NovelToon NovelToon

Accidentally Wedding

Insiden dan Lamaran Tepi Jurang

Udara di Puncak Blackwood adalah campuran memabukkan dari keheningan dan dinginnya ketinggian, bau tanah basah, dan aroma samar cemara yang dibawa oleh angin malam.

Pemandangan dari sini, di ketinggian hampir dua ribu meter di atas permukaan laut, selalu berhasil membungkam pikiran Greenindia Simon. Bagi Green, nama panggilan yang ia pilih karena lebih ringkas dan menenangkan, tebing granit itu adalah rumah ketenangan sementara, pelarian dari kebisingan kota yang ia tinggalkan di bawah sana.

​Ia telah mendaki selama sepuluh jam, meninggalkan jalur resmi sejak pukul empat sore, sengaja memilih rute yang lebih terjal dan tersembunyi.

Kelelahan yang membebani otot-ototnya bukanlah hukuman, melainkan anugerah; kelelahan fisik adalah satu-satunya hal yang mampu mengusir kepenatan mental dan gema kekecewaan yang tak pernah berhenti menghantuinya di dataran rendah.

​Greenindia melangkah perlahan ke tepi tebing. Di bawahnya, lembah Blackwood tampak seperti jurang tak berdasar yang diselimuti oleh hutan pinus yang menyerupai karpet kasar dan gelap.

Di kejauhan, di ujung cakrawala yang memudar, Metropolis berkilauan. Jutaan lampu kota yang tak terhitung jumlahnya berkedip, tampak tenang dan damai dari jarak ini. Sebuah ironi, pikirnya, mengingat semua kekacauan yang terjadi di balik setiap jendela kecil itu.

​Ia meletakkan ranselnya yang sudah usang di atas batu datar, lalu duduk bersila, mengeluarkan termos baja anti-karatnya. Uap teh herbal dengan sedikit ginger mengepul, memberikan kehangatan yang kontras dengan embusan angin yang menusuk tulang. Ia menikmati ritual ini: memanaskan telapak tangan pada termos yang hangat, menghirup aroma rempah, dan membiarkan ketenangan menyelimuti seluruh inderanya.

​Matanya terpejam sejenak. Ia adalah Greenindia Simon, wanita yang mencari kejernihan di puncak tertinggi. Ia bukan wanita yang kalah.

​Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan berat memecah keheningan yang suci. Greenindia membuka mata, terkejut dan marah karena invasi mendadak ini. Tidak seharusnya ada orang di sini. Pemandangan ini adalah miliknya.

​"Hei! Kau gila?!"

​Suara bariton yang kasar dan mendesak itu langsung menghancurkan kedamaiannya. Greenindia melihat ke samping. Sekitar sepuluh meter darinya, seorang pria jangkung dengan jaket gunung tebal berdiri, siluetnya mengancam di bawah cahaya bulan yang baru muncul.

​"Minggir dari situ! Cepat!"

​Pria itu tidak memberinya kesempatan untuk bertanya, apalagi untuk menjelaskan. Sebelum Greenindia bisa mengatakan sepatah kata pun, pria itu sudah berlari ke arahnya, mencengkeram erat pergelangan tangannya. Cengkeraman itu begitu kuat sehingga menimbulkan rasa sakit. Rex menarik Greenindia dengan paksa, menyeretnya menjauh dari tepi tebing.

​"Dasar wanita bodoh! Apa yang kau pikirkan?!" bentak Rex, wajahnya tampak merah, entah karena kelelahan atau kemarahan. Ia melonggarkan cengkeraman hanya untuk memutar tubuh Greenindia menghadapnya.

"Kau pikir siapa yang akan menemukanmu di sini? Apa kau tidak memikirkan trauma orang yang akan menemukan jasadmu nanti? Tindakan bodoh macam apa ini?!"

​Greenindia merasakan gelombang panas kemarahan membakar tenggorokannya. Ia menatap mata Rex—mata yang dipenuhi penghakiman dan frustrasi.

​Bunuh diri?

​Pria ini datang ke tempat pribadinya, menyentuhnya secara paksa, dan langsung melabelinya sebagai orang yang putus asa. Ketersinggungan itu mendidih. Ia tidak sedang mencoba bunuh diri; ia sedang mencoba hidup dengan caranya sendiri.

​"Lepaskan aku!" seru Greenindia, mencoba menarik tangannya, tetapi cengkeraman Rex tak bergeming. "Siapa kau sampai berani menyentuhku?! Aku tidak gila, aku hanya—"

​"Hanya apa? Hanya menikmati pemandangan sebelum kau terjun?" potong Rex sinis. "Aku melihatmu berdiri di sana, seperti patung, siap melompat! Jangan berlagak tidak tahu, Nona. Aku sudah melihatnya berkali-kali. Kau beruntung aku ke sini untuk memeriksa jalur pendakian darurat!"

​Kata-katanya yang meremehkan dan kontak fisik yang tidak diizinkan di tempat terpencil ini memicu alarm merah di benak Greenindia. Ketakutan akan pelecehan tiba-tiba mendominasi amarahnya. Dia sendirian di puncak gunung bersama pria asing yang kuat ini.

​"Lepaskan aku, Cabul!" teriak Greenindia, menendang kakinya ke depan. Ia menggunakan satu kata terburuk yang ia tahu untuk memicu kemarahan pria itu, berharap Rex akan kaget dan melepaskannya. "Aku akan berteriak! Dasar pria gila, kau mau melecehkanku, ya?!"

​Rex tercengang. Seluruh tubuhnya menegang. Ia mengira ia akan menghadapi penolakan, tetapi tuduhan ini? Itu jauh di luar dugaannya. Wajahnya yang tegang karena kekhawatiran berubah menjadi luapan amarah yang tulus.

​"Melecehkan? Kau mencoba bunuh diri, dan menuduh aku orang yang cabul?! Astaga, kau benar-benar kehilangan akal sehatmu!" Rex menggelengkan kepala, mencibir. "Aku tidak peduli kau mau bunuh diri, tapi kau tidak akan melakukannya di pandangan mataku. Kita turun sekarang! Setelah kita di bawah dan di tengah keramaian, kau boleh menuduhku apa pun. Tapi sekarang, kau ikut aku!"

​Rex mencoba menyeretnya ke belakang, menuju jalan setapak yang samar-samar. Greenindia melawan dengan sekuat tenaga. Ia yakin Rex hanya menggunakan dalih "menyelamatkan" untuk membawanya ke tempat yang lebih gelap.

​Tidak akan!

​Tangan kirinya yang bebas secara refleks meraih saku celana kargo. Ia menarik keluar pisau lipat kecil dengan gagang merah terang, hadiah dari ayahnya yang selalu ia bawa untuk memotong tali atau membuka kemasan makanan beku di jalur pendakian.

​"Aku bilang, jangan sentuh aku!" bentaknya lagi, mengacungkan pisau itu di antara mereka. Tujuannya adalah gertakan, menciptakan jarak, membuat Rex mundur karena terkejut.

​Rex, yang emosinya sudah di ambang batas, hanya mendengus, berpikir itu adalah upaya dramatis terakhir Greenindia untuk kembali ke tepi tebing. "Simpan mainanmu. Aku tidak takut pada orang putus asa sepertimu," katanya, melangkah maju untuk menutup jarak dan melucuti senjata Greenindia.

​Greenindia mundur, rasa takut membuatnya panik. Ia mengayunkan pisau itu secara asal, hanya untuk menjaga agar Rex menjauh.

Namun, di tengah pergumulan yang canggung dan kacau di atas tanah yang tidak rata, ia kehilangan pegangan. Pisau itu berputar di udara, dan yang ia rasakan selanjutnya adalah benturan tulang dan daging, diikuti dengan suara erangan yang jauh lebih dalam dan menyakitkan daripada erangan amarah.

​Rex sontak berhenti. Cengkeramannya pada Greenindia langsung melonggar. Ia menatap Green dengan mata melebar karena rasa sakit yang murni, lalu melihat ke bawah pada kakinya. Pisau lipat merah itu menancap di paha kirinya, tepat di atas lutut, menembus lapisan celana tebalnya. Darah yang merembes keluar terlihat sangat gelap di bawah cahaya bulan.

​Rex jatuh berlutut, wajahnya memucat drastis. Ia menekan luka itu dengan satu tangan, mengerang pelan.

​Greenindia menatap pisau itu, lalu ke wajah Rex, napasnya tercekat. Rasa ngeri yang dingin menusuknya. Ia tidak berniat melukai siapa pun. Ia hanya menggertak!

​"Ya Tuhan! Maafkan aku! Aku... Aku tidak sengaja!" Greenindia menjatuhkan dirinya di sampingnya, panik total. Ia mencengkeram bahu Rex, bingung harus berbuat apa. "Apa yang harus kulakukan? Aku harus membawamu turun! Kita harus—"

​Greenindia mencondongkan tubuhnya, siap merobek jaketnya untuk membalut luka Rex.

​Rex, yang kesakitan hebat, mendongakkan kepalanya. Ada kilatan gila—campuran rasa sakit, putus asa, dan sesuatu yang benar-benar tak terduga—di mata Rex.

​"Kau tanya apa yang harus kau lakukan?" Rex berbisik, suaranya parau dan terputus-putus.

​Greenindia mengangguk cepat, siap melakukan apa pun.

​Seringai miring dan terpelintir perlahan terbentuk di wajahnya yang pucat. "Menikahlah denganku."

“Hah?”

 

.

.

.

.

.

Hai, i'm back.

Selamat datang di karya terbaruku. Bagi pembaca buku, yang masih menunggu karya Playboy in Marriage update. Maaf, ya, kalau terlalu lama. Aku akan menyelesaikannya perlahan setelah aku kembali membacanya hehe. biar engga ada yang miss.

Selama menunggu cerita itu update, tolong nikmati karya baruku dan mohon dukungannya.

 

 

 

Bertanggung Jawab dengan Menikah

Tiga puluh menit kemudian, seluruh adegan di Puncak Blackwood tampak seperti mimpi buruk yang kabur. Greenindia Simon tidak ingat persis bagaimana ia berhasil menghentikan pendarahan di paha Rex, atau bagaimana ia menghubungi tim evakuasi darurat yang dipanggil oleh pria gila itu melalui jam satelitnya.

​Yang ia tahu, ia kini terikat di kursi helikopter berwarna hitam, mesinnya berderu memekakkan telinga. Ia duduk di sebelah Rex, yang berbaring di tandu darurat, kakinya dibalut kasar dengan perban darurat dari kain syal Greenindia. Perban itu kini basah dan berwarna merah gelap.

​Wajah Greenindia pucat pasi, seperti kertas yang direndam air. Itu bukan sekadar rasa takut dituntut karena menikam seseorang; itu adalah campuran dari rasa bersalah, kengerian akan darah, dan sesuatu yang jauh lebih gelap yang mengakar dari masa lalunya—sebuah kenangan yang ia yakini terkubur dalam-dalam. Setiap getaran helikopter mengirimkan gelombang trauma dingin ke seluruh tubuhnya.

​Rex, meskipun meringis menahan sakit, memiringkan kepalanya dan mengamatinya.

​“Lihat dirimu,” suara Rex serak dan bergetar, tapi tatapannya tajam dan meremehkan. “Kau hampir terjun dari tebing, mencari kematian, tapi sekarang kau tampak seperti hantu hanya karena melihat sedikit darah.”

​Greenindia menoleh, mencoba menghindari kontak mata. Ia merapatkan rahang.

​“Aku tidak mencoba bunuh diri,” bisiknya, suaranya hampir hilang di balik raungan baling-baling.

​Rex mendengus, tawa kering dan menyakitkan. “Tentu. Dan aku adalah peri gigi. Kalau kau bukan pencari kematian, lantas apa? Kau penyerang berdarah dingin? Pisau lipat itu terlalu gesit untuk kecelakaan, Nona.”

​Greenindia memejamkan mata. Ia tidak punya energi untuk berdebat. Pisau itu memang tergelincir, tetapi ia tahu ia telah mengacungkannya dengan niat mengancam. Ia bertanggung jawab atas luka Rex. Hanya saja... cara pria itu beranggapan tentang dirinya membuatnya muak.

​“Kau terlihat sangat takut, Greenindia Simon. Untuk seseorang yang begitu berani berdiri di tepi jurang, ketakutanmu sekarang agak... menyedihkan.” Rex membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. “Apa yang kau takutkan? Kau tidak membunuhku. Aku tidak akan mati. Lukanya tidak mematikan, hanya... mengganggu.”

​Rex menekan luka di kakinya, dan erangan kecil lolos dari bibirnya. Greenindia melihatnya. Meskipun ia membenci Rex karena kesalahpahaman dan kesombongannya, ia juga merasa iba.

​Greenindia menggeleng. Bukan kematiannya yang ia takuti. Bukan itu.

​“Aku hanya takut... aku melukai seseorang,” jawab Greenindia jujur. Matanya memancarkan kesedihan.

​Rex tersenyum sinis. “Bagus. Setidaknya kau masih punya hati nurani. Itu akan berguna, mengingat kita akan segera menikah.”

​***

​Helikopter mendarat di atas landasan pribadi di atap salah satu rumah sakit paling eksklusif di kota. Tim medis yang berpakaian serba biru segera bergegas masuk.

​Di lobi mewah rumah sakit—yang tampak lebih seperti hotel bintang lima daripada fasilitas kesehatan—seorang pria berpakaian setelan abu-abu dengan tampilan yang rapi dan kacamata berbingkai tipis sudah menunggu. Pria itu tampak tenang, dingin, dan sangat efisien.

​“Tuan Rex!” sapa pria itu, mendekat dengan langkah cepat. “Saya Antonio. Saya sudah siapkan ruang operasi dan ruang pemulihan. Bagaimana kondisi Anda?”

​“Jangan khawatirkan kakiku, Tony,” perintah Rex dengan nada tegas, sama sekali berbeda dari suara Rex yang mengerang kesakitan di tebing. Mata Rex, yang kini memancarkan otoritas penuh, beralih dari Antonio ke Greenindia.

​“Wanita ini. Greenindia Simon,” Rex menunjuk Greenindia. Greenindia merasakan perutnya melilit ketika Rex menyebut namanya di hadapan pria yang tampak berkuasa ini. “Dia yang menusukku. Pastikan dia tidak bergerak dari tempatnya. Jangan biarkan dia lari.”

​Antonio mengangguk singkat, tanpa emosi. “Dimengerti, Tuan Rex.”

​Tepat saat tandu Rex mulai didorong ke lorong terlarang, tiga pria berjaket kulit hitam dan bertubuh sangat besar, yang sebelumnya tampaknya menyamar sebagai staf keamanan rumah sakit, muncul dan mengepung Greenindia. Mereka bergerak cepat dan senyap, memotong setiap jalur pelarian.

​Rex menghentikan tandunya sesaat. Ia menatap Greenindia dengan tatapan yang sangat intens, wajahnya kembali menampakkan ekspresi kesakitan yang berlebihan.

​“Tony, dengarkan baik-baik. Luka ini sangat parah. Kau tahu, kakiku ini aset berharga. Dan dia pelakunya,” kata Rex, sengaja berbicara dengan nada dramatis yang bisa didengar Greenindia. “Aku butuh pertanggungjawaban. Segera. Kau tahu apa yang harus dilakukan.”

​Antonio membungkuk. “Instruksi sudah jelas, Tuan Rex. Saya akan segera menyelesaikannya.”

​Rex tersenyum puas, kemudian berbisik pelan, hanya untuk didengar Antonio. “Lakukan apa pun yang diperlukan. Paksa dia. Cari cara agar pernikahan ini sah dan didaftarkan, malam ini juga.”

​***

​Setelah Rex dibawa masuk ke ruang operasi, Antonio beralih kepada Greenindia. Suasana berubah dari kacau menjadi dingin dan mengancam.

​“Nyonya Simon,” Antonio memulai, suaranya rendah dan terkontrol. Ia memberi isyarat kepada tiga pria berjaket kulit untuk menjaga jarak, tetapi memastikan Greenindia tahu bahwa mereka ada di sana. “Mari kita bicara sambil duduk. Saya akan jelaskan situasinya.”

​Greenindia didorong perlahan ke sofa kulit mahal di sudut lobi. Ia duduk kaku, matanya tidak pernah meninggalkan pintu tempat Rex menghilang.

​“Situasinya adalah, Tuan Rex sedang berakting berlebihan,” balas Greenindia, berusaha terdengar berani meskipun lututnya gemetar. “Aku tidak sengaja menusuknya. Aku hanya membela diri karena dia menyerangku lebih dulu.”

​Antonio tersenyum tipis—senyum yang tidak mencapai matanya. “Memang. Dan Anda harus sangat berhati-hati dengan klaim ‘membela diri’ itu.”

​Antonio meletakkan sebuah map di atas meja kaca di antara mereka.

​“Anda menusuk Rex Carson, Nyonya Simon. Salah satu pengusaha properti terkaya di negara ini, seorang pria dengan jaringan politik yang luas. Apa yang Anda lihat sebagai kecelakaan, secara hukum adalah penyerangan dengan senjata tajam yang menyebabkan cedera serius.”

​Greenindia menarik napas tajam. “Tapi dia yang memulai! Dia menuduhku akan bunuh diri dan menarikku dengan paksa!”

​“Bukti? Anda hanya punya kata-kata Anda. Tuan Rex Harrison memiliki tiga orang saksi yang bisa bersumpah bahwa Anda berdiri di ambang tebing dan menyerangnya saat ia mencoba menyelamatkan Anda. Itu belum termasuk petugas evakuasi yang dipanggil karena laporan Anda bertingkah agresif.” Antonio mengetuk map tersebut. “Hukum sangat berpihak pada korban, Nyonya. Dan di mata hukum, Rex Carson adalah korban Anda.”

​Wajah Greenindia semakin pucat. Ancaman itu nyata. Kebebasannya terancam.

​“Tunggu,” kata Greenindia, suaranya nyaris tercekat. “Apa hubungannya semua ini dengan... menikah? Dia bilang aku harus menikah dengannya sebagai ganti rugi?”

​Antonio mendesah, seolah pernikahan adalah hal yang sepele. “Ya. Instruksi Tuan Rex adalah pertanggungjawaban penuh. Kerusakan emosional dan fisik yang diakibatkan oleh tindakan Anda, ditambah dengan kerusakan reputasi. Jika ini masuk pengadilan, Anda akan menghadapi denda jutaan dolar, tuntutan pidana, dan hukuman penjara bertahun-tahun. Masa depan Anda akan berakhir, Nyonya Simon.”

​Dia berhenti, membiarkan ancaman penjara meresap.

​“Alternatifnya, seperti yang Tuan Rex tawarkan: menikah. Menikahi Tuan Rex Carson berarti Anda menjadi bagian dari keluarganya. Tidak ada tuntutan pidana yang diajukan. Dia akan menganggap ini sebagai insiden keluarga yang diselesaikan secara pribadi. Pernikahan ini akan menyelamatkan Anda, Nyonya Simon.”

​Greenindia tertawa getir, meski air mata sudah menggenang di matanya. “Ini gila! Ini tidak masuk akal! Menikah untuk menghindari penjara?!”

​“Memang tidak masuk akal, tapi itu adalah kenyataan Anda. Tuan Rex bukanlah pria yang bisa ditentang. Keputusannya mutlak. Anda menikamnya, dia meminta pertanggungjawaban. Pilihan Anda: Penjara atau Pernikahan.” Antonio menatapnya dingin. “Kami hanya butuh tanda tangan Anda. Kami sudah punya petugas Catatan Sipil menunggu di lantai bawah. Ini akan selesai dalam satu jam.”

​Dunia Greenindia runtuh. Trauma masa lalunya, ketakutan akan ruang tertutup, rasa ngeri akan kontrol orang lain, semua berputar menjadi badai. Penjara bukanlah pilihan. Tidak setelah semua yang telah ia lalui untuk bebas.

​Ia menelan ludah, air mata membasahi pipinya. Tanggung jawab atas luka Rex, betapapun tidak sengaja, terasa mematikan di bawah tekanan ancaman Antonio.

​“Baiklah,” Greenindia berbisik, suaranya pecah, menyerah pada nasib yang tidak masuk akal. “Aku akan menikahinya. Tapi ini bukan pernikahan, ini... ini adalah sandera.”

​Antonio tersenyum lagi, senyum kemenangan yang kejam. “Sebut saja apa pun yang Anda suka, Nyonya Carson.”

 

Kutukan Pagi hari

Greenindia tidak ingat persis bagaimana proses pernikahan itu terjadi. Yang ia ingat hanyalah ruangan berpendingin udara yang terasa mencekik, Antonio yang meletakkan dokumen-dokumen tebal di hadapannya, dan bunyi pena di atas kertas. Semuanya terasa buram dan cepat—seperti adegan yang dipotong dari sebuah film buruk.

​Ketika Antonio akhirnya mengizinkannya pergi, matahari sudah terbit. Greenindia menolak tawaran tumpangan limusin mewah. Ia hanya ingin menghilang. Setelah berjuang mencari taksi ke sisi kota yang lebih sepi, ia akhirnya sampai di bangunan apartemennya yang kusam dan bertingkat empat. Ini bukan penthouse mewah, hanya bangunan bata tua yang diselimuti tanaman merambat, tempat ia menyewa unit kecil di lantai tiga.

​Langkah kakinya terasa berat saat ia menapaki lantai dasar. Sebelum naik, ia berhenti di toko serba ada di sudut bangunan, milik seseorang yang ia kenal.

​Bel pintu berdering nyaring saat Greenindia masuk. Tomi, pemilik toko yang ramah, sedang menyusun tumpukan majalah di konter. Wajahnya yang bulat dan senyum lebarnya langsung menyambut Greenindia.

​“Wah, Nona Pendaki sudah pulang!” sapa Tomi, suaranya ceria. “Tumben cepat. Bagaimana Puncak Blackwood? Biasanya kau bersinar seperti baru mandi matahari kalau habis dari sana.”

​Tomi terdiam, melihat lebih dekat wajah Greenindia yang kini berdiri di depan rak pendingin minuman. Wajah itu bukan bersinar; wajah itu kusut dan pucat pasi. Lingkaran gelap sudah terbentuk di bawah matanya.

Dia sangat mengenal Green jika ia baru saja kembali setelah mendaki.

​Greenindia mulai memasukkan kaleng-kaleng bir berukuran besar ke dalam keranjang. Satu, dua, tiga, empat...

​“Kau mendaki, Green?” tanya Tomi, nada suaranya berubah khawatir. “Kenapa wajahmu seperti habis bergulat dengan beruang? Ada apa? Kau diculik yeti?”

​“Tidak ada apa-apa, Tomi,” jawab Greenindia datar, sambil mengambil dua botol kecil minuman keras beralkohol tinggi. “Tolong hitung saja. Dan tambahkan ini.”

​Tomi mencondongkan tubuhnya ke depan konter, melihat isi keranjang belanja Greenindia yang dominan dengan alkohol.

​“Hei, Green. Tunggu dulu,” tegur Tomi, suaranya tegas. “Ini terlalu banyak. Kau baru pulang mendaki, kan? Badanmu pasti capek sekali. Kau harusnya tidur, bukan malah merayakan dengan minuman keras sebanyak ini.”

​Greenindia mendongak, matanya lelah tetapi memancarkan tatapan keras. Ia sudah lelah berpura-pura baik-baik saja di hadapan Rex, dan ia tidak punya energi untuk bersikap ceria di hadapan Tomi.

​“Justru ini, Tomi,” balas Greenindia, suaranya rendah dan tajam. “Justru inilah waktu yang paling tepat untuk minum alkohol. Sekarang, cepat hitung. Aku tidak punya waktu.”

​Tomi, yang sudah mengenal Greenindia sejak ia pindah ke sana tiga tahun lalu, tahu betul kapan harus berhenti. Ada kerapuhan yang menakutkan di mata temannya itu. Ia segera menghitung belanjaan dalam diam.

​Setelah membayar dengan tergesa-gesa, Greenindia bergegas keluar. Ia tidak menoleh ke belakang saat Tomi mengucapkan “Hati-hati, Green,” dengan nada yang dipenuhi rasa kasihan.

***

Malam hari.

​Apartemen Greenindia di lantai tiga adalah cerminan kehidupannya: minimalis, fungsional, dan agak suram. Hanya ada satu kamar tidur kecil, dapur mini di sudut, dan ruang tamu berukuran sedang yang didominasi sofa panjang yang nyaman dan televisi usang yang diletakkan di atas meja bundar kayu.

​Greenindia menjatuhkan semua belanjaannya di atas karpet. Ia tidak menyalakan lampu, hanya membiarkan cahaya redup dari jendela yang menghadap tembok bata tetangga menyinari ruangan.

​Dalam hitungan detik, ia sudah duduk di sofa, membuka salah satu kaleng bir, dan menenggaknya rakus. Rasa pahit dan dingin itu menyengat, tetapi berhasil membungkam sejenak kegaduhan di kepalanya.

​Ia meratapi tragedi dalam hidupnya.

​Semalam. Semalam ia berada di puncak dunia, di atas tebing dingin yang memberinya rasa kebebasan mutlak.

​Siang ini. Siang ini ia telah menikah dengan orang asing bernama Rex Caraon—pria sombong yang ia temui selama dua puluh menit sebelum ia menusuk kakinya.

​“Menikahlah denganku… sandera…” gerutu Greenindia pada dirinya sendiri, menenggak bir lagi, kali ini dari botol alkohol. Rasa terbakar yang hangat mulai menyebar di perutnya.

​“Rex Carson! Dasar gila!” Ia tertawa getir, tawanya berubah menjadi erangan sedih. “Dia pikir aku mau bunuh diri? Bodoh! Aku hanya melarikan diri, dasar bodoh. Bukan mencari kematian! Kenapa... kenapa harus menikah?”

​Greenindia meraih botol alkoholnya lagi. Ia mulai mencerca Rex, Antonio, tebing itu, dan dirinya sendiri. Ia mencerca takdir yang seolah-olah mempermainkannya, mengayunkan hidupnya dari puncak ketenangan ke jurang absurditas dalam waktu kurang dari dua belas jam.

​Botol kedua habis. Matanya mulai kabur. Kata-kata Greenindia menjadi ceracauan tak jelas tentang pisau, janji, dan sebuah nama yang samar-samar. Ia merasa kepalanya berputar, dan sesaat ia kembali ke ingatan akan kamar operasi yang dingin.

​Greenindia akhirnya roboh di sofa, bantalnya memeluk wajahnya yang basah oleh air mata dan keringat. Ia tertidur lelap dalam kelelahan dan mabuk, ruangan itu dipenuhi bau bir basi dan penyesalan.

...

​Cahaya pagi merayap masuk melalui jendela, tetapi Greenindia tidak menyambutnya. Ia terbangun karena suara yang menyerupai gempa bumi di pintu apartemennya.

​BRAK! BRAK! BRAK!

​Ketukan itu brutal dan tidak sabar, seolah pintunya akan hancur sebentar lagi. Greenindia mengerang kesakitan. Kepalanya berdenyut seperti dipalu. Ia segera menyadari di mana ia berada. Ia bangkit, pandangannya masih kabur, sisa mabuk semalam menimpanya seperti beban beton.

​Siapa yang bertamu sepagi ini dengan cara barbar seperti ini? Tomi tidak pernah seberisik ini.

​BRAK! BRAK!

​Dengan kesal, Greenindia menyeret langkahnya ke pintu. Ia mengusap matanya, membuka kunci pengaman, dan menarik daun pintu hingga terbuka.

​Dunia Greenindia yang baru saja kembali tenang, langsung hancur berkeping-keping di ambang pintu.

​Di hadapannya, Antonio berdiri dengan setelan yang sama rapinya seperti kemarin, tetapi dengan ekspresi yang lebih lelah. Di sebelah Antonio, tepat di depan pintu apartemennya yang kecil dan tidak berdaya, ada Rex Carson.

​Rex duduk di kursi roda hitam metalik. Kaki kirinya dibalut perban putih bersih yang besar, menjulur lurus ke depan. Wajahnya tidak lagi pucat; Rex tampak segar, meskipun sedikit menyebalkan. Ia mengenakan kaus cashmere abu-abu dan celana training mahal.

​Rex mengangkat tangannya, seolah-olah sedang menyambutnya ke pesta.

​“Selamat pagi, Istriku,” sapa Rex dengan nada yang sangat, sangat ceria.

​Greenindia menatap tumpukan botol bir di belakangnya dan bau alkohol yang menusuk, lalu kembali menatap Rex yang tampak berkuasa meski sedang duduk.

​“Apa... yang kau lakukan di sini?” tanya Greenindia, suaranya parau dan dipenuhi kemarahan.

​Rex menyandarkan kepalanya ke belakang, ekspresi wajahnya berubah menjadi santai, tetapi matanya memancarkan kepemilikan.

​“Pulang, Istriku,” jawab Rex, melambaikan tangan ke arah Antonio. Antonio segera mulai mendorong kursi roda itu melewati ambang pintu apartemen Greenindia yang sempit.

​“Tentu saja, pulang ke rumah istriku.”

 

.

.

.

Hai, Readers.

Mohon dukungannya, ya, untuk karya ini untuk diikutkan lomba. Jangan lupa like, komen. Dan vote karya ini. Terima kasih...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!