NovelToon NovelToon

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Bab 1

Pagi itu, kabut dingin masih melekat di jendela besar ruang kerja. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh lewat tiga belas, dan Apollo Axelion Dragunov sudah terbenam dalam pekerjaannya.

Di atas meja kayu hitam panjang, berserakan dokumen strategi, peta jalur laut, dan catatan angka yang hanya bisa dimengerti oleh otak kriminalnya. Setiap goresan pena seperti pisau yang mengukir jalan menuju keuntung an sekaligus pertumpahan darah.

Apollo selalu melangkah dengan pasti, seolah setiap gerakannya sudah dihitung sejak jauh hari. Ia dikenal tegas, dingin, dan jarang menunjukkan emosi. Seperti es yang menutupi permukaan danau, tak mudah ditembus oleh siapapun.

Semua orang, mulai dari anak buahnya hingga para pesaing bisnis, mengetahui satu hal yang tak pernah boleh diabaikan: jangan pernah mengganggunya saat ia bekerja

.Mengacaukan waktunya berarti menantang ketenangan yang sulit diraih, dan akibatnya bisa jauh lebih serius daripada yang bisa dibayangkan siapa pun.

Dalam dunia yang bergerak cepat dan penuh intrik itu, menghormati batas Apollo bukan hanya soal sopan santun, tapi juga soal bertahan hidup. Namun gangguan itu datang juga.Bukan dari musuh.Bukan pula dari pengkhianat. Melainkan dari seorang wanita yang selalu berhasil menembus pertahanan nya.

Pluk.!!

Seketika tangan mungil melingkar di pinggangnya dari belakang. Sentuhan itu ringan, namun cukup untuk menghentikan gerakan tangannya. Pena tinta merah itu langsung  berhenti di atas dokumen, meninggalkan noda tinta yang menyebar seperti darah di kertas putih.

Apollo menutup mata sepersekian detik. Tubuhnya menegang. Bukan karena ancam an, tapi karena keakraban yang terlalu sulit untuk dibiarkan. Hembusan napas hangat menyentuh tengkuknya.

“ Kau terlalu sibuk ” suara itu lirih, manja, namun juga menuntut. “jangan bilang kau melupakanku.”

Lyora. ...Namanya bergema di dalam kepala nya.Wanita itu adalah satu-satunya makhluk yang mampu mengguncang fondasi kekaisaran kelam yang ia bangun.

Apollo membuka mata perlahan, tatapannya kembali menusuk dokumen di depannya, meski pikirannya sudah melayang jauh dari strategi Timur Tengah. Rahangnya mengeras.

“Kalau kau bukan dirimu,” gumamnya rendah, nyaris menggeram, “tangan sekecil ini sudah kutebas sejak tadi.”

Peringatan itu terdengar kejam, namun Lyora hanya tersenyum samar. Ia merapatkan peluk annya, membenamkan wajahnya ke punggung Apollo, seakan tahu betul bahwa pria itu tidak akan pernah melakukannya.

“Dan kalau aku bukan aku,” bisiknya lembut, “kau tak akan membiarkan aku menyentuh mu.” Ucapan itu menusuk. Tapi Memang benar. Apollo merasakan tarikan di bibirnya, bukan senyuman yang tulus.

Melainkan sesuatu yang lebih menantang, lebih meremehkan, dan membuatnya tak bisa menepis perasaan itu.Tangannya terangkat. Ia bisa saja menyingkirkan pelukan itu dengan satu gerakan kecil.

Namun alih-alih melepaskannya, ia justru menggenggam jemari Lyora. Erat. Terlalu erat untuk disebut sekadar kebiasaan. Itu genggaman seorang penguasa dunia gelap yang menolak kehilangan miliknya, meski milik itu berlumur bahaya.

" Lyora…” akhirnya namanya meluncur dari bibir Apollo, seperti desah yang ditahan terlalu lama.

Wanita itu menegakkan tubuh, mengintip wajah pria dingin yang masih terpaku pada dokumen. Sorot matanya lembut, tapi di baliknya ada api kecil yang menantang. “Kau menyebutku seperti doa yang tak pernah kau akui, Apollo.”

Pria itu menoleh. Tatapannya menusuk, hitam pekat, namun di sudutnya ada sesuatu yang tak dimiliki siapa pun selain Lyora , kerapuhan yang terbungkus rapat.

“Doa?” Apollo tertawa pendek, hambar. “Doa tak pernah menyelamatkanku. Kau pun tidak.”

Lyora menahan senyum, matanya tak goyah. “Tapi aku membuatmu hidup.”

Keheningan jatuh di antara mereka. Sunyi yang menyesakkan, seakan dinding-dinding ruangan ikut menyaksikan pertarungan tak terlihat. Pertarungan antara cinta dan kegelap an, antara kelembutan dan kekejaman.

Apollo akhirnya berdiri. Kursinya bergeser, menim bulkan suara gesekan tajam. Tubuh nya menjulang, penuh wibawa yang menekan. Ia berbalik, menatap Lyora yang kini berdiri hanya sejengkal darinya.

Tatapan itu bukan milik seorang kekasih.

Bukan pula milik pria biasa.Itu tatapan seorang raja mafia, dingin dan mendominasi.

Namun Lyora tidak gentar. Ia menatap balik, seakan sengaja menantang badai. Dalam satu gerakan cepat, Apollo meraih dagunya. Kasar, namun bukan untuk menyakitinya. Lebih tepatnya, untuk mengingatkan siapa dirinya.

"Jangan ganggu aku ketika aku bekerja,” suaranya rendah, nyaris bergemuruh. “Kau tahu konsekuensi nya.”

Lyora hanya tersenyum tipis. “Aku tidak peduli konsekuensi. Aku hanya peduli padamu.”

Kata-kata itu seketika meruntuhkan tembok Apollo sedikit demi sedikit. Ia menarik napas dalam, menahan gejolak yang seharusnya tidak ada. Pria itu benci kelemahan. Ia benci merasa tergantung. Tapi bersama Lyora, semua kebenciannya runtuh.

Tangannya yang menggenggam dagu Lyora kini bergerak ke lehernya, berhenti di sana. Bukan untuk mencekik, tapi untuk merasakan denyut nadi yang berlari kencang.

“Suatu hari nanti,” desis Apollo, “kau akan jadi alasan kehancuranku.”

Lyora menutup mata sesaat, lalu membuka nya kembali dengan tatapan penuh keyakin an. “Kalau pun iya… bukankah itu cara paling indah untuk hancur?”

Kalimat itu menghantamnya lebih keras dari pada peluru. Apollo tahu, ia sedang jatuh. Jatuh ke dalam jurang yang ia ciptakan sendiri, jurang yang bernama Lyora.

Ia menunduk perlahan, hingga jarak di antara mereka hanya menyisakan napas. Aura gelap, dingin, bercampur dengan kehangatan lembut yang tak pernah ia izinkan siapa pun berikan padanya. Ketika bibir mereka hampir bersen tuhan, Apollo menahan diri. Ia menatap Lyora dalam-dalam.

“Aku membencimu karena membuatku lemah.”

Lyora tersenyum samar. “Dan aku mencintaimu karena di balik kebencianmu, aku satu-satunya yang kau biarkan masuk.”

Apollo mendengus pelan, napasnya keluar seperti bara tertahan. Ia kembali menunduk pada peta besar yang terbentang di meja. Garis-garis hitam menghubungkan pelabuhan ke pelabuhan, jalur udara, titik-titik rahasia di Timur Tengah. Semua tersusun rapi, setiap detail bisa berarti hidup atau mati bagi ratusan orang.

Namun, ada satu hal yang tak pernah diperhitung kan dalam strategi perang maupun bisnisnya: gangguan kecil bernama Lyora

Wanita mungil yang baru satu tahun resmi ia nikahi. Satu tahun lalu, waktu yang singkat bagi seorang pria yang hidup dalam badai kekuasaan dan darah. Namun cukup untuk merusak fokusnya, membuat nya rapuh, dan menimbulkan kelemahan yang ia benci.

Apollo kembali menarik garis dengan pensil merah, namun tangannya bergetar halus. Fokusnya terpecah, karena ia merasakan tatapan Lyora yang menelusuri wajahnya, bukan peta.

“Ini apa?” tanya Lyora tiba-tiba, nadanya ringan, penuh godaan.

Apollo mengangkat kepalanya sekilas. Ia mendapati Lyora sudah bersandar ke meja, kedua tangannya menekan permukaan peta itu seolah itu hanyalah kertas biasa, bukan strategi senjata bernilai jutaan dolar.Wanita itu mencondongkan tubuh, mata jenakanya bersinar

.“Peta menuju hatimu?” candanya, bibirnya melengkung nakal. Apollo terdiam. Beberapa detik penuh tekanan. Hanya suara jam din - ding yang berdetak, disertai debar jantungnya yang tak ingin ia akui.

“Jangan main-main dengan hal yang kau tidak pahami,” suaranya rendah, mengandung ancaman samar. Namun Lyora tak bergeming. Ia justru mengetuk-ngetuk peta itu dengan jarinya, tepat di titik yang Apollo tandai merah.

“Kalau ini jalan ke Suriah, lalu yang ini?” ia menunjuk jalur lain. “Mungkin jalan rahasia ke hatimu yang keras kepala itu?”

Apollo mengerjapkan mata, menatapnya tajam. Separuh dirinya ingin menyingkirkan Lyora dari ruang kerja. Mengusirnya jauh, agar ia bisa kembali jadi monster tanpa hati. Tapi separuh lain, ingin menahannya lebih lama.

Ia berbalik, menyandarkan punggung ke kursi. Tatapannya dingin, tapi ada kilatan berbeda ketika menelusuri wajah Lyora. “Hati? Kata itu tidak ada dalam kamusku.”

Lyora menyilangkan tangan di dada, alisnya terangkat. “Bohong. Kalau memang begitu, kenapa aku masih di sini? Kenapa aku masih bernapas setelah berani mengganggumu berkali-kali?”

Apollo menekan jemarinya ke meja, rahang nya mengeras. Ia benci ketika Lyora menyentuh sisi rapuhnya. Ia benci diingatkan bahwa ia tak sanggup menyakitinya.Namun Lyora tidak selesai. Ia berjalan mengitari meja, lalu berhenti tepat di sampingnya. Tubuhnya membungkuk, wajahnya sejajar dengan wajah Apollo.

“Kau tahu kenapa?” bisiknya. Apollo hanya diam, tapi matanya berbicara.

“Karena entah kau akui atau tidak,” Lyora melanjut kan, “aku sudah menjadi peta itu. Semua jalanmu, cepat atau lambat, berujung padaku.”Kata-kata itu jatuh bagai racun sekaligus obat.

Apollo merasakan denyut halus di pelipisnya. Ia ingin menyangkal. Ia ingin tertawa sinis. Tapi di hadapan Lyora, semua kata-kata itu terasa hambar. Apollo tiba-tiba berdiri, kursi nya bergeser keras.

Tubuh tingginya menjulang, auranya kembali menekan. Lyora terpaksa menoleh ke atas, menatap suaminya yang kini berdiri begitu dekat.

Apollo menunduk, bibirnya hanya beberapa inci dari telinga Lyora. “Jika aku biarkan kau terus bicara, kau akan menghancurkanku lebih cepat dari musuh mana pun.”

Lyora terdiam sejenak. Hanya napasnya yang terdengar, cepat namun stabil. Kemudian ia tersenyum tipis, penuh tantangan.

“Kalau pun aku menghancurkanmu, Apollo. Aku akan menghancur kanmu dengan cinta.”Itu kalimat paling berbahaya yang pernah ia dengar.

Dan entah kenapa, itu membuat darahnya mendidih. Dalam gerakan cepat, Apollo meraih pinggang Lyora, menyeretnya ke tubuhnya dengan kasar. Peta di meja tergeser, beberapa kertas jatuh ke lantai.

“Cinta?” bisiknya, suaranya penuh bara. “Kau pikir kata itu bisa menyelamatkanmu dari dunia ini? Dari diriku?”

Lyora tak gentar. Ia menatap langsung ke dalam mata hitamnya, tanpa goyah. “Kalau cinta tidak menyelamatkan, maka biarkan ia menghancurkan. Aku tidak peduli. Aku hanya tahu  aku tidak bisa pergi dari sisimu.”

Apollo menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak di dadanya. Sungguh, ia benci kelemahan ini. Ia benci betapa mudah nya Lyora merobohkan benteng yang ia bangun bertahun-tahun.

Namun ia juga sadar: tanpa Lyora, semua benteng itu hanya penjara kosong.

Tangan Apollo mengendur, dari kasar menjadi lebih lembut. Ia mengusap punggung Lyora, lalu menurun kan wajahnya hingga dahi mereka bersentuhan. “Kau gila !,” desisnya.

Lyora terkekeh pelan. “Mungkin. Tapi hanya orang gila yang bisa mencintai iblis sepertimu.”

Apollo terdiam. Kalimat itu menusuknya lebih dalam daripada peluru. Ia merasakan sesuatu di dadanya, sesuatu yang asing, sesuatu yang tak pernah ia biarkan muncul.

Tangannya naik, meraih dagu Lyora. Ia menatap wajahnya lekat-lekat, seolah ingin mengukirnya dalam ingatan. “Kau satu -satu nya peta yang tidak bisa ku abaikan,” akhirnya ia mengakui, meski suaranya penuh kebenci an terhadap kelemahan itu.

Lyora tersenyum, matanya berkilau. “Akhirnya kau jujur.”

Apollo mendengus, lalu menarik napas panjang. “Jangan bangga dulu. Karena semakin kau dekat denganku, semakin cepat kau akan ikut tenggelam.”

Lyora menempelkan telapak tangannya ke dada Apollo, tepat di atas jantungnya. “Kalau begitu… biarkan aku tenggelam bersamamu.”

***////****

Next??

Jangan lupa tinggalkan komentar bab ini ya....

Bab 2

Lyora melangkah ringan ke pojok ruangan, langkah kakinya hampir tanpa suara di atas marmer dingin. Mata Apollo mengikutinya tanpa sadar, seolah magnet dalam dirinya tak memberi pilihan lain.

Wanita itu berhenti di tepi meja panjang, lalu dengan gerakan seenaknya naik ke atas permukaan kayu mengkilap yang dipoles rapi. “Apa yang kau lakukan?” suara Apollo terdengar tajam, tapi alisnya sedikit berkerut, campuran antara kesal dan heran.

Lyora duduk di sana, kakinya menjuntai, lalu menatap Apollo dengan sorot mata yang terlalu jujur untuk dunia yang kelam. “Aku akan menunggu mu sampai selesai.”Jawaban sederhana.

Namun justru membuat dada Apollo bergejolak.Ia hendak kembali menunduk pada peta, mencoba mengabaikan kehadiran istrinya. Namun sebelum ia sempat menggoreskan pensil di atas garis jalur, suara kecil itu terdengar lagi.

Haaah.

Lyora menguap lebar, tanpa malu sedikit pun. Bahu nya terangkat, lalu ia mengusap mata nya dengan punggung tangan, seperti anak kecil yang ngantuk.

Apollo mematung. Ia ingin memarahi Lyora , ingin mengatakan bahwa ruang kerjanya bukan tempat tidur. Namun lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap. Wanita itu menggeliat sebentar, lalu membaringkan tubuh mungil nya di atas meja panjang itu. Rambutnya terurai, mengalir di permu kaan kayu yang licin. Jemarinya memainkan kertas-kertas peta, lalu berhenti begitu saja.

“Kalau kau tidak selesai cepat ” gumam Lyora, mata nya sudah setengah terpejam, “ aku akan tertidur di sini.”

Apollo menutup mata, menghembuskan napas berat. “Bodoh,” desisnya. Namun langkah kakinya justru membawanya mendekat. Ia berhenti tepat di samping meja, menunduk menatap wajah Lyora yang mulai diliputi kantuk.

Betapa beraninya wanita ini bisa tidur begitu saja di sarang iblis, di ruangan tempat rencana kematian disusun, seakan dunia tidak punya taring  untuk menggigitnya. “Lyora…” suaranya lirih, hanya keluar ketika ia yakin tak ada orang lain yang mendengar. “Kau pikir aku bisa berkonsentrasi kalau kau berbaring di sini?”

Wanita itu membuka sebelah mata, tersenyum samar. “Itu masalahmu, bukan masalahku.”

Apollo menggeram pelan. Tangannya terangkat, hendak menyingkirkan kertas- kertas yang berserakan di dekat tubuh Lyora, khawatir sobek atau rusak.Tapi sebenarnya,ia hanya ingin membuat lebih banyak ruang untuknya. “Kau ini .” suaranya tertahan, setengah marah, setengah putus asa. “membuatku tidak waras.”

Lyora memejamkan mata lagi, suara kantuknya terdengar manja. “Baguslah. Berarti aku berhasil.”

Apollo berdiri kaku. Jarang sekali ia kehilang an kata-kata. Dunia mengenalnya sebagai pria yang selalu punya jawaban, selalu punya ancaman, selalu tahu langkah berikut nya.

 Tapi di depan Lyora, semua keangkuhannya runtuh, tersisa hanya seorang pria yang tidak tahu bagai mana cara menolak.

Waktu berjalan. Jarum jam berdetak pelan. Apollo mencoba kembali menunduk pada peta, menoreh kan garis jalur baru. Namun setiap kali matanya jatuh pada dokumen, pikirannya kembali pada sosok yang tertidur hanya beberapa meter darinya.

Kepalanya menoleh tanpa sadar. Ia melihat Lyora meringkuk sedikit, kedua tangannya memeluk dirinya sendiri. Nafasnya teratur, wajahnya tenang.

Apollo mendekat lagi. Tangannya terulur, hampir menyentuh wajah itu , wajah yang selalu datang dalam mimpinya, wajah yang lebih berbahaya dari senjata mana pun.Namun ia berhenti di udara, tidak berani melanjut kan

.“Jika musuhku mengetahui keberadaanmu  ” gumamnya lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri, “ mereka akan menjadikanmu kelemahanku. Dan itu akan membunuhku.”

Namun Lyora tidak mendengar. Ia sudah tertidur, tubuh mungilnya terlelap di meja mafia paling berbahaya di negeri itu.  Apollo menghela napas. Tangannya turun, kali ini benar-benar menyentuh wajahnya. Jemarinya menyusuri garis pipi lembut itu, sangat hati-hati, seperti menyentuh barang pecah belah paling rapuh.

“Dan aku terlalu bodoh untuk melepaskanmu.”

Ucap Apollo.

Lyora bergumam dalam tidurnya, suara kecil tak jelas, lalu tersenyum samar. Senyum dalam mimpi. Itu menghantam Apollo lebih keras daripada peluru. Apollo meraih jas hitamnya, lalu melepasnya.

Perlahan, ia selimuti tubuh Lyora dengan kain itu, menutupinya dari dingin. Setelah itu, ia kembali duduk, mencoba lagi menatap peta.

Namun kini, garis merah dan jalur hitam di atas kertas hanya terlihat seperti coretan tak berarti. Karena satu-satunya peta yang benar-benar membingungkannya kini sedang tertidur di mejanya sendiri.

...****************...

Apollo menyingkap tirai jendela kaca besar itu, membiarkan cahaya bulan jatuh ke wajah nya. Ia melepaskan kacamatanya, menaruh nya di tepi bingkai. Pandangannya kembali, lurus ke arah Lyora yang kini tertidur pulas di atas meja panjang. Napas nya teratur, sesekali bergumam kecil, seperti bayi.

Namun yang menghantam ingatan Apollo bukanlah bayangan malam ini, melainkan hari di mana segala nya dimulai.

# Kilas balik Satu tahun lalu.#

Pintu aula utama Dragunov Mansion terbuka lebar. Dan masuklah Elira Dragunov, wanita tua yang tak pernah mengenal kata lemah. Namun alih-alih membawa senjata atau laporan baru, ia membawa sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Seorang gadis.

Apollo berdiri kaku kala melihatnya. Gadis itu tampak polos, bahkan konyol, dengan rambut berantakan yang diikat seadanya dan sebuah boneka kelinci lusuh di pelukannya.

Mata Lyora membulat penuh kepolosan , lalu  tersenyum. Senyum yang terlalu jernih untuk dinding penuh darah di sekitarnya.

Ia mengulurkan tangan pada Apollo, seolah memperkenalkan diri di taman kanak- kanak.

Apollo hanya menatap. Tatapannya tajam, dingin, penuh ancaman. Tidak ada keinginan untuk menyentuh tangan itu. Ia bahkan merasa ingin membunuh, hanya karena gadis ini begitu berani menodai wilayahnya dengan kepolosan.“ Nenek ” desisnya ke neneknya, “apa maksud semua ini?”

Tapi Elira hanya menepuk bahu cucunya. Suaranya datar, namun penuh keputusan. “Dia akan menjadi istrimu. Aku sudah mengenal nya dengan sangat baik.”

Apollo memutar mata, menahan amarah. Istri?.  Gadis idiot ini?! .Namun sebelum ia bisa melempar kan protes, sesuatu terjadi.

Lyora mencondongkan tubuhnya, memperhati kan dada Apollo, lalu tanpa peringatan meraih lencana berbentuk perak yang tersemat di jas hitamnya.

Apollo langsung menggeram. Rahangnya mengeras, matanya berkilat. “Kembalikan!” Ia mengulurkan tangan, gerakan tegas penuh perintah. Semua orang di ruangan itu tahu: tak ada yang boleh menyentuh lencana itu. simbol kehormatannya, simbol darah Dragunov.

Namun Lyora hanya mengedip, seolah tak paham betapa seriusnya hal itu. Dan dengan polosnya, ia mengeluarkan sesuatu dari mulutnya. Sebuah permen lolipop, masih basah, denga  warna pink mencolok.

Ia menaruhnya begitu saja di telapak tangan Apollo.“Sebagai gantinya,” katanya ringan.

Eliot dan Johan, yang berdiri di sudut ruangan, melotot tak percaya. Mereka nyaris tersedak napas sendiri, melihat seorang gadis asing berani melakukan hal yang… gila.

Apollo menatap lolipop itu, wajahnya gelap, penuh penghinaan. Tanpa ragu, ia melempar benda manis itu ke lantai marmer. “Cukup !.”

Tangannya bergerak cepat, mencabut pistol hitam dari balik sabuknya. Senjata itu terarah lurus pada kepala Lyora. Suasana hening, mencekam. Eliot bahkan sempat melangkah maju, khawatir darah akan tercecer di ruangan itu.

Namun,  Lyora hanya menatap moncong pistol itu dengan rasa penasaran. Bibirnya mengerucut, lalu ia menyentuh ujung senjata dingin itu dengan jarinya.

“Apa ini?” tanyanya, seolah benar-benar tak tahu. “Hei kau juga main pistol air? Aku juga punya.”

Dan sebelum siapa pun bisa mencegah, ia merogoh tas selempangnya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah pistol plastik berwarna cerah, lengkap dengan stiker bintang.

Apollo terpaku. Ia belum pernah merasa dihina dengan cara seabsurd ini. Neneknya hanya tersenyum samar. Eliot dan Johan menahan napas, menunggu ledakan amarah Apollo. Naga  mafia itu menekan pelatuk setengah jalan.

Jemarinya kaku, siap meledakkan kepala polos di depannya. Napasnya teratur, dingin, seakan nyawa gadis itu hanya bagian dari target yang harus disingkirkan.

Namun saat bunyi “klik” terdengar, sebuah tangan tua menahan lengannya. “Nenek —” rahangnya mengeras, suara Apollo rendah penuh ancaman.

Neneknya mendekat, menempelkan bibirnya ke telinga sang cucu. Bisikan yang hanya ia dengar, tapi cukup untuk merobohkan niat membunuh itu.“Dia cucu pria yang menyelam atkan nyawamu di Siberia. Berbaik hatilah sedikit, Axel ”

Detik itu juga, pupil Apollo mengecil. Sebuah memori menyergap ingatannya. dinginnya badai, peluru bersiul, tubuhnya nyaris terkubur salju. Dan seorang pria tua datang dan rela menentang maut demi menyeretnya kembali ke kehidupan.

Elira menarik napas panjang, matanya tak pernah lepas dari wajah Apollo yang dipenuhi murka. “Dia memang sedikit konyol,” lanjutnya lirih. “Tapi kau akan tahu sendiri apa yang kusembunyikan di balik kekonyolannya.”

Apollo menatap Lyora, masih dengan pistol yang menempel di kening gadis itu. Tapi alih-alih ketakutan, Lyora justru menyeringai kecil, lalu mengangkat pistol mainannya ke arah Apollo, menirukan gerakan nya.

Bang! . suara plastik menggema, tak sebanding dengan bahaya nyata yang mengancam.

Eliot terbelalak . Johan memijit kening, tidak percaya gadis ini benar-benar berani. Apollo menarik napas panjang, menurunkan pistol nya dengan gerakan kasar.

Bukan karena rasa kasihan. Bukan pula karena kata-kata neneknya sepenuhnya meluluhkan.Hanya karena ia tahu. hutang darah tidak bisa diabaikan.

Lyora masih tersenyum, seakan baru saja memenangkan permainan. Ia menepuk boneka kelincinya, lalu menoleh ke Elira“Dia galak sekali, Nek. Tapi aku suka matanya. Seram, tapi indah.”

Kata-kata polos itu membuat ruangan makin dingin. Johan nyaris tersedak, sementara Eliot berbisik lirih, “Ini akan jadi bencana.”

Apollo menaruh pistolnya kembali ke sarung, wajah nya tetap gelap. Ia membalikkan badan, tak mau melihat lagi.“Jangan harap aku menerima ini begitu saja,” gumamnya, hampir seperti ancaman.

Namun jauh di dalam, sebuah bisikan lain muncul.Gadis konyol ini Cucu dari pria di siberia itu, dan aku? .Terjebak dalam permainan ini.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Bab 3

Malam itu, langit Moskow dipenuhi kabut tipis. Mansion  Dragunov berdiri dengan megah dan dingin, bagai kastil dari abad lain. tembok tinggi, jendela kaca berbingkai besi, dan lorong-lorong panjang yang bergema oleh langkah kaki para penjaga bersenjata.

Apollo duduk di kursi empuk berbalut kulit hitam di dalam kamarnya. Kamar itu luas, nyaris sebesar aula kecil, dengan dominasi warna merah darah dan hitam. Tirai beludru menjuntai berat, lukisan perang menghiasi dinding, dan aroma pahit dari cerutu memenuhi udara.

Di sana, sang naga mafia sedang setengah telanjang dada, hanya mengenakan celana panjang hitam. Tubuhnya penuh guratan luka lama , jejak peperang an, pengkhianatan, dan hidup yang dipenuhi darah.

Matanya tertutup, kepalanya bersandar ke kursi. Asap cerutu yang dia hembuskan  membentuk kabut samar, menutup sebagian wajahnya yang keras.

Sejenak ia terlihat damai, tapi itu hanyalah ilusi  sebuah topeng yang sewaktu-waktu bisa pecah menjadi amukan. Lalu… tiba tiba terdengar  suara langkah kecil . Ringan, ragu-ragu, tapi cukup jelas untuk menembus keheningan kamar itu.

Alis Apollo berkerut. Siapa yang berani masuk ke dalam kamar ku? batinnya, penuh kemarahan .Perlahan ia membuka mata. Dan di sana, berdiri sosok yang sama sekali tak pernah ia bayangkan.

Lyora. Gadis itu kini sudah berganti pakaian, gaun sederhana berwarna krem, rambutnya dikepang dua, seperti anak kecil yang hendak pergi ke sekolah dasar. Wajahnya tampak polos, matanya berbinar, sama sekali tak menyadari bahaya yang mengelilinginya.

Apollo menahan napas. Bukan karena terpesona, melainkan karena tidak percaya .Dan keterkejutan itu makin menjadi ketika ia mendapati Lyora tengah berlutut di samping ranjang hitam besar miliknya. Boneka kelinci lusuh sudah berganti dengan sesuatu yang lebih aneh lagi

sebuah boneka kayu beranak, matryoshka, yang jika dibuka selalu menyimpan boneka lebih kecil di dalamnya.

Dengan hati-hati, Lyora menjejerkan boneka -boneka itu di atas ranjang Apollo, seperti anak kecil yang tengah bermain rumah- rumahan.

Apollo terdiam. Tangannya mengeras di sandaran kursi, seolah menahan diri untuk tidak langsung menodongkan pistol.Gadis ini sudah gila? pikirnya.

Rasa marah dan heran bercampur jadi satu.Bagaimana bisa?.  Kamar seorang Dragunov bukan tempat bermain. Itu wilayah paling sakral,dan paling terlarang untuk dimasuki. bahkan banyak anggota keluarga pun tak pernah diizinkan masuk tanpa izin.

Apollo berdiri dari kursinya, langkahnya berat menghampiri Lyora. Tubuhnya yang kekar menutupi hampir seluruh cahaya lampu, membuat bayangan nya membesar di dinding.

Lyora terhenti, boneka di tangannya seolah menjadi benda asing, dan menoleh dengan hati-hati.Di hadapannya, wajah sang naga mafia tampak dingin dan menakutkan, mata nya menyala penuh amarah.“Keluar dari kamarku. Sekarang juga !.”

Suaranya rendah, bergemuruh, seperti janji dan  ancaman yang tak terbantahkan.Namun Lyora hanya mengangkat wajahnya, tersenyum kecil, dan mengedip seperti anak yang dimarahi orang tua.“Apa salahku?. Aku hanya ingin menunggumu tidur,” katanya dengan  polos

Apollo mendekat, tubuhnya semakin menjulang tinggi. Dengan kasar ia meraih pergelangan tangan mungil itu, menariknya berdiri. Lyora memekik kecil, tubuhnya limbung seperti boneka kain. “Aku bilang keluar!” geram Apollo, suaranya bergaung ke dinding.

Namun Lyora, dengan kepolosan yang sama, hanya menjawab lirih, “Emmh,  tapi Nenek yang menyuruh ku masuk ke kamar ini. Katanya ini akan jadi kamar ku juga.” Kata-kata itu menghantam Apollo lebih keras daripada peluru. Wajahnya menegang. Urat-urat di lehernya menonjol. Nenek .!

Jika saja wanita tua itu bukan neneknya, satu-satu nya orang yang ia hormati dalam keluarga. maka malam ini pasti sudah ada pertumpahan darah.

Apollo menarik napas tajam, menyeret Lyora keluar kamar. Tubuh gadis itu ringan, seperti tak punya perlawanan. Dia hanya menoleh, sesekali melirik boneka-boneka yang tertinggal di atas ranjang.

Saat pintu terbuka, dua maid yang sedang berjaga di lorong terperanjat. Raut muka mereka pucat, panik, mata membesar saat melihat Lyora digiring paksa keluar. “M-Maaf, Tuan!” salah satu dari mereka langsung membungkuk dalam-dalam. “Ini kesalahan kami. Mungkin Nona Lyora salah masuk kamar.”

" Benar, Tuan, kami mohon ampun,” maid satunya ikut menunduk, tubuhnya bergetar ketakutan. Mereka tahu, sekali saja Apollo murka, nyawa mereka tak ada harganya.

Apollo menatap mereka dengan dingin. Tangannya masih mencengkeram lengan Lyora, membuat kulit pucat itu memerah

.“Salah masuk kamar?” suaranya begitu rendah, namun mengandung amarah. “Tak ada seorang pun yang salah masuk ke kamar ku.”

Maid itu hampir menangis, mulutnya terbata, “A-ampun, Tuan…”

Apollo akhirnya melepaskan tangan Lyora, mendoro ngnya pelan ke arah kedua maid. Tatapannya penuh peringatan.

“Jaga dia. Jangan biarkan ia mendekati kamarku lagi. Sekali saja aku menemukannya di dalam, kalian berdua akan menanggung akibatnya.”

Kedua maid langsung menunduk semakin dalam, nyaris mencium lantai. “Baik, Tuan!”

Dan Lyora, alih-alih ketakutan, malah mengusap pergelangan tangannya yang merah lalu tersenyum tipis.“Kau kasar sekali, tapi tanganku jadi hangat sekarang,” ucapnya, polos.

Apollo menatapnya dengan tatapan yang bisa membekukan darah. Tanpa kata lain, ia membanting pintu kamarnya, meninggalkan mereka di lorong.Namun saat ia kembali ke kursinya, pandang an Apollo tertuju ke ranjangnya.

Boneka -boneka kecil itu masih berjejer rapi di atas seprai hitam. Ia mengernyit, tapi entah kenapa, pemandangan itu menolak untuk hilang dari kepala nya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, seorang gadis membuatnya kehilangan kendali. Tidak dengan senjata, tidak dengan siasat, tapi dengan kepolosan yang terasa seperti penghinaan.Apollo menghembuskan asap cerutu, menutup matanya.

Namun semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan wajah Lyora terpatri di benaknya , senyum naif, mata berbinar, dan kata-katanya yang sederhana.Katanya  ini akan jadi kamarku juga

Apollo menggeram, menghantam meja kecil di samping kursinya hingga gelas kristal pecah.Namun bahkan rasa marah itu pun tidak mampu mengusir kenyataan:

Sejak malam pertama, keberadaan Lyora sudah mulai mengganggu keseimbangan nya.

...****************...

Pagi itu, suasana di Mansion  tidak berbeda dengan biasanya. Aroma kopi pahit memenuhi aula besar, suara sendok beradu dengan cangkir porselen yang bergema samar.

Para eksekutif keluarga duduk rapi di meja panjang yang mewah,mereka bukan sekadar bawahan, melainkan pria-pria yang memega ng kendali jaringan senjata, narkotika, dan perdagang an gelap di seluruh Eropa Timur.

Apollo duduk di ujung meja, kursinya menjulang lebih tinggi daripada yang lain, bagaikan singgasana. Jas hitamnya sempurna, wajahnya dingin, seolah semalam tak pernah ada insiden gadis polos masuk ke kamarnya.

Para eksekutif bicara soal jalur penyelundup an baru, angka keuntungan, hingga penindasan pesaing. Semuanya berjalan normal, sampai ...sesuatu yang tidak normal terjadi.

Di tengah meja rapat, entah bagaimana ceritanya, muncul boneka kelinci lusuh. Tepat di antara tumpukan dokumen strategi dan vas bunga kristal.

Beberapa eksekutif menatap bingung, saling melirik. Ada yang menahan tawa gugup, ada pula yang menunduk dalam-dalam, tidak berani mengangkat muka.Apollo menyipitkan mata. Rahangnya mengeras. Ia tahu persis siapa pemilik boneka itu.Dan firasatnya terbukti ketika pintu besar ruang rapat terbuka.

Lyora masuk, didampingi dua maid yang wajahnya pucat pasi, seperti hendak dieksekusi.Gadis itu berjalan ringan, matanya berbinar. Rambut nya masih dikepang dua, gaun putih sederhana menghiasi tubuh mungilnya.

Namun yang membuat seluruh ruangan membeku adalah kalimat pertama yang keluar dari bibirnya.

“Sayang~!” panggil Lyora dengan nada ceria, langsung menuju kursi Apollo.Detik itu juga, semua kepala menoleh. Para eksekutif tua, muda, botak, berjanggut semua terbelalak.

Mereka terdiam ingin tertawa, ingin bergosip, ingin melontarkan komentar,  tapi tidak ada seorang pun yang berani mengeluarkan suara. Tatapan memati kan Apollo cukup membuat mereka lebih kaku daripada patung marmer di sudut ruangan.

“Siapa wanita idiot itu?” terdengar bisikan lirih salah satu eksekutif muda.Namun sebelum Apollo sempat bereaksi, Lyora sudah menjawab lantang.

“Kata Nenek, aku calon istrinya Apollo!” Kalimat itu menghantam ruangan lebih keras daripada bom. Eksekutif yang baru saja berbisik mendadak pucat pasi. Seluruh meja seakan membeku.

Bahkan jam antik di dinding terdengar berhenti berdetak, vas bunga besar di ujung meja terjatuh, pecah berantakan.

Apollo? Wajahnya merah padam, urat di lehernya menegang. Tangannya menghantam meja, mem buat cangkir-cangkir bergetar.“Gadis idiot ini!” desisnya.

Dalam sekejap, ia berdiri, kursinya terhempas ke belakang. Semua orang terdiam. Apollo menyeret Lyora keluar ruangan tanpa memberi kesempatan siapa pun untuk bicara.

“KAU berani sekali !” raung nya begitu keluar dari ruang rapat, suaranya menggema di seluruh lorong.

Lyora hanya tersenyum kikuk, “Aku cuma bilang yang sebenarnya…”

Apollo mendesis tajam, matanya membara. Ia menoleh ke arah dua maid yang ikut berjalan di belakang, tubuh mereka gemetar hebat.“KALIAN berdua!” bentaknya, suaranya bagai cambuk.

“Bawa gadis idiot ini pergi dari sini. Ikat dia dengan rantai, lempar ke kandang Balthor! Aku tidak peduli jika dia menjadi santapan singa itu. Dia sudah melampaui batas!”

Kedua maid itu hampir pingsan mendengar perintah itu. Mereka tahu siapa Balthor, singa buas yang hanya tunduk pada Apollo, pemangsa tanpa belas kasihan.“Tu-Tuan…” salah satu mencoba bernego siasi, tapi tatapan Apollo membuatnya langsung membungkam.

Sementara Lyora hanya mengedip polos.“Hmm?” gumamnya, seperti tidak mengerti bahwa nyawanya sedang dipertaruhkan.Apollo menatapnya tanpa belas kasihan. Ia benar-benar serius.

Tak lama kemudian, rantai besi sudah melingkar di pergelangan tangan dan kaki Lyora. Dua maid itu menyeret tubuh mungil nya menuju halaman belakang mansion, tempat kandang besar berjeruji baja berdiri kokoh.

Suara geraman rendah terdengar dari dalam kandang, membuat udara malam terasa semakin pekat.Balthor, singa jantan besar dengan surai keemasan, mata kuningnya  menyala dalam kegelapan.

Hewan buas yang hanya tunduk kepada Apollo itu sudah merobek lebih banyak daging manusia daripada hewan dari  yang bisa dihitung.

Pintu kandang dibuka, Lyora yang masih terikat rantai didorong masuk. Para pengawal berjaga dari jauh, menahan napas, menanti pemandangan berdarah.

Apollo berdiri beberapa meter dari sana, tangannya terlipat, wajahnya dingin. Ia ingin memberi pelajaran . Ia ingin membuat gadis polos itu mengerti bahwa Dragunov bukan tempat untuk bermain boneka.

Namun , yang terjadi jauh dari perkiraannya.Balthor tidak menerkam. Tidak mengaum. Tidak menunjuk kan gigi tajamnya.

Sebaliknya, singa raksasa itu hanya berjalan pelan mengitari Lyora. Sesekali mendekat, mengendus, lalu mundur kembali. Lyora duduk santai di tanah, bahkan sempat mengusap surai singa itu dengan tangan mungilnya.“Lembut sekali, mirip bulu kelinciku,” katanya sambil tersenyum.

Apollo menyipitkan mata. Dadanya bergetar dengan amarah dan keterkejutan sekaligus. Apa-apaan ini?

***///***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!