Hujan turun deras malam itu, menampar kaca depan mobil, Flower dengan suara berisik yang seolah mengiringi pikirannya yang kusut.
Tempat kerjanya saat ini bukanlah tempat di mana ia ingin berada.
Jam di dashboard menunjukkan pukul 23.48, jalanan hampir sepi, hanya lampu-lampu jalan yang memantulkan cahaya suram di atas genangan air.
Ia baru pulang dari shift malam di klinik kecil tempatnya bekerja. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang pasien kecilnya yang demam tinggi sejak sore.
Sesekali ia menghela napas panjang sambil menyalakan wiper.
Namun, di tikungan jalan setapak menuju rumahnya matanya menangkap sesuatu.
Sebuah bayangan hitam tergeletak di tepi jalan, di antara gelap dan derasnya hujan.
" Ya Tuhan… apa itu.?" gumamnya lirih.
Rasa takut dan rasa penasaran bertarung dalam dirinya.
Tapi nuraninya sebagai seorang dokter lebih kuat. Ia berhenti,memasang mantel hujan,lalu berlari menghampiri.
Cahaya senter dari ponselnya menyorot sosok pria yang terbaring.
Darah menetes pelan di antara air hujan.
Jaket kulit hitamnya sobek, dan tubuhnya tampak kaku karena dingin.
" Hey… kamu dengar aku?" Flo berlutut, suaranya panik namun tegas.
Tak ada jawaban, hanya erangan pelan. Nafas pria itu tersengal. Saat ia menyorotkan cahaya ke wajahnya, jantung Flo berdetak cepat,wajah itu tampan, namun penuh luka dan darah.
Ada sesuatu di tatapan matanya yang separuh terbuka… dingin, tapi menyimpan ketenangan aneh.
Flo menggigit bibir. "Aku nggak bisa tinggal diam. Kamu butuh pertolongan." Ucapnya pelan.
Dengan susah payah ia menyeret tubuh pria itu ke mobilnya. Tangannya gemetar saat darahnya mengenai kulitnya, tapi ia tak berhenti. Begitu sampai di mobil, ia menyalakan mesin dan tancap gas menuju kediaman nya.
Di sepanjang perjalanan, ia terus melirik ke kursi penumpang, memastikan pria itu masih bernapas.
"Bertahanlah… tolong jangan mati malam ini,"gumamnya berulang kali.
Setibanya di rumah, Flower langsung menyalakan lampu ruang tamu dan mengubahnya menjadi ruang tindakan darurat. Ia menyiapkan peralatan medis seadanya dari tas dokter pribadinya.
Tangannya cepat bekerja — membuka jaket pria itu, membersihkan luka, menghentikan pendarahan.
Tapi saat jarum suntik di tangannya hendak menembus kulit pria itu, sebuah tangan kuat tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya.
" Jangan…,!!"suara itu serak, tapi tajam.
Flo terlonjak kaget. "Kamu sadar?! Astaga, aku cuma mau bantu—" ucapnya sedikit gugup.
Pria itu menatapnya dalam, sorot matanya tajam seperti binatang yang terluka.
" Jangan… lapor siapa pun…" bisiknya lirih.
" Kalau mereka tahu aku di sini… kamu dalam bahaya.!"
" Deggg...!!" Flo membeku.
"Siapa mereka..? Apa yang terjadi sama kamu..?"
Pria itu memejamkan mata, menahan sakit. "Jangan tanya… cukup biarkan aku di sini malam ini…"
Hujan di luar makin deras, petir menyambar, dan malam seolah menahan napas. Dalam diam, dua orang asing itu kini terikat oleh sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan, namun sepertinya sudah ditakdirkan....
Flo hanya bisa menatap pria itu lama, antara takut dan iba. Ia tahu, mulai malam itu… hidupnya tidak akan pernah lagi sama...
Keesokan harinya....
Sinar matahari pagi menembus tirai tipis, menyentuh wajah pucat seorang pria yang masih terbaring lemah di sofa ruang tamu. Udara dingin masih terasa, namun saat itu terlihat selimut lembut menutupi tubuhnya sebatas dada.
Perlahan Gilhan membuka pelupuk matanya. Pandangannya masih kabur, tapi samar-samar ia menangkap sosok seorang gadis dengan rambut terurai rapi yang duduk di kursi dekatnya.
Aroma lembut antiseptik bercampur wangi bunga melati dari tubuh gadis itu membuat kesadarannya berangsur pulih.
Ia menatap lebih jelas Flo, gadis itu, mengenakan jas putih dan tersenyum lega saat melihatnya siuman.
" Syukurlah, kamu sudah sadar," ucapnya pelan sambil memeriksa luka di bahu Gilhan. "Kau kehilangan cukup banyak darah semalam."ucapnya dengan suara lembut.
Gilhan terdiam. Matanya beralih ke jendela besar di ruang tamu itu. Dari sana, ia bisa melihat jalan kecil, pagar rendah, dan deretan rumah yang berdekatan. Seketika napasnya tertahan.
"Terlalu terbuka,Terlalu mudah dilacak."pikir Gilhan
Naluri bertahan hidupnya langsung aktif.
Ia menggertakkan rahang, berusaha menegakkan tubuh meski rasa nyeri masih menusuk di setiap helaan nafasnya.
" Rumah ini…" suaranya serak, nyaris berbisik, "…terlalu dekat dengan jalan utama. Jika mereka mencari jejak ku, mereka bisa menemukan ku dalam hitungan jam."ujar Gilhan dengan suara beratnya.
Flower terkejut, tapi tetap tenang.
"Siapa sebenarnya kamu..?" tanyanya lembut, meski tatapan matanya tajam dan penuh selidik.
Gilhan tak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sangat dalam, seolah sedang menimbang sesuatu yang rumit di benaknya. Wajahnya menegang, namun di balik tatapan tajam itu ada ketenangan yang berbeda.
"Hmph..!"
Akhirnya ia menarik napas panjang.
" Nama ku Gilhan Alfaro, maaf untuk saat ini aku tidak bisa pergi… belum sekarang! Luka ini—"ucapnya menggantung ,namun tatapannya jatuh pada bahunya yang masih terbalut perban.
"Selama luka ku belum sembuh,aku tak bisa pergi,Tapi aku minta satu hal, Dokter… jangan biarkan siapa pun tahu aku di sini.!"ujar pria itu setelah memohon.
Flo menatapnya, bingung sekaligus tersentuh oleh nada suaranya yang nyaris seperti permohonan itu.
" Baiklah....nama ku Flower, tapi orang-orang di sekitarku memanggil ku Flo, jadi kamu juga boleh panggil saja aku, seperti itu..."jawabnya lirih.
"Dan satu lagi,aku bisa membantumu, tapi dengan satu syarat,kau harus jujur padaku. Setidaknya,aku tau sedang berurusan dengan siapa,dan siapa mereka yang bisa mencelakai mu seperti ini?"
Gilhan tersenyum tipis. Sebuah senyum yang lebih mirip luka dari pada tawa.
"Percayalah… semakin sedikit yang kau tahu, maka kau semakin aman.!"tutur Gilhan namun mampu membuat kening Flo berkerut.
Sesaat hening menguasai ruangan.
Hanya terdengar detak jam dan napas mereka yang berkejaran dalam keheningan yang canggung.
Di balik ketegangan itu, Gilhan tahu satu hal—meskipun hidupnya dikejar bahaya, entah kenapa ia tidak ingin pergi dari rumah itu.
Dari dokter cantik yang telah menyelamatkannya, meski baru semalam mereka bertemu.
" Tolong..!" kata Gilhan akhirnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Rawat aku… sampai aku bisa berdiri sendiri lagi." tambahnya lagi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Gilhan, pria yang terbiasa menghadapi luka dan kehilangan itu ,merasa aman dalam kehadiran seseorang.
Flo hanya mengangguk perlahan, namun senyuman manis di wajahnya seolah memberikan kekuatan baru bagi pria yang baru di kenalnya itu....
Dan sejak kejadian semalam, kehidupan Flo berubah total.
Di kediaman Flower
Rumahnya tak lagi tenang, pikirannya tak lagi damai.
Ia mulai diselimuti rasa penasaran dan perlahan… jatuh ke dalam pesona dingin Gilhan yang menyimpan banyak luka dan misteri.
Namun semakin ia mengenalnya, semakin ia terseret ke dalam dunia gelap yang selama ini tak pernah ia bayangkan dunia di mana cinta, bahaya, dan pengkhianatan berjalan beriringan.
Dan di antara ancaman, peluru, serta rahasia masa lalu yang mulai terkuak, Flo harus memilih. menyelamatkan Gilhan… atau menyelamatkan dirinya sendiri. Namun satu yang pasti mulai malam itu kehidupannya sepenuhnya berubah....!
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap lembut melalui tirai putih di ruang tamu rumah kecil itu. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi udara, berpadu dengan bunyi lembut langkah kak Flo yang sibuk menyiapkan sarapan.
Sementara di ruang tamu, Gilhan duduk menatap bekas luka di bahunya yang mulai mengering. Ia menggerakkan tangannya pelan, mencoba memastikan bahwa luka itu sudah cukup kuat untuk membawanya pergi.
Tiga minggu sudah ia tinggal di rumah itu, tiga minggu penuh keheningan, penyembuhan… dan sesuatu yang tak bisa ia namai.
"Sepertinya kau sudah bisa beraktivitas lagi," suara Flo terdengar lembut dari dapur. "Setelah sarapan, aku akan mengganti perban mu untuk yang terakhir kali."
Gilhan mengangguk, tapi pikirannya tak sepenuhnya di sana. Ia sadar… waktunya hampir habis. Ia tak boleh berlama-lama di satu tempat, terutama di rumah seorang perempuan polos seperti Flo. Bahayanya terlalu besar.
Namun saat ia beranjak, matanya tanpa sengaja tertuju pada sosok di ambang pintu dapur, Flo yang tengah menunduk mengambil sesuatu dari rak bawah.
Sinar matahari yang menembus tirai menyorot tubuhnya, membuat siluet lembut jas dokter putih yang dikenakannya tampak begitu memikat.
Gilhan menelan ludah. Napasnya tercekat sesaat.
Ia memalingkan wajah cepat, merasa bersalah sekaligus aneh.
Ada sesuatu yang bergetar di dadanya bukan sekadar kekaguman, tapi semacam rasa takut kehilangan.
"Apa yang kau lakukan,Han.?" batinnya menggeram.
"Kau seharusnya pergi. Bukan jatuh hati pada seseorang yang bahkan tak tahu siapa kau sebenarnya.!"
Namun, semakin ia berusaha menepis perasaan itu, semakin kuat rasa itu mencengkeram hati dan perasaannya.
Ia tak bisa melupakan tatapan Flo setiap kali memeriksa lukanya, setiap kali tangan lembutnya yang berhati-hati, suara lembutnya yang menenangkan bahkan di saat ia menggigil karena demam.
Ketika Flo datang menghampiri dengan senyum tenang dan berkata.
"Sudah waktunya mengganti perban kamu Han...!"Gilhan hanya bisa menatapnya lama, bahkan terlalu lama.
Jemarinya yang ramping menyentuh bahunya, dan entah kenapa, sentuhan itu membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari pada peluru yang pernah ia hadapi.
"Kau akan pergi hari ini...?" tanya Flo pelan tanpa menatapnya.
"Ya… seharusnya begitu," jawab Gilhan lirih.
"Aku tidak ingin menyeret mu ke dalam urusanku." tambah Gilhan lagi.
Keheningan menggantung di antara mereka.
Seolah waktu berhenti dan menyisakan keheningan yang kaku.
Flo tersenyum samar, tapi matanya meredup.
"Aku tahu. Tapi… entah kenapa aku ingin percaya, bahwa kamu bukan orang jahat.!"
Gilhan hanya terdiam. Di dalam hatinya, sesuatu bergolak, perasaan asing yang membuatnya tak yakin lagi pada keputusannya untuk pergi.
Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanya satu kalimat sederhana, nyaris berbisik.
"Terima kasih, Dokter Flower… kamu menyelamatkan ku, lebih dari yang kau tahu."
Dan di saat ia melangkah keluar dari pintu rumah itu, angin pagi berhembus membawa dingin, namun yang terasa justru hangat, karena di balik langkah beratnya, Gilhan tahu…
ia meninggalkan sepotong hatinya di rumah kecil itu, bersama dokter cantik bernama Flower..
Langkah kaki Gilhan cepat, sengaja ia tak ingin menoleh kebelakang, padahal ia tau Flo masih di sana menatap kepergiannya.
Dalam hitungan menit,ia sudah menghilang dari pandangan Flo.
Sementara Flo yang masih menatap kepergian Gilhan hanya bisa memegang dadanya, ada rasa tak biasa, rasa kehilangan yang tidak pernah ia mengerti.
"Gilhan... siapa pun kamu,aku harap kamu selalu dalam lindungan-Nya..."ujar nya bermonolog.
Sementara di tempat yang tersembunyi.....
Gilhan kembali ke markas aman, persembunyian nya.
Sejak peristiwa berdarah malam itu,ia merasa kalau orang -orang yang menginginkannya tak akan berhenti sampai di situ.
Dengan seluruh kekuatannya ia kembali melatih kekuatan fisiknya setelah beberapa Minggu beristirahat total, dalam pelayanan dokter cantik itu....
Di sisi yang berbeda....
Sudah tiga hari sejak Gilhan pergi, namun rumah itu masih menyimpan jejaknya samar, tapi begitu terasa.
Secangkir kopi yang tak lagi diseduh setiap pagi.
Kursi di balik jendela kamar yang dulu selalu ia duduki diam-diam sambil menatap langit pagi.
Bahkan udara di ruang tamu pun seolah masih menyimpan aroma samar obat antiseptik dan parfum maskulin yang entah sejak kapan menempel di udara.
Flo berdiri di depan meja makan, menatap piring kosong di hadapannya.
Pagi itu, seperti biasa, ia bangun lebih awal.
Namun tak ada lagi suara langkah berat di lorong.
Tak ada gumaman rendah dari pria yang dulu ia khawatirkan setiap hari.
Kini, hanya ada sunyi.
"Kenapa rasanya seperti kehilangan sesuatu yang penting… padahal kami bahkan tak sempat saling mengenal.?" Ujar Flo bermonolog.
Ia memejamkan mata sejenak.
Dalam benaknya, wajah tampan Gilhan muncul dengan luka di bahunya, tatapannya yang tajam, seolah berusaha menutupi rasa sakit, dan caranya menatap langit malam seolah sedang memikul beban berat, tentang dunia.
"Kenapa kau harus pergi begitu cepat…" gumamnya pelan.
Flo tahu, pria itu bukan orang biasa. Dari bekas lukanya, dari caranya waspada terhadap setiap suara di luar jendela, dari cara ia berbicara yang penuh kehati-hatian. semua menandakan bahwa Gilhan hidup dalam bahaya. Tapi tetap saja… kepergiannya meninggalkan ruang kosong yang tak bisa dijelaskan oleh logika seorang dokter cantik seperti dirinya.
Hari itu di rumah sakit, Flo tak bisa fokus dalam bekerja. Tangannya gemetar saat memeriksa pasien, pikirannya terus melayang ke wajah pria misterius itu.
Salah satu rekan sejawatnya, Dokter Rani, sempat menegurnya.
"Flo, kamu kelihatan aneh hari ini. Capek, ya?"
"Hm? Ah, tidak… cuma kurang tidur." jawabnya singkat.
"Kurang tidur, atau kepikiran seseorang.?" tanya Rani menggoda dengan senyuman nakal.
Flo hanya tersenyum kaku, berusaha mengalihkan topik.
Tapi matanya tak bisa berbohong. Ada "rindu" yang tak seharusnya ada untuk seseorang yang bahkan tidak meninggalkan jejak apa pun selain luka yang pernah dirawatnya.
Malam itu, hujan turun perlahan.
Flo duduk di balkon, menatap titik-titik air menetes dari langit.
Di pangkuannya, secangkir teh melati sudah dingin.
Ia menatap langit yang gelap, teringat malam ketika ia pertama kali menemukan Gilhan,tubuhnya tergeletak di jalan, darah mengalir dari bahunya, hujan turun deras seperti malam itu.
"Kau datang di bawah hujan…" gumamnya, lirih.
"Dan kini kau pergi tanpa jejak."
Matanya memanas. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Flo menangis bukan karena kehilangan pasien, tapi karena kehilangan seseorang pria asing yang bahkan tak sempat ia kenal sepenuhnya.
Di tempat lain, beberapa kilometer dari rumah itu…
Gilhan duduk di dalam mobil hitam dengan jendela tertutup.
Dari kejauhan, matanya menatap rumah kecil itu yang kini remang disiram hujan.
Ia menggenggam ponselnya erat, jari-jarinya nyaris menekan tombol panggilan yang tak pernah bisa ia lakukan.
"Maaf, Flo. Dunia tempatku hidup terlalu berbahaya untukmu."
Tapi di balik kaca berembun, Gilhan menatap bayangan samar sosok wanita di balkon,Flower, duduk dalam dingin, memeluk tubuhnya sendiri.
Dan entah kenapa, dada Gilhan terasa sesak.
"Aku janji… kalau semua ini selesai, aku akan kembali," bisiknya lirih, sebelum mobil itu perlahan menjauh,meninggalkan rumah yang kini hanya menyimpan "kenangan".
Pagi itu, Flo membuka jendela ruang tamu seperti biasa.
Udara lembap sisa hujan semalam masih terasa menusuk kulit.
Namun pagi itu, terasa berbeda ada "hampa" yang begitu dalam, seperti rumah itu ikut kehilangan denyutnya sejak kepergian Gilhan
Ia berniat membersihkan kamar tamunya, tempat di mana Gilhan pernah beristirahat selama masa penyembuhannya.
Saat membuka pintu, aroma obat dan antiseptik masih samar terasa.
Di sisi ranjang, seprai sudah dilipat rapi, menandakan Gilhan memang sengaja membereskan semuanya sebelum pergi.
Tapi… di antara lipatan selimut, sesuatu menarik perhatiannya.
Sebuah kalung kecil tergeletak di sana.
Bukan kalung biasa, rantainya terbuat dari baja tipis, dan di ujungnya tergantung sebuah liontin logam berbentuk peluru kecil.
Flo memungutnya dengan hati-hati.
Benda itu dingin, berat, dan entah kenapa membuat dadanya bergetar.
Ia memperhatikan lebih dekat.
Di permukaan logam itu, ada ukiran samar, huruf-huruf kecil yang hampir tak terbaca
"G.A — 07"
"Gilhan…" bisiknya tanpa sadar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!