..."Pak Tanaka, Rapat Dewan Direksi pukul delapan pagi. Pesawat jet pribadi Anda siap, Tuan. Dan jadwal makan siang Anda dengan Menteri Ekonomi sudah dikonfirmasi," suara asisten pribadi Kenzo Tanaka bergema di *smartwatch*-nya....
...Kenzo menepis notifikasi itu tanpa melirik. Matanya terpaku pada layar televisi 80 inci di *penthouse*-nya yang mewah di salah satu gedung pencakar langit tertinggi di Tokyo, menayangkan laporan berita tentang kenaikan saham **Tanaka Corp.** Senyum tipis, puas, dan sedikit meremehkan tersungging di bibirnya....
..."Hanya Kenzo. Tidak ada 'Pak'," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada ke asistennya yang mungkin sudah sibuk menyiapkan hal lain. "Forma-ri-tas. Buang-buang waktu."...
...Ia menyesap kopi *drip* spesial dari cangkir **Arita-yaki** yang mahal. Aroma pekatnya memenuhi ruang baca pribadi yang dilapisi panel kayu *Hinoki* dan dihiasi kaligrafi *shodo* modern jutaan yen. Dari jendela kaca setinggi langit-langit, kota Tokyo membentang di bawahnya, lautan lampu dan gedung yang tampak seperti model di bawah kendalinya....
..."Apa lagi yang mereka inginkan? Bukankah sudah jelas? *Profitto, profitto*, dan *profitto*," Kenzo mendengus. "Para investor itu hanya tahu meminta, tapi tidak pernah tahu bagaimana caranya menghasilkan."...
...Asistennya, Akari, berani mengirimkan *hologram* kecilnya, muncul di meja kopinya. Ia tampak tegang. "Maaf mengganggu, Kenzo-sama. Tapi ada laporan baru dari tim legal. Merger dengan **Sakura Holdings** terancam…."...
..."Terancam?" Kenzo menyeringai, matanya menyipit tajam. "Tidak ada yang namanya terancam di kamusku, Akari. Hanya ada… tertunda. Dan itu pun tidak akan lama." Ia mengibaskan tangannya, seolah mengusir lalat. "Berikan ultimatum. Jika mereka tidak menyetujui persyaratan kita dalam dua puluh empat jam, kita akan membeli semua saham mereka. Semua. Termasuk saham direksi mereka. Aku mau mereka berakhir di **Kabukicho** tanpa apa-apa."...
...*Hologram* Akari berkedip, menunjukkan keterkejutan. "Baik, Kenzo-sama. Saya akan sampaikan." Ia menghilang....
...Kenzo tertawa kecil, menaruh cangkirnya di tatakan berlapis emas. "Orang-orang lemah. Mereka pikir mereka bisa menantangku? Aku adalah Kenzo Tanaka. Aku membangun Tanaka Corp. ini dari nol. Aku adalah hukum di duniaku."...
...Ia bangkit dari kursi, melangkah ke jendela. Di bawah sana, mobil-mobil tampak seperti mainan kecil. Orang-orang sibuk mengejar mimpi mereka, yang baginya, hanyalah remah-remah. Dia merasa tak terkalahkan. Raja diraja. Penguasa segalanya....
...Tiba-tiba, ponselnya berdering dengan nada dering khusus. Hanya satu orang yang punya nada dering itu. Ayahnya....
...Kenzo mengernyit. "Lagi-lagi soal sumbangan untuk kuil? Atau meminta bantuan untuk acara lingkungan?"...
...Ia mengabaikannya. Tak ada yang bisa mengganggunya saat ini....
...Kemudian, ia merasakan getaran aneh. Getaran itu membesar, disertai suara gemuruh yang semakin mendekat. Langit yang tadinya cerah kini dilintasi bayangan hitam raksasa....
...Kenzo mendongak....
...Itu adalah… pesawat. Sebuah pesawat jet. Terbang sangat rendah, terlalu rendah, dan…...
..."Apa-apaan ini?!" teriak Kenzo, matanya melebar saat menyadari sesuatu yang mustahil. Pesawat itu sedang menukik. Langsung ke arah gedung *penthouse*-nya....
...Suara gemuruh memekakkan telinga. Kaca di sekelilingnya retak, lalu pecah berkeping-keping. Udara dingin dan puing-puing menerjang masuk....
...Kenzo tidak sempat bereaksi. Yang ia rasakan hanyalah hantaman dahsyat, ledakan menyilaukan, dan kegelapan yang menelan segalanya....
...Kepala Kenzo berdenyut. Bukan denyutan biasa karena kurang tidur atau stres, tapi denyutan yang terasa asing, seperti ada palu godam memukul tengkoraknya dari dalam. Bau. Bau apa ini? Bau tanah basah, kotoran hewan, dan… ah, bau tidak enak yang sangat kuat. Tidak seperti aroma *diffuser* lavender di kamar tidurnya yang selalu *higienis*....
...Mata Kenzo mengerjap perlahan. Cahaya yang masuk terasa terlalu terang, bukan cahaya LED teratur dari *smart-window* kamarnya, melainkan cahaya alami yang memancar menembus celah-celah… dinding? Dinding dari kayu kasar dan lumpur?...
..."Apa-apaan ini?" gumamnya, suaranya terasa aneh. Lebih tinggi, lebih serak, dan… sangat kecil. Seperti suara anak-anak....
...Ia mencoba mengangkat tangannya untuk memijat pelipisnya. Yang ia lihat bukanlah tangan kekar dan berotot yang biasa ia banggakan, melainkan tangan mungil, kotor, dengan kuku pendek yang sedikit menghitam. *Ini bukan tanganku.*...
...Kenzo bangkit duduk dengan panik. Pandangannya menyapu sekeliling. Ia berada di sebuah gubuk reyot. Lantainya tanah, bukan marmer Italia. Atapnya ilalang, bukan beton anti gempa. Perabotannya terdiri dari satu meja kayu lapuk, dua bangku, dan tumpukan kain usang di sudut yang sepertinya adalah tempat tidur. Tidak ada layar datar, tidak ada konsol game, tidak ada *espresso machine*, bahkan tidak ada stop kontak....
..."Ini lelucon macam apa?" Ia mencoba berteriak, tapi yang keluar hanyalah pekikan kecil yang bahkan tidak menyerupai suaranya....
...Tiba-tiba, sebuah pintu kayu berderit terbuka. Sesosok wanita muda, dengan rambut hitam diikat sederhana dan gaun lusuh, masuk membawa ember kayu. Matanya membelalak kaget saat melihat Kenzo sudah terbangun....
..."Kazuki! Kau sudah bangun, Nak?" serunya, suaranya terdengar lembut namun penuh kelegaan. Ia meletakkan embernya dan bergegas mendekat, berlutut di samping Kenzo. Tangannya yang kasar menyentuh dahi Kenzo. "Syukurlah. Demammu sudah turun."...
...Kenzo menepis tangan itu. "Siapa Kazuki? Dan siapa kau? Di mana aku? Di mana *penthouse*-ku? Di mana *smartwatch*-ku? Di mana Akari?!" Ia mencoba mendorong wanita itu, tapi tenaganya sangat lemah....
...Wanita itu tersenyum sedih. "Kazuki, Nak. Apa kau masih belum mengingat Ibu? Kau pingsan sejak kemarin pagi setelah jatuh dari pohon apel." Ia membelai rambut Kenzo dengan lembut. "Jangan khawatir. Kita di desa. Rumah kita. Semuanya baik-baik saja."...
..."Ibu?!" Kenzo menatap wanita itu dengan jijik. "Aku tidak punya ibu sepertimu! Aku Kenzo Tanaka! CEO Tanaka Corp.! Aku… aku…." Ia berusaha mencari kata-kata, tapi otaknya terasa berkabut. Kata-kata "pesawat" dan "meledak" melintas, namun terasa tidak nyata....
...Wanita itu hanya menghela napas, seolah sudah terbiasa dengan keanehan anak ini. "Baiklah, baiklah. Kau Kenzo Tanaka. Sekarang, mau Ibu buatkan bubur gandum? Kau pasti lapar."...
...Kenzo menatap bubur gandum yang ia bayangkan. Bubur gandum? Ia baru saja kehilangan miliaran yen, perusahaannya, seluruh hidupnya, dan wanita ini menawarinya bubur gandum?...
...Egonya memberontak. Kemarahannya membuncah. Ia berusaha bangkit dan berlari keluar, mencari tahu apa yang terjadi. Tapi tubuh kecilnya lemas. Ia limbung dan terjatuh kembali ke tumpukan kain....
..."Sialan!" umpatnya, tapi yang terdengar hanyalah rengekan seorang anak kecil. "Sialan! Sialan! Sialan!"...
...Ia adalah Kenzo Tanaka. Miliarder. Penguasa. Dan sekarang, ia adalah… seorang anak kecil di gubuk reot, dikelilingi bau kotoran, dan dipanggil Kazuki. Ini adalah mimpi buruk terburuknya....
......
..."Aku Kenzo Tanaka! Bukan Kazuki! Dan aku tidak makan bubur gandum!" Kenzo berteriak, suaranya pecah, tapi wanita yang mengaku ibunya itu, yang ia tahu bernama "Midori", hanya tersenyum maklum....
..."Tentu saja, Kazuki. Tapi perutmu pasti lapar. Ibu akan menambahkan sedikit madu liar agar lebih manis," kata Midori, tangannya dengan cekatan mengaduk bubur di mangkuk kayu....
...Kenzo mendengus. Madu liar? Ia terbiasa dengan madu Manuka kelas premium yang diimpor langsung dari Selandia Baru, bukan madu yang mungkin dikumpulkan dari sarang lebah di semak-semak. Ia mencoba memprotes lagi, tapi perutnya bergemuruh hebat, mengkhianati setiap kata-kata arogannya. Rasa lapar yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa lapar yang menusuk-nusuk....
...Midori meletakkan mangkuk bubur di depannya. Aroma hambar bubur gandum itu membuat Kenzo mual. Tapi tatapan penuh harap dari Midori, yang mengingatkannya pada salah satu *shareholder* kecil yang memohon dividen, membuatnya enggan menolak mentah-mentah. Dengan jijik, ia mengambil sendok kayu kasar itu....
...Satu suapan. Dua suapan....
..."Astaga, ini mengerikan," batin Kenzo. Rasanya seperti memakan bubur kertas dengan sedikit rasa tanah. Ia terbiasa dengan *sushi* kelas atas, *wagyu* yang meleleh di lidah, dan *macarons* dari butik terbaik Paris. Ini adalah penghinaan gastronomi....
...Namun, perlahan, rasa lapar menguasai. Ia menemukan dirinya melahap bubur itu dengan kecepatan yang memalukan. Selesai dalam hitungan menit, mangkuk kayu itu bersih tak bersisa. Ia merasa sedikit malu, tapi energi mulai kembali ke tubuh kecilnya....
..."Enak, Kazuki?" tanya Midori lembut, mengelus kepalanya....
...Kenzo ingin sekali menjawab, "Tentu saja tidak! Ini adalah makanan terburuk yang pernah aku makan!" Tapi yang keluar dari mulutnya adalah gumaman tak jelas, disertai anggukan kecil yang tak sengaja....
...Midori tertawa. "Lihat, Ibu tahu kau lapar. Sekarang, karena demammu sudah turun, bisakah kau membantu Ayah di ladang hari ini? Dia pasti senang melihatmu sudah sehat."...
...Membantu Ayah… di ladang? Kenzo hampir tersedak ludahnya sendiri. Ia, Kenzo Tanaka, yang tugas terakhirnya di luar ruangan adalah bermain golf di lapangan pribadi miliknya, kini harus mengolah tanah? Ini konyol....
..."Aku tidak bisa!" tolak Kenzo keras. "Aku tidak tahu apa-apa tentang ladang! Aku punya rapat, aku punya saham, aku punya…!"...
...Midori hanya tersenyum lagi. "Sudah lama kau tidak membantu, Kazuki. Tapi tidak apa-apa, Ayah akan mengajarimu. Dia pasti butuh bantuan. Panen sayuran musim gugur ini agak berat."...
...Tanpa menunggu persetujuan, Midori meraih tangannya yang mungil, dan menyeretnya keluar dari gubuk. Mata Kenzo terbelalak....
...Di luar, pemandangan yang ia lihat semakin memperkuat keputusasaannya. Bukan Tokyo yang megah, melainkan deretan gubuk serupa, ladang-ladang sederhana yang membentang, dan hutan lebat di kejauhan. Udara bersih, terlalu bersih. Tidak ada polusi, tidak ada klakson mobil, tidak ada keramaian kota....
...Ia melihat sekelompok anak-anak berlarian riang dengan pakaian compang-camping. Beberapa orang dewasa membungkuk di ladang, mencangkul tanah dengan alat yang terlihat kuno....
..."Selamat pagi, Kazuki!" sapa seorang pria paruh baya yang kekar, dengan janggut tipis dan kulit kecoklatan karena matahari, melambai dari ladang terdekat. Pria itu menunjuk ke sebuah cangkul kayu di sampingnya. "Kemarilah, Nak! Ajari Ayah cara menggali lobak hari ini!"...
...Kenzo merasa dunianya runtuh. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Ia, Kenzo Tanaka, kini adalah seorang anak petani bernama Kazuki, di sebuah desa antah berantah, dan disuruh mencangkul lobak. Harga dirinya hancur berkeping-keping....
..."Ini tidak bisa dibiarkan," bisik Kenzo pada dirinya sendiri. "Aku harus keluar dari sini. Aku harus kembali. Atau lebih baik lagi… aku akan menguasai tempat ini! Aku akan menjadi Kenzo Tanaka lagi! Aku akan menjadi kaya raya!"...
...Tekad itu, meskipun dibalut ego dan kesombongan, adalah satu-satunya percikan yang tersisa dari dirinya yang lama....
...Kenzo menatap cangkul kayu di hadapannya. Alat itu tampak primitif, berat, dan sama sekali tidak ergonomis. Di dunia asalnya, dia hanya perlu menyentuh layar, dan traktor otomatis akan melakukan semua pekerjaan ini dalam hitungan menit. Tapi di sini? Di sini, ia harus menggunakan otot-otot mungilnya....
..."Ayo, Nak! Jangan melamun terus!" Pria paruh baya itu, yang kini ia tahu adalah "Ayah"-nya, sebut saja Haru, menyeringai ramah. "Tanganmu pasti sudah gatal ingin membantu!"...
...Kenzo merasakan tangannya memang gatal, tapi bukan karena ingin membantu. Ia gatal ingin menampar wajah Haru dengan tumpukan uang. "Aku tidak pernah 'menggaruk' tanah, aku menggaruk keuntungan!" batin Kenzo pedih....
..."Lihat ini, Kazuki," Haru melanjutkan, mendemonstrasikan cara mencangkul dengan gerakan yang mulus dan efisien. "Kaki kiri di depan, punggung lurus, ayunkan cangkul, tarik ke belakang, dan dorong. Seperti ini. Mudah, kan?"...
...Mudah? Bagi seorang Kenzo Tanaka, "mudah" adalah ketika dia menandatangani cek, bukan ketika dia menggali lumpur. Dengan enggan, Kenzo mengambil cangkul itu. Beratnya jauh melebihi dugaannya. Ia hampir terjengkang ke belakang....
..."Ups! Kekuatanmu masih kurang, Nak!" Haru tertawa. "Tidak apa-apa, butuh latihan."...
...Kenzo mengabaikan rasa malunya. Ia mengambil posisi seperti yang Haru tunjukkan. Kaki kiri di depan, punggung mencoba lurus (meski tubuhnya terlalu pendek), dan ayunkan cangkul....
...*Plak!*...
...Cangkul itu tidak mengenai tanah. Malah mengenai kakinya sendiri. Kenzo meringis, menahan pekikan....
..."Hati-hati, Kazuki!" Haru tertawa lebih keras. "Jangan sampai melukai dirimu sendiri!"...
...Kenzo mencoba lagi. Kali ini, ia berhasil mengayunkan cangkul ke tanah. Tapi alih-alih mencangkul, ia justru mencabut gumpalan rumput dan melemparkannya ke wajahnya sendiri. Lumpur menempel di pipinya....
..."Ugh, menjijikkan!" gumam Kenzo, mencoba membersihkan wajahnya dengan tangan kotor....
...Haru, masih geli, mendekat dan membantunya membersihkan lumpur. "Sudah lama tidak mencangkul, ya? Ingatanmu memang agak lemah sejak demam." Ia mengambil cangkul dari tangan Kenzo. "Bagaimana kalau kau bantu mengambil lobak saja? Itu lebih mudah. Cukup cabut dari tanah."...
...Kenzo merasa harga dirinya terinjak-injak. Dari seorang CEO yang mengelola ribuan karyawan, kini ia direduksi menjadi seorang anak kecil yang bahkan tidak bisa mencangkul, dan hanya bisa "mencabut lobak". Ini adalah degradasi yang tak termaafkan....
...Namun, ia melihat Haru kembali ke pekerjaannya dengan gerakan yang terampil. Ada rasa bangga dalam setiap ayunan cangkul itu, kebanggaan seorang pekerja keras yang menghasilkan makanan....
...Kenzo menunduk. Ia mulai mencari lobak-lobak merah yang menyembul dari tanah. Dengan jari-jari mungilnya, ia menarik satu lobak. Sulit. Akar-akarnya mencengkeram kuat. Ia harus mengerahkan seluruh tenaganya....
...*Croot!*...
...Lobak itu akhirnya tercabut, membawa serta gumpalan tanah yang...
......
...Setelah berhasil mencabut sekitar selusin lobak dengan susah payah, Kenzo (atau Kazuki, seperti yang dipanggil di sini) memutuskan bahwa pekerjaan fisik itu membosankan, tidak efisien, dan sangat tidak menguntungkan. Tubuhnya pegal-pegal, tangannya kotor, dan ia hanya menghasilkan lobak, bukan Yen....
..."Ayah, apa yang kita lakukan dengan lobak-lobak ini?" tanya Kenzo, berusaha terdengar natural. Padahal di benaknya ia sudah membuat simulasi *supply chain* dan *market analysis* untuk produk lobak....
...Haru tersenyum. "Kita makan sebagian, Kazuki. Sisanya akan Ibu bawa ke pasar besok pagi, bersama sayuran lain."...
..."Pasar?" Mata Kenzo berbinar. Pasar berarti transaksi. Transaksi berarti uang. Ini adalah bahasa yang ia pahami. "Berapa banyak yang kita dapatkan dari semua ini, Ayah?" ia menunjuk ke ladang yang luas....
...Haru terdiam sejenak, menggaruk kepalanya. "Yah, tergantung. Kalau panen bagus dan tidak ada hama, mungkin cukup untuk membeli benih baru dan sedikit garam. Kalau ada sisa, mungkin bisa beli kain baru untuk bajumu."...
...Kenzo melongo. Cukup untuk benih dan garam? Kain baru? Untuk seluruh kerja keras ini? Di dunia modern, dia bisa membeli sebuah *supercar* dengan uang yang ia hasilkan dalam waktu yang sama, tanpa perlu kotor-kotoran. Ini adalah inefisiensi yang keterlaluan!...
..."Tidak ada yang lain?" tanya Kenzo, tidak percaya. "Tidak ada yang namanya... uhm... investasi? Pengembangan produk? Pemasaran?"...
...Haru tertawa terbahak-bahak. "Investasi? Itu bahasa apa, Nak? Kita berinvestasi waktu dan tenaga kita ke tanah, dan tanah akan memberikannya kembali. Itu saja. Pengembangan produk? Kita menanam apa yang tumbuh. Dan pemasaran... Ibu hanya perlu menaruh di meja pasar dan orang-orang akan datang. Mereka butuh makan."...
...Kenzo menggelengkan kepalanya. Otaknya yang cerdas, yang biasa merancang strategi bisnis global bernilai triliunan Yen, kini dihadapkan pada model ekonomi yang sangat primitif. Ini seperti kembali ke era batu, tapi dengan lobak....
..."Ayah, apakah semua orang di desa ini juga melakukan hal yang sama?" tanya Kenzo, pandangannya menyapu ke seluruh desa....
..."Tentu saja," jawab Haru, menunjuk ke gubuk-gubuk lain. "Kita semua petani. Beberapa berburu, ada yang membuat kerajinan kayu, ada yang pandai besi. Tapi sebagian besar dari kita bertani."...
...Kenzo mulai berpikir. Jika semua orang petani, maka suplai lobak dan sayuran lainnya akan melimpah. Harga akan rendah. Ini bukan model bisnis yang bagus. Ia harus mencari sesuatu yang berbeda, sesuatu yang bisa memberikan nilai lebih....
...Ia mengamati sekeliling lagi. Gubuk-gubuk yang sama, ladang yang sama, pakaian yang sama. Tidak ada tanda-tanda kemewahan, tidak ada inovasi. Tidak ada *demand* yang tidak terpenuhi yang bisa ia eksploitasi. Setidaknya, belum....
..."Kazuki, kenapa kau melamun terus?" Midori muncul dari gubuk, membawa minuman dalam cawan kayu. "Minumlah. Pasti haus setelah bekerja."...
...Kenzo menerima cawan itu. Minuman itu terasa seperti air dan sesuatu yang pahit. "Ibu, apakah di desa ini ada... sesuatu yang tidak dimiliki desa lain? Atau sesuatu yang kita punya tapi desa lain butuh?"...
...Midori dan Haru saling pandang, lalu tertawa. "Apa maksudmu, Nak?" tanya Haru. "Kita punya tanah dan tenaga. Desa lain juga punya. Mungkin kita punya apel terbaik di musim panen, tapi itu saja."...
..."Apel terbaik..." Kenzo mengulang. Sebuah ide kecil mulai terbentuk di benaknya. Di dunia modern, bahkan apel biasa bisa menjadi merek premium jika dipasarkan dengan benar....
..."Apakah ada orang di desa ini yang pintar dalam... membuat sesuatu? Atau memperbaiki sesuatu?" Kenzo melanjutkan, matanya berbinar. "Misalnya, membangun sesuatu yang kokoh? Atau... membuat makanan yang enak?"...
...Haru berpikir. "Ada Kakek Jiro. Dia pandai memperbaiki atap. Dan Nenek Kiku, dia membuat kue beras yang lumayan."...
...Kenzo mencatat mental. Kakek Jiro dan Nenek Kiku. Ini adalah aset. Orang-orang yang memiliki *skill*. Di dunia bisnis, ini adalah *human capital*....
...Perutnya masih kosong, kakinya pegal, dan ia masih seorang anak kecil di dunia antah berantah. Tapi Kenzo Tanaka sudah menemukan lahan bisnisnya. Ini bukan lagi tentang bertahan hidup. Ini tentang menaklukkan. Dan ia akan memulai dengan lobak, apel, dan kue beras....
...Malam tiba dengan cepat di desa. Tidak ada lampu jalan, tidak ada neon kota, hanya cahaya rembulan dan ribuan bintang yang tak pernah Kenzo lihat di langit Tokyo yang tercemar. Udara dingin menyusup melalui celah-celah gubuk. Tidak ada pemanas ruangan, tidak ada selimut *down feather* yang empuk. Hanya api kecil di tungku yang sesekali berkedip dan sehelai selimut kasar yang tidak cukup tebal....
...Kenzo meringkuk di sudut tempat tidurnya yang keras, menggigil. Ini adalah kali pertama dalam hidupnya ia merasa begitu dingin, begitu tidak nyaman. Bahkan tidur di pesawat kelas satu pun tidak pernah senyaman ini....
..."Kau kedinginan, Kazuki?" tanya Midori lembut dari sampingnya. Ia dan Haru berbagi satu-satunya ranjang yang sedikit lebih besar di gubuk itu....
...Kenzo tidak menjawab. Egonya tidak mengizinkan. Seorang CEO tidak boleh terlihat lemah, apalagi di hadapan "bawahan" seperti Midori dan Haru. Tapi giginya gemeretak tanpa bisa ia kendalikan....
...Midori menghela napas. Tanpa bicara, ia bangkit dan menyelimuti Kenzo dengan selimutnya sendiri, lalu kembali ke tempat tidurnya. Kehangatan dari selimut itu, meskipun tipis, terasa seperti kemewahan. Kenzo merasa sedikit bersalah. Ini adalah selimut satu-satunya yang mereka miliki....
..."Terima kasih," bisik Kenzo, nyaris tak terdengar....
...Midori hanya menggumamkan sesuatu, mungkin sudah tertidur....
...Pikiran Kenzo melayang. Dia tidak bisa terus-menerus mengandalkan belas kasihan. Dia harus bangkit. Tapi bagaimana? Dia hanya seorang anak kecil dengan pengetahuan tentang *blockchain*, *AI*, dan *quantum computing* di dunia yang bahkan belum menemukan listrik....
..."Produksi, suplai, demand..." gumamnya. "Ada apa yang langka di sini? Apa yang bisa menghasilkan profit tinggi dengan modal rendah?"...
...Dia memikirkan desa itu. Semua orang menanam. Semua orang membuat kerajinan sederhana. Tidak ada yang menonjol. Tidak ada *unique selling proposition*....
...Tiba-tiba, telinganya menangkap suara. Suara auman pelan dari kejauhan. Kemudian, suara lolongan serigala....
...Midori dan Haru terbangun. Haru bangkit dan menyambar tombak kayu yang bersandar di dinding. Wajahnya tegang....
..."Suara apa itu, Ayah?" tanya Kenzo, merasakan bulu kuduknya berdiri. Itu bukan suara anjing tetangga. Itu adalah suara predator....
..."Hanya serigala, Nak," kata Haru, mencoba menenangkan. "Mereka kadang-kadang mendekat kalau mencari makan."...
...Midori mendekap Kenzo erat-erat. "Jangan khawatir. Gubu kita kuat."...
...Tapi Kenzo tidak tenang. Dia tahu serigala. Di dunianya, serigala ada di kebun binatang, atau dokumenter National Geographic. Bukan di luar jendelanya, mengancam nyawanya....
..."Apakah… apakah mereka berbahaya?" tanya Kenzo, suaranya sedikit gemetar....
...Haru mengangguk. "Terkadang. Mereka bisa menyerang ternak kita, atau bahkan anak-anak kecil kalau mereka kelaparan."...
...Ketakutan Kenzo bercampur dengan sebuah ide. Ini adalah *demand*. Ini adalah masalah yang harus diselesaikan....
..."Apakah ada yang berburu serigala?" Kenzo bertanya, otaknya sudah mulai memproses informasi dengan cepat. "Atau membunuh monster? Ada monster di sekitar sini?"...
...Haru dan Midori menatapnya aneh. "Monster? Seperti yang ada di cerita lama?" Haru tertawa pelan. "Tidak ada monster, Kazuki. Hanya serigala, beruang, dan kadang babi hutan."...
..."Tapi... apakah ada yang secara khusus melindungi desa dari mereka?" Kenzo mendesak....
...Haru menggeleng. "Kita semua melindungi diri kita sendiri. Kalau ada masalah, kita bantu-bantu."...
...Kenzo menghela napas. Tidak ada jasa keamanan. Tidak ada militer. Tidak ada polisi. Hanya penduduk desa yang mengandalkan diri sendiri. Ini adalah *opportunity* besar....
..."Bagaimana jika... ada yang bisa melindungi desa dengan lebih baik?" Kenzo bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. "Seseorang yang bisa membersihkan ancaman ini. Itu pasti sangat berharga."...
...Di dunia modern, orang membayar mahal untuk keamanan. Di dunia *medieval* ini, dengan ancaman nyata dari alam liar... nilainya bisa tak terhingga. Dia mungkin bukan seorang ahli pedang, tapi dia adalah seorang ahli strategi....
...Kenzo tersenyum tipis dalam kegelapan, senyum yang sedikit licik dan penuh perhitungan. Serigala. Ini adalah pasar baru. Dan dia akan menjadi pemain utama....
......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!