NovelToon NovelToon

Incase You Didn'T Know

Bab 01

Melati Bunga Yasmin tak ingin percaya dengan apa yang baru saja kedua orangtuanya katakan. Pasalnya, topik yang mereka bahas kali ini benar-benar di luar yang ia duga.

"Menikah?" Ia menelan ludah karena begitu susahnya mengatakan satu kata itu. Ia seakan salah dengar ketika kedua orangtuanya menyebutkan hal yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. "Apa bunga ngga salah dengar?" Ujarnya, mencoba memastikan.

Ayah bunga menggeleng sebagai jawaban. "Kamu ngga salah dengar, Bunga. Seminggu lagi kamu akan bertemu dengan calon suamimu sekaligus untuk lamaran." Mendengar kembali kalimat tersebut, membuat kepala Bunga seakan pecah.

"Tapi, Ayah, Bunga kan masih mau kuliah! Bukan menikah!" Pekik gadis itu. "Lagipula, umur bunga baru 18 tahun. Masih terlalu muda untuk menikah!" Bunga mencoba berdebat.

Bayangkan saja apa yang akan teman-temannya katakan jika mereka tahu ia akan menikah muda, dan dijodohkan pula! Mau ditaruh mana wajahnya?! Ia ingin mencari sendiri calon suaminya nanti. Ia juga masih ingin menimba ilmu tanpa harus disambi menikah. Meniti karir setelah kuliah, dan masih banyak lagi impian-impiannya yang belum tercapai. Kalau sampai ia menikah muda, bisa-bisa semua impiannya terbengkalai dan hanya sekedar mimpi di angan.

"Kalau kamu masih mau kuliah di universitas pilihanmu, kamu harus mau menikah dengan pemuda pilihan kami. Ayah dan ibukmu ngga tenang membiarkanmu tinggal seorang diri di kota besar seperti itu, nduk," jelas Ayah Bunga. Orangtua mana yang tenang merelakan anak mereka satu-satunya, anak gadis pula, untuk merantau di kota orang tanpa sanak saudara yang menjaganya.

"Tapi, Yah, Bunga kan bisa nge-kost. Banyak kok kost-kostan putri di sana. Bunga janji bakalan selalu menjaga diri. Beneran deh! Ya ya ya?" Ujar Bunga sedikit merengek.

"Ndak bisa, nduk." Kali ini Ibu Bunga yang menyahut. "Ibuk tetap ngga tenang kamu sendirian di sana. Kalau kamu sedang sakit dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, siapa yang akan menjaga kamu? Kami ngga bisa sewaktu-waktu pergi untuk nengok kamu. Apalagi perjalanan jauh yang membutuhkan waktu beberapa hari. Kalau kamu ada suami, kan, Ibuk dan Ayahmu bisa tenang."

"Naudzubillahiminzalik. Ya jangan sampai kejadian lah, Buk. Insya Allah Bunga benar-benar bisa menjaga diri. Makan tepat waktu, jaga kesehatan, dan hati-hati kalau sedang di jalan. Hal-hal kecil seperti itu bisa Bunga lakukan sendiri kok. Ngga perlu sampai menikah." Bunga mencoba menawar. "Lagi pula, bunga juga ngga mengenal calonnya. Pasti kalau sudah menikah nanti bakalan canggung banget."

Mendengar penuturan putrinya tersebut, Ayah bunga tersenyum kecil. "Insya Allah semua akan berubah seiring dengan waktu, nak. Sama seperti Ayah dan Ibukmu. Kami dulu juga dijodohkan. Memang awalnya canggung, tapi lama-kelamaan tumbuh rasa sayang. Witing tresna jalaran saka kulina. Cinta berawal karena terbiasa." Ayah Bunga berhenti sejenak, dan melihat Bunga dengan tatapan penuh arti. "Terus, siapa yang bilang kalau kamu ngga mengenal calon suamimu? Justru kamu sangat mengenalnya. Ayah yakin dia calon terbaik untuk kamu."

Bunga melongo. Orang yang dia kenal? Memangnya siapa? Tidak banyak laki-laki yang ia kenal, apalagi yang akrab dengannya. "Ayah jangan bikin Bunga penasaran deh. Lagi pula, Bunga masih belum menyetujui pernikahan ini."

Ayah Bunga menghela napas, kali ini senyum kecilnya memudar. Ia menatap putrinya dengan sorot yang lebih serius, namun tetap sarat akan kasih sayang. "Kami tidak sedang memintamu menebak, Bunga. Kami memberitahumu."

"Tapi Bunga nggak mau!" Gadis itu kembali meninggikan suaranya, rasa frustrasi membuat matanya panas. "Kenapa Ayah sama Ibu tiba-tiba jadi kolot begini, sih? Ini zaman modern, Yah! Nggak ada lagi yang namanya Siti Nurbaya. Bunga punya mimpi. Bunga mau kuliah, mau jadi arsitek! Kenapa Ayah tega mau menghancurkan itu semua?"

"Siapa bilang impianmu akan hancur?" Kali ini Ibuk yang angkat bicara, suaranya melembut, mencoba meredakan ketegangan. Tangan keriputnya terulur, ingin mengusap lengan Bunga, namun Bunga menarik dirinya.

"Ya jelas hancur, Buk!" pekik Bunga. "Bagaimana Bunga mau fokus kuliah kalau harus mikirin suami? Mikirin rumah tangga? Nanti Bunga disuruh masak, cuci baju, melayani suami. Kapan Bunga belajarnya? Kapan Bunga bisa mengejar cita-cita Bunga?"

Bayangan-bayangan buruk itu berkelebat di kepalanya. Ia melihat dirinya, yang seharusnya berada di studio kampus menggambar denah bangunan, malah terjebak di dapur dengan celemek, bergelut dengan panci dan penggorengan. Ia melihat teman-temannya di media sosial memamerkan kehidupan kampus yang bebas, sementara ia harus meminta izin suami hanya untuk mengerjakan tugas kelompok.

"Nduk," panggil Ayahnya, suaranya rendah dan tegas, memotong lamunan pahit putrinya. "Calon suamimu ini... dia laki-laki yang baik. Dia berpendidikan. Dia tinggal di kota yang sama dengan universitas impianmu. Dia bekerja di sana. Dia... dia sudah berjanji pada Ayah akan menjagamu dan mendukung kuliahmu."

Bunga terdiam sejenak. Informasi baru itu sedikit menggeser fokusnya. Tinggal di kota yang sama? Bekerja di sana? Mendukung kuliah?

"Kalau dia memang sebaik itu," ujar Bunga sinis, "kenapa dia mau-maunya dijodohkan dengan anak 18 tahun yang masih mau kuliah? Kenapa dia nggak cari yang sepadan sama dia aja?"

"Karena dia percaya pada pilihan orang tuanya," jawab Ayah cepat. "Sama seperti Ayah dulu. Dan dia... dia juga mengenalmu dengan baik. Dia tahu impianmu."

"Siapa sih, Yah? Bilang aja!" desak Bunga, rasa penasaran kini bercampur dengan amarah.

Ayah dan Ibunya saling berpandangan. Seakan ada kesepakatan tak terucap di antara mereka.

"Kamu akan tahu minggu depan, saat keluarganya datang melamar," putus Ayah akhirnya. "Sekarang, masuklah ke kamarmu. Tenangkan pikiranmu. Pikirkan baik-baik. Universitas impianmu, atau kamu membatalkan semuanya dan kuliah di universitas swasta kecil di kota ini saja. Pilihannya ada di kamu."

Itu adalah ultimatum.

Bunga merasa seakan baru saja ditinju. Ayahnya tidak main-main. Ancaman itu nyata. Universitas pilihannya adalah universitas negeri terbaik di negeri ini, dan ia lolos melalui jalur undangan yang begitu ketat. Melepaskannya sama saja dengan bunuh diri akademis.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Bunga bangkit berdiri. Kakinya terasa berat. Ia menatap Ayah dan Ibunya bergantian dengan pandangan terluka dan kecewa. "Bunga nggak nyangka," bisiknya, suaranya bergetar. "Ayah sama Ibu tega menukar masa depan Bunga dengan 'ketenangan' Ayah dan Ibu."

Ia berbalik, berlari kecil menuju kamarnya dan membanting pintu. Terdengar suara kunci diputar dari dalam.

Di ruang tengah, Ibu Bunga menatap suaminya dengan cemas. "Apa kita tidak terlalu keras, Pak?"

Laki-laki paruh baya itu menghela napas panjang, memijat pelipisnya. "Ini demi kebaikannya, Buk. Kita tidak bisa menjaganya di sana. Tapi Arga bisa."

Di dalam kamarnya, Bunga menjatuhkan dirinya ke atas kasur. Ia membenamkan wajahnya ke bantal dan berteriak sekeras mungkin. Teriakannya tertahan oleh kain, berubah menjadi isakan yang tertahan.

Ini tidak adil. Ini sungguh tidak adil!

Ia meraih ponselnya, ingin sekali menelepon sahabatnya, Rina, dan menceritakan segalanya. Tapi apa yang akan ia katakan? 'Eh, Rin, aku mau nikah minggu depan. Dijodohin.' Rina pasti akan menertawakannya, atau lebih buruk lagi, mengasihaninya. Wajahnya mau ditaruh di mana?

Ia membuka galeri di ponselnya. Foto-foto rendering bangunan modern, desain interior minimalis, dan tangkapan layar gerbang depan universitas impiannya. Semua itu terasa begitu dekat, namun kini seakan dijauhkan paksa darinya.

Lalu, pikirannya kembali berputar ke teka-teki Ayahnya.

Orang yang sangat ia kenal.

Laki-laki baik, sholeh, mapan.

Tinggal di kota tujuannya.

Mendukung kuliahnya.

Siapa?

Bunga mulai membuat daftar mental. Anak Pak RT? Mustahil, dia sudah beristri. Anak teman pengajian Ibunya? Ia mengenal beberapa, tapi tidak ada yang "sangat" ia kenal. Kakak kelasnya dulu? Siapa?

Lalu, satu nama terlintas di benaknya. Nama yang begitu familiar, begitu dekat, namun terasa sangat tidak mungkin.

"Mas Arga...?"

Ia mengucapkannya dalam bisikan. Arga Pradipta. Putra tunggal Om Pradipta dan Tante Ratih, sahabat kental Ayahnya sejak muda. Mas Arga yang lima tahun lebih tua darinya. Mas Arga yang saat ini bekerja sebagai arsitek muda di sebuah firma ternama di kota metropolitan itu. Kota yang sama dengan kampusnya.

Bunga menggeleng keras, seakan mengusir pikiran itu.

"Nggak. Nggak mungkin."

Mas Arga sudah seperti kakaknya sendiri. Sejak kecil, Bunga adalah "adik" yang selalu mengekor ke mana Arga pergi saat keluarganya berkunjung. Mas Arga yang mengajarinya bermain sepeda. Mas Arga yang dengan sabar membantunya mengerjakan PR Fisika yang rumit. Mas Arga yang lima bulan lalu, saat pulang kampung, mentraktirnya es krim sambil menggodanya, "Udah siap jadi anak kota, nih? Awas jangan kaget sama macetnya."

Tidak. Tidak mungkin orang tuanya dan orang tua Arga setega itu. Menjodohkan dua orang yang hubungannya sudah seperti saudara? Itu... aneh. Menjijikkan.

Bunga lebih memilih dijodohkan dengan orang asing sekalian daripada dengan Mas Arga. Kalau dengan orang asing, ia bisa membangun benteng. Tapi dengan Mas Arga? Bagaimana bisa ia bersikap canggung dengan orang yang tahu semua aib masa kecilnya?

"Bukan dia," Bunga meyakinkan dirinya sendiri. "Pasti bukan dia. Ayah cuma menggertak."

Tapi, jauh di dalam hatinya, sebuah keraguan mulai tumbuh. Semua deskripsi Ayahnya... terlalu pas.

Seminggu itu terasa seperti di neraka.

Bunga menjalankan aksi mogok bicara. Ia hanya akan menjawab "ya", "tidak", atau "tidak tahu" jika ditanya. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar, mengunci diri, seakan berharap jika ia bersembunyi cukup lama, hari lamaran itu tidak akan pernah tiba.

Rumah mereka, sebaliknya, menjadi sibuk. Ibu mulai memesan kue-kue kering dan tumpeng mini. Ayah terlihat beberapa kali menelepon, suaranya terdengar serius namun antusias. Bunga melihat Ibu mengeluarkan setoples rengginang terbaik dan membersihkan ruang tamu lebih teliti dari biasanya.

Semua persiapan itu bagaikan paku-paku yang ditancapkan ke peti matinya.

Dua hari sebelum hari-H, Ibu masuk ke kamarnya tanpa mengetuk. Ia membawa sebuah bungkusan besar dari butik langganannya.

"Nduk," panggilnya lembut. Bunga hanya diam, memunggungi ibunya sambil pura-pura membaca buku kuliah yang sudah ia beli.

"Ini kebaya untuk hari Minggu. Dicoba, ya. Takutnya ada yang tidak pas."

Bunga tidak bergeming.

"Bunga, Ibu mohon..." suara Ibunya terdengar lelah. "Jangan mempersulit semuanya. Ayahmu melakukan ini karena dia sayang padamu."

"Sayang?" Bunga akhirnya berbalik, matanya berkilat marah. "Dengan menjual Bunga seperti ini? Ini namanya bukan sayang, Buk. Ini egois."

"Jaga ucapanmu, Bunga!" Suara Ibu meninggi, sesuatu yang jarang terjadi. "Kami ini orang tuamu! Kami lebih tahu mana yang terbaik untukmu. Kamu pikir kami tenang melepas anak gadis satu-satunya merantau sendirian? Kalau kamu kenapa-kenapa di sana, siapa yang mau menolong?"

"Bunga bisa jaga diri! Bunga bukan anak kecil lagi!"

"Buktinya sekarang saja kamu masih membantah orang tua!" Ibu meletakkan bungkusan kebaya itu di atas meja belajar Bunga. Warnanya dusty pink lembut, dengan bordiran bunga melati—nama depannya—di bagian kerah. Cantik sekali. Dan Bunga membencinya.

"Pakai itu hari Minggu. Atau Ayahmu sendiri yang akan memaksamu memakainya," ancam Ibu sebelum keluar dari kamar, menutup pintu dengan lebih keras dari biasanya.

Bunga menatap kebaya itu dengan nanar. Air matanya kembali jatuh. Ia kalah. Tidak peduli seberapa keras ia berdebat, ia tahu ia sudah kalah.

Hari Minggu pagi.

Bunga terbangun bukan karena alarm, tapi karena suara bising di luar kamarnya. Suara orang menata kursi, suara piring-piring. Jantungnya serasa diremas.

Ini harinya.

Ia ingin kembali tidur, berharap saat ia bangun semua ini hanya mimpi buruk. Tapi ketukan di pintunya membuyarkan harapan itu.

"Nduk, bangun. Sudah Subuh. Habis sholat, nanti ada Mbak Wati yang mau merias kamu."

Merias? Bunga mengernyit. "Ini cuma lamaran, kan, Buk? Kenapa harus dirias?"

"Sekaligus tunangan resmi, Nduk. Biar pantas," jawab Ibunya dari luar.

Bunga menyeret kakinya ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya, menatap pantulan dirinya di cermin. Mata yang sembap, wajah yang kuyu. Calon pengantin macam apa ini?

Setengah jam kemudian, Mbak Wati, perias langganan di kampung mereka, sudah duduk di depannya. Bunga pasrah saja saat wajahnya dipoles foundation, eyeshadow, dan blush-on. Ia seperti boneka kayu, mati rasa.

"Aduh, Nduk Bunga ini emang dasarnya sudah cantik, ya," puji Mbak Wati. "Dikasih make-up tipis aja langsung manglingi. Calonnya beruntung banget ini."

Bunga hanya tersenyum tipis, senyum yang terasa seperti tarikan otot yang kaku.

Pukul sembilan pagi, ia sudah siap. Kebaya dusty pink itu melekat pas di tubuhnya. Ironis. Rambutnya disanggul modern sederhana. Ia terlihat... dewasa. Dan ia membencinya.

"Nah, sekarang kamu tunggu di kamar, ya. Nanti kalau rombongan sudah datang dan siap, baru Ibu panggil," instruksi Ibunya.

Bunga mengangguk dan kembali masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya yang dingin saling bertaut. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri, berdentum-dentum memekakkan telinga.

Ia masih tidak tahu siapa yang akan datang. Dalam seminggu terakhir, pikirannya terlalu kalut untuk kembali menganalisis. Ia hanya tahu bahwa hidupnya akan berubah hari ini.

Pukul setengah sepuluh.

Terdengar suara deru mobil berhenti di depan rumah. Lebih dari satu. Jantung Bunga melompat ke tenggorokannya.

Ia mendengar suara Ayahnya menyambut. "Assalamu'alaikum..."

Lalu sahutan dari banyak suara. "Wa'alaikumsalam..."

Ada suara tawa berat yang ia kenali sebagai suara Om Pradipta, sahabat Ayahnya. Bunga menahan napas. Jadi... keluarga Mas Arga datang?

Tapi itu bisa saja kebetulan. Mungkin mereka hanya tamu undangan, sebagai sahabat keluarga. Ya, pasti begitu.

Lalu, ia mendengar suara lain. Suara yang dalam, tenang, dan familiar. Suara yang selalu terdengar ramah dan sedikit menggoda.

"Sehat, Om? Maaf, tadi di jalan agak macet."

Bunga merasa seluruh darah di tubuhnya surut ke kaki. Ia lemas. Kakinya gemetar hebat.

Itu suara Mas Arga.

Tidak. Tidak. Tidak.

Ia mencengkeram sprei kasurnya kuat-kuat. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. Nggak mungkin. Tolong, jangan dia.

Pintu kamarnya terbuka. Ibunya berdiri di sana dengan senyum lebar yang dipaksakan. "Ayo, Nduk. Rombongannya sudah lengkap. Saatnya kamu keluar."

Bunga tidak bisa bergerak.

"Bunga, ayo," panggil Ibunya lagi, kali ini sedikit tidak sabar.

Bagaikan robot yang rusak, Bunga bangkit. Setiap langkah dari kamar tidurnya menuju ruang tamu terasa seperti berjalan di atas bara api. Lantai di bawahnya terasa bergoyang.

Ia tiba di ambang pintu ruang tamu. Ruangan itu penuh. Di sana, di atas karpet, duduk Ayah dan Ibunya. Di seberang mereka, Bunga melihat Tante Ratih yang tersenyum lembut padanya, dan Om Pradipta yang mengangguk-angguk kecil.

Dan di sebelah Om Pradipta, duduk dia.

Arga Pradipta.

Pria itu mengenakan kemeja batik lengan panjang berwarna cokelat gelap yang serasi dengan kedua orang tuanya. Rambutnya yang biasanya sedikit ikal dan berantakan, kini tersisir rapi ke belakang. Dia terlihat sangat berbeda. Lebih serius, lebih mapan, dan... lebih asing.

Saat Bunga masuk, semua mata tertuju padanya. Tapi Bunga hanya bisa terpaku pada satu orang.

Mata mereka bertemu.

Mata Bunga membelalak ngeri, penuh dengan pertanyaan, dan sarat akan tuduhan pengkhianatan.

Mata Arga, sebaliknya, tenang. Namun di baliknya, Bunga bisa melihat sesuatu yang lain. Ada rasa bersalah di sana, tapi juga ada keteguhan yang kokoh. Seakan dia tahu apa yang dia lakukan dan siap menanggung konsekuensinya.

"Nah, ini dia putri kami satu-satunya, Melati Bunga Yasmin," suara Ayah Bunga memecah keheningan yang tegang. Ayahnya terdengar bangga.

Om Pradipta di seberang sana tersenyum lebar. "Wah, Bunga sudah jadi gadis rupanya. Cantik sekali. Bagaimana, Arga?"

Bunga ingin berteriak. Bagaimana apanya?!

Arga tidak melepaskan pandangannya dari Bunga. Dia tersenyum tipis—senyum yang sangat Bunga kenali, senyum yang biasanya ia gunakan untuk menenangkan Bunga saat gadis itu panik karena PR—namun kali ini senyum itu terasa salah.

"Cantik sekali, Om," jawab Arga, suaranya tetap tenang.

Dua kata itu menghantam Bunga seperti badai.

Dia tahu.

Laki-laki yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri ini tahu segalanya. Dia tahu tentang perjodohan ini. Dia terlibat. Dia adalah pusat dari semua kekacauan ini.

Dia... adalah calon suaminya.

Bunga merasakan air mata panas mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia ingin berbalik dan lari. Tapi kakinya seakan terpaku di lantai.

"Silakan duduk, Bunga," kata Ibunya, menepuk tempat kosong di sebelahnya.

Bunga duduk dengan kaku. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, menolak untuk melihat siapa pun, terutama Arga.

Acara pembukaan basa-basi dimulai. Ayah Bunga dan Om Pradipta saling melempar pantun jenaka, yang disambut tawa oleh para tamu lain. Bunga tidak mendengar satu kata pun. Telinganya berdengung.

Yang ia tahu hanyalah, dunianya baru saja runtuh. Dan orang yang membantunya membangun dunianya selama ini, kini adalah orang yang sama yang menghancurkannya.

Bab 02 Part 1

Bunga duduk dengan kaku. Setiap otot di tubuhnya terasa ditarik kencang, seolah-olah ia adalah boneka kayu yang dipaksa tegak. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, membiarkan rambutnya yang disanggul rapi—hasil karya Ibunya pagi tadi—menjadi perisai. Fokusnya tertuju pada pola batik parang di rok jariknya. Ia menghitung jumlah lekukan di satu baris, lalu mengulangnya lagi, dan lagi. Apa saja, asal tidak perlu mengangkat kepala. Apa saja, asal tidak perlu melihat siapa pun, terutama Arga.

Di sekelilingnya, udara terasa pekat dengan aroma campuran melati dari dekorasi meja, wangi kue-kue basah yang disajikan Ibunya, dan parfum Tante Ratih yang lembut namun menusuk. Ruang tamu itu, yang biasanya terasa lapang dan nyaman, kini terasa menyusut, dindingnya seakan merapat untuk mengimpitnya.

Acara pembukaan basa-basi dimulai. Ayah Bunga, Pak Budi, berdeham dan memulai dengan tawa renyah yang dibuat-buat.

"Jalan-jalan ke Malioboro, pulangnya mampir ke Tugu," Ayah Bunga bersuara, nadanya ceria. "Senang sekali hati saya, menyambut sahabat lama yang ditunggu-tunggu!"

Om Pradipta, Ayah Arga, tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya yang berat memenuhi ruangan. "Bukan lautan hanya kolam susu, Pak Budi," balasnya, tak mau kalah. "Bukan basa-basi kami datang bertamu, tapi ada niat serius di dalam kalbu!"

Tawa riuh rendah kembali terdengar dari para tamu lain—kakak ipar Ayah Bunga, dan paman Arga. Mereka semua tertawa. Mereka semua menikmati lelucon yang terasa seperti lelucon di tiang gantungan bagi Bunga.

Bunga tidak mendengar satu kata pun dengan jelas. Telinganya berdengung, seperti ada ribuan lebah terperangkap di kepalanya. Yang ia tahu hanyalah, dunianya baru saja runtuh berkeping-keping. Dan orang yang membantunya membangun dunianya selama ini, laki-laki yang ia anggap sebagai kakaknya, mentornya, pelindungnya—Arga—kini adalah orang yang sama yang memegang palu penghancurnya.

Ia bisa merasakan kebaya itu gatal di tengkuknya. Bahan brokat berwarna dusty pink itu terasa seperti jaring ikan yang kasar, menjerat kulitnya. Riasan di wajahnya terasa tebal dan kaku, seperti topeng porselen yang dingin. Ia bisa merasakan lapisan foundation dan bedak tabur yang menutupi pori-porinya, membuatnya sulit bernapas. Setiap tawa di ruang tamu itu terdengar seperti ejekan, setiap senyuman yang diarahkan padanya terasa seperti seringai penuh konspirasi.

"Baik, baik," suara Om Pradipta terdengar lagi. Tawa renyahnya mereda, berganti dengan nada yang lebih dalam dan serius. Ia mengambil alih suasana. "Terima kasih atas sambutan hangatnya, Pak Budi, Bu Budi. Seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya lewat telepon, maksud kedatangan kami sekeluarga hari ini adalah untuk menyambung tali silaturahmi yang sudah terjalin puluhan tahun..."

Om Pradipta berhenti sejenak, tatapannya menyapu ruangan dan berhenti pada Arga, lalu beralih ke Bunga.

"...sekaligus," lanjutnya, "menyampaikan niat baik putra kami, Arga Pradipta, untuk meminang putri Bapak, Melati Bunga Yasmin."

Hening.

Jantung Bunga serasa berhenti berdetak. Satu detik, dua detik. Lalu berdebam keras sekali, menyakitkan tulang rusuknya.

Meminang.

Kata itu terdengar begitu formal, begitu kuno, begitu... final. Itu bukan kata yang seharusnya ada di dunianya. Dunianya adalah tentang blueprint, tentang rendering 3D, tentang ujian masuk universitas, tentang masa depan cerah di kota lain. Bukan tentang 'meminang'.

Ayah Bunga berdeham. Bunga bisa merasakan getaran suara berat Ayahnya dari sofa tempat mereka duduk bersebelahan. "Kami sekeluarga," Ayah Bunga memulai, suaranya terdengar mantap, "tentu saja menerima niat baik ini dengan tangan terbuka. Pradipta, Ratih... kalian ini sudah seperti saudara bagi kami."

Ayahnya menepuk pelan punggung tangan Om Pradipta. "Dan Arga," lanjut Ayahnya, menoleh pada laki-laki muda yang duduk di seberang ruangan itu, "sejak dulu, dia sudah kami anggap seperti putra kami sendiri. Dia tumbuh besar bersama Bunga. Tidak ada yang lebih membahagiakan kami selain menyerahkan Bunga pada laki-laki yang kami tahu persis bibit, bebet, dan bobotnya."

Menyerahkan.

Bunga merasa seperti barang. Sebuah piala. Sebuah aset. Benda yang bisa dipindahtangankan kepemilikannya dari satu laki-laki (Ayahnya) ke laki-laki lain (Arga). Konsep 'bibit, bebet, bobot' yang selalu ia dengar dalam sinetron-sinetron yang ditonton Ibunya, kini diterapkan padanya, seolah dia adalah seekor sapi perah yang sedang ditaksir harganya.

"Untuk itu," Tante Ratih kini mengambil alih. Suaranya lembut, seperti biasanya. Ia kini mengambil sebuah kotak beludru kecil berwarna merah marun dari tas tangannya yang diletakkan di pangkuan. Ia tersenyum ke arah Bunga.

Itu adalah senyum yang ribuan kali Bunga lihat. Senyum yang selalu ia terima setiap kali ia berkunjung ke rumah Arga. Senyum yang memberinya kue jahe hangat. Senyum yang menanyakan kabarnya di sekolah. Namun hari ini, senyum itu terasa membekukan. Senyum itu tidak mencapai matanya. Itu adalah senyum seorang sekutu yang baru saja menunjukkan warna aslinya.

"Sebagai tanda ikatan," kata Tante Ratih, membuka kotak itu. "Izinkan saya menyematkan cincin ini di jari Nduk Bunga."

Ini dia. Momen eksekusinya. Palu hakim telah diketuk.

Ibu Bunga, yang duduk di sisi lain Bunga, menyenggol pelan lengan putrinya. Senggolan itu terasa keras dan tajam. Sebuah perintah tanpa suara. "Bunga, ulurkan tanganmu, Nduk."

Dengan gerakan yang terasa lambat, seperti dalam adegan film yang diperlambat, Bunga mengangkat kepalanya. Matanya kosong. Ia melihat wajah-wajah yang tersenyum padanya. Ayahnya yang tersenyum bangga. Ibunya yang tersenyum lega. Om Pradipta dan Tante Ratih yang tersenyum penuh kasih sayang.

Dan di seberang sana, Arga. Dia tidak tersenyum. Dia hanya... melihat.

Bunga melihat Tante Ratih bergeser di sofanya, mendekatinya. Dengan tangan gemetar yang tidak bisa ia kendalikan, Bunga mengangkat tangan kirinya. Ia bahkan tidak tahu tangan mana yang seharusnya. Kiri? Kanan? Apa bedanya? Rasanya ia ingin menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung.

Tangan Tante Ratih yang hangat dan lembut menyentuh jemarinya. Kontras itu begitu mengejutkan. Tangan Tante Ratih hangat oleh kehidupan dan kebahagiaan, sementara jemari Bunga terasa dingin seperti es, mati rasa.

Sebuah cincin emas putih dengan berlian kecil sederhana namun berkilau diselipkan ke jari manisnya.

Pas.

Seakan sudah diukur.

Tentu saja sudah diukur, pikir Bunga getir. Ibunya. Ibunya pasti yang memberikan ukuran cincin lamanya diam-diam. Ibunya, sekutunya yang paling ia percaya, adalah bagian dari konspirasi ini sejak awal.

"Alhamdulillah..."

Suara itu terdengar serempak dari semua orang dewasa di ruangan itu. Sebuah paduan suara yang menyegel nasibnya.

Bunga menatap cincin itu. Benda asing yang berkilau di jarinya. Benda itu terasa berat. Sangat berat. Jauh lebih berat dari wujudnya yang mungil. Ia terasa seperti jangkar yang baru saja dijatuhkan dari kapal besar, siap menenggelamkannya ke dasar lautan terdalam, menenggelamkan semua mimpinya. Mimpinya tentang studio arsitektur, tentang gedung-gedung tinggi yang ia rancang, tentang kebebasan di kota besar. Tenggelam.

Setelah itu, seolah ada yang memutar tombol, acara berlanjut dengan ramah tamah. Ketegangan formalitas mencair, berganti tawa yang lebih lepas.

Ibu Bunga dan Tante Ratih langsung sibuk membicarakan detail. Bunga mendengar samar-samar, potongan-potongan percakapan mereka melayang di atas kepalanya seperti asap.

"Lebih cepat lebih baik, Jeng," suara Ibunya.

"Dua minggu lagi bagaimana? Keburu Arga harus kembali ke kota," balas Tante Ratih.

"Akad saja dulu, yang penting sah. Sederhana di rumah."

"Betul. Resepsinya nanti gampang, bisa diatur setelah Bunga libur semester pertama kuliahnya..."

Bunga ingin muntah. Jadi mereka bahkan sudah merencanakan ini? Kuliahnya hanya menjadi catatan kaki dalam rencana besar pernikahan ini. Libur semester. Seolah ia akan baik-baik saja menjalani semester pertamanya sebagai seorang... istri.

"Ayo, Nduk, silakan dicicipi kuenya. Nak Arga juga, ayo," suara Ibu Bunga memecah lamunannya.

Semua orang mulai mengambil piring-piring kecil berisi kue lapis, risoles mayones, dan lemper ayam. Suasana semakin mencair. Om Pradipta dan Ayah Bunga tertawa-tawa, bernostalgia masa muda mereka saat masih sama-sama merintis usaha. Tante Ratih dan Ibunya mulai beralih topik, menggosipkan tetangga yang baru saja membeli mobil baru.

Semua orang terlihat normal. Semua orang bahagia. Semua orang bersemangat.

Kecuali dirinya.

Dan dia.

Bunga memberanikan diri. Pelan-pelan, sangat pelan, ia mengangkat pandangannya dari cincin di jarinya dan melirik ke seberang ruangan.

Arga sedang duduk di kursinya, sedikit membungkuk ke depan. Di tangannya ada piring berisi sepotong risoles, tapi piring itu hanya diam di pangkuannya. Risoles itu tidak dimakannya. Ia sedang mendengarkan Ayahnya bicara, mengangguk sesekali. Wajahnya tenang.

Terlalu tenang.

Itu yang paling menyakitkan. Ketenangannya.

Bagaimana bisa dia setenang itu? Bagaimana bisa dia duduk di sana, mengangguk pada lelucon Ayahnya, seakan ini adalah acara arisan keluarga biasa? Seakan ini bukan hari di mana dia baru saja bersekongkol untuk menghancurkan masa depan perempuan yang memanggilnya 'Mas' sejak bisa bicara? Perempuan yang ia bantu kerjakan PR matematikanya. Perempuan yang ia ajari cara membuat denah rumah sederhana. 'Adiknya' sendiri.

Rasa mual yang tadi tertahan kini naik lagi ke tenggorokannya, panas dan asam. Bunga butuh udara. Ia butuh keluar dari ruangan penuh tawa palsu dan rencana-rencana busuk ini.

"Buk," bisik Bunga pada Ibunya, menyela obrolan Ibunya tentang harga cabai.

Ibunya menoleh, senyumnya sedikit memudar melihat ekspresi Bunga. "Kenapa, Nduk?"

"Bunga ke belakang sebentar. Mau... mau ambil minum."

"Lho, ini kan ada minum, Nduk," kata Ibunya, menunjuk gelas-gelas es teh manis yang berembun di meja.

"Bunga mau air putih hangat," elaknya cepat. Alasan paling konyol yang bisa ia pikirkan, tapi ia tidak peduli.

Tanpa menunggu jawaban Ibunya, Bunga bangkit berdiri. Lututnya masih sedikit gemetar, tapi ia memaksanya untuk kokoh. Ia berjalan cepat, setengah berlari, melewati ruang makan, lalu dapur, mengabaikan Bi Asih yang sedang mencuci piring, dan langsung mendorong pintu menuju teras belakang rumah.

Udara sore yang sejuk dan sedikit lembap langsung menerpa wajahnya. Sebuah kelegaan instan. Ia bersandar di pilar kayu teras, memejamkan mata, dan mencoba bernapas. Satu tarikan napas dalam. Dua. Tiga. Ia mencengkeram pagar teras yang dicat putih itu kuat-kuat, buku-buku jarinya memutih. Berusaha menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

Percuma.

Satu air mata jatuh, membasahi riasan tebal di pipinya. Lalu satu lagi.

"Bunga."

Suara itu. Suara dalam dan tenang yang baru beberapa menit lalu mengucap "cantik sekali" padanya saat ia pertama kali keluar kamar. Suara yang selalu ia cari saat ia butuh nasihat. Suara yang kini paling ia benci.

Bunga tidak berbalik. Ia menghapus air matanya kasar dengan punggung tangannya, merusak riasan yang sudah tidak ia pedulikan lagi. "Ngapain Mas ke sini?" tanyanya ketus.

Terdengar langkah kaki pelan di lantai teras di belakangnya. Arga berhenti beberapa langkah di belakangnya, tidak terlalu dekat, seakan memberi ruang. "Mas perlu bicara."

"Bicara apa lagi?" Bunga akhirnya berbalik. Matanya merah dan bengkak, menatap Arga dengan pandangan yang campur aduk. Ada rasa marah di sana, tapi yang lebih dominan adalah luka dan kebingungan yang mendalam. "Semuanya sudah jelas, kan? Selamat, Mas. Rencananya berhasil."

Arga menatapnya. Wajahnya tidak lagi setenang di ruang tamu. Kini, di bawah cahaya lampu teras yang temaram, Bunga bisa melihat sorot... lelah? Atau rasa bersalah? Bunga tidak tahu, dan ia tidak yakin ia peduli.

"Mas tahu kamu kaget," ucap Arga pelan.

Bunga tertawa kecil, tawa yang getir dan sumbang, lebih mirip isakan tertahan. "Kaget? Mas, ini bukan kaget. Ini... ini Bunga nggak ngerti."

Suaranya mulai bergetar. Ini adalah nada yang Arga kenali. Nada ketika Bunga kecil kehilangan kucing kesayangannya. Nada putus asa.

"Kenapa... kenapa Mas Arga?" tanya Bunga lirih. Nadanya bukan menuduh. Itu adalah pertanyaan tulus yang patah hati. "Dari semua orang di dunia... kenapa harus Mas Arga?"

"Mas Arga kan tahu," lanjutnya, air matanya kembali mengalir deras, kini ia tak berusaha menghapusnya lagi. "Mas Arga tahu Bunga ingin kuliah. Mas Arga yang bantu Bunga memilih jurusan itu. Mas Arga yang begadang bantu Bunga belajar buat ujian masuk. Mas Arga yang bilang Bunga pasti bisa jadi arsitek hebat. Mas Arga yang paling Bunga percaya... setelah Ayah dan Ibu."

Ia menelan ludah, tenggorokannya tercekat oleh emosi. "Terus... ini apa?"

Ia mengangkat tangan kirinya, menunjuk cincin di jarinya. "Mas Arga... ikut serta dalam rencana ini? Dari awal? Mas Arga tahu Ayah sama Ibu akan maksa Bunga? Dan Mas Arga... setuju?"

Bab 02 Part 2

Pertanyaan itu menggantung di udara. Bunga tidak berteriak. Ia hanya bertanya dengan suara hancur, seakan ia benar-benar tidak bisa memproses fakta bahwa pahlawannya, kakaknya, adalah orang yang sama yang kini menjebaknya.

Arga memejamkan matanya sejenak, menghela napas panjang. "Bunga, dengerin Mas."

"Bunga udah denger!" potongnya. "Bunga denger Ayah 'menyerahkan' Bunga. Bunga denger Ibu dan Tante Ratih menentukan tanggal. Bunga nggak perlu denger apa-apa lagi."

"Dengerin Mas dulu," kata Arga, kali ini sedikit lebih tegas. Ia melangkah maju, membuat Bunga refleks mundur selangkah.

"Ayahmu menelepon Ayahku dua minggu lalu," Arga memulai penjelasannya. Suaranya rendah, seakan takut ada yang mendengar. "Beliau bilang kamu lolos di universitas itu. Beliau senang, tapi beliau juga panik. Beliau nggak akan pernah mengizinkanmu pergi ke kota besar itu sendirian. Nggak akan pernah."

"Bunga bisa nge-kost," bisik Bunga, mengulang argumennya yang gagal.

"Kamu tahu Ayahmu tidak akan menerima itu," jawab Arga. "Beliau bilang ke Ayahku, pilihannya dua: kamu batal kuliah di sana dan masuk universitas swasta di kota ini, atau... beliau akan mencarikanmu jodoh. Seseorang di kota itu yang bisa 'menjagamu'."

Mata Bunga membelalak. "Ayah beneran...?"

"Ayahmu sudah menghubungi dua atau tiga kenalannya di sana. Beliau serius mau menjodohkanmu dengan... orang asing. Anak dari rekan bisnisnya. Siapapun, asal bisa menikahimu dan 'mengawasimu'."

Bunga merasakan kakinya lemas. Ia merosot, duduk di bangku kayu panjang (amben) di teras itu. Jadi, bahkan jika bukan Arga, ia tetap akan dinikahkan?

Arga ikut duduk di sebelahnya, tapi menjaga jarak satu lengan penuh.

"Ayahku," lanjut Arga, "jelas tidak setuju dengan ide 'jodoh kilat' itu. Beliau tahu risikonya. Menikahkanmu dengan orang yang sama sekali tidak kamu kenal? Itu gila. Jadi... Ayahku mengusulkan namaku."

Bunga menatap Arga. "Dan Mas Arga... langsung setuju?"

"Mas menolak. Tentu saja Mas menolak," kata Arga cepat. "Mas bilang ke Ayah, itu ide konyol. Kamu itu adik Mas. Kamu masih 18 tahun. Kamu punya mimpi. Mas berdebat hebat dengan Ayah."

Hati Bunga sedikit menghangat. Jadi dia sempat menolak.

"Lalu kenapa...?"

"Karena Ayahmu keras kepala," kata Arga, frustrasi dalam suaranya terdengar jelas. "Ayahmu bilang, 'Kalau Arga tidak mau, saya akan pakai rencana awal saya. Saya akan terima tawaran dari Pak Handoko itu.' Ayahmu tidak main-main, Bunga."

Arga menoleh, menatap Bunga lurus-lurus. Intensitas tatapannya membuat Bunga menahan napas.

"Mas dihadapkan pada dua pilihan," jelas Arga. "Satu, Mas mundur dan membiarkanmu dinikahkan dengan orang asing pilihan Ayahmu. Entah orangnya seperti apa. Entah dia akan mengizinkanmu kuliah atau malah mengurungmu di rumah seperti yang kamu takutkan."

Ia berhenti sejenak, membiarkan skenario buruk itu meresap ke dalam pikiran Bunga.

"Dua," lanjutnya, "Mas maju. Mas yang menikahimu."

"Itu sama aja!" seru Bunga pelan. "Bunga tetap menikah!"

"Beda," kata Arga tegas. "Sangat beda. Kalau kamu menikah dengan orang lain, mimpimu selesai. Tapi kalau kamu menikah dengan Mas..."

Arga mencondongkan tubuhnya sedikit. "Bunga, Mas tahu kamu tidak punya perasaan apa-apa ke Mas selain sebagai adik. Mas juga... Mas juga menghormatimu seperti adik Mas sendiri. Mas tidak tertarik merusak itu."

"Terus... ini apa, Mas? Pernikahan main-main?"

"Bukan main-main," kata Arga. "Ini... anggap saja ini sebuah 'perjanjian'. Sebuah strategi."

Bunga mengernyit. "Strategi?"

"Ya. Kita akan menikah. Sah secara agama dan hukum. Itu akan menenangkan Ayahmu dan Ayahku. Itu akan memberimu 'izin' untuk berangkat ke kota dan tinggal di sana. Karena kamu akan tinggal 'bersama suamimu'."

Bunga masih tidak mengerti. "Tinggal bersama...?"

"Mas punya apartemen di sana. Ada dua kamar tidur," jelas Arga. "Kamu ambil satu kamar, Mas ambil satu kamar. Anggap saja Mas adalah 'teman kost' laki-lakimu. Atau anggap saja Mas adalah 'wali' resmi yang dititipkan Ayahmu."

"Tapi status kita... suami-istri?" bisik Bunga ngeri.

"Di atas kertas," tandas Arga. "Dengar, Bunga, Mas berjanji. Mas bersumpah. Di kota nanti, kamu bebas menjalani hidupmu. Kamu bebas kuliah, kamu mau ikut organisasi, kamu mau pulang malam karena kerja kelompok, Mas tidak akan melarang. Mas tidak akan ikut campur urusanmu. Dan Mas... Mas tidak akan pernah menyentuhmu. Tidak akan pernah menuntut hak Mas sebagai suami. Kamu tetap Bunga, dan Mas tetap Mas Arga."

Dunia Bunga berhenti berputar. Ia menatap Arga, mencari kebohongan di matanya. Tapi yang ia temukan hanya keseriusan.

"Itu... itu gila," desis Bunga. "Menikah tapi... tidak menikah?"

"Ini satu-satunya jalan agar kamu tetap bisa kuliah di universitas impianmu," kata Arga. "Satu-satunya. Ayahmu tidak akan membiarkanmu pergi dengan cara lain. Percaya sama Mas."

"Kenapa... kenapa Mas Arga mau melakukan ini?" tanya Bunga, pertanyaan yang paling penting. "Apa untungnya buat Mas? Mas Arga mengorbankan diri Mas sendiri. Mas Arga kan bisa menikah dengan perempuan yang Mas Arga cintai."

Arga terdiam lama. Pandangannya melembut. Ia mengalihkan pandangannya ke taman kecil di belakang rumah.

"Anggap saja... Mas sedang membayar hutang," katanya pelan.

"Hutang?"

"Ayahmu dulu sangat membantu keluarga Mas saat usaha Ayah hampir bangkrut. Kamu mungkin masih terlalu kecil untuk ingat," kata Arga. "Dan... Mas tidak bisa diam saja melihat mimpimu yang sudah di depan mata itu hancur hanya karena kekeraskepalaan orang tua kita."

Ia menoleh kembali pada Bunga. "Mas melakukan ini untukmu, Bunga. Untuk impianmu. Mas hanya 'meminjam' statusmu sementara."

"Sementara?"

"Sampai kamu lulus. Sampai kamu bisa mandiri," kata Arga. "Setelah itu... kita bisa bicarakan lagi. Mungkin kita bisa berpisah baik-baik. Yang penting, tujuan utamamu tercapai: kamu jadi sarjana arsitektur."

Bunga terdiam. Otaknya bekerja keras, memproses proposal yang luar biasa aneh ini.

Menikah dengan Mas Arga.

Tinggal serumah, tapi beda kamar.

Tetap kuliah seperti biasa.

Hidup seperti kakak-adik.

Lalu berpisah setelah lulus.

Ini adalah sebuah transaksi. Transaksi gila.

"Ini... ini persekongkolan yang lebih rumit lagi," bisik Bunga.

Arga tersenyum tipis. Senyum Mas Arga yang biasa. "Lebih tepatnya, ini 'jalan tengah'. Jalan tengah yang menyakitkan, tapi satu-satunya yang kita punya."

Bunga menatap cincin di jarinya. Benda itu kini terasa berbeda. Bukan lagi jangkar yang menenggelamkan. Tapi... borgol? Kunci? Ia tidak tahu.

"Jadi... Bunga nggak punya pilihan, kan?" tanyanya pasrah.

"Kamu punya pilihan," koreksi Arga. "Pilihan pertama: menolak ini semua, bertengkar hebat dengan Ayahmu, dan kehilangan universitas impianmu. Kamu akan kuliah di sini, di bawah pengawasan penuh."

"Pilihan kedua," lanjutnya, "kamu terima 'perjanjian' ini. Kamu menikah dengan Mas. Kamu dapat ijazahmu, kamu dapat gelar sarjanamu. Kamu bisa mengejar impianmu. Tapi... kamu harus terikat dengan Mas selama empat tahun ke depan."

Arga bangkit berdiri. "Pikirkan baik-baik. Mas nggak akan maksa kamu."

"Tapi Ayah akan maksa," kata Bunga pahit.

"Mas akan bicara pada mereka. Mas akan bilang... kamu butuh waktu untuk berpikir. Tapi kita tidak punya banyak waktu. Mereka ingin akadnya dua minggu lagi."

Arga berbalik, hendak kembali ke ruang tamu.

"Mas," panggil Bunga.

Arga berhenti.

"Apa... apa ini... benar-benar satu-satunya cara?"

Arga menatapnya lekat. "Menurutmu, apa ada cara lain untuk meluluhkan hati Ayahmu?"

Bunga terdiam. Ia tahu jawabannya. Tidak ada.

"Mas kembali ke depan. Mereka pasti mencari kita," kata Arga. Ia berjalan beberapa langkah, lalu berhenti lagi tanpa berbalik. "Bunga... maafkan Mas. Mas tahu ini tidak adil. Tapi Mas janji, Mas akan menjagamu. Termasuk... menjaga jarak darimu."

Arga pun menghilang di balik pintu dapur.

Bunga ditinggal sendirian di teras belakang. Ia kembali menatap cincin di jarinya. Benda itu berkilau di bawah cahaya lampu teras.

Ia tidak lagi merasa dikhianati oleh Arga. Ia merasa... mereka berdua baru saja dijebak dalam sebuah permainan rumit oleh orang tua mereka sendiri. Dan Arga baru saja menawarinya sebuah aliansi. Sebuah persekongkolan tandingan.

Ia menarik napas panjang. Pilihan yang mengerikan. Kehilangan mimpinya, atau menikah pura-pura dengan laki-laki yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri.

Ia tahu, jauh di lubuk hatinya, ia sudah membuat keputusan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!