift, benar kan tadi samping pintu lift ini!” sahut pria yang lain, meyakinkan diri. “Lagipula pintunya tidak terkunci, berarti benar!”
“Oh iya juga ya! Ya sudah, kita langsung cabut saja kalau begitu!” ujar pria itu, menepuk punggung temannya setelah memastikan wanita itu sudah terbaring di sofa.
Keduanya segera pergi, dengan cepat menarik pintu hingga tertutup rapat dan terdengar bunyi klik kunci. Mereka meninggalkan seorang gadis cantik berambut panjang, sedikit bergelombang dan hitam pekat, sendirian.
Wanita muda itu, seorang mahasiswi berusia 20 tahun, terbaring dalam balutan pakaian yang minim. Rok span pendeknya hanya menutupi sebagian kecil pahanya, sementara atasan yang terbuka memperlihatkan bahu dan garis lehernya yang putih mulus. Dia tergeletak lemas dan tak berdaya di atas sofa.
Namun, perlahan sensasi yang asing mulai menjalar. Gadis itu merasakan hawa panas luar biasa menyelimuti dirinya, membakar kulitnya dari dalam.
“Hauus!” rintihan lemah keluar dari bibirnya yang kering. Dia meracau dalam kekalutan, tetapi tidak ada yang mendengarnya. “Gabriel, aku hauuus!”
Rancauan kehausan itu terus terucap, tetapi tidak ada air yang datang. Kepalanya terasa berat dan badannya seolah terbuat dari timah. Dengan sekuat tenaga, dia memaksakan dirinya untuk bangkit, meskipun otot-ototnya menolak untuk digerakkan.
Kedua bola matanya yang berat mencoba memindai sekeliling ruangan yang asing itu. Meskipun penglihatannya kabur, dia berusaha keras mencari sesuatu, apa pun, yang bisa dia minum untuk meredakan api yang membakar di dalam dirinya.
Kebutuhan akan air mendesak, mengalahkan rasa sakit dan kebingungan. Tubuhnya mulai dia gerakkan, langkahnya limbung dan tidak teratur. Dia merangkak, mencari penopang, sambil meracau, “Gabriel!”
Kepalanya terasa memberat, hawa panas semakin menyiksanya, tetapi kedua matanya yang berkunang-kunang akhirnya menangkap siluet lemari es di sudut ruangan. Sebuah senyum tipis terbit di bibirnya yang kering. Dia menarik pintu kulkas itu dan, tanpa memedulikan etika, meraih botol air dan meneguknya seperti orang yang baru terlepas dari gurun pasir.
Air itu tandas seketika. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, wanita itu kembali berjalan, tujuannya adalah sofa, tempat dia ingin merebahkan punggung. Jalannya tidak seimbang, terpaksa dia merambat pada dinding sebagai satu-satunya penyangga.
Sampai tanpa sengaja, tangannya menyentuh sebuah kenop pintu yang ternyata tidak terkunci. Tubuhnya terhuyung, terjerembab ke lantai di dalam ruangan gelap itu, menimbulkan rintihan kecil yang menyakitkan.
“Aauuh, sakit!” keluh wanita itu dengan nada kesal. “Gabriel kamu di mana sih! Bukannya bantuin aku!”
Dia mengira berada di apartemen kekasihnya, Gabriel. Dengan susah payah, dia memaksa dirinya untuk bangkit, tubuhnya terasa begitu berat. Dia menyeret langkahnya menuju tempat tidur, merasakan kelembutan kasur yang empuk.
Akhirnya, tubuhnya terhempas ke atas matras, dan dia memejamkan mata, membiarkan kelelahan dan efek obat menguasainya.
Di saat yang sama, Nicholas baru saja selesai membersihkan diri. Dia berjalan santai keluar dari kamar mandi, sebuah handuk kecil menggosok rambut hitam pekatnya, sementara handuk lain hanya melilit di pinggangnya, memamerkan postur tubuhnya yang tinggi dan kekar.
Namun, langkah santainya terhenti.
Alangkah terkejutnya pria dengan karisma dingin itu saat manik mata biru safirnya menangkap sosok asing: seorang wanita seksi tergeletak di atas tempat tidurnya. Bergegas Nicholas melangkah, semakin mendekat, ingin memastikan siapa yang berani memasuki privasi ruang tidurnya.
“Panas!” wanita itu meracau lagi, tidak jelas, sambil menggeliat gelisah di atas seprai. Dia membuka mata dan kemudian, tanpa memedulikan apapun, dia mulai menarik pakaiannya.
Di depan mata Nicholas, wanita cantik itu membuka bajunya, menyuguhkan pemandangan indah yang masih tertutupi penyangga berwarna hitam, kontras tajam dengan kulitnya yang putih. Nicholas membeku.
“Siapa? Hadiah Papa? Cih! Masa iya Papa kasih hadiah wanita?” Nicholas mengerutkan kening. Bukankah Julian sudah menjebaknya dalam pernikahan dengan Isabella? Mengapa Julian masih repot-repot memberinya hadiah seorang wanita?
Tiba-tiba, telepon Nicholas berdering. Layar menampilkan nama Julian. Nicholas segera mengangkatnya, mendengarkan apa yang dikatakan oleh ayah angkatnya itu.
“Apa kau senang dengan hadiah yang Papa berikan?” Julian bertanya, disusul tawa serak yang penuh makna. “Jangan menolak Nicholas, karena kamu tahu Papa tidak suka dengan penolakan!”
Mendengar ucapan Julian, sebuah senyum tipis dan dingin terukir di wajah Nicholas yang rupawan. Dia melangkah mendekat ke arah wanita yang sedang terbaring kepanasan itu.
“Oke, terima kasih atas hadiahnya Pa, Nicholas senang,” ucap Nicholas. Dia mematikan sambungan telepon dan meletakkan ponsel itu di atas nakas samping tempat tidur.
Nicholas kini berada di sisi wanita yang tidak dia kenal itu. Padahal, dia adalah Serena, mahasiswi junior di kampusnya, sang primadona yang populer karena kecantikan dan keseksiannya.
Seluruh kota memuja karisma Nicholas yang tampan, dingin, dan kaku, dengan kepintaran di atas rata-rata, tetapi dia tidak pernah tertarik pada wanita mana pun, termasuk wanita ini yang baru saja dia liat, yang ternyata merupakan kekasih Gabriel, keponakannya.
Gabriel adalah mahasiswa populer yang tampan, ramah, dan badboy, maskot basket yang sangat bertolak belakang dengan karakter Nicholas yang sinis dan menakutkan sebagai seorang CEO.
Nicholas, si pria kaku dan dingin dengan mata biru safir, kini menatap wanita itu. Senyum sinis tersungging di bibir Nicholas. Dia bergumam, suaranya rendah dan penuh perhitungan, “Siapa kamu?”
Dengan gerakan cepat, dia meraih ponsel dan mengaktifkan kamera, mulai merekam. Jari-jarinya yang panjang menyentuh pipi Serena, merasakan panas yang membakar kulit gadis itu. “Aku tidak menyangka, ternyata wanita yang terlihat cantik dan polos banyak yang sama seperti wanita lainnya.”
Nicholas menduga wanita muda di hadapannya ini hanyalah wanita bayaran, seperti yang kerap dia temui di klub malam. Rekaman ini akan menjadi kartu as, tamengnya kelak.
Serena berjuang membuka matanya.
Sentuhan asing pada kulitnya seolah memicu gejolak aneh, membakar hasrat dalam dirinya yang sedang tersiksa. Pandangannya buram, tetapi dia mengenali sosok di atasnya sebagai kekasihnya.
“Sayang!” panggil Serena. Tanpa peringatan, dia merangkul leher Nicholas, menariknya mendekat. Dengan agresif, dia meraih bibir pria itu. “Bantu aku, panas dan sakit!”
“Julian memberikannya obat? Kenapa?” tanya Nicholas pada dirinya sendiri yang mencoba untuk menebak-nebaknya.
Nicholas juga terkejut oleh serangan mendadak itu. Sebuah sensasi aneh menjalar ke seluruh tubuhnya, sebuah gejolak yang familiar namun kali ini terasa berbeda. Dia segera mendorong tubuh Serena, memutus sentuhan yang membakar itu.
“Please, bantu aku!” Serena memohon, suaranya memelas penuh keputusasaan. “Aku mohon, bantu aku, kali ini saja. Aku akan membalasnya jika kamu menolong aku terbebas dari rasa sakit ini.”
Senyum kemenangan membingkai wajah Nicholas. Momen ini adalah kesempatan emas. “Baiklah, aku akan menolongmu dengan senang hati,” katanya, suaranya berat. “Maka jangan salahkan aku karena kamu yang memintanya lebih dulu!”
To be continued
“Oh, sh***!!” rancau Nicholas.
Tanpa membuang waktu, dia mencumbu Serena dengan intensitas yang menggebu-gebu, bagaikan musafir yang telah lama kehausan dan akhirnya menemukan mata air.
Ya, itu adalah Nicholas, yang kini menguasai tubuh Serena dalam kungkungannya yang panas. Tangan Serena yang tersiksa pun mulai berani berkeliaran, meraba dan kemudian menarik handuk yang melingkar di pinggang sang empu.
“Ah, please! Lakukan secara perlahan, karena ini pertama bagiku!” rintih Serena, matanya sayup dipenuhi permohonan, saat dia menyadari Nicholas sudah bersiap untuk menyatukan mereka.
Sebuah dentuman aneh terasa di dada Nicholas. Dia tidak percaya dengan ucapan wanita yang berada dalam pelukannya. “Benarkah? Aku tidak akan percaya jika belum membuktikannya, Honey!”
Nicholas segera mencari kebenaran dari ucapan itu, dan realitas yang dia temukan sungguh sulit dipercaya. Sebuah keterkejutan yang membungkamnya.
Nicholas membuka mulutnya, sebuah refleks tak terhindarkan, menyadari Serena benar-benar masih suci. “Ah!”
Air mata membasahi pelipis Serena. Dia mengerutkan kening, rasa sakit yang menjalar membuatnya mencengkeram erat punggung Nicholas hingga kulit pria itu melukai dan mengeluarkan darah.
Perjanjian tak terucapkan di antara mereka kini disempurnakan oleh rasa sakit dan kenikmatan yang memabukkan. Setelah momen kejut yang membuktikan kebenaran di bawahnya, Nicholas tertegun sejenak.
“What have you been doing all this time?” tanya Nicholas, suaranya tercekat dan berat, sebuah pertanyaan yang tidak menuntut jawaban logis dari Serena yang sedang dalam kendali obat.
Tidak mendapatkan respons, Nicholas mengusap air mata yang mengalir di pipi gadis itu, kemudian menundukkan kepala dan mencium lembut kening Serena.
Kebenaran yang dia temukan justru semakin memicu sisi liarnya. Nicholas semakin menggila, merasakan pengalaman yang sepenuhnya di luar ekspektasinya selama ini pada wanita yang benar-benar tidak dia duga.
Dia tidak pernah menyangka akan kehilangan kendali sepenuhnya seperti ini. Tidak pernah terjadi, bahkan tidak saat bersama Isabella, istrinya. Dia membiarkan dirinya tenggelam dalam pusaran gairah yang intens dan baru.
Pergulatan panas yang liar itu akhirnya mencapai klim*ksnya. Keduanya terengah, tubuh mereka dipenuhi keringat dan kelelahan, tetapi sensasi yang dirasakan sungguh luar biasa.
Nicholas merengkuh erat tubuh Serena, menariknya ke dalam pelukannya, kemudian kembali mencium kening gadis itu dengan kelembutan yang kontras dengan tindakan mereka sebelumnya.
“From now on, you are mine! Only mine!” ujar Nicholas dalam hati. Sebuah klaim kepemilikan mutlak terpatri dalam benaknya, mengikat Serena pada takdir baru yang baru saja dia ciptakan.
Tidak peduli jika dirinya sudah menikah dengan Isabella, karena selama pernikahannya dengan sang istri yang baru saja seumur jagung, lima bulan tidak ada rasa cinta selain tanggung jawab.
*
*
“Bagaimana, apakah kalian sudah melakukan yang aku perintahkan dengan baik?” tanya seorang wanita melalui sambungan teleponnya, suaranya dipenuhi nada penantian.
“Beres! Sesuai dengan perintah!” jawab seorang pria dari seberang telepon, terdengar yakin akan tugas yang telah dia kerjakan.
“Bagus, nanti aku transfer ke rekening kalian!” Perempuan itu langsung memutuskan sambungan telepon. Ekspresi wajahnya berubah, menampilkan kekejaman tersembunyi. “Cih, Serena… kali ini aku pastikan kamu hancur!”
Sorot mata wanita itu begitu tajam, dihiasi ukiran senyum sinis. Dia meyakinkan diri bahwa kali ini rencananya untuk menghancurkan maskot mahasiswi kampus terpopuler tidak akan gagal. Pembalasan dendam yang selama ini terpendam akhirnya akan berjalan mulus, setelah mengetahui bahwa orang yang dia benci sudah masuk ke dalam perangkapnya. Dia hanya tinggal menunggu kabar esok hari, melihat bagaimana kondisi musuhnya setelah ini.
Suara tawa yang menggelegar menghiasi ruangan karaoke, berpadu dengan lagu yang sedang diputar. Dia sudah membayangkan bagaimana Serena akan menangis, meronta-ronta meratapi dirinya yang sudah dalam keadaan tak berdaya. Apalagi, ketika yang menyentuh tubuh Serena adalah seorang pria paruh baya yang baru saja membeli gadis itu melalui perantaranya. Sungguh, itu adalah pembalasan yang sangat menyenangkan baginya. Dia tidak sabar menunggu hari di mana Gabriel mengetahui bahwa kekasih tercintanya tidur dengan pria lain.
“Hahahah, Serena, oh Serena! Sebentar lagi Gabriel akan menjadi milikku selamanya!” ucap wanita yang terobsesi pada Gabriel dan sangat tidak menyukai sang primadona itu. “Dan kamu, akan dihempaskan begitu saja oleh Gabriel!”
Wanita itu, dengan penuh percaya diri, terus meracau tidak karuan. Dia ditemani oleh salah satu pria yang menuang minuman ke dalam gelasnya. Pria itu juga menuang minuman ke gelasnya sendiri untuk diminum, sementara nyanyian di latar belakang semakin memeriahkan kemenangan ilusinya.
*
*
Suara kicauan burung begitu nyaring saat berada di teras kamar apartemen milik Nicholas, menyambut hangatnya sinar matahari pagi yang mulai masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah hordeng.
Nicholas pun tersadar dari tidurnya. Dia mulai merenggangkan tubuh kekarnya, merasakan betapa nyenyaknya tidur malam itu. Bibirnya terukir senyum saat matanya menatap seorang wanita cantik yang masih terbalut selimut tebal, memeluknya erat seolah dia adalah bantal guling.
Sejenak Nicholas memandangi paras cantik wanita itu, yang dia anggap sebagai hadiah terbaik dalam hidupnya. Untuk sesaat, dia sudah tenggelam dalam pesona gadis itu. Pengalaman bercinta yang dia rasakan sungguh luar biasa.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya kamu bisa berada di atas tempat tidurku dan menjadi sebuah hadiah yang diberikan oleh Papa. Yang jelas sekarang kau milikku. Karena kau adalah hadiah yang kudapat dari Papa, itu tandanya kamu benar-benar milikku, hanya milikku seorang,” gumam Nicholas pada dirinya sendiri. Dia lantas menggeser tangan wanita itu dari atas perutnya dan perlahan bangkit dari tempat tidur, menuju kamar mandi.
Selang beberapa menit, Nicholas keluar dari kamar mandi. Dia melihat wanita itu masih terlelap dalam balutan selimut. Bibirnya kembali tersenyum sebelum dia bergegas untuk memakai baju.
Namun, ponsel Serena yang menyala tanpa suara menarik perhatiannya. Nicholas penasaran dan mendekat untuk melihat siapa yang menghubungi wanita itu. Dia segera mengetahui bahwa kekasihnya yang menghubungi Serena.
“Oh fv** dia sudah memiliki kekasih?!” umpat Nicholas kesal ketika melihat Serena menamai Gabriel dengan sebutan ‘My Lovely Boyfriend’.
Tangan kekarnya dengan cepat menolak panggilan dari Gabriel dan meletakkan ponsel itu kembali ke tempatnya. Nicholas bergegas menyelesaikan pakaiannya dan keluar sebentar tanpa membangunkan Serena. Nicholas tahu bahwa wanita itu pasti lemas dan kesulitan berjalan, sehingga dia membiarkannya begitu saja, masih terlelap di atas tempat tidurnya.
Setelah Nicholas keluar dari apartemen, wanita yang tadinya tertidur lelap di atas tempat tidur berukuran besar itu mulai mengerjapkan matanya.
Ya, dia adalah Serena Salvatierra—seorang anak tunggal dari keluarga sederhana. Kedua orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan, dan dia tinggal bersama Paman dan Bibinya yang menyayanginya seperti orang tua kandung karena mereka memang belum memiliki anak.
Serena pun terbangun dan segera merasakan tubuhnya remuk, disertai sakit kepala yang hebat. Dia mulai menggerakkan tubuhnya perlahan-lahan sambil memegangi kepalanya.
Pandangan mata indra penglihatannya mulai melihat ke langit-langit kamar yang berwarna putih. Serena merasakan sebuah kesadaran bahwa dia tidak berada di dalam kamarnya.
Serena langsung bangun seketika ke posisi duduk. Dia membuka selimut dan melihat sesuatu yang membuatnya terkejut: tubuhnya polos tanpa busana, sedangkan di bagian dadanya begitu banyak tanda merah.
“Aaaakkkk!” teriak Serena dengan histeris, akibat terkejut saat menebak apa yang sudah terjadi pada dirinya.
Mata Serena langsung mengedar ke seluruh penjuru kamar yang terasa sangat asing. Kamar itu didominasi warna perak, hitam, dan putih, dengan desain modern dan fasilitas canggih, tanpa ada barang berupa foto pribadi.
Hal ini membuat Serena menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya, bukan pula kamar hotel, melainkan kamar seorang pria. Namun, ini jelas bukan kamar Gabriel—kekasihnya. Dia sendiri tidak mengingat apa pun tentang bagaimana dirinya bisa berada di atas tempat tidur dengan kondisi yang sangat memalukan ini.
Serena menangis seorang diri di atas kasur. Tubuhnya bergetar hebat saat melihat noda merah tepat di sampingnya. Dia mencoba keras mengingat apa yang telah terjadi semalam.
Akan tetapi, Serena sama sekali tidak mengingatnya. Hanya sepotong kecil ingatan saat dia berada di sebuah tempat karaoke bersama sahabatnya bernama Gaby. Dia ingat banyak minum, meskipun sahabatnya sudah mengingatkannya agar berhenti. Setelah itu, Serena pamit pada Gaby untuk pergi ke toilet. Namun, setelah selesai, dia samar-samar teringat dibawa oleh dua pria asing yang wajahnya sendiri sudah dia lupakan.
“Akhh!” teriak Serena kembali dalam isak tangisnya. Rasa kesal menyelimutinya. Dia menggerutuki kebodohannya sendiri
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!