Seorang gadis cantik baru saja menggeliat pelan dari balik selimut tebal yang membungkus tubuhnya sepanjang malam. Gerakan kecil itu membuat seprai satin berwarna gading bergeser lembut di atas kasur besar berkanopi putih. Mata indahnya mengerjap perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menembus celah tirai putih di kamar luas bergaya modern-klasik itu.
Cahaya keemasan jatuh lembut di wajahnya — hangat, memantulkan kilau lembut pada kulit seputih porselen. Rambut panjang bergelombang berwarna cokelat madu berantakan di atas bantal, namun tetap tampak memesona, seolah potret seorang putri dalam lukisan hidup.
Viora Zealodie Walker.
Putri kecil keluarga Walker — keluarga terpandang yang namanya menggema di kalangan elite Jakarta.
Namun bagi orang-orang yang mengenalnya, Viora bukan sekadar cantik dan kaya. Ia hangat, rendah hati, dan selalu membawa energi positif ke mana pun ia pergi.
Ia menarik napas panjang dan tersenyum kecil. Hari baru, rutinitas yang sama, tapi baginya setiap pagi selalu punya cerita.
Melirik jam perak di meja samping: 06.12. Dari luar, terdengar kicau burung dan semerbak mawar putih yang baru disiram.
“Selamat pagi, dunia,” bisiknya ringan.
Ia duduk di tepi ranjang, menyapu rambutnya ke belakang, lalu melangkah ringan menuju balkon. Dari sana, pemandangan taman keluarga Walker terbentang indah — rapi, simetris, dengan air mancur di tengah yang memantulkan cahaya matahari pagi.
Viora menatapnya sambil menghela napas kecil. Udara pagi menyapa kulitnya, membuat ujung hidungnya sedikit memerah. Ia menutup mata sejenak, membiarkan angin pagi menelusup ke dalam nafasnya.
“Indahnya pagi ini,” gumamnya. “Rasanya sayang kalau disambut dengan wajah murung.”
Ia tertawa kecil lalu melangkah ke kamar mandi. Begitu shower dinyalakan, uap hangat mulai memenuhi ruangan. Suaranya menggema lembut di udara yang hening — seperti melodi awal hari yang menenangkan.
Usai mandi, Viora berdiri di depan lemari besar yang penuh deretan seragam rapi. Ia memilih satu setelan: kemeja putih bersih, rok kotak biru navy, dasi senada, dan blazer beremblem S di dada kiri. Warna biru itu sangat serasi dengan kulitnya yang cerah dan aura lembut yang ia pancarkan.
Di depan cermin besar, Viora mematut diri.
Senyum tipis merekah di bibir mungilnya saat ia menata poni dan merapikan dasinya.
“Oke, Vi. Siap menghadapi hari,” ujarnya riang sambil mengedip pada bayangannya sendiri.
Meski hidupnya tampak sempurna, Viora tidak pernah sombong. Ia selalu menyapa semua orang dengan ramah, menebar tawa kecil di mana pun ia berada.
Suara ketukan pelan di pintu memecah keheningan pagi.
“Nona Vio, sarapan sudah siap,” panggil seseorang lembut dari luar — suara Mbak Lila, pelayan setia keluarga Walker.
Viora menoleh sambil tersenyum hangat. “Iya, mbak Lila. Aku turun sebentar lagi.”
°°°
Ruang Makan Keluarga Walker
Ruang makan keluarga Walker dipenuhi aroma roti panggang dan teh chamomile yang menenangkan.
Meja panjang dari marmer putih tampak elegan dengan sentuhan bunga segar di tengahnya — perpaduan mawar putih dan lily, favorit sang ibu.
Leonard Walker, sang kepala keluarga, duduk tegak di kursinya dengan surat kabar di tangan. Begitu melihat putri bungsunya melangkah masuk, senyum hangat langsung muncul di wajahnya.
“Selamat pagi, princess. Tidurmu nyenyak?”
Viora tersenyum, lalu mencium pipi ayahnya sekilas sebelum beralih ke ibunya.
“Of course,” jawabnya riang. “Aku tidur seperti bayi malam ini.”
Claretta Walker, sang ibu, yang sedang menata piring di meja, tersenyum lembut.
“Pantas saja wajahmu segar sekali. Seperti matahari kecil di rumah ini,” Viora tertawa kecil. “Mama bisa saja.”
Di sisi lain meja, dua remaja laki-laki tampan sedang sibuk berebut sepotong roti terakhir di piring tengah.
Zevan dan Zegra Walker — kembar laki-laki Viora yang berusia 17 tahun — punya kepribadian jauh berbeda. Zevan sedikit urakan dan ekspresif, sementara Zegra lebih kalem dan teratur. Namun keduanya memiliki satu kesamaan: terlalu menyayangi adik perempuan satu-satunya itu.
“Pagi, Princess Walker. Si paling manja akhirnya turun juga,” goda Zevan dengan nada menggoda.
Viora menyeringai. “Gue nggak manja. Gue cuma... prioritas di rumah ini.”
Zegra tertawa kecil sambil menepuk bahu kembarannya. “Dia benar, bro. Princess tetap princess. Kita cuma pengawal.”
“Iya, pengawal yang nggak digaji,” celetuk Zevan, membuat semua orang di meja makan tertawa.
Claretta tersenyum geli melihat tingkah tiga anak remajanya, sementara Leonard melipat korannya dan menatap mereka dengan penuh kebanggaan.
Tak lama, suara langkah berat terdengar dari arah tangga. Elvatir Walker, putra kedua sekaligus kakak mereka yang kini duduk di kelas 12 Starlight, muncul dengan blazer abu-abu khas sekolah itu menempel rapi di tubuhnya.
Wajahnya tampan dan karismatik — versi muda dari ayahnya.
“Pagi, semua. Dan pagi juga untuk si paling dimanja,” sapa Elvatir dengan senyum menggoda.
Viora berdecak. “Pagi, Kak El. Gue tuh nggak manja, kalian aja yang terlalu protektif.”
“Ya jelas lah,” timpal Zevan. “Kita punya satu-satunya adik perempuan di keluarga ini. Mau gimana lagi?”
Canda pagi itu mengalir ringan. ”Leonard menatap anak-anaknya penuh kebanggaan. “Lihat kalian, meski Naka jauh di New York, meja ini tetap terasa lengkap.”
Claretta mengangguk lembut. “Benar. Naka pasti iri kalau tahu pagi kita selalu sehangat ini.”
Naka sendiri adalah anak pertama di rumah ini.
Claretta melirik jam tangannya. “Sudah hampir jam tujuh. Ayo, kalian berangkat.”
Leonard menurunkan koran dan berdiri, merapikan jasnya sebelum menghampiri istrinya. “Seperti biasa, pasukan kecil kita akan menyerbu jalanan Jakarta pagi ini,” ujarnya sambil tersenyum kecil.
Zevan berdiri paling dulu, menenteng helm hitam doff yang serasi dengan jaket kulit yang sudah ia kenakan. “Aku duluan, Ma, Pa,” katanya santai. “Motor harus dipanaskan dulu biar nggak mogok di tengah jalan.”
“Jalan hati-hati, Zev,” pesan Claretta lembut. “Dan tolong jangan ngebut lagi.”
Zevan menyeringai sambil mencium pipi ibunya cepat. “Nggak janji, Ma, tapi aku coba.”
Tawa kecil pun pecah.
Tak lama, Zegra berdiri dari kursinya. “Kami juga berangkat, Ma, Pa.”
Viora mengangguk pelan sambil mengambil tas sekolahnya yang elegan — warna hitam dengan logo Satropa Academy berlapis emas di bagian depan.
“Satropa lagi, Satropa lagi,” celetuk Zevan dengan nada menggoda sambil mengunci helmnya. “Kalian berdua nggak bosen di sekolah super disiplin itu?”
Zegra menatapnya sekilas. “Nggak juga. Setidaknya, di sana kita belajar sesuatu selain ngitung untung-rugi kayak anak IPS.”
Zevan mendengus, tertawa kecil. “Hei, jurusan IPS itu nggak kalah keren, oke? Justru yang santai-santai gini biasanya yang paling bahagia.”
Viora terkekeh kecil. “Kalian berdua nggak akan pernah berhenti saling sindir, ya?”
Claretta yang menyaksikan adu mulut ringan itu hanya menggeleng sambil tersenyum geli. “Asal jangan sampai terlambat, Mama nggak masalah kalian mau debat tiap pagi.”
Leonard ikut menimpali. “Dan jangan lupa, jaga nama baik keluarga Walker di sekolah. Kalian sudah cukup dikenal di Satropa."
“Siap, Pa,” jawab Zegra tegas.
Viora menambahkan lembut, “Kita nggak akan bikin Papa kecewa.”
Zevan menyeringai sambil mengangkat dua jarinya. “Dan jangan lupa, Pa — kadang reputasi keren juga butuh sedikit gaya rebel.”
Leonard hanya menghela napas pelan, tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya. “Dasar anak ini.”
Tawa ringan pun kembali terdengar.
Beberapa menit kemudian, halaman depan rumah Walker berubah ramai. Tiga kendaraan berbaris di bawah cahaya matahari pagi:
— Sebuah BMW hitam mengilap milik Zegra.
— Motor sport hitam milik Zevan.
— Dan motor sport putih milik Elvatir yang sudah lebih dulu meluncur menuju Starlight High School.
Zegra berjalan ke arah mobil, menekan tombol kunci otomatis. “Yuk, Vi.”
Viora mengikuti di belakangnya dengan langkah ringan. Rambut cokelat madunya berayun pelan di bawah sinar pagi. Ia membuka pintu penumpang dan masuk, sementara Zegra duduk di kursi pengemudi.
Sebelum menyalakan mesin, Zegra menoleh sebentar. “Hari ini ada presentasi Biologi, kan?”
“Iya,” jawab Viora sambil memeriksa map di pangkuannya. “Gue udah siapin semua datanya. Tenang aja, partner lo ini nggak akan bikin malu.”
Zegra tersenyum tipis. “Nggak pernah ragu soal itu.”
Zevan mencondongkan tubuh ke arah jendela. “Hei, jangan lupa latihan basket nanti sore.”
“Jam empat, kan? Jangan telat,” sahut Viora.
“Tenang aja, Princess,” sahut Zevan dengan gaya santai khasnya. “Gue bakal datang, asal lo bawain minuman dingin.”
Viora menggeleng sambil tertawa kecil. “Deal, tapi cuma kalau lo menang.”
Zevan mengedip dan memasang helmnya. “Siap, tantangan diterima.”
Suara mesin motor sport hitam miliknya meraung lembut, lalu meluncur keluar dari gerbang besar rumah Walker. Tak lama setelahnya, BMW hitam menyusul, melaju elegan di jalanan perumahan elit itu.
°°°
Lagu lembut mengalun dari speaker mobil, menciptakan suasana tenang di tengah hiruk-pikuk Jakarta pagi. Dari jendela, Viora menatap langit yang berwarna biru muda, sesekali tersenyum kecil melihat orang-orang yang bergegas di trotoar.
“Viora Zealodie Walker,” gumam Zegra sambil melirik sekilas, “putri Satropa Academy yang selalu jadi pusat perhatian.”
Viora menoleh, "Maksudnya?”
“Hampir semua cowok di kelas sebelah nyari alasan buat ngobrol sama lo.”
Viora tertawa pelan. “Ya, tapi sejauh ini belum ada yang berani macam-macam."
"Heum... Karena tatapan pawang lo terlalu menyeramkan."
Mobil mereka mulai mendekati gerbang tinggi bertuliskan SATROPA ACADEMY – Excellence, Honor, Integrity. Sekolah elit dengan arsitektur klasik modern itu berdiri megah di tengah taman luas dan jalan berpaving bersih.
Deretan mobil mewah dan motor sport berjejer di area parkir — pemandangan yang sudah biasa bagi para siswa Satropa.
Begitu mobil berhenti, beberapa kepala langsung menoleh. Viora dan Zegra keluar hampir bersamaan, dan seperti biasa, beberapa siswa yang lewat langsung menyapa dengan sopan.
“Pagi, Viora!”
“Pagi, Zegra!”
Viora membalas dengan senyum ramah yang khas. “Pagi juga!”
Zegra mengangguk singkat pada teman-temannya sebelum berjalan berdampingan dengan adiknya menuju gedung utama.
Cahaya matahari pagi jatuh lembut di rambut Viora, memantulkan kilau keemasan. Dalam seragam Satropa berwarna navy, ia tampak begitu anggun — seperti definisi nyata dari school royalty yang tak perlu berusaha keras untuk bersinar.
***
Koridor utama Satropa Academy pagi itu ramai oleh langkah sepatu dan suara percakapan ringan. Cahaya matahari menembus jendela kaca tinggi, menciptakan pantulan lembut di lantai marmer yang mengilap.
Viora dan Zegra berjalan berdampingan, langkah mereka tenang dan teratur. Semua mata yang melintas tak bisa tidak menoleh — bukan hanya karena nama besar keluarga Walker, tapi karena aura keduanya yang sulit diabaikan.
“Kayak biasa, semua mata ngikutin kita,” gumam Zegra pelan sambil melirik kanan-kiri.
Viora terkekeh kecil. “Udah biarin aja, mungkin mereka cuma penasaran.”
Sebelum Zegra sempat menjawab, dari arah berlawanan tampak sosok tinggi dengan postur tegap, berjalan dengan langkah pasti. Seragamnya rapi tanpa cela, dasinya terpasang sempurna, dan emblem Ketua OSIS di dada kirinya memantulkan cahaya pagi.
Rafka Arshad Pratama.
Nama yang sudah lama menggema di Satropa. Teladan, disiplin, dan dingin — seperti cermin dari kesempurnaan yang tak bisa dijangkau.
Zegra menatap sekilas, lalu menoleh ke adiknya. “Pacar kesayangan lo datang.”
Viora spontan memperlambat langkah. Tapi ketika jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa meter, senyum manis langsung merekah di wajahnya. Dengan ringan, ia melangkah cepat ke arah Rafka dan berseru kecil,
“Pagi, pacar~!”
Suara cerianya menggema lembut di koridor yang penuh siswa. Beberapa pasang mata sempat menoleh pada couple goals sekolah mereka. Viora tak peduli — ia sudah terbiasa jadi pusat perhatian. Ia tersenyum riang sambil melompat kecil ke sisi tubuh Rafka yang jangkung, matanya berkilat lembut seperti anak kecil yang baru menemukan opsi vaforit ya.
Namun, Rafka berhenti sejenak dan menatapnya dengan tatapan datar. “Vi, jaga sikap,” ujarnya pelan, “Ini sekolah.”
Nada suaranya dingin, tanpa intonasi lembut atau gurauan kecil seperti pasangan pada umumnya.
Senyum Viora sempat memudar sesaat, tapi ia cepat menutupinya dengan tawa kecil. “Oh, iya. Maaf. Refleks.”
Rafka hanya menatap sekilas, lalu kembali melangkah tanpa memberi respons lebih. Langkahnya panjang dan tenang, meninggalkan jarak sekitar setengah meter di antara mereka — jarak yang terasa jauh bagi Viora.
Ia berusaha menyesuaikan langkahnya agar sejajar, namun setiap kali ia sedikit mendekat, Rafka justru tampak makin menjaga ritme langkahnya agar tetap berjarak.
“Semalam lembur lagi?” tanya Viora mencoba mencairkan suasana.
“Iya. Banyak rapat OSIS,” jawab Rafka singkat tanpa menoleh.
“Capek, ya?”
“Sudah biasa.”
Hanya tiga kata. Datar, tenang, nyaris tanpa emosi. Dan Viora seperti sudah biasa dengan semua sikapnya.
Dari jauh, beberapa siswi yang lewat saling berbisik sambil menatap mereka — pasangan paling mencolok di seluruh koridor Satropa Academy pagi itu.
“Lihat deh, itu Viora sama ka Rafka.”
“Ih, mereka berdua tuh couple goals banget, nggak sih?”
“Banget! Primadona Satropa dipasangkan sama ketua OSIS yang super dingin… bener-bener kayak drama Korea versi nyata!”
“Tapi, kok Rafka keliatan kaku banget, ya?”
“Ya namanya juga Rafka. Cuek tapi keren. Gaya dingin gitu malah bikin makin ganteng!”
“Iya, tapi kasihan juga Viora. Dia yang terus nyapa, dia yang kayak keliatan paling berusaha di hubungan mereka.”
“Ya tapi tetep aja—mereka tuh keliatan sempurna. Udah deh, jangan berasumsi. Toh mereka ini yang jalani.” Dan gue akan tetap mendukung kapal itu terus berlayar."
Bisik-bisik itu berlanjut dengan tatapan iri dan kekaguman. Beberapa bahkan sempat berhenti hanya untuk melihat keduanya berjalan bersebelahan — Viora dengan senyum lembutnya yang manis, dan Rafka dengan ekspresi tenangnya yang tak tersentuh.
Bagaimana tidak?
Viora Zealodie Walker — gadis yang dikenal ramah, ceria, dan berhati hangat — disandingkan dengan Rafka Arshad Pratama, sosok ketua OSIS yang disiplin dan nyaris tak pernah menunjukkan sisi lembutnya di depan siapa pun.
Mereka bagaikan dua kutub yang berbeda — tapi justru itulah yang membuat banyak orang terpikat.
Si cerah dan si dingin. Si hangat dan si tenang.
Viora sempat melirik ke arah kanan, memperhatikan Rafka yang masih berjalan lurus tanpa sedikit pun menoleh.
Viora yang sempat ingin bertanya, seketika mengurungkan niatnya saat suara familiar terdengar dari belakang.
“Vio!” seru seseorang dengan nada riang.
Viora menoleh, dan senyumnya langsung merekah saat melihat Friska Anastasia, gadis cantik yang menjadi sahabatnya sejak mereka menginjak di sekolah menengah pertama.
Friska berjalan cepat ke arahnya. Gadis itu melambaikan tangan dengan ekspresi ceria khasnya — rambut hitam nya bergoyang seirama langkah kakinya.
“Dari tadi gue nyari lo, ternyata jalan sama pangeran es kita,” godanya sambil menatap Rafka sekilas dengan senyum geli.
Viora tertawa kecil, “Heh, cuma pangeran es gue yah! Enak aja.” kata Viora posesif namun setengah bercanda.
Friska mendengus geli mendengar nada posesif nya. “Iya, iya, cuma pangeran es lo. Tapi serius deh, tiap kali gue liat dia, aura sekolah ini langsung berubah lima derajat lebih dingin.” Lanjut nya setengah berbisik.
Viora tertawa "udah biasa."
Friska yang kini sudah berdiri di sisi lain Viora tersenyum sopan ke arah Rafka, mencoba bersikap ramah walau ada sedikit rasa canggung menghadapi sosok Ketua OSIS yang terkenal dingin itu.
“Pagi, Kak Rafka,” sapanya sopan, nada suaranya terdengar ringan tapi penuh rasa segan.
Rafka menoleh sedikit, sekadar formalitas. Tatapannya singkat — cukup untuk memberi kesan bahwa ia mendengar, tapi tidak berniat memperpanjang percakapan. “Pagi,” jawabnya pelan, datar seperti biasanya, disertai anggukan kecil.
“Sana ke kelas!,” lanjut Rafka yang di tujukan pada Viora. Suaranya datar namun tegas — terdengar lebih seperti perintah. Tanpa menunggu respons, ia segera melanjutkan langkahnya menuju ruang OSIS, punggung tegapnya perlahan menjauh di antara kerumunan siswa yang lalu lalang.
Viora terdiam sesaat. Napasnya terhela pelan, nyaris tak terdengar. Pandangannya masih tertuju pada punggung Rafka yang semakin kecil di ujung koridor — sosok yang begitu ia sayangi, namun akhir-akhir ini sifatnya berubah menjadi lebih dingin. Entah karena banyak nya tuntutan tugas atau karena hal lain, Viora tak pernah tau.
Ada sesak halus yang menekan dadanya, tapi ia memilih menelan semuanya dalam diam. Seperti biasa.
Friska yang berdiri di sampingnya menghela napas pendek. “Cowok lo tuh, Vi…” katanya, menggantung kalimatnya sambil melipat tangan di dada. “Antara terlalu sibuk atau terlalu beku buat ngerti gimana rasanya punya pacar secantik dan seceria lo.”
Viora menoleh, tersenyum kecil — senyum lembut yang tidak sepenuhnya tulus, “Dia cuma… punya caranya sendiri buat nunjukin perhatian,” katanya lirih, meski nada suaranya sendiri terdengar ragu.
Friska menatapnya lekat-lekat. “Kalau caranya bikin lo sedih terus, berarti bukan perhatian, Vi. Itu cuek yang disamarkan.”
Viora tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Jangan nyerang pacar gue pagi-pagi gini, deh. Ntar malah tambah dingin lagi."
Friska mendengus geli. “Yah, semoga aja suatu saat dia cair.” Ia menepuk pelan bahu sahabatnya. “Ayo, kita ke kelas. Kalau Miss Felicia ngelihat kita masih nongkrong di koridor, bisa-bisa disuruh push up.”
Viora mengangguk pelan, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah. “Iya, ayo.”
Mereka berdua pun berjalan berdampingan menyusuri koridor sayap barat. Suara langkah sepatu bergema lembut di lantai marmer, menyatu dengan riuh rendah suara siswa lain yang sedang bergegas menuju kelas.
Sekilas, Viora menoleh ke arah jendela besar di sampingnya. Sinar matahari pagi memantulkan bayangan dirinya — wajah manis dengan senyum lembut, tapi di baliknya, ada sorot mata yang perlahan kehilangan cahayanya.
Ia menatap refleksi itu sejenak sebelum berbisik pelan, nyaris tak terdengar oleh siapa pun. “Kadang… rasanya gue berjuang sendirian sekarang.”
Friska yang sudah beberapa langkah di depan menoleh “hah? Lo Ngomong apa, Vi?”
Viora buru-buru menggeleng dan tersenyum. “Nggak, cuma ngomong sendiri."
“Pantesan, dari tadi juga gue udah curiga lo pacaran sama udara,” balas Friska sambil menarik tangan sahabatnya agar cepat berjalan.
Viora tertawa kecil, kali ini sedikit lebih tulus. “Dasar Friska.”
Keduanya pun melangkah menuju kelas 11 IPA 1, meninggalkan segala keramaian koridor dan bayangan dingin yang baru saja berlalu.
***
Kelas 11 IPA 1 Satropa Academy pagi itu terasa hangat dan hidup. Cahaya matahari menembus jendela besar di sisi kanan ruangan, menerpa deretan meja kayu yang tersusun rapi. Suara riuh percakapan siswa terdengar bersahut-sahutan — sebagian membahas tugas semalam, sebagian lagi hanya bercanda sambil menunggu guru datang.
Viora melangkah masuk bersama Friska. Begitu pintu kelas terbuka, beberapa kepala langsung menoleh. Bukan hal baru — kehadiran gadis itu memang selalu menarik perhatian. Dengan rambut cokelat madu yang terurai lembut dan senyum manis di wajahnya, Viora tampak seperti sosok yang membawa aura segar ke dalam ruangan.
“Bangku biasa?” tanya Friska sambil menepuk kursi di baris tengah dekat jendela.
“Of course,” jawab Viora riang. Ia meletakkan tas di meja, lalu duduk dengan posisi santai, merapikan kancing atas seragamnya yang sedikit longgar. “Tempat ini dapet cahaya paling bagus, bikin suasananya tenang.”
Friska tersenyum, namun tak lama kemudian menepuk jidatnya sambil berseru, “Astaga, gue lupa!”
“Kenapa?” Viora menoleh, bingung.
“Gue lupa kasih laporan dokumentasi kegiatan OSIS minggu depan ke Kak Rafka tadi,” jawab Friska. “Ck… Vi, gue ke ruang OSIS dulu, yah.” Ia pun pamit.
“Oke, cepat balik, keburu guru datang,” pesan Viora. Friska mengangguk lalu segera bergegas meninggalkan kelas.
Friska memang anggota OSIS dan menjabat sebagai sekretarisnya.
Viora menoleh ke sekeliling kelas, memperhatikan teman-teman sekelasnya yang mulai sibuk menata buku dan catatan. Tak lama, suara derap langkah terdengar dari pintu depan. Semua siswa menunduk hormat, menunggu guru mereka masuk.
“Selamat pagi, anak-anak,” suara guru terdengar hangat namun tegas. “Kita mulai pelajaran hari ini dengan beberapa pengumuman. Ada perubahan jadwal kegiatan ekstrakurikuler yang perlu kalian catat.”
Sementara guru menjelaskan, Viora terlihat sibuk mengetik sesuatu di ponselnya, lalu mengirimkan pesan singkat kepada seseorang.
“Tunggu sebentar, Viora.” Tiba-tiba guru memanggil namanya, membuat Viora menatap ke depan.
“Nanti sebelum pulang, kamu latihan soal untuk olimpiade di perpustakaan bersama teman-teman yang lain, ya,” ujar guru.
“Baik, Bu,” jawab Viora sopan, menutup ponselnya.
°°°
Bel berbunyi menandai waktu istirahat pertama. Suara riuh siswa memenuhi kelas saat sebagian berlari keluar untuk sekadar menghirup udara segar atau membeli jajanan di kantin. Viora menutup bukunya, menarik napas sejenak, lalu merapikan tasnya.
“Setelah latihan soal nanti, lo balik dijemput supir, ya? Kalau nunggu gue, takutnya nggak keburu. Soalnya hari ini gue juga ada latihan persiapan basket antar-sekolah minggu depan,” ujar Zegra.
“It’s okay, gue bakal dijemput Kak Rafka nanti, abis dia kelar rapat antar-OSIS sama sekolah lain,” jawab Viora santai.
“Lo yakin dia nggak bakal lupa kayak minggu lalu?” Zegra mengernyit, sedikit khawatir.
“Enggak, dia bilang dia pasti bisa jemput gue nanti,” jawab Viora mantap, menutup tasnya sambil tersenyum tipis.
“Ya udah, tapi kalau ada apa-apa — misalnya dia nggak bisa jemput atau apa pun — lo hubungi gue, Zevan, atau siapa pun orang rumah,” ucap Zegra dengan nada protektif.
Viora terkekeh mendengar celotehan kembarannya itu. “Iya, iya, bawel.”
“Oke, kalau gitu. Gue keluar duluan, ya!” pamit Zegra, segera beranjak. Tak lama kemudian, Viora juga berdiri dan menyusul, melangkah menuju kantin. Namun saat berjalan di koridor, ia berhenti sejenak dan mengarahkan langkahnya ke papan pengumuman yang terletak di ujung lorong.
Papan pengumuman itu dipenuhi kertas berwarna-warni — jadwal ekstrakurikuler terbaru, daftar anggota klub olahraga, informasi lomba sains, hingga poster kegiatan seni. Viora menatapnya dengan saksama, memastikan jadwal latihan olimpiade fisika dan kegiatan penting lainnya sudah terekam di ingatannya.
Langkah ringan terdengar dari belakang.
“Vioraaa!” suara Friska memanggil dengan nada lelah namun tetap ceria. Gadis itu baru saja keluar dari ruang OSIS; seragamnya sedikit berantakan, sementara tasnya tampak penuh dengan dokumen.
“Hai, Fris. Capek, ya, habis rapat?” sapa Viora sambil tersenyum kecil.
Friska menghela napas panjang, menepuk bahunya sendiri.
“Aduh, capek banget! Kegiatan OSIS akhir-akhir ini padat banget. Mulai dari persiapan lomba, dokumentasi kegiatan, sampai rencana acara amal minggu depan… rasanya kayak nggak ada waktu buat napas sebentar.”
Viora mengangguk pelan, memahami.
“Wajar sih. Tapi setidaknya semua itu bikin sekolah jadi lebih hidup, kan?”
Friska mengerutkan dahi, tapi masih sempat tersenyum tipis. “Iya sih… cuma kadang gue pengen semuanya nggak numpuk bareng. Eh, lo mau ke kantin juga, kan? Gue ikut deh, sekalian minum sebentar.”
Viora mengangguk, dan mereka pun berjalan beriringan menuju kantin. Suasana koridor ramai — murid-murid berlalu sambil bercakap, beberapa berlari kecil karena jam istirahat hampir berakhir. Dalam keramaian itu, langkah mereka terasa ringan, meski pikiran Friska masih terbebani oleh urusan OSIS yang menumpuk.
Begitu tiba di kantin, aroma kopi, teh, dan roti panggang langsung menyambut.
Friska menyesap teh hangatnya sambil mengeluh pelan, “Abis ini gue harus ketemu ketua OSIS lagi buat finalisasi acara minggu depan… duh, kayaknya kerjaan gue nggak ada habisnya.”
Viora terkekeh, menepuk bahunya lembut.
“Santai aja. Luangin waktu sebentar buat minum dulu, baru lanjut kerja. Oh iya, Kak Rafka masih di ruang OSIS?”
“He’em,” sahut Friska sambil mengunyah roti, mulutnya sudah penuh makanan.
“Ck… pasti dia belum sempat makan,” gumam Viora. Ia mengangkat sebuah kotak makan berisi nasi goreng. “Fris, gue ke ruang OSIS dulu, ya. Mau nganterin ini.”
Friska hanya mengangguk cepat, masih sibuk menikmati makanannya.
Viora pun melangkah keluar kantin, menavigasi lorong yang kembali ramai. Tak lama kemudian, ia tiba di depan ruang OSIS dan mengetuk pintu pelan sebelum masuk.
Di dalam, Rafka tampak tenggelam dalam tumpukan berkas. Wajahnya serius, mata fokus menatap layar monitor di hadapannya.
“Hai, Kak. Sibuk, ya?” tanya Viora, sekadar basa-basi.
“Heum…” gumam Rafka, masih menatap layar. Ia sudah tahu itu Viora dari aroma parfum lembut yang selalu sama.
“Aku bawain nasi goreng buat kamu. Makan, ya, biar asam lambungnya nggak naik,” ucap Viora sambil menyodorkan kotak makan itu ke depan Rafka.
“Taro aja dulu, aku masih harus ngerjain ini bentar. Makasih, ya.” Jawab Rafka tanpa mengalihkan pandangannya.
“Oke… aku taro sini, ya?” Viora menaruh kotak itu di sisi meja, tapi matanya langsung tertuju pada kotak makan lain yang sangat familiar. Itu milik Friska.
“Loh… kok kotak makan Friska ada di meja kamu?” tanyanya heran.
Rafka hanya melirik sekilas. “Mungkin tadi dia lupa ninggalin di sini,” jawabnya datar.
“Oh…” Viora tak menaruh curiga sedikit pun. Masuk akal — Friska memang sekretaris OSIS yang sering bolak-balik ke meja Rafka untuk urusan laporan.
“Oh ya, Kak… nanti kamu jadi jemput aku, kan?”
Rafka menghela napas, suaranya terdengar lelah.
“Tadi kan udah kubilang lewat pesan.”
“Oh, aku cuma mastiin aja. Takutnya kamu lupa, kayak biasa,” sahut Viora sambil tersenyum kecil.
“Enggak. Jam lima, kan?” balas Rafka singkat.
“He’em. Jangan telat, ya. Langitnya udah mendung dari tadi, takutnya hujan.”
“Iya, nggak telat.” Rafka menanggapi cepat, tanpa ekspresi.
Viora kemudian duduk di kursi di samping meja Rafka.
“Kak, mau aku bukain nasinya nggak? Atau sekalian aku suapin?” tanyanya dengan nada ceria, mencoba mencairkan suasana.
“Gak usah,” tolak Rafka dingin, masih fokus pada dokumen.
“Oh… oke.” Viora terdiam sejenak, hanya menatap wajah serius Rafka yang tampan dalam diam. Ia selalu mengagumi setiap detailnya — hidung mancung, bibir tipis, dan sorot mata yang dingin namun tenang. Ada sesuatu yang selalu menahannya untuk pergi.
Tanpa sadar, ia meraih selembar tisu dan menyeka keringat tipis di pelipis Rafka.
“Kak, sini… keringetnya—”
Rafka menoleh sekilas, menegur datar, “Viora… diam. Aku lagi fokus.”
“Sorry,” ucap Viora pelan. “Aku cuma mau ngelap keringet di dahi kamu, kok.”
Rafka akhirnya menoleh penuh, menatapnya sejenak — tatapan yang sulit diartikan, antara lelah dan pasrah. Tanpa kata, ia sedikit menunduk, seolah mempersilakan.
Dengan hati-hati, Viora menyeka keringat di dahinya, senyum lembut terukir di wajahnya. Rafka mungkin dingin, tapi selalu punya cara tersendiri untuk membuat Viora tetap betah berada di sisinya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!