NovelToon NovelToon

Di Balik Kontrak Ibu Susu

Bab 1

“Dasar pembunuh! Kembalikan hidup putraku!”

Suara Bu Elia pecah, tajam menembus dinding rumah duka yang dipenuhi isak dan doa. Tubuh tuanya gemetar ketika tangannya berulang kali menghantam pundak Shanum yang terkulai lemah.

Air mata Shanum mengalir tanpa henti, menetes ke lantai yang dingin, menyatu dengan serpihan hatinya yang ikut remuk. Di hadapannya, tubuh Alvin terbujur kaku, dibalut kain kafan putih yang begitu menyilaukan, terlalu putih untuk sebuah perpisahan yang kelam.

Baru satu jam yang lalu, suaminya itu menatap sambil tersenyum, memegang tangannya, dan berjanji akan pulang cepat setelah membeli bubur yang ia inginkan. Satu jam. Hanya sesingkat itu kebahagiaan berubah menjadi duka yang mematikan napas.

“Mas Alvin, kenapa tinggalkan aku?” Suara Shanum parau hampir tak terdengar, jemarinya gemetar menggenggam tangan yang kini dingin dan kaku.

Di luar sana, suara hujan mengguyur pelan, seakan ikut menangisi kepergian Alvin. Aroma tanah basah bercampur dengan bau kapur barus dari kain kafan, aroma yang menandai akhir dari segala harapan Shanum.

“Gara-gara kamu minta dibelikan bubur ayam Mang Bejo, Alvin kecelakaan! Kamu harus tanggung jawab, Shanum!” Bentakan Bu Elia kembali menghujam, setiap katanya seperti pisau yang menusuk dada wanita itu.

“Dasar wanita manja! Suka memanfaatkan kebaikan Kak Alvin. Ngidam bubur jauh-jauh! Apa bedanya dengan yang di dekat rumah, hah!” Alana, adik iparnya, menoyor kepala Shanum dengan tatapan yang menyala oleh kebencian.

Shanum menunduk. Ia tak melawan. Tak mampu.

Air matanya jatuh di punggung tangannya yang beku, membentuk genangan kecil yang tak sanggup membangunkan pria itu kembali.

Jika waktu bisa berputar, tentu saja Shanum akan menahan lidahnya, menahan keinginannya, menahan segala hal yang membuat Alvin harus keluar rumah pagi itu.

Alvin adalah segalanya bagi Shanum. Lelaki yang tak pernah meninggikan suara, yang selalu menatapnya dengan penuh kasih meski Shanum terkadang manja dan rewel karena kehamilan. Tiga tahun mereka menunggu hadirnya buah hati, dan baru kali ini kebahagiaan itu datang. Alvin begitu bahagia sampai setiap ngidam kecil Shanum dianggapnya sebagai berkah.

Namun berkah itu berubah jadi kutukan. Hanya karena semangkuk bubur ayam yang paling enak di kota itu.

Kecelakaan tabrak lari itu terjadi begitu cepat. Terjadi di zebra cross dekat gerobak Mang Bejo yang ramai, saat Alvin sedang menyebrang. Tak ada saksi yang sempat mencatat plat nomor, hanya warna mobil hitam yang melintas seperti bayangan maut.

Ketika Shanum melihat tubuh Alvin dibawa ke rumah dengan ambulans, dunia seperti berhenti berputar. Suara sirine masih menggema di telinganya, bahkan setelah mobil itu pergi. Ia berjalan terseok menuju pintu, tubuhnya lunglai, perutnya terasa menegang, tetapi tak seorang pun menolong. Semua tatapan hanya berisi penilaian, tuduhan, dan kebencian.

Di rumah duka, banyak yang datang melayat. Tapi tidak ada yang menatap Shanum dengan iba.

Bisik-bisik tetangga terdengar seperti racun.

“Kasihan Bu Elia, Alvin mati gara-gara istrinya sendiri.”

“Kalau bukan karena dia ngidam, Alvin pasti masih hidup.”

Kata-kata itu menggema di kepala Shanum, membuat dadanya sesak. Napasnya memburu, tapi ia menahan tangis sekuat tenaga.

Shanun hanya duduk di pojok ruangan, menggenggam jaket hitam milik Alvin. Jaket itu masih beraroma parfum khas suaminya. Wangi yang dulu membuatnya tenang, kini hanya membuatnya semakin hancur.

“Kamu tidak boleh ikut ke pemakaman!” suara Bu Elia memecah keheningan.

Shanum mendongak, tetapi tidak berkata apa pun. Bibirnya bergetar, tak ada kata yang bisa keluar. Ia hanya menunduk, memeluk perutnya yang besar, tempat bayi mereka tumbuh. Satu-satunya alasan baginya untuk tetap bertahan di dunia yang sudah tak berpihak.

“Mas, apa yang akan terjadi padaku setelah ini?” batin Shanum lirih.

“Kamu sudah tidak ada untuk membela aku, untuk menenangkanku. Siapa lagi yang akan memelukku ketika dunia menuding aku seperti ini?” lanjut Shanun dalam hatinya.

Hening. Tak ada jawaban. Hanya suara azan Zuhur yang terdengar dari masjid ujung jalan, menyeru ke langit seolah mengantarkan ruh Alvin pulang.

Para pria mulai mengangkat keranda.

Suara kayu bergesekan dengan lantai, langkah kaki terdengar berat. Shanum ingin berdiri, ingin melihat suaminya terakhir kali, tetapi kakinya gemetar. Ia berpegangan pada dinding, tangan satunya memegangi perut.

“Ya Allah, kuatkan aku. Jangan biarkan aku jatuh sekarang,” gumam Shanum.

Namun, tubuh Shanum tak sanggup lagi. Bayi di dalam perutnya bergerak kuat, seolah ikut merasakan guncangan duka sang ibu.

Rasa ngilu menjalar dari pinggang ke perut bawah.

“To-long ...!” Suara Shanum serak, tangannya terulur lemah, mencoba meraih seseorang. Namun, orang itu malah menjauh, pura-pura tidak mendengar.

Shanum akhirnya jatuh berlutut, memeluk perutnya dengan linangan air mata. Sementara itu, suara tahlil dan takbir pengantar jenazah semakin jauh, meninggalkannya sendirian di tengah rumah yang kini sepi.

“Nak, tenanglah. Ibu masih di sini. Walau ayahmu sudah pergi, Ibu akan tetap menjagamu," ucap Shanum bermonolog dengan suara nyaris tak terdengar, sebelum pandangannya gelap.

Ketika kesadaran kembali, suara tangisan Bu Elia sudah memenuhi ruangan. Shanum membuka mata perlahan. Cahaya menembus jendela, menimpa wajahnya yang pucat. Napasnya berat, kepalanya berdenyut. Ia baru sadar telah pingsan hampir dua jam.

Suara langkah-langkah orang mulai berkurang, satu per satu pelayat pulang. Shanum menatap foto Alvin begitu lama, air matanya kembali jatuh tanpa henti.

“Mas Alvin ... aku janji, aku akan membesarkan anak kita. Tapi aku tidak tahu, bagaimana caranya hidup tanpa kamu.”

Kata-kata itu tenggelam dalam tangisnya sendiri. Tangis yang tidak hanya kehilangan, tetapi juga rasa bersalah yang takkan pernah bisa ditebus oleh waktu.

Bu RT bersama beberapa ibu-ibu sibuk menyiapkan hidangan untuk tahlilan sore nanti. Di antara keramaian itu, hanya ada satu sosok yang berdiri terpaku di sudut ruang tamu, dialah Shanum.

Sejak pagi, Shanum merasa ada sesuatu yang ganjil. Biasanya, para tetangga selalu menyapanya ramah, bercanda ringan, bahkan sering menitipkan anak kecilnya di warung kecil miliknya. Namun, hari itu, semua wajah seolah berubah menjadi topeng asing yang menolak untuk mengenalnya.

Tak ada sapaan, tak ada senyum. Hanya tatapan dingin yang seolah menelanjangi dosanya.

Shanum mencoba mendekat. “Bu RT, apa ada yang bisa aku bantu?” Suaranya lirih tapi tulus.

Wanita setengah baya itu menoleh sekilas, bibirnya mengerucut dingin. “Tidak ada,” jawab Bu RT singkat, lalu berbalik seolah keberadaan Shanum hanyalah sesuatu yang tak perlu diperhatikan.

Shanum menunduk, menatap jemarinya yang gemetar. Di dadanya, rasa sesak makin menebal. Hatinya memohon, semoga semua ini hanya sementara, hanya karena suasana duka. Akan tetapi kenyataan justru menamparnya lebih keras. Semua orang seolah telah sepakat memusuhinya.

Menjelang sore, tahlilan dimulai. Doa-doa dilantunkan, suara para lelaki menggema lembut di ruang tamu. Shanum duduk di pojok ruangan, memegangi perutnya yang makin membesar. Dari sela isak tangis, ia menatap foto Alvin yang diletakkan di meja kecil. Senyum pria itu di foto terasa begitu hidup, begitu hangat. Kontras dengan udara dingin yang membekukan hati Shanum sore itu.

Perut Shanum keroncongan. Seharian belum ada sesuap pun makanan masuk ke mulutnya. Pagi tadi ia sempat memasak nasi dan oseng-oseng sederhana untuk keluarganya. Namun, sejak mendengar Alvin kecelakaan, selera makannya hilang bersama semangat hidupnya.

Perlahan Shanum berjalan ke dapur, berharap bisa meneguk sedikit air atau mencicipi makanan sisa. Tapi pandangan matanya langsung kosong ketika melihat meja makan.

Di sana, Bu Elia dan Alana baru saja selesai makan ayam goreng yang masih berbau hangat. Bekas tulang berserakan, piring berminyak, dan aroma sambal yang tajam menusuk hidungnya. Akan tetapi, tidak ada sepiring pun yang disisihkan untuknya.

Air mata Shanum jatuh tanpa ia sadari. Ia berdiri diam cukup lama sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, dengan suara yang bergetar, “O, iya, Bu. Mas Alvin dimakamkan di mana?”

Tatapan Bu Elia berubah garang. “Buat apa kamu tanya-tanya?! Dasar pembunuh!” Suaranya melengking, membuat tubuh Shanum seakan tertusuk dari dalam.

“Aku cuma ingin tahu, Bu. Di mana suamiku dikuburkan. Agar nanti aku bisa pergi ziarah,” balas Shanum, menahan isak yang hampir pecah.

“Aku haramkan kamu berziarah ke makam putraku!” teriak Bu Elia lantang, wajahnya merah padam karena amarah.

“Astaghfirullah, Bu. Mas Alvin itu suamiku. Aku juga ingin berdoa untuknya.” Suara Shanum makin pelan, nyaris tak terdengar.

“Dasar tidak tahu diri!” Alana berdiri, jarinya menuding tajam ke wajah Shanum. “Pergi kamu dari sini! Kamu bukan siapa-siapa kami!”

“Benar kata Alana!” timpal Bu Elia. “Kamu bukan keluarga kami! Cepat pergi sebelum kami jebloskan kamu ke penjara atas tuduhan pembunuhan!”

Bagai petir menyambar di siang bolong, kata-kata itu membuat Shanum membeku. Napasnya tercekat, matanya membesar menatap dua orang yang dulu ia panggil keluarga.

Rumah ini tempat ia tertawa, menangis, dan membangun mimpi bersama Alvin, kini berubah menjadi neraka. Bahkan mertua dan iparnya tidak segan-segan melemparkannya keluar tanpa belas kasihan.

Shanun ingin menjelaskan, ingin membela diri, tetapi suaranya lenyap di tenggorokan. Hanya air mata yang berbicara.

Tangan Bu Elia yang gemetar karena emosi menarik lengannya dengan kasar.

“Keluar!”

Alana ikut mendorong dari belakang. Tubuh Shanum yang lemah dan hamil besar tak mampu melawan. Ia terseret hingga teras, lalu terhuyung ketika tubuhnya didorong keras ke arah paving blok.

Refleks, Shanum memeluk perutnya. Ia jatuh tersungkur, kedua tangannya lecet, darah merembes di kulitnya, tetapi ia tak peduli. Yang ia pikirkan hanya satu, yaitu melindungi bayi di rahimnya.

“Bu ... tolong! Jangan usir aku. Aku sedang mengandung cucumu.” Suara Shanum pecah, penuh rasa takut dan keputusasaan.

Dari balik pintu yang baru saja dikunci rapat, terdengar suara tawa sinis.

“Persetan dengan anakmu itu! Aku tak mau mengakuinya sebagai cucuku!” jerit Bu Elia.

Kata-kata itu bagai pisau dingin yang menembus jantung Shanum. Ia menatap pintu yang kini menjadi batas antara kasih yang pernah ada dan kebencian yang kini menelan segalanya.

“Bu, Mas Alvin pasti sedih kalau tahu aku diusir seperti ini.” Suara Shanum hampir tenggelam dalam tangis.

Tak ada jawaban. Yang terdengar hanya suara kunci yang diputar, tanda tak ada lagi tempat baginya di rumah itu.

Shanum terisak. Ia duduk di teras, menatap kosong ke halaman yang mulai gelap. Angin malam berubah dingin menusuk, membawa suara serangga dan kesepian yang menyesakkan dada.

Dalam hening, Shanum berbisik lirih, “Mas Alvin, aku lelah ... aku takut, tapi aku janji akan menjaga anak kita walau dunia ini menolakku.”

Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah dari dalam. Hati Shanum berdebar mengira Bu Elia menyesal atau mungkin Alana sadar dan ingin membantunya. Akan tetapi, harapan itu hancur seketika.

Sebuah ember berisi air dingin disiramkan tepat ke tubuh Shanum. Suara tawa nyaring Bu Elia menggema dari balik pintu.

“Rasakan itu! Pergi dari sini! Jangan pernah injakkan kakimu lagi di rumah ini!”

Air membasahi tubuh dan wajah Shanum, bercampur dengan air mata yang tak lagi bisa ia bedakan. Malam turun perlahan, membawa hawa dingin yang menggigit tulangnya.

Shanum memeluk perutnya, menggigil, tak tahu harus ke mana. Jalanan mulai sepi, lampu-lampu rumah tetangga satu per satu padam.

Shanum menatap langit yang kelam. Langit yang dulu jadi saksi doanya bersama Alvin, kini hanya menjadi saksi kesendiriannya.

“Ya Allah, aku mohon lindungi aku dan anakku. Jika ini ujian, tolong kuatkan aku, karena aku tak tahu lagi bagaimana caranya bertahan.”

Di bawah sinar lampu jalan yang temaram, Shanum berjalan sendirian, basah, lelah, dan patah. Tak ada tempat yang bisa disebut rumah lagi. Hanya bayi di dalam rahimnya yang kini menjadi satu-satunya harapan untuk bertahan hidup. Untuk dirinya dan untuk cinta yang sudah terkubur bersama suaminya.

"Aku harus pergi ke mana? Adakah orang yang menolong aku?" Shanum berjalan tak tahu arah.

***

Assalammualaikum, aku buat karya baru untuk lomba dengan tema ibu susu. Akan banyak plot twist dalam cerita ini. Dan pastinya mengaduk-ngaduk emosi. Siapkan hati.

Bab 2

Hujan turun deras tanpa ampun, menghantam bumi dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Langit malam seperti ikut menangis untuk Shanum. Wanita malang yang kini berjalan tertatih di bawah hujan tanpa payung, tanpa arah, tanpa rumah untuk kembali.

Air hujan membasahi tubuh dan wajahnya, menempel di baju yang sudah lusuh dan berat karena air. Di tangannya, ia menggenggam perut besarnya dengan canggung, seolah sedang berusaha menahan bayi di dalam agar tidak terjatuh.

Langkah Shanum terseok. Jalanan licin, genangan air menutupi batu dan lubang kecil. Namun, Shanum tidak punya pilihan lain.

Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung kini menutup pintu untuknya. Satu-satunya keluarga yang ia punya telah mengusirnya dengan kata-kata yang menusuk lebih tajam dari belati.

“Ya Allah, ke mana aku harus pergi?” gumam Shanum lirih, suaranya tenggelam dalam suara hujan.

Shanum sempat berpikir menuju kantor polisi atau rumah Pak Darto, pemilik toko tempat ia biasa berbelanja bahan warung.

Tiga kilometer bukan jarak yang jauh bagi orang sehat, tapi bagi wanita hamil besar yang tubuhnya lemah dan menggigil kedinginan, setiap langkah terasa seperti seribu jarak.

Shanum merasa tulang betisnya mulai kaku, dadanya sesak, dan napasnya terengah-engah. Rasa ketakutan membuatnya terus melangkah. Jika ia berhenti di pos ronda atau warung tutup untuk berteduh, pikirannya dihantui bayangan buruk. Bagaimana jika ada orang jahat? Bagaimana jika ia dirampok atau diganggu?

Jadi, satu-satunya pilihan adalah terus berjalan, melawan hujan, melawan dingin, melawan takdir yang semakin kejam.

“Awwww ... Astaghfirullah, sakit sekali!” rintih Shanum pelan sambil menahan perut yang terasa mengeras.

Tiba-tiba, di antara suara hujan, terdengar seperti letupan kecil dari dalam tubuhnya. Sesaat kemudian, hangat aneh mengalir di antara kedua pahanya, membuatnya panik. Shanun berdiri terpaku, jantungnya berdegup cepat, sebelum akhirnya menyadari apa yang terjadi.

“Astaghfirullah ... Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?!” jerit Shanum dalam tangis ketakutan.

Itu bukan air hujan. Itu adalah air ketuban.

Shanum menatap jalan yang gelap, hanya diterangi cahaya lampu jalan yang redup. Tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Tidak ada suara selain hujan dan degup jantungnya sendiri.

Ketika rasa nyeri semakin kuat, ia memutuskan duduk di pinggir got, bersandar pada tembok yang dingin.

“Nak, tolong jangan keluar dulu, ya. Tunggu sebentar lagi sampai kita sampai ke rumah sakit,” ucap Shanum pelan, mengusap perutnya yang terus menegang.

Setiap kali kontraksi datang, wajahnya memucat. Tubuhnya gemetar hebat.

Di tengah gelap dan dingin, air mata bercampur dengan air hujan di pipinya. Shanum menatap langit yang hitam, mencari harapan di antara jutaan tetes hujan yang jatuh.

“Ya Allah, Engkaulah sebaik-baiknya tempat meminta tolong. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Tolong lindungi anakku. Izinkan dia lahir dengan selamat, sempurna, dan sehat.” Suara Shanum bergetar, lirih, nyaris tak terdengar.

Bayangan masa lalu tiba-tiba menari di benaknya. Suara tawa Alvin, tangan hangatnya yang dulu selalu mengelus perutnya setiap malam sambil berbisik, “Kita bakal jadi keluarga kecil yang bahagia, Sayang.”

Air mata Shanum pecah seketika. Rasa kehilangan itu mencengkeram dadanya hingga sulit bernapas.

“Mas Alvin, aku takut. Aku tidak tahu harus bagaimana tanpa kamu.” Shanum berbicara pada kehampaan, pada bayangan yang kini hanya hidup di dalam hatinya.

Namun, dunia malam itu terasa begitu kejam. Tidak ada jawaban. Tidak ada tangan yang terulur.

Hanya hujan yang semakin deras, mengguyur tubuhnya yang menggigil dan semakin lemah.

Sampai akhirnya dari kejauhan terlihat sorot lampu mobil yang menembus gelap malam. Hati Shanum berdegup kencang. Ia berdiri dengan sisa tenaga, melambaikan tangan setinggi mungkin.

“Tolong! Tolong aku!” Suara Shanum serak, hampir tak terdengar di antara derasnya hujan.

Mobil sport berwarna merah itu akhirnya melambat dan berhenti tepat di sampingnya. Dari dalam, kaca jendela terbuka, menampakkan seorang pria paruh baya dengan wajah teduh namun cemas.

“Ibu, ada apa?” Suara pria itu tegas, namun lembut.

Shanum menggigil hebat, menangkup kedua tangan di depan wajahnya. “Pak, tolong bawa aku ke rumah sakit. Aku ... aku mau melahirkan, air ketubanku sudah pecah.”

Pria itu segera keluar dari mobil, memayungi Shanum dengan jasnya. “Saya Dokter Anton, dokter kandungan di Rumah Sakit Kasih Ibu. Ayo, kita berangkat sekarang juga!”

Tubuh Shanum nyaris roboh saat dokter itu membantunya masuk ke mobil.

Rasa sakit di perut datang lagi, lebih kuat dari sebelumnya, membuatnya menggigit bibir hingga berdarah.

“Tahan, Bu, sebentar lagi sampai.”

“Tolong, Pak, selamatkan anak saya ...,” gumam Shanum lirih, sebelum akhirnya pingsan di kursi penumpang, tubuhnya basah kuyup dan lemah.

Mobil melaju cepat menembus derasnya hujan. Dokter Anton sesekali menoleh, memastikan wanita itu masih bernapas.

Ketika tiba di rumah sakit, ia berlari masuk ke ruang gawat darurat, menyiapkan tim medis tanpa banyak bicara.

“Segera operasi caesar! Ketuban sudah pecah terlalu lama!” seru Dokter Anton kepada perawat.

Di ruang operasi, tubuh Shanum terbaring lemah. Napasnya tersengal, wajahnya pucat pasi. Di balik kelemahannya, ia masih berbisik lirih doa terakhir dari seorang ibu yang hanya ingin anaknya lahir dengan selamat.

“Mas Alvin, lihatlah dari sana. Tolong jagakan anak kita ... aku mohon.”

Dalam hening ruang operasi yang dipenuhi suara mesin dan langkah kaki perawat, air matanya kembali jatuh. Antara hidup dan mati, Shanum bertarung bukan hanya untuk dirinya, tetapi demi cinta terakhir yang ditinggalkan oleh Alvin.

Udara di ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar dengung lembut mesin oksigen dan detak jarum jam di dinding. Perlahan, kelopak mata Shanum bergetar sebelum terbuka. Pandangannya kabur, tubuhnya terasa berat, seolah separuh jiwanya masih tertinggal di alam lain. Aroma obat-obatan menyengat hidungnya, membuatnya sadar bahwa dia berada di rumah sakit.

Dinding putih pucat itu menatapnya dingin. Di luar jendela, sinar mentari menembus tirai tipis, memantul pada peralatan medis yang berkilau. Cahaya itu seperti ejekan, terlalu terang untuk hati yang baru saja kehilangan segalanya.

“Rupanya Bu Shanum sudah sadar.” Suara lembut itu berasal dari Dokter Anton yang baru saja masuk bersama seorang perawat.

Shanum menoleh, tersenyum samar meski bibirnya kering.

“O, iya. Dok, bayi aku di mana?” tanya Shanum dengan sisa tenaga yang ia miliki. Di balik senyumnya tersimpan harapan bahwa ada sesuatu yang masih bisa ia genggam di dunia ini.

Namun, senyum itu lenyap seketika ketika ia melihat wajah Dokter Anton berubah suram. Perawat di belakangnya menunduk, tak sanggup menatap mata Shanum.

“Maafkan kami, Bu Shanum.” Suara Dokter Anton bergetar pelan. “Bayi Ibu … tidak selamat. Ia meninggal karena keracunan air ketuban.”

“Apa…?” Suara Shanum tercekat.

Dunia seolah berhenti berputar. Shanum merasa sekujur tubuhnya kaku, matanya membesar menatap kosong. Sesuatu di dalam dadanya seperti hancur berkeping-keping, menyesakkan sampai napas pun terasa tak berarti lagi.

Lalu semuanya gelap. Tubuhnya jatuh di atas ranjang, pingsan seolah Tuhan mengasihani hatinya yang terlalu hancur untuk tetap sadar.

Jam delapan pagi, Shanum kembali membuka mata. Kali ini tak ada senyum. Tak ada harapan. Hanya air mata yang mengalir tanpa bisa dibendung. Luka bekas operasi di perutnya tak terasa. Karena luka di hatinya jauh lebih dalam, jauh lebih menyakitkan.

Satu jam kemudian, Dokter Anton menemaninya ke kamar jenazah. Udara di sana dingin menusuk, aroma formalin menyeruak tajam. Di atas meja baja, terbungkus kain putih kecil, terbaring tubuh mungil yang dulu ia impikan menjadi penerus cinta antara dirinya dan Alvin.

“Aaaaaa!” jerit Shanum pecah, memeluk jasad anaknya dengan tubuh gemetar.

“Kenapa kamu tinggalkan Mama, Nak? Kenapa?!” Suaranya serak, terhuyung di antara isak dan napas yang nyaris tak tersisa.

Shanum duduk di lantai dingin, memeluk jasad itu erat-erat. Air matanya jatuh membasahi kain kafan putih yang membungkus bayi mungil itu. Dingin tubuh bayinya menembus kulitnya, membekukan seluruh asa.

Hati seorang ibu mana yang sanggup menahan rasa kehilangan ini? Dalam satu malam, Tuhan mengambil dua cinta yang paling ia jaga, suaminya dan anaknya.

“Ya Allah ....” Suara Shanum nyaris tak terdengar. “Kenapa Engkau tidak ambil nyawaku juga? Aku ikhlas dan ridho, ambil saja aku bersama mereka.”

Tangis Shanum meledak, mengguncang seluruh ruangan. Dokter Anton berdiri mematung. Matanya ikut basah, tapi ia hanya bisa menatap tanpa daya. Tak ada obat yang bisa menyembuhkan luka di dada seorang ibu yang kehilangan segalanya.

Beberapa jam setelah itu, Shanum duduk termenung di kursi besi ruang administrasi. Matanya bengkak, tangannya gemetar memegang lipatan kain kecil berisi pakaian bayi yang tak sempat dikenakan.

“Maaf, Bu,” ucap pegawai administrasi dingin. “Kalau Ibu tidak bisa membayar biaya rumah sakit, maka jenazah bayi tidak bisa dibawa pulang.”

Kata-kata itu menamparnya keras. Shanum menunduk, menatap lantai dengan pandangan kosong.

“Aku tidak punya siapa-siapa di sini. Hanya ayah di kampung, tapi aku bahkan lupa nomor teleponnya.” Suara Shanum pecah, hampir tak terdengar.

Pikiran Shanum melayang ke hal-hal menakutkan. Ia takut ... takut jasad putranya dijadikan bahan penelitian, tubuh mungilnya diperlakukan bukan seperti manusia.

“Ya Allah, aku harus bagaimana?” gumam Shanum, tubuhnya limbung, jatuh berlutut di lantai dingin.

Dokter Anton ikut berjongkok di sebelahnya. Ia menepuk bahu Shanum dengan hati-hati.

“Mungkin ada orang yang bisa membantu Ibu menebus biaya rumah sakit, agar jenazah bayi Ibu bisa dimakamkan dengan layak.”

“Siapa, Dokter?” tanya Shanum dengan suara parau.

“Pak Sagara,” jawabnya pelan. “Beliau sedang mencari ibu susu untuk bayi kembarnya yang alergi susu formula.”

Sekilas, ada cahaya kecil di mata Shanum. Jiwa keibuannya yang remuk itu tersentuh.

“Bayi kembar …?” gumam Shanum lirih. “Mereka pasti lapar, pasti menangis mencari ibunya.”

“Bisakah Dokter pertemukan aku dengan beliau?” Suara Shanum penuh tekad, walau tubuhnya masih lemah. Ia rela melakukan apa pun agar bayinya bisa dimakamkan dengan tenang.

Beberapa menit kemudian, Shanum melangkah ke ruang bayi bersama Dokter Anton. Di sana, ia melihat seorang pria berwibawa bersama wanita paruh baya—Mami Kartika—dan dua perawat.

“Pak Sagara, Bu Kartika, kenalkan ini Bu Shanum,” ucap Dokter Anton.

Sagara dan ibunya menoleh. Tatapan mereka tertuju pada Shanum, menelusuri wajah pucat yang masih menyimpan sisa air mata. Ada duka yang begitu jelas tergambar di matanya, tapi juga kelembutan seorang ibu yang tak hilang meski kehilangan segalanya.

“Bu Shanum kehilangan bayinya saat melahirkan,” jelas Dokter Anton. “Beliau masih memiliki ASI yang banyak dan membutuhkan bantuan untuk menebus biaya rumah sakit dan pemakaman.”

Mami Kartika menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu tanpa ragu memeluk Shanum. Pelukan seorang ibu kepada sesama ibu yang sama-sama terluka. “Sabar, Nak,” bisiknya lembut.

Sagara menatap keduanya, lalu berkata, “Jika kamu bersedia menyusui dan merawat anak-anakku sampai mereka disapih, aku akan lunasi semua biaya rumah sakit dan pemakaman. Aku juga akan memberi uang bulanan dua puluh juta.”

Shanum terdiam, air matanya kembali mengalir bukan karena sedih, tapi karena Tuhan ternyata masih membuka jalan kecil di antara reruntuhan hidupnya.

“Baik, Pak … aku bersedia,” ucap Shanum lirih namun penuh keyakinan.

Tangisan dua bayi menggema dari boks di sudut ruangan. Shanum mendekat, menggendong salah satunya dengan hati-hati. Ajaib, tangisan bayi itu langsung berhenti.

Sagara dan Mami Kartika terpana. “Coba gendong satu lagi,” pinta Mami Kartika.

Shanum menggendong bayi kedua dengan tangan sebelahnya. Sama, bayi itu pun langsung diam, kepalanya menempel di dada Shanum.

“Susuilah mereka,” ujar Sagara singkat sebelum beranjak keluar untuk mengurus administrasi.

Shanum menatap dua bayi itu dengan mata basah. Perlahan ia membuka kancing bajunya, lalu menyusui mereka sambil melantunkan shalawat dengan suara lirih dan bergetar.

“Tenanglah, Nak … minumlah! Semoga kalian tumbuh sehat, menjadi anak-anak yang sehat dan hebat.”

Air mata Shanum jatuh satu-satu ke pipi kedua bayi itu, bercampur dengan rasa syukur dan kehilangan yang belum sepenuhnya sembuh.

“Bayinya kembar … pria dan wanita?” tanya Shanum lirih, menatap Mami Kartika.

“Ya, cucuku sepasang,” jawab Mami Kartika tersenyum, meski matanya juga basah.

Di balik senyum itu, Shanum tahu Tuhan mungkin telah mengambil dua cinta dari hidupnya, tetapi kini memberi dua jiwa kecil untuk ia peluk kembali.

Di antara tangis lembut dua bayi itu, hati Shanum mulai belajar untuk hidup lagi.

Bab 3

Shanum menatap gundukan tanah merah itu tanpa berkedip. Air matanya menetes tanpa henti, membasahi ujung jilbab yang menempel di pipinya. Dua hari sudah berlalu sejak bayi mungilnya, Malik Abdul Latief, pergi meninggalkannya. Namun, luka di dadanya terasa baru saja disayat pagi ini.

Jari-jarinya yang gemetar menyentuh papan nisan kecil bertuliskan nama putranya.

“Malik Abdul Latief.”

Sebuah nama yang sarat makna, nama yang dulu begitu diimpikan oleh Alvin.

“Kalau nanti kita punya anak laki-laki, aku ingin dia punya nama yang mirip ayahku — Latief,” begitu kenangan suara Alvin berputar di kepala Shanum.

Ia menutup mata, menahan napas yang tersengal. Luka kehilangan suami dan kini kehilangan anak membuatnya serasa hidup hanya dengan separuh jiwa.

“Semoga Allah mempersatukan kita semua di akhirat nanti,” ucap Shanum dengan suara parau.

Kata-kata itu terucap lirih, seperti doa yang hanyut bersama angin sore.

Sagara berdiri beberapa langkah di belakangnya, menatap tanpa ekspresi. Dialah yang mengurus semua biaya dan administrasi pemakaman.

Shanum bahkan tidak tahu bagaimana pria itu bisa menemukan makam Alvin. Kini, Malik dimakamkan di samping ayahnya, seolah takdir mengizinkan mereka berdua beristirahat berdampingan, sementara Shanum sendiri harus melanjutkan hidup dengan hati yang tercerai-berai.

“Hari sudah mulai sore. Sebaiknya kita cepat pulang,” ujar Sagara datar, tanpa nada simpati di suaranya.

Shanum menatap sekali lagi ke dua gundukan tanah itu. “Tunggulah, Malik ... Mas Alvin, tunggulah aku di surga nanti,” bisiknya nyaris tanpa suara, sebelum akhirnya dia melangkah pergi dengan tubuh lemah.

Langkah Shanum pelan dan tertatih. Luka operasi di perutnya masih nyeri. Setiap kali kakinya melangkah, perih itu terasa menembus sampai ke dada. Rasa sakit itu tak seberapa dibanding kehilangan yang ia alami.

Di dalam mobil, suasana sunyi. Hanya suara mesin dan napas Shanum yang berat. Dia duduk di kursi depan, menundukkan kepala sambil menggenggam ujung jilbabnya yang lembap oleh air mata.

Dalam diam, pikirannya mengembara ke masa lalu, saat Alvin menemaninya mengandung. Suaminya akan memegang tangannya setiap kali dia merasa takut. Sekarang, tak ada lagi tangan itu. Yang tersisa hanyalah kesunyian dan dada yang sesak.

Tiba-tiba, suara Sagara memecah keheningan.

“Turunlah,” ucapnya pendek, tanpa menoleh.

Shanum menatap keluar jendela, bingung. Mereka berada di parkiran sebuah pusat perbelanjaan besar. Wanita itu tidak bertanya apa pun. Dia hanya menurut, seperti boneka yang kehilangan arah.

Sagara melangkah masuk ke sebuah butik. Suaranya tenang tapi tegas saat berbicara dengan pegawai.

“Tolong carikan pakaian untuk ibu menyusui. Ukuran dia,” kata Sagara tanpa menoleh sedikit pun ke arah Shanum.

Shanum menatap dengan perasaan campur aduk.

Ia bahkan lupa kalau tak punya pakaian lain selain yang menempel di tubuhnya sekarang. Saat dia diusir semalam oleh mertua dan iparnya, tidak membawa satu pun barang, apalagi uang.

“Baik, Pak,” jawab pegawai dengan sopan, lalu menumpuk banyak pakaian di meja pajangan.

Sagara memeriksa sekilas, lalu berkata dingin, “Bungkus semua.”

“Tunggu,” ucap Shanum cepat. Pandangannya tertuju pada beberapa pakaian berlengan pendek. “Saya pakai jilbab, Pak. Tidak perlu baju yang itu.”

Sagara baru menoleh, menatapnya sesaat dengan tatapan datar yang sulit dibaca. “Kamu pilih sendiri. Sesuai selera.”

Shanum menarik napas pelan. Ia memilih tiga gamis sederhana berwarna lembut dan dua baju daster untuk tidur, dengan kancing depan agar mudah menyusui, meski kini tak ada bayi lagi untuk disusui.

Tangan Shanum bergetar saat menyentuh kain. Rasanya seperti menyiapkan diri untuk kehidupan yang sudah tak sama.

Dalam perjalanan pulang, tak ada satu pun dari mereka yang bicara. Hanya hujan rintik kecil yang kembali turun, mengetuk kaca mobil seperti irama kesedihan.

“Terima kasih, Pak, sudah membelikan pakaian untuk saya,” ucap Shanum pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan.

Sagara menatap ke depan, kedua tangannya tetap di setir.

“Aku tidak membelikan baju kamu secara gratis,” ujarnya datar. “Semuanya akan dipotong dari gaji kamu.”

Shanum mengangguk perlahan. Tidak tersinggung, tidak juga marah. Ia sudah terlalu lelah untuk merasa apa pun.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menunduk, menggenggam ujung jilbabnya, dan menahan air mata yang nyaris jatuh lagi.

Mobil hitam milik keluarga Sagara berhenti di depan rumah besar bercat putih gading. Pagar besi tinggi berdiri kokoh, seperti menandakan jarak antara orang-orang kaya di dalamnya dan dunia kecil yang dulu dihuni Shanum bersama almarhum suaminya.

Mami Kartika menyambut kedatangan mereka. Dia langsung menggandeng tangan Shanum lembut. Membawanya ke dalam rumah.

“Anggap rumah ini rumahmu juga, Nak. Jangan sungkan.”

Dindingnya dipenuhi lukisan keluarga, foto Sagara muda bersama istrinya. Wajah wanita itu sangat cantik, pantas Sagara mencintainya.

Shanum menatap foto itu lama-lama. Ada rasa nyeri di dada, karena tidak menyangka ada ibu yang tega meninggalkan anaknya yang baru saja lahir.

“Dia ... Sonia, istri Sagara,” ucap Mami Kartika pelan, seolah membaca pikirannya. “Dia pergi meninggalkan setelah melahirkan bayi kembar itu. Mereka belum sempat mengenal ibunya.”

Shanum mengangguk pelan. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak dalam hati. Antara sedih, haru, dan rasa bersalah yang tak jelas sumbernya. Seolah dua bayi itu bukan hanya membutuhkan dirinya, tetapi juga menjadi titipan untuk menebus kehilangan yang sama-sama dialami.

Hari pertama Shanum di rumah itu berjalan dengan campuran gugup dan haru. Dua bayi mungil itu, yang belakangan ia tahu bernama Abyasa dan Arsyla, terus menangis mencari dekapan hangat. Shanum memeluk mereka dengan lembut, mengusap kepala keduanya sambil membisikkan shalawat dan doa di telinganya.

“Tenang, Sayang … Mama di sini,” bisik Shanum refleks, lalu tersentak sendiri. Kata mama terucap begitu saja. Ia menatap bayi di gendongannya, lalu menunduk sambil menahan isak.

“Maaf, aku bukan mama kalian. Tapi izinkan aku mencintai kalian seperti anakku sendiri.”

Abyasa menggenggam jari telunjuknya kecil-kecil, sementara Arsyla membuka matanya pelan, menatapnya dengan pandangan polos yang seolah mengerti. Hati Shanum luluh seketika.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!