Namaku Rara Dwi Anggraini, umurku baru dua puluh tahun. Dino iki (hari ini) aku resmi kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group, perusahaan paling gedhe se-Nganjuk kata orang-orang.
Katanya gajine lumayan, makane aku nekad daftar. Tapi ya katanya, bos-nya aneh, rek!
Aneh piye?
Aku yo ora ngerti. Tapi tetanggaku, Mas Darto, sing dulu jadi OB di sana, bilang,
"Bosmu kuwi aneh, Ra. Nesu-nesu terus, tapi nek diwei roti sobek, langsung adem ayem."
Serius, kok iso? Wong nesu diredain roti sobek.
Aku berdiri di depan gedung kaca tinggi, ngos-ngosan karena naik angkot dua kali terus jalan kaki, padahal panasnya kayak neraka bocor. Blazer murahan di badanku wis kayak oven mini. Tapi yo wes, demi gaji UMR plus makan siang gratis, tak kuat-kuatke wae.
Begitu masuk lobby, aku disambut mbak resepsionis ayu banget, senyumnya tuh kayak iklan pasta gigi.
"Selamat pagi, Mbak. Mau ketemu siapa?"
"Pagi, Mbak! Aku Rara, karyawan baru, bagian asisten pribadine Pak Samingan."
Mbak resepsionis itu langsung nyengir canggung.
"Oh... asisten pribadi... Pak Samingan, ya?"
Nada suaranya kayak ngomong, 'Semoga selamat, ya, Nak.'
Belum sempat aku mikir lebih jauh, pintu lift kebuka. Keluar seorang pria berjas abu-abu, kacamata bulat, rambutnya klimis banget. Mukanya tuh kayak campuran dosen killer sama bapak kos yang doyan ngawasi penghuni baru.
"Rara?" suaranya berat banget.
"Iya, Pak! Saya Rara Dwi Anggraini!"
"Bagus. Tapi kamu telat tiga menit."
"Maaf, Pak, tadi angkotnya-"
"Alasan klasik. Tapi kamu masih beruntung. Aku cuma marah kalau orang telat lebih dari lima menit."
"Uh, syukurlah, Pak."
"Karena biasanya langsung tak pecat."
Waduh. Baru juga kenalan udah kena ancaman.
Inilah dia, Pak Samingan - direktur utama PT. Nganjuk Sejahtera Group. Lelaki separuh baya yang katanya perfeksionis banget, tapi sayang anak pol.
Kami naik lift ke lantai lima. Sepanjang perjalanan, beliau ngoceh soal efisiensi.
"Lampu lantai dua nyala terus padahal jam kerja belum mulai."
"Si Bayu itu kalau bikin laporan typo terus."
"Dan kenapa bau lift kayak tahu campur, to?"
Aku cuma bisa manggut-manggut sambil mikir, 'Wah, ini bos atau detektif listrik?'
Sampai di ruang kerjanya, aku disuruh duduk. Kantornya besar, adem, tapi sepi banget. Di atas meja ada foto keluarga - cuma dua orang: Pak Samingan dan seorang cowok muda yang wajahnya... astaga, ganteng banget.
"Dia anakku," kata Pak Samingan tiba-tiba. "Namanya Arifbol."
"Oh..." aku mencoba senyum, tapi dalam hati langsung nyeletuk, 'Lha kok yo ganteng e kebangeten, kayak aktor sinetron.'
"Dia sering di rumah. Kalau nanti aku suruh kamu antar dokumen ke sana, jangan banyak tanya."
"Siap, Pak."
"Dan satu lagi."
"Ya, Pak?"
"Kalau kamu lihat Arifbol lagi bengong sambil nyanyi 'Balonku Ada Lima', pura-puralah gak tahu."
Aku langsung melongo.
"Maksud Bapak...?"
"Anakku... kondisinya spesial."
Nada suaranya mendadak halus. "Dia punya penyakit epilepsi, tapi jangan salah paham. Anakku itu baik, rajin ibadah, tiap subuh sama maghrib selalu baca Al-Qur'an. Tapi ya, kalau kambuh, kadang kelakuannya kayak bocah TK."
Aku diam. Campur aduk rasanya - antara kasihan, bingung, sama takut salah ngomong.
"Jadi, kalau kamu mau lanjut kerja di sini," katanya lagi, "kamu harus siap dengan semua itu. Deal?"
Aku nenggak ludah. "Deal, Pak."
Pak Samingan tersenyum kecil, baru kali ini wajahnya kelihatan adem.
"Bagus. Kamu mulai belajar kerja hari ini. Nanti sore, ikut aku ke rumah."
Jam makan siang tiba. Aku ke kantin, duduk sendirian sambil merenung nasib. Di meja sebelah, dua karyawan cewek lagi bisik-bisik.
"Eh, itu asisten barunya Pak Samingan to?"
"Iya, sing tadi telat tiga menit itu, lho."
"Kasian, nanti disuruh ngurus anaknya yang... itu."
"Yang katanya tiap malam minta dibacain dongeng?"
"Wkwkwk iya! Tapi katanya ganteng rek!"
Aku menatap Sego pecel di piringku.
Yowes, Ra... urip iki perjuangan. Siapa tahu, di balik keanehan, ada rezeki nomplok.
Sore itu, mobil hitam besar berhenti di depan rumah megah yang bikin aku mangap.
Rumahnya gede pol, pager besi tinggi, ada taman, dan patung ikan arwana di depan pintu.
Aku nengok ke Pak Samingan, "Rumah e megah banget, Pak. Kaya istana!"
Beliau cuma nyengir dikit. "Biasa wae, Ra. Kalau ada yang kamu lihat aneh, diam saja, ya."
Aku cuma bisa manggut, meskipun dalam hati mikir, lho, peringatan model apa iki, kok bikin deg-degan.
Kami masuk lewat pintu depan. Di dalam, ruang tamunya luas, wangi, dan bersih. Tapi yang bikin kaget, ada suara dari lantai atas:
"Bapak! Bapaaaak! Balonku meletus satuuu... tinggal empat balonkuuuu!"
Aku kaget hampir jatuh, "Lho, itu suara opo to, Pak?"
Pak Samingan cuma nyelipin senyum, "Itu, anakku... si Arifbol."
Lalu terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa dari tangga. Muncullah seorang cowok berusia dua puluh empat tahun, wajahnya ganteng parah, tapi pakai kaos kuning gambar dino, celana training, dan sandal jepit warna hijau.
Dan dia beneran sambil nyanyi, "Balonku ada lima~ Rupa-rupa warnanya~"
Aku bengong. Sumpah, aku nggak tahu harus ketawa atau hormat.
Cowok itu berhenti di depan kami, senyum lebar. "Bapak pulang! Horeeee!"
Pak Samingan langsung nyaut, "Iya, Nak. Ini lho, Bapak bawa teman baru. Namanya Mbak Rara. Mulai sekarang, Mbak Rara yang bantu Bapak kerja di kantor."
Arifbol menatapku lama. Matanya bening banget, kayak anak kecil yang nemu mainan baru.
"Ohh... Mbak Rara..." katanya pelan, "Kamu suka balon juga?"
Aku kaget. "Eh... balon, Pak? Ehehe... iya, suka... kalau nggak meletus."
Dia langsung ketawa keras, "HAHAHA! Sama kayak aku! Balon merah meletus, aku nangis loh kemarin."
Aku cuma bisa nyengir beku. Dalam hati, ya Allah, ini yang katanya rajin ngaji itu?
Tapi detik berikutnya, suasananya langsung berubah. Arifbol berhenti ketawa, lalu jalan ke arah sajadah yang tergelar di pojokan ruang tamu. Dia ambil Al-Qur'an kecil, duduk bersila, dan mulai membaca surat Al-Mulk dengan suara merdu banget.
Aku refleks diam. Suaranya beneran adem, lembut, dan lancar.
Dari yang tadi kayak bocah lima tahun, tiba-tiba berubah kayak ustadz muda.
Aku melirik Pak Samingan yang berdiri di sampingku.
Beliau berbisik pelan, "Tuh, Ra... aku bilang kan, dia rajin ibadah. Tapi ya begitu, kadang kekanak-kanakan, kadang bijak banget."
Aku manggut pelan, mataku nggak lepas dari Arifbol. Di balik keanehannya, ada sesuatu yang bikin hati adem.
Selesai maghrib, kami makan malam bertiga. Arifbol duduk di sebelahku, dan dari awal sampai akhir dia terus ngoceh hal-hal random.
"Mbak Rara, kamu tau nggak, nasi itu kalo dikunyah tiga puluh dua kali bisa bikin pinter."
"Iya, Mas?"
"Iya! Aku baca di YouTube!"
"YouTube baca, Mas?"
"Eh, maksudnya nonton. Tapi aku sering baca kolom komentarnya, banyak orang pinter di sana, lho."
Aku nahan ketawa sampai hampir keselek sambel terasi.
Tapi yang bikin kaget lagi, di tengah makan, tiba-tiba Arifbol berhenti, tangannya tremor sedikit, terus wajahnya pucat.
Pak Samingan langsung berdiri, sigap banget.
"Ra, ambil bantal kecil sama minyak kayu putih di lemari belakang!"
Aku panik tapi cepat-cepat ambil. Pas balik, Arifbol udah tiduran di kursi panjang, matanya merem, napasnya agak berat.
Aku gemetar, "Pak, ini... ini kenapa?"
"Epilepsinya kambuh. Tenang, bentar lagi reda."
Aku berdiri di situ, deg-degan, sambil ngelihat Pak Samingan ngelap keringat anaknya pakai handuk kecil.
Beberapa menit kemudian, Arifbol buka mata pelan. "Bapak... tadi balonku pecah ya?"
Pak Samingan tersenyum sabar, "Iya, Nak, tapi nanti beli lagi."
Aku hampir nangis. Ternyata bener, anak ini... meski badannya dewasa, jiwanya masih kayak bocah kecil. Tapi caranya ngomong lembut, polos, dan nggak pernah bikin orang bisa marah.
Setelah semua tenang, aku pamit pulang. Tapi sebelum keluar pintu, Arifbol memanggilku pelan.
"Mbak Rara..."
Aku nengok, "Iya, Mas?"
Dia senyum, wajahnya masih pucat tapi matanya hangat banget.
"Besok datang lagi, ya. Aku mau ajarin doa sebelum tidur."
Aku cuma bisa senyum. "Iya, Mas. Besok aku datang."
Di perjalanan pulang, aku mikir panjang.
Gila, baru sehari kerja aja udah roller coaster. Tapi entah kenapa... aku nggak ngerasa takut. Aku malah pengen kenal lebih jauh sama anak bos yang aneh itu.
Malam itu, aku pulang ke rumah dengan badan remuk redam tapi hati... entah kenapa aneh.
Bukan karena capek kerja, bukan juga karena kena semprot Pak Samingan. Tapi karena aku nggak bisa berhenti mikirin anaknya, si Arifbol.
Aku duduk di ruang tamu sambil buka sepatu. Ibuku, Bu Neneng, langsung nyamperin sambil bawa piring pisang goreng.
“Lho, Ra, kok baru pulang? Katanya jam empat sudah selesai?”
“Iya, Bu… tapi tadi disuruh nganter dokumen ke rumah bos. Lumayan jauh, di daerah perumahan Nganjuk kota.”
“Lho, rumahnya gede to?”
Aku ngakak kecil. “Gede banget, Bu. Sampai aku mikir, kalau disapu sehari bisa kurus.”
Bapak yang lagi nonton berita langsung nyeletuk tanpa nengok,
“Bosmu itu Pak Samingan, to? Lha itu orang sak Nganjuk sudah tahu, rumahnya kayak hotel. Tapi katanya aneh ya, Ra?”
Aku berhenti ngunyah. “Hehe… yaa, aneh sih, Pak. Tapi bukan yang jahat. Unik gitu.”
Ibu langsung kepo. “Terus, anak e piye? Katanya ganteng to?”
Aku melotot kecil. “Lho, Bu, dari mana tahu?”
“Lha wong tetanggamu Mbak Sum cerita, katanya anak e Pak Samingan itu ganteng tapi… ee… aneh?”
Aku ngelirik jam dinding. Baru jam delapan malam, tapi rasanya kepala ini masih muter mikirin kejadian sore tadi — waktu Arifbol nyanyi “Balonku Ada Lima”, waktu dia tiba-tiba ngaji dengan suara yang halus banget, waktu dia kambuh, dan waktu dia nyengir sambil bilang “Mbak Rara, besok datang lagi, ya.”
Aku senyum kecil tanpa sadar.
“Iya, Bu, anak e itu ganteng banget. Tapi… kelakuannya kayak anak kecil. Kadang ngomong ngawur, kadang bisa serius banget. Aneh, tapi... lucu juga.”
Ibu ikut ketawa. “Walah, jangan-jangan kamu nanti malah jatuh cinta sama anak bosmu, lho!”
Aku langsung batuk tersedak pisang goreng. “Halah, Bu! Ngawur ae!”
Bapak ikut nyaut, “Lho, siapa tahu jodoh. Kan namanya rezeki, jodoh, sama maut, ora ana sing ngerti.”
Aku cuma nyengir, “Aduh, Bapak iki, jangan ngelantur.” Tapi entah kenapa, pipiku malah panas.
Setelah makan malam, aku masuk kamar, buka laptop, niatnya mau nyatet hal-hal penting dari kerjaan hari pertama. Tapi yang muncul malah... wajah Arifbol.
Wajahnya waktu ngaji. Waktu senyum. Waktu bilang “Balonku meletus satu.”
Aduh, kok ya lucu banget sih!
Aku coba ngusir pikiranku dengan scroll TikTok, tapi algoritma seolah bersekongkol.
Video pertama: “Ciri-ciri kamu mulai suka sama orang tanpa sadar.”
Video kedua: “Kalau kamu kepikiran terus, artinya hatimu sudah mulai tertarik.”
Aku langsung matiin HP.
“Ah, setan! Nggak ada, nggak ada. Aku cuma kasihan aja!” kataku sambil nutup wajah pakai bantal.
Tapi semakin aku ngelawan, semakin bayangan Arifbol muncul di kepala.
Senyumnya yang polos. Suaranya yang lembut waktu ngaji.
Dan entah kenapa… hatiku ngerasa adem tiap inget itu.
Sekitar jam sembilan malam, HP-ku bunyi. Nomor tak dikenal.
“Hallo?”
“Assalamualaikum, Mbak Rara?”
Suara di seberang… lembut banget. Aku langsung kenal.
“Waalaikumsalam… Mas Arifbol?”
“Iya, ini aku. Boleh aku tanya sesuatu?”
“Eh, iya, boleh, Mas. Ada apa?”
“Balon yang warna merah itu, bagusnya ditiup sampai gede atau kecil aja ya?”
Aku refleks ngakak di tempat. “Mas, itu balon buat apa dulu?”
“Buat aku main besok. Soalnya kalau ditiup kebanyakan, bisa meletus, sedih aku nanti.”
Aku nahan ketawa sambil nutup mulut. “Ya ditiup sedang aja, Mas, jangan kebanyakan.”
“Baik, Mbak Rara. Terima kasih ya. Eh, satu lagi.”
“Iya?”
“Besok kamu datang pagi ya. Aku mau ajarin doa sebelum tidur, tapi kalau kamu telat… aku sedih.”
Hatiku langsung dug dug dug.
“Iya, Mas. Aku datang.”
“Janji?”
“Janji.”
“Dikira aku nggak bisa ngeluh kalau orang bohong, lho. Aku tahu kalau orang bohong. Allah kasih rasa di dada. Makanya kamu jangan bohong ya.”
Aku mendadak diem.
Di balik kekanak-kanakannya, ternyata Arifbol bisa ngomong hal yang nyentuh banget.
“Enggih, Mas. Aku janji, nggak bakal bohong.”
“Bagus. Sekarang tidur ya. Jangan lupa berdoa.”
Klik. Telepon ditutup.
Aku bengong beberapa detik, terus pelan-pelan senyum sendiri.
Entah kenapa, jantungku berdebar kayak habis lari muter alun-alun Nganjuk.
“Walah, Rara, kamu ini kenapa sih…” aku ngomel sendiri sambil selonjoran di kasur.
Tapi sebelum mataku merem, pikiran terakhir yang muncul di kepala cuma satu:
“Aneh sih, tapi kok ya… nyenengin, to?”
Pagi-pagi banget, ayam tetangga aja belum sempat berkokok, aku udah berdiri di depan rumah besar keluarga Samingan.
Jam di HP baru nunjukin pukul enam kurang sepuluh, tapi aku takut telat. Ingat pesan Arifbol semalam:
“Kalau kamu telat, aku sedih.”
Lha, aku nggak mau disedihin sama anak bos, to.
Satpam rumah langsung buka pagar sambil senyum. “Lho, Mbak Rara? Kok pagi banget?”
“Hehehe, iya, Pak. Disuruh datang pagi.”
“Oh iya, Mas Arifbol udah bangun dari jam setengah lima. Baca Qur’an habis subuhan, terus katanya nungguin sampe Mbaknya datang.”
Aku langsung deg-degan, antara kagum sama gugup. Lho, kok yo niat banget nunggu aku?
Begitu masuk rumah, terdengar suara dari ruang tengah, lembut banget, baca surat Al-Waqi’ah.
Dan di situ, duduk bersila di atas karpet hijau, Arifbol — pakai baju koko putih, sarung biru, rambutnya agak acak, tapi wajahnya bersinar kayak habis wudhu.
Aku berdiri di ujung pintu, nggak enak ganggu. Tapi dia langsung nengok dan senyum.
“Mbak Rara… kamu datang!”
Aku senyum kikuk. “Iya, Mas. Tadi takut telat, jadi berangkat lebih pagi.”
“Bagus. Allah suka orang yang disiplin.”
Suaranya lembut banget, tapi entah kenapa, bikin hatiku berdebar.
Dia lalu nunjuk ke karpet sebelahnya. “Sini duduk, aku mau ajarin doa sebelum tidur. Tapi kita latihan dulu dari sekarang.”
Aku duduk, dan dia mulai ngajarin doa pelan-pelan. Tangannya dilipat, matanya fokus, logatnya lembut banget:
“Bismika Allahumma ahya wa bismika amut…”
Aku ikut ngucap. Tapi jujur aja, aku lebih fokus ke cara dia ngomong. Tenang, tulus, kayak anak kecil yang penuh keyakinan.
Selesai doa, dia senyum puas. “Bagus, Mbak Rara! Sekarang kamu sudah bisa tidur dengan tenang.”
Aku nyengir. “Lha, tapi ini masih pagi, Mas.”
“Gak apa-apa. Kalau hatimu tenang, tidur pun ibadah.”
Aku ketawa ngakak. “Mas, Mas, nanti Bapakmu marah loh, aku malah disuruh tidur pagi.”
Dia ikut ketawa, polos banget.
Setelah itu, aku bantuin Mbok Jum, asisten rumah tangga di sana, nyiapin sarapan. Di meja makan udah tersedia nasi goreng, telur dadar, sama segelas susu putih.
“Ini susu buat siapa, Mbok?” tanyaku.
“Buat Mas Arifbol, Mbak. Dia itu tiap pagi harus minum susu anget. Tapi jangan terlalu panas, nanti dia bilang lidahnya ‘kepanasan dosa’ katanya.”
Aku ngakak denger ceritanya. “Masya Allah, unik tenan.”
Aku bawain susu itu ke ruang tengah. Tapi pas sampai, Arifbol lagi jongkok di depan aquarium, ngelihat ikan guppy warna-warni.
“Mas, ini susunya. Awas, masih agak panas.”
Dia nengok sambil senyum. “Makasih, Mbak Rara. Kamu baik, ya.”
“Ah, biasa aja, Mas.”
“Tapi bener, aku suka orang yang sabar dan lembut.”
Aku langsung grogi.
“Eh, hehe, iya, Mas. Ini diminum dulu, ya.”
Dia ambil gelasnya, tapi belum sempat minum, dia malah ngelihat ke permukaan susu sambil serius banget.
“Mas, kenapa liatin susunya?” tanyaku penasaran.
Dia nyengir. “Aku lagi mikir… kenapa ya, susu putih, tapi kalau jatuh di lantai warnanya tetap putih? Harusnya berubah, to?”
Aku terdiam.
“Mas, itu logika dari mana?”
“Dari aku.”
“Ya pantes.”
Aku ngakak sampai keluar air mata.
Tiba-tiba, Pak Samingan muncul dari tangga, rapi dengan jas abu-abu khasnya.
“Lho, sudah datang, Rara?”
“Iya, Pak.”
“Bagus. Hari ini kamu bantu aku input data di kantor. Arifbol, jangan ganggu Mbak Rara, ya.”
“Iya, Pak. Aku nggak ganggu kok, aku cuma ngajarin doa.”
Pak Samingan senyum dikit. “Doa boleh, tapi jangan ngajak tidur pagi lagi.”
Arifbol langsung manyun. “Bapak denger, ya?”
“Rumah ini bukan kos-kosan, Nak. Semua kedengaran.”
Aku nahan ketawa di balik tangan.
Jam delapan pagi, kami siap berangkat. Tapi sebelum aku keluar rumah, Arifbol tiba-tiba lari-lari kecil manggil aku dari teras.
“Mbak Rara!”
Aku nengok. “Iya, Mas?”
Dia nyodorin sesuatu — balon merah kecil.
“Ini buat kamu.”
“Lho, buat apa, Mas?”
“Biar kamu inget aku. Tapi jangan ditiup kebanyakan, nanti meletus.”
Aku bengong, terus ketawa kecil sambil nerima balonnya.
“Terima kasih, Mas. Aku simpen, ya.”
Dia senyum lebar, polos banget. “Jangan lupa doa sebelum tidur, ya!”
“Iya, janji!”
Pas mobil kantor meluncur keluar dari gerbang, aku ngelihat Arifbol melambai-lambai dari teras sambil masih pakai sarung dan senyum lebar.
Entah kenapa, hatiku hangat banget.
Di sepanjang jalan, aku cuma megang balon merah kecil itu.
Dan dalam hati, aku mikir, ‘Ya Tuhan, kenapa anak bos yang aneh ini malah bikin aku pengen ketemu lagi?’
Pagi itu udara Nganjuk masih seger banget. Jalanan belum terlalu ramai, cuma ada tukang sayur lewat sama anak sekolah naik sepeda.
Aku duduk di kursi depan mobil kantor, bareng Pak Samingan di kursi sopir. Sopir tetap Pak Suro, orangnya pendiam tapi kalau nyengir bisa dua menit baru selesai.
Di pangkuanku, masih ada balon merah kecil — pemberian Arifbol kemarin. Entah kenapa, aku bawa aja.
Bukan karena apa-apa, cuma... rasanya lucu aja kalau ditinggal.
Pak Samingan melirik sekilas sambil senyum tipis.
“Itu dari Arifbol, to?”
Aku agak kaget. “Eh... iya, Pak. Kemarin dikasih katanya biar saya inget dia.”
Pak Samingan nyengir kecil. “Hehe… anak itu emang begitu. Kalau sudah senang sama orang, bakal diinget terus. Tapi kalau bete, dia bisa diem seharian.”
Aku ikut senyum, lalu pelan-pelan nanya, “Kalau boleh tahu, Pak… Mas Arifbol itu dulu sekolahnya di mana ya?”
Pak Samingan menarik napas panjang, matanya fokus ke jalan.
“Dulu dia sekolah di SD biasa. Pinter banget, malah dulu ranking satu terus. Tapi waktu kelas lima, dia pertama kali kejang.”
Aku refleks diem.
“Sejak itu, kondisinya berubah. Kadang bisa mikir dewasa, kadang kayak anak kecil. Pernah juga dibully, dibilang ‘aneh’. Ya… sejak itu dia jadi lebih banyak di rumah.”
Aku nunduk pelan. “Kasihan, Pak…”
“Iya, Rara. Tapi saya dan Bu Wiji selalu berusaha. Kami bawa dia ke dokter, ke pesantren, bahkan sempat terapi di Surabaya. Tapi ya itu… penyakitnya nggak bisa hilang, cuma bisa dikontrol.”
Suasana mobil mendadak sunyi. Hanya suara klakson jauh di luar.
Aku ngelirik sedikit ke arah Pak Samingan, kelihatan jelas nada suaranya berubah lembut.
“Bu Wiji itu dulu hampir tiap malam nangis, Ra. Dia kuat, tapi kalau lihat anaknya kejang, tangannya gemetar semua. Saya juga nggak tega.”
Aku pelan-pelan bilang, “Tapi sekarang Mas Arifbol kelihatan bahagia, Pak. Mungkin karena Bapak sama Bu Wiji sayang banget.”
Pak Samingan senyum dikit, tapi matanya agak sendu.
“Iya. Dia itu sebenarnya cerdas, Rara. Kalau kamu perhatiin, dia hafal banyak ayat, tahu maknanya juga. Cuma… ya itu, pikirannya kadang lompat. Kadang ngomong soal surga, besoknya ngomong soal balon.”
Aku ikut ketawa kecil. “Hehehe, iya, Pak. Tapi lucu sih, Mas Arifbol itu.”
“Lucu, tapi nyusahin juga kadang. Kalau dia kambuh, rumah bisa kayak medan perang. Semua orang panik. Tapi setelah reda, dia malah minta maaf sambil nangis.”
Aku diem, nggak tahu mau ngomong apa. Dalam hati, rasanya campur aduk — kasihan, kagum, dan entah kenapa, hangat.
Mobil berhenti di lampu merah.
Pak Samingan tiba-tiba nanya, “Kamu nyaman kerja di rumah itu, Ra? Soalnya nggak semua orang bisa sabar ngadepin anak seperti Arifbol.”
Aku langsung jawab, “Nyaman kok, Pak. Malah… saya ngerasa kayak belajar hal baru tiap hari.”
“Hal baru?”
“Iya, Pak. Dari Mas Arifbol saya belajar kalau bahagia itu sederhana. Kadang cuma dari hal kecil, kayak balon merah atau segelas susu hangat.”
Pak Samingan ketawa kecil. “Heh, kamu ini kayaknya cocok temenan sama dia.”
Aku senyum. “Hehehe, iya, Pak. Soalnya Mas Arifbol itu... beda, tapi hatinya bersih banget.”
Sesampainya di kantor, aku turun dari mobil sambil masih megang balon merah itu.
Di parkiran, teman sekantor langsung pada nanya.
“Lho, Ra, kok bawa balon?”
Aku senyum aja, “Dari anak bos, titipan doa katanya.”
Teman-temanku langsung cekikikan. “Waduh, jangan-jangan kamu mau dijodohin, Ra!”
“Ah, ndak usah ngelantur, kowe kabeh!” jawabku sambil ngibasin tangan. Tapi jujur, pipiku mulai panas lagi.
Sore harinya...
Setelah kerjaan selesai, aku duduk di pantry sambil nyeruput kopi sachet. Di luar jendela, matahari mulai turun. Tapi pikiranku masih ngelayang-layang ke rumah besar di ujung kota.
Ke wajah Arifbol.
Ke senyumannya yang polos.
Ke caranya bilang “Jangan bohong ya, nanti Allah kasih rasa di dada.”
Aku nyeletuk sendiri pelan,
> “Mas Arifbol… kamu ini aneh, tapi kok ya… gampang banget bikin orang kangen.”
Siang itu kantor lumayan riuh. Anak-anak divisi marketing pada rebutan dispenser karena air galonnya baru diganti. Aku yang duduk di meja kecil deket jendela cuma bisa geleng-geleng sambil ngetik laporan.
Tapi jujur, pikiranku nggak fokus sama sekali.
Sudah hampir tiga jam, aku masih aja keinget obrolan di mobil tadi pagi sama Pak Samingan. Tentang masa kecil Arifbol. Tentang Bu Wiji yang sabar banget. Tentang semua hal yang bikin dadaku tiba-tiba hangat dan... nyesek bareng.
Aku lirik tas kecilku — balon merah masih ada di dalamnya, aku simpan baik-baik.
“Ra, ra, kok kamu senyum-senyum sendiri?” suara Mimin, temen sekantor, nyentak aku.
Aku langsung pura-pura batuk. “Eh, ndak… ini aku inget jokes kemarin, hahaha…”
“Jokes opo? Jangan-jangan kamu lagi mikirin anak bos, ya?”
Aku hampir nyembur kopi. “Astaghfirullah, Mimin! Ngawur ae!”
Mimin cengengesan. “Lho, mukamu aja merah kayak cabe rawit.”
Aku pura-pura cuek, lanjut ngetik, tapi tangan malah salah pencet tombol delete. Layar langsung kosong.
“Yaa Allah, ilang kabeh laporanku!”
“Pantes, fokusmu bukan ke komputer, tapi ke anak bos!” kata Mimin sambil ngakak.
Jam makan siang tiba. Semua pegawai rame ke kantin belakang. Aku milih duduk agak pojok, deket jendela yang bisa lihat taman kecil.
Pas lagi nyuap nasi, Pak Suro, sopir kantor, ikut duduk di meja sebelah. Orangnya ramah tapi jarang ngomong kecuali kalau topiknya menarik.
“Lho, Mbak Rara makan sendirian?”
“Iya, Pak. Biar tenang.”
Pak Suro ketawa kecil. “Tenang, tapi wajahmu kok kayak habis mikirin utang.”
Aku ngakak. “Hehehe, ndak, Pak. Cuma mikir… soal anaknya Pak Samingan.”
Pak Suro ngelirik sebentar. “Mas Arifbol?”
Aku angguk. “Iya, Pak. Saya penasaran aja… nama ‘Arifbol’ itu asalnya dari mana, sih? Kok unik banget.”
Pak Suro langsung senyum, matanya kayak tahu banyak hal. “Wah, itu nama ada ceritane, Mbak.”
Aku langsung semangat. “Serius, Pak? Cerita dong!”
Pak Suro naruh sendoknya, terus mulai bicara pelan.
“Dulu, waktu Bu Wiji hamil, mereka sempat hampir kehilangan harapan. Kehamilannya lemah, sempat tiga kali hampir keguguran. Tapi Pak Samingan selalu bilang, ‘Kalau anak ini lahir, aku mau kasih nama yang artinya kebijaksanaan dan bola dunia.’”
Aku melotot. “Bola dunia? Maksudnya gimana, Pak?”
“Hahaha, iya, aneh to? Tapi begitu anaknya lahir, wajahnya bulat kayak bola, putih bersih. Jadinya dikasih nama Arifbol — gabungan dari ‘Arif’ (bijaksana) dan ‘bol’ dari kata ‘bola’. Katanya biar dunia selalu berputar tapi dia tetap bijak di tengahnya.”
Aku diem, senyum kecil.
“Lucu tapi dalam, ya, Pak.”
“Iya, tapi sayangnya pas dia umur sepuluh tahun, dunia dia malah berhenti berputar. Kejang pertamanya waktu lagi main bola di lapangan SD. Sejak itu, dia nggak pernah main bola lagi. Tapi anehnya, dia masih suka nyebut ‘bola’ tiap kali doa. Katanya, dia mau dunia terus muter biar orang-orang bahagia.”
Aku langsung nunduk. “Masya Allah…”
Dadaku rasanya nyeletup hangat campur sedih. Nama yang dulu kuanggap lucu ternyata punya cerita yang dalem banget.
Pak Suro lanjut, “Kalau kamu lihat Mas Arifbol senyum, itu senyum yang penuh perjuangan, Mbak. Banyak orang nggak tahu, tapi tiap kali dia selesai kambuh, dia selalu bilang ke ibunya, ‘Aku nggak apa-apa, Bu. Allah sayang aku, kan?’”
Aku menggigit bibir, ngerasa mataku agak panas.
“Iya, Pak… saya percaya, anak sebaik itu pasti disayang Allah.”
Pak Suro menatapku lama, lalu bilang pelan, “Mbak, jujur aja, dari pertama kamu kerja, Mas Arifbol itu kelihatan beda. Biasanya dia susah dekat sama orang baru, tapi waktu kamu datang, dia langsung ceria.”
Aku kaget. “Serius, Pak?”
“Iya. Sampai-sampai kemarin sore dia bilang ke saya, ‘Pak Suro, aku mau beliin balon banyak biar Mbak Rara nggak sedih di kantor.’”
Aku langsung ketawa kecil sambil nutup mulut. “Aduh, Mas Arifbol…”
“Makanya, kalau dia nelpon nanti, jangan cuek ya. Anak itu kalau sayang, sayangnya tulus banget.”
Sepulang makan, aku balik ke meja kerja tapi pikiranku udah nggak di layar laptop lagi.
Di benakku cuma ada suara Pak Suro, cerita Bu Wiji, dan senyum polos Arifbol yang selalu bilang, “Allah kasih rasa di dada.”
Aku buka tas kecil, keluarkan balon merah itu.
Kupencet pelan ujungnya, terus aku bisikkan,
“Mas Arifbol… makasih ya. Ternyata namamu nggak cuma unik, tapi juga penuh makna. Semoga dunia kamu terus muter dengan bahagia.”
Dan untuk pertama kalinya sejak kerja di NGANJUK SEJAHTERA GROUP, aku sadar — ada sesuatu di hatiku yang pelan-pelan tumbuh, tanpa aku minta.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!