Udara pagi seharusnya membawa kesejukan. Tapi bagi Alda, pagi hanyalah awal dari rentetan suara bentakan, omelan, dan pandangan sinis.
Langit cerah, burung berkicau, tapi di dalam rumah besar bergaya lama itu… bahagia hanya milik orang lain.
“AALDAAA!!”
Suara melengking itu datang dari ruang tengah. Sangat khas, sangat tajam dan sangat menyebalkan. Itu suara bibi Ratna, wanita paruh baya dengan alis melengkung seperti tanda tanya dan bibir yang selalu menjorok ke depan, seakan dunia ini berutang banyak padanya.
Alda gadis berusia 18 tahun, berambut hitam panjang, kulit cerah, dan mata lembut segera bangkit dari kasur tipis di pojokan kamarnya. Kamarnya kecil, hanya cukup untuk kasur busa tipis, lemari bekas, dan satu kipas yang berderit jika dinyalakan.
“Iya, Bi!” jawabnya cepat, menahan napas.
“Cepet turun! Kamu pikir rumah ini hotel?!”
‘Kalau hotel, setidaknya tamunya diperlakukan baik, Alda membatin. Tapi tentu, dia tak pernah berani mengucapkan itu keras-keras. Pengalaman mengajarkannya, satu kata salah itu adalah hukuman.
Dia turun ke bawah dengan langkah cepat. Di ruang makan, Bibi Ratna sudah duduk, mengenakan daster bunga-bunga yang warnanya mencolok mata. Di sebelahnya, duduk Paman Joko, dengan perut buncit dan rokok terselip di antara jarinya. Meja sarapan? Hanya ada roti, telur mata sapi, dan susu… untuk mereka. Sementara untuk Alda? Seperti biasa, sisa.
“Kenapa lama banget?!” Bibi Ratna melotot.
“Maaf, Bi… Alda baru bangun.”
“Dasar pemalas! Gak kayak Sinta tuh. Anak yang berpendidikan, cantik, pinter, gak nyusahin.”
Alda menelan ludah. Sudah hafal skenario ini. Setiap hari, kalimat itu seperti lagu wajib pagi-pagi. Lagu yang liriknya sama: “Sinta hebat, Alda beban.”
Seolah dipanggil malaikat kejahatan, Sinta sepupu Alda muncul dari tangga dengan pakaian seragam sekolah yang rapi, rambut terurai, dan senyum tipis yang lebih cocok disebut senyum kemenangan.
“Oh… Kak Alda belum bangun ya? Kasian, udah gak punya ortu, malas pula…” ucapnya manis tapi menohok.
Alda menahan napas. Dalam hatinya: “Kalau bukan karena kamu anak kesayangan Bibi, udah aku keplak dari dulu.” Tapi di luar? Hanya senyum tipis.
“Iya, maaf, tadi bangunnya telat.”ujar Alda
“Makanya jangan suka mimpi yang aneh-aneh,” Sinta terkikik.
Paman Joko mendecak, “Udah sana, cuci piring. Jangan harap kamu ikut makan.”
Dan seperti biasa, Alda berjalan ke dapur, mengambil piring-piring bekas sarapan mereka, sementara aroma telur hangat dan roti panggang memenuhi ruangan. Perutnya melilit, tapi dia menelan ludah saja. Sudah biasa.
Hidup Alda berubah sejak umur tujuh tahun, ketika kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil. Rumah ini dulunya adalah rumah mereka. Warisan mereka. Tapi setelah Alda kecil tak punya siapa-siapa, paman dan bibinya, adik kandung mendiang ibunya mengambil alih semuanya. Harta, rumah, mobil, bahkan tabungan orang tuanya.
Awalnya Alda kira mereka akan jadi keluarga. Ternyata mereka hanya menganggapnya sebagai beban.
“Anak yatim piatu ini numpang hidup. Jadi harus tahu diri,” begitu kata mereka dulu. Kalimat itu menancap di kepalanya.
Tapi meski begitu, Alda tak pernah benar-benar membalas. Ia memilih diam, menahan. Dia punya mimpi, lulus SMA, kerja, lalu keluar dari rumah ini. Hidup sendiri. Bebas.
“AALDAAA!!” teriak Sinta lagi dari ruang tamu.
“Ya Tuhan…” Alda menyeka tangannya dari busa sabun. “Iyaaa, Sinta.”
“Ambilin tas aku di kamar atas. Cepet, aku telat!”
"Telat bukan salah aku juga, napa aku yang disuruh?" Alda mengeluh dalam hati. Tapi langkahnya tetap naik tangga.
Begitulah setiap hari. Sinta seperti ratu, Alda seperti pelayan.
Saat Alda turun dengan tas sekolah Sinta, gadis itu malah mengangkat alis, “Lambat banget. Dasar gak becus.”
Bibi Ratna menyeringai puas. “Makanya Sinta, jangan contoh dia. Anak gak tahu diri.”
Paman Joko menambahkan, “Orang tuanya aja mati ninggalin beban. Pantas aja.”
Kalimat itu seperti belati. Tapi Alda sudah kebal.
Sudah bertahun-tahun mendengar kalimat itu.
Di sekolah, Alda adalah murid teladan. Nilainya selalu terbaik. Guru-guru menyayanginya. Tapi itu justru bikin Sinta makin iri. Setiap kali Alda dapat pujian, Sinta akan mencari cara menjebaknya.
Pernah suatu kali Sinta menyembunyikan kunci mobil paman, lalu menyalahkan Alda. Akibatnya Alda dikurung di gudang semalaman. Pernah juga Sinta menjatuhkan vas bunga, lalu menangis pura-pura dan tentu, Alda yang disalahkan.
“Karena kamu, Sinta nangis!”
“Padahal aku cuma lagi di dapur, Bi…”
“Boong!”
Hidup Alda seperti jalan penuh jebakan.
Pagi itu, setelah semua selesai, Alda duduk sebentar di belakang rumah. Memandangi langit biru. Tempat itu satu-satunya tempat dia merasa tenang. Di sana ada bangku kayu tua milik mendiang ayahnya. Bangku itu masih utuh, meski semua peninggalan orang tuanya lainnya sudah dijual oleh paman dan bibi.
“Papa… Mama…” bisiknya pelan. “Kalian pasti bangga kan, Alda hampir lulus SMA? Setelah ini Alda kerja, ya. Gak bakal lama kok, Alda keluar dari sini.”
Matanya berkaca-kaca. Tapi dia tersenyum kecil. Ia harus kuat. Kalau tidak, siapa lagi?
Sore harinya, Sinta pulang sekolah dengan gaya bak selebriti.
“Buuu!!” jeritnya. “Alda bikin malu aku lagi!!”
Alda yang sedang mengepel terlonjak. “Hah? Aku?”
“Dia jalan di belakang aku tadi, Buu. Temen-temen kira aku bawa ART! Ya Allah, aku malu banget!!” Sinta mendramatisir, matanya berkaca-kaca seperti pemain sinetron.
“APA?!” Bibi Ratna langsung melotot. “ALDAAA!!! Kamu bikin malu sepupu kamu!!”
“Aku cuma jalan di belakang Sinta karena jalannya rame, Bi…”
“ALASAN!”
Paman ikut datang dengan wajah jengkel. “Dasar pembawa sial.”
Bibi menampar pelan pipi Alda. Bukan keras, tapi cukup membuat pipinya panas.
“Nanti malam gak usah makan!”
“Bi—”
“Diam!”
Alda menggigit bibirnya. Sakit di pipi tak seberapa dibanding sakit di hati.
Malam itu, saat keluarga itu makan malam, Alda duduk di teras belakang. Gelap, dingin, dan perutnya kosong. Tapi matanya tetap menatap bintang-bintang.
“Papa… Mama… Kapan semua ini selesai?” bisiknya lirih.
Angin berhembus pelan. Sunyi.
Hanya suara jangkrik yang menemani.
Di dalam rumah, suara tawa Sinta dan bibinya terdengar nyaring. Seperti pesta kecil yang tak mengundang Alda.
Beberapa bulan kemudian, sekolah Alda mengadakan pengumuman kelulusan. Semua murid senang. Termasuk Alda. Dia lulus dengan nilai tertinggi di angkatan. Kepala sekolah sampai memanggil namanya di depan aula.
“Alda Putri Anggara, siswi terbaik tahun ini!” tepuk tangan membahana.
Sinta hanya melotot dari bangku. Wajahnya memerah.
“Gadis sial itu dapet pujian lagi!” gumamnya kesal.
Saat Alda naik panggung menerima piagam, semua siswa bersorak. Guru-guru menepuk bahu Alda bangga.
Tapi Alda tahu… begitu pulang ke rumah, kebahagiaan ini tidak akan berarti apa-apa.
“Pintar gak guna kalau gak tahu diri,” ucap Bibi Ratna sinis malam itu.
Paman mengangguk, “Lagian nilai tinggi bikin apa? Uang gak ada, kerjaan belum tentu dapat. Hahaha.”
Sinta ikut tertawa, “Iya, Bu. Nanti juga dia kerja jadi pembantu.”
Alda diam. Tapi dalam dadanya, ada api kecil menyala.
Sebelum mati, ayahnya pernah berkata: “Alda, kamu harus kuat. Jangan biarkan orang lain menentukan siapa kamu.”
Malam itu, Alda kembali duduk di bangku tua ayahnya.
Dia menatap langit.
“Papa… Mama… sebentar lagi Alda cari kerja. Alda gak bakal hidup kayak gini terus. Alda janji.”
bersambung
Pagi itu, matahari bersinar cerah seolah dunia baik-baik saja. Tapi untuk Alda… dunia pagi selalu punya satu nama yang bikin jantungnya langsung berdebar deg-degan Sinta.
Sinta bukan cuma sepupu. Ia adalah perpaduan sempurna antara ratu drama, ratu gosip, dan ratu iri hati dalam satu tubuh mungil yang punya suara melengking bak alarm darurat. Wajahnya cantik ya, Alda akui itu. Tapi sayang, kelakuannya bikin siapa pun pengin pasang telinga sumbat.
“ALDAAA!” teriak suara itu dari tangga. “Gimana sih kamu! Baju aku kotor!!”
Alda yang sedang mencuci piring bekas sarapan buru-buru keluar dari dapur. “Hah? Baju kamu?”
Sinta berdiri di depan tangga dengan ekspresi lebay luar biasa: satu tangan di pinggang, satu lagi memegang ujung baju putihnya yang sedikit basah. “Kamu nyuci piring sembarangan! Airnya nyiprat ke baju aku!”
“Lho… Aku nyuci di dapur belakang. Kamu di tangga depan. Gimana caranya bisa nyiprat ke kamu?” Alda berusaha tenang. Tapi dalam hati, ‘Sumpah, logika anak ini udah kabur ke planet lain.’
“Jawab!” Bibi Ratna muncul seperti bos mafia, lengkap dengan daster bunga-bunga kebesarannya. “Sinta ngomong baju kotor, berarti kamu yang salah!”
“Tapi, Bi—”
“Gak ada tapi-tapian!”
Paman Joko juga ikut nimbrung, padahal baru bangun tidur dan masih bau rokok. “Udah sana, Alda! Cuci bajunya Sinta. Jangan banyak alasan!”
Sinta menyeringai puas. Alda menahan napas, menggigit bibirnya. Ini bukan pertama kalinya Sinta mencari gara-gara. Dan seperti biasa… bibi dan paman selalu percaya Sinta tanpa berpikir dua kali.
“Ambil air panas juga ya, Alda. Biar cepet kering!” Sinta bersuara manja.
“Siap, Tuan Putri,” gumam Alda lirih dengan nada sarkas. Untung tidak terdengar.
Siang itu, saat semua anggota keluarga keluar rumah, Alda duduk di halaman belakang, menatap langit. Ia baru saja menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah, mencuci baju Sinta, membersihkan dapur, mengepel lantai, dan menyiram tanaman. Hanya satu orang di rumah ini yang bekerja, dia.
“Hidup ini lucu… semua harta warisan orang tuaku mereka nikmatin, aku malah jadi pembantu.” Alda menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu tua peninggalan ayahnya.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah samping rumah.
Sinta muncul sambil membawa ponsel mahal di tangannya ponsel yang dulu sebenarnya milik orang tua Alda.
“Eh, kamu masih di sini? Kupikir kamu udah kabur. Hahaha.”
“Aku gak punya tempat buat kabur,” jawab Alda tenang.
“Ya iyalah. Siapa juga yang mau nampung kamu? Orang miskin. Gak punya siapa-siapa,” ejek Sinta.
Alda menatapnya. Mata Sinta penuh kebencian. "Aneh ya, pikir Alda. Padahal aku gak pernah ganggu dia. Tapi tiap lihat aku, dia seperti pengin nyakar hidup-hidup".
“Bilang aja kamu iri,” gumam Alda pelan.
“Apa?!” Sinta mendelik.
“Aku bilang... udara panas ya hari ini,” Alda cepat mengalihkan. Belum waktunya bikin perang dunia.
Sinta mendengus. “Udah ah. Aku mau pergi jalan sama temen-temen. Kamu jangan keluyuran. Rumah ini bukan punya kamu.”
Alda menggenggam kursi kayu erat. ‘'Rumah ini justru punya aku, dasar gadis jahat!’" Tapi sekali lagi, semua hanya ada dalam pikirannya. Kalau dia bicara, satu tamparan gratis pasti melayang.
Sore hari, Sinta pulang dengan wajah panik. Tasnya sobek, rambutnya acak-acakan. Bibi Ratna langsung berlari menyambut. “Anak Ibu kenapa?!”
“Buuu… Tadi ada anak-anak cowok nabrak aku di jalan… Terus tas aku sobek!” Sinta mulai menangis lebay seperti pemain sinetron.
“Siapa yang berani sama anak Ibu!” Bibi Ratna ikut berakting.
Dan tentu saja, sesuai skenario rutin rumah ini… pelaku utamanya selalu dicari. Dan yang jadi kambing hitam… jelas Alda.
“Pasti gara-gara Alda! Ini semua karena aura sial dia!!” jerit Bibi.
“Bener!” Sinta langsung mengangguk dramatis. “Tadi sebelum aku pergi, dia natap aku tajem banget! Aku yakin itu tatapan jahat, Bu!!”
Alda yang baru saja keluar dari dapur dengan tangan masih basah menatap bingung. “Hah? Tatapan? Aura sial? Bibi serius?”
“Gak usah ngelawak!!”
Paman Joko ikut melotot. “Kamu tuh udah lama jadi beban keluarga ini. Sekarang bawa sial pula!”
Alda ingin tertawa. “Aku bawa sial karena… NATAP? Ini rumah atau panggung komedi?"
“Mulai besok, kamu gak boleh keluar rumah sembarangan. Dan kamu harus beresin semua kerjaan rumah selama seminggu. Ini hukuman karena bikin sepupu kamu sial!”
“Bii…” Alda mencoba protes.
“GAK ADA TAPI!!”
Dan sekali lagi, Alda kalah di rumahnya sendiri.
Malam itu, setelah semua tidur, Alda duduk di bangku kayu belakang rumah. Angin malam menyentuh kulitnya. Matanya menatap bintang.
“Papa… Mama…” bisiknya. “Kenapa aku lahir di keluarga kayak gini?”
Air matanya jatuh pelan. Tapi tangisnya bukan tangis lemah. Itu tangis orang yang sudah terlalu lama menahan. Orang yang sedang menyimpan luka bertahun-tahun.
“Aku janji, aku akan keluar dari rumah ini. Suatu hari nanti… aku bukan Alda yang ini lagi. Aku akan bebas.”
Langit malam tak menjawab. Tapi malam itu, entah kenapa, angin bertiup sedikit lebih kencang dari biasanya. Seakan takdir sedang bergerak… perlahan, mendekat.
Keesokan harinya, rumah itu menjadi lebih kacau lagi. Sinta kehilangan gelang emasnya hadiah ulang tahun dari Bibi Ratna. Dan tanpa pikir panjang…
“ALDAAA!!!”
“Apalagi sekarang?” ujar Alda dan keluar dari kamar dengan wajah lelah.
“Gelang Sinta hilang!” Bibi Ratna menunjuknya seperti detektif gadungan. “Siapa lagi kalau bukan kamu?!”
“Bibi nuduh aku?” Alda mengerutkan dahi. “Aku bahkan gak pernah deketin gelang itu!”
“Bohong!! Kamu iri sama Sinta!” jerit Bibi.
“Iya!” Sinta ikut menimpali. “Tadi pagi aku taruh gelang di meja rias. Terus aku keluar. Pas aku balik, gelangnya hilang. Siapa lagi yang suka bersih-bersih di kamar aku? Kamu!”
Alda terdiam. Ia memang disuruh membersihkan kamar Sinta tadi pagi. Tapi… gelang? Dia bahkan tidak menyentuhnya.
Paman Joko ikut datang dengan tampang sok serius. “Alda… kembalikan gelang itu sebelum kami laporin polisi.”
“Laporin polisi?” Alda nyaris tertawa. “Paman… ini rumah aku. Aku yang dituduh maling di rumah sendiri? Lucu juga.”
“JANGAN NGELAWAN!!” Bentakan itu membuat Alda terdiam.
Sinta menyeringai puas, seperti ratu yang menang di atas panggung.
“Kalau kamu gak ngaku juga,” Bibi berkata dengan nada tajam, “kamu gak usah keluar lagi. Gak usah kemana-mana. Di rumah aja. Jadi pembantu.”
Mata Alda memanas. Dadanya sesak. Tapi kali ini… ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak hanya sedih. Ia marah.
“Bibi,” ucap Alda pelan tapi tajam, “aku gak nyuri gelang itu. Dan kalau Bibi tetep nuduh aku, suatu hari nanti Bibi bakal nyesel.”
Semua orang di ruangan itu terdiam sejenak. Nada suara Alda terdengar asing. Tegas. Tidak seperti biasanya.
Sinta tertawa kaku. “Ih… gaya kamu. Ngancam ya?”
“Bukan ngancam,” Alda berbalik, menatap langit-langit rumah yang dulu dipenuhi kenangan bahagia. “Cuma ngasih tahu. Orang yang ditindas terlalu lama… kadang bisa berubah.”
Saat Alda melangkah pergi, Sinta berbisik ke bibinya, “Bu… dia serem ya?”
“Biarin. Anak itu gak akan pernah bisa ngelawan kita.”
Tapi mereka salah.
Mereka tidak tahu… dunia Alda sebentar lagi akan jungkir balik.
Bersambung
Pagi itu, udara masih basah oleh embun. Burung-burung di atap rumah tetangga bersahutan riang, seolah dunia begitu ringan. Tapi tidak untuk Alda. Gadis itu berdiri di depan kaca kecil kamarnya kaca buram, dengan pigura retak di salah satu sisinya. Kaca itu satu-satunya benda peninggalan almarhum ibunya yang masih tersisa di kamar ini.
Ia merapikan rambut panjangnya yang tergerai, lalu menatap bayangan dirinya. “Hari ini… aku mulai cari kerja,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan diri sendiri.
Malam sebelumnya, tuduhan gelang emas itu masih membekas tajam di hatinya. Betapa mudahnya orang-orang di rumah itu memperlakukannya seperti sampah, padahal rumah dan harta yang mereka pakai adalah warisan orang tuanya sendiri.
“Kalau aku terus di sini… aku bakal hancur,” ucapnya pelan. “Jadi hari ini aku harus keluar.”
Di ruang tamu, Bibi Ratna sedang duduk di sofa sambil mengipasi diri dengan koran. Sinta duduk di sebelahnya, memainkan ponsel. Mereka berdua bahkan tidak menyadari bahwa gadis itu sedang lewat.
“Bibi,” kata Alda hati-hati. “Aku mau keluar bentar.”
“Ngapain?” suara Bibi Ratna ketus. “Kerja rumah belum selesai.”
“Aku udah beresin semuanya semalam,” jawab Alda. “Aku cuma… mau cari kerja.”
Sinta langsung menyembur tawa. “KERJA?” ujarnya dengan nada mengejek. “Siapa yang mau nerima kamu kerja? Kamu gak punya pengalaman, gak punya ijazah kuliah, gak punya modal. Kerja apa? Jadi tukang sapu?”
Alda menatapnya datar. Dulu, kata-kata seperti ini akan membuat hatinya ciut dan bibirnya bungkam. Tapi pagi ini… rasanya lain. Kata-kata Sinta seperti angin lewat saja.
“Ya, mungkin tukang sapu juga gak masalah,” ucap Alda ringan. “Yang penting halal.”
Bibi Ratna mendengus. “Kalau kau keluar, jangan bawa malu keluarga. Ingat, kau tinggal di rumah ini cuma numpang.”
‘Rumah ini punyaku,’ Alda ingin berteriak seperti itu. Tapi ia hanya menghela napas, menguatkan hatinya. Ia tahu berdebat dengan mereka sama saja seperti mengobrol dengan tembok: percuma.
“Baik, Bi. Aku pergi dulu.”
Ia melangkah keluar. Tapi sebelum pintu tertutup, suara Sinta menggema. “Jangan lupa bawa cermin kecil ya, biar nanti pas ditolak kerja kamu bisa ngaca dan sadar diri.”
Alda tidak menoleh. Tapi dalam hati, ia berkata pelan, “Tunggu saja, Sinta. Suatu hari nanti, kau yang akan melihatku dari bawah.”
Jalanan kota pagi itu ramai. Para karyawan berseragam rapi tergesa ke kantor. Penjual bubur dan kopi berjejer di trotoar. Bus kota berhenti dan berangkat, suara klakson bersahutan.
Alda berdiri di halte dengan map plastik biru di tangan. Isinya hanya fotokopi ijazah SMA dan surat lamaran sederhana yang ia ketik di warnet semalam. Tidak banyak, tapi cukup untuk mencoba.
Ia melamar ke beberapa tempat. Mini market, toko roti, café kecil, bahkan pabrik konveksi di pinggiran kota. Tapi jawaban yang ia dapat selalu sama:
“Maaf, kami butuh yang punya pengalaman.”
“Maaf, kami sudah ada orang.”
“Maaf, kami gak nerima pegawai baru bulan ini.”
Lama-lama, hatinya terasa lelah. Tapi anehnya, bukan lelah menyerah melainkan lelah dengan kenyataan. Kenyataan bahwa dunia tidak pernah memberi ruang bagi orang seperti dirinya: yatim piatu, miskin, dan tidak punya siapa-siapa yang mendukung.
Siang menjelang. Matahari mulai terik. Keringat mengalir di pelipisnya. Alda duduk di bangku taman kota dengan map di pangkuan. Ia menatap langit biru yang membakar matanya.
“Papa, Mama…” bisiknya lirih. “Kalau kalian masih ada, mungkin hidupku gak akan kayak gini.”
Tapi dunia tidak menjawab. Hanya suara angin yang melintas.
Ia melangkah lagi. Kali ini ke sebuah restoran cepat saji di sudut jalan. Resepsionis muda dengan make up tebal menatapnya dengan pandangan menilai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Lowongan crew?” tanya Alda.
“Udah ditutup minggu lalu,” jawab resepsionis ketus. “Lain kali datang lebih cepat.”
“Terima kasih,” jawab Alda, walau hatinya perih.
Langkahnya terasa semakin berat. Tapi dalam dirinya, ada tekad yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin karena ia benar-benar sudah berada di titik nol.
Sore mulai turun, tapi ia belum juga dapat pekerjaan.
Ia duduk di pinggir jalan, menatap lampu lalu lintas yang berganti dari hijau ke kuning lalu merah. Angin sore mengusap wajahnya pelan. Sekilas, Alda merasa hidupnya seperti lampu lalu lintas itu: berhenti di merah terlalu lama, tak pernah mendapat giliran hijau.
“Aku capek, Ma… Pa…” bisiknya lirih, “aku capek banget.”
Alda menyeberang jalan perlahan, pikirannya kosong. Di tangan kirinya masih tergenggam brosur lowongan yang mulai kusut. Di telinga, hanya terdengar suara mesin kendaraan dan klakson.
Ia tidak sadar… dari arah kanan, sebuah truk melaju terlalu cepat. Sopirnya panik, remnya tak berfungsi sempurna.
“AWASSS!!” teriak seseorang dari pinggir jalan.
Waktu seperti berhenti.
Alda menoleh.
Sorot matanya membeku ketika kilatan besi besar itu mendekat.
BRAKKKK!!!
Tubuh Alda terpental beberapa meter, darah mengalir di aspal. Orang-orang menjerit, berlari, menelpon ambulans. Seseorang menggenggam tangannya tapi matanya mulai meredup.
Dalam kesadaran yang memudar, Alda melihat langit. Awan-awan yang tadi lembut kini seperti memudar jadi putih menyilaukan. Dunia seolah menjauh darinya.
“Ma… Pa…” bisiknya. “Aku nyusul…” lalu gelap
...----------------...
Rumah sakit. Sirene. Lampu menyilaukan. Semua kabur seperti mimpi buruk. Dokter dan perawat berlarian, suara monitor berdentang.
“Tekanan turun!”
“CPR cepat!”
“Dia kehilangan banyak darah!”
Tapi tubuh Alda semakin dingin. Jantungnya berhenti berdetak. Mesin monitor berubah menjadi garis lurus panjang.
“Waktu kematian… 19.04,” suara dokter terdengar berat.
Semua terdiam sejenak.
Gadis itu… benar-benar mati.
Saat semua orang di ruang ICU mulai keluar, sebuah keheningan menyelimuti ruangan. Tubuh Alda terbaring diam, wajahnya pucat seperti porselen. Namun di tempat lain di dimensi yang tak bisa dijelaskan manusia ada sesuatu yang bergerak.
Sebuah jiwa… melayang.
Jiwa itu bukan Alda.
Itu adalah Aurora, seorang wanita konglomerat yang mati karena pengkhianatan suami dan selingkuhannya. Ia seharusnya pergi ke tempat lain. Tapi entah bagaimana, sebuah cahaya menariknya… ke tubuh gadis malang itu.
“Apa ini…?” bisik Aurora dalam kehampaan. “Tubuh siapa ini…? Kenapa… terasa sakit…?”
Suara jantung berdetak perlahan. Tuk… tuk… tuk…
Monitor di samping tempat tidur berbunyi lagi.
Perawat yang lewat di lorong terkejut. “Ap... Apa… pasien kamar 304 ini… barusan sudah—”
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, mata Alda atau lebih tepatnya, Aurora dalam tubuh Alda terbuka perlahan. Tatapannya tajam, dalam, bukan tatapan gadis malang yang lemah lagi.
“Hmm…” bibirnya bergerak kaku, suara pertama terdengar pelan tapi tegas. “Tubuh muda… tapi terasa berbeda.”
Aurora bangkit perlahan dari ranjang, membuat perawat panik berlarian. “Pasien hidup lagi!! Pasien bisa berdiri...hsntu...” teriak seseorang.
Tapi Aurora hanya tersenyum miring. Senyum yang tidak pernah dimiliki Alda.
Tatapannya bukan kepasrahan. Tatapannya… seperti ratu yang kembali merebut tahtanya.
Beberapa jam kemudian, Aurora yang kini berada dalam tubuh Alda duduk menatap jendela rumah sakit. Ia sudah mengingat semuanya. Cara ia mati. Suaminya. Kekayaannya yang ia sembunyikan. Dan sekarang… ia punya tubuh baru.
“Siapa pun gadis ini… kau beruntung tubuhmu jadi tempat aku kembali,” gumamnya pelan. “Aku tidak akan hidup sebagai orang lemah.”
Ia meraih kaca kecil di samping ranjang, melihat wajah Alda. Wajah polos dan cantik itu kini menjadi wajahnya. Aurora tersenyum sinis. “Wajah yang indah. Tubuh muda. Dunia… siap atau tidak, aku datang lagi.”
Langkah kaki terdengar. Bibi Ratna dan Paman Joko datang terburu-buru. Sinta di belakang mereka, matanya melebar seperti lihat hantu.
“ALDA??!” jerit Bibi Ratna. “Kamu… kamu kan udah—”
“Udah apa, Bi?” Aurora menjawab dengan suara datar tapi tajam. “Udah mati?”
Bibi Ratna terdiam.
Sinta mundur setapak.
Paman Joko menatap bingung, keringat dingin menetes di pelipisnya.
Aurora menyeringai tipis. “Yah, sayang banget ya… aku gak semudah itu mati.”
Sinta bergidik. Nada suara Alda… berubah. Tatapan matanya bukan tatapan sepupu malang yang biasa ia hina. Tatapan itu menusuk. Penuh kepercayaan diri.
Dalam hati Aurora berbisik: "Mulai sekarang… ini hidupku. Aku akan membalas semua orang yang pernah meremehkan. Dan aku akan bangun kerajaan Bisnisku lagi… dari tubuh gadis ini."
Langit malam tampak gelap di luar jendela rumah sakit. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup Alda… atau Aurora malam itu bukan lagi malam penuh tangis.
Itu adalah malam kelahiran sosok baru.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!