NovelToon NovelToon

Dendam Membawa Bencana

Tetangga Baru

Seorang gadis duduk di kamarnya, di sebuah rumah yang berdiri kokoh di tengah desa Arjosari yang tenang. Jemarinya yang lentik dengan telaten menyisir rambutnya yang hitam dan lembut, rambut yang selalu menjadi kebanggaannya. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan sebuah kesedihan yang mendalam. Setiap tarikan sisir diikuti desahan panjang, seolah beban berat tersimpan di setiap helaan napasnya. Dyah, nama gadis itu, tidak bisa berjalan sejak lahir. Kakinya lumpuh, memaksanya untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di atas kursi roda.

Namun, meski memiliki kekurangan fisik, keluarganya bisa menerimanya apa adanya. Ayahnya, Pak Rahman, adalah seorang pengusaha sukses yang disegani di desa itu. Ibunya, Bu Lestari, adalah seorang wanita yang lembut dan penyayang. Mereka berdua selalu memberikan kasih sayang dan perhatian yang sama kepada Dyah dan adiknya, Dinda Kirana. Dyah tidak tahu menahu tentang dunia luar, ia hanya fokus pada dirinya dan keluarganya. Baginya, kebahagiaan keluarga adalah yang utama.

Rumah mereka adalah rumah yang penuh dengan cinta dan kehangatan. Setiap pagi, mereka selalu sarapan bersama, saling berbagi cerita dan canda tawa. Setiap malam, mereka selalu berkumpul di ruang keluarga, menonton televisi atau membaca buku bersama. Dyah merasa sangat beruntung memiliki keluarga seperti mereka.

Kebahagiaan itu perlahan memudar setelah kedatangan tetangga baru yang membeli tanah pekarangan di samping rumah mereka dan membangun rumah di sana. Keluarga baru itu berjumlah lima orang, terdiri dari bapak, ibu, dan tiga anak. Anak pertama perempuan bernama Riani Irianti, anak kedua perempuan bernama Rina Ariana, dan yang bungsu laki-laki bernama Roni Pratama.

Awalnya, keluarga itu ramah pada orang-orang sekitar. Mereka sering menyapa dan tersenyum kepada Dyah dan keluarganya. Namun, Dyah merasa ada sesuatu yang aneh dengan keluarga baru itu. Ia merasa ada tatapan yang berbeda dari Riani, tatapan yang seolah-olah menyimpan sesuatu yang tersembunyi.

Suatu sore, saat Anton, teman Riani, berkunjung, mereka melihat Dyah sedang duduk di teras rumahnya. Anton adalah seorang pemuda yang hidupnya tidak jelas. Ia suka mabuk-mabukan, rambutnya gondrong, dan penampilannya urakan. Namun, ia memiliki daya tarik tersendiri yang membuat banyak wanita terpikat padanya.

"Ri, itu siapa?" tanya Anton sambil menunjuk ke arah Dyah.

"Yang mana?" jawab Riani dengan nada acuh tak acuh.

"Itu, duduk di teras rumah sebelah."

"Oh, itu namanya Dyah, anak pertamanya Pak Rahman."

"Lumayan manis!" kata Anton dengan nada penuh makna. Ia menatap Dyah dengan tatapan yang sulit diartikan.

Riani tersenyum aneh mendengar perkataan Anton. Ia tahu apa yang ada di pikiran Anton. Ia tahu bahwa Anton tertarik pada Dyah karena ia adalah anak orang kaya. "Kenapa kamu tersenyum seperti itu, Ri? Memangnya ada yang aneh?" tanya Anton heran.

"Kamu naksir dia?" tanya Riani masih dengan senyum misterius.

"Dia lumayan manis," ucap Anton sambil menatap ke teras rumah Pak Rahman.

"Manis sih manis, tapi dia cacat!" kata Riani dengan nada merendahkan. Ia sengaja mengatakan itu untuk meruntuhkan minat Anton pada Dyah.

"Cacat maksudmu?" tanya Anton bingung.

"Dia itu nggak bisa berjalan, kemana-mana dia pakai kursi roda. Tapi, dia anak orang terkaya di desa Arjosari ini. Memang keluarga Pak Rahman yang cukup terhormat dan terpandang di desa Arjosari ini," jelas Riani. Ia menambahkan informasi tentang kekayaan keluarga Pak Rahman untuk membangkitkan minat Anton pada adiknya, Dinda.

Anton menghela napas. Sepertinya ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Ia menimbang-nimbang antara mengejar Dyah yang cacat namun kaya, atau mengejar adiknya yang sehat namun mungkin tidak sekaya Dyah. "Kalau kamu bisa jadi menantu orang kaya dan terhormat seperti Pak Rahman, ya adiknya saja yang kamu pacari. Jangan Dyah!" saran Riani. Ia berusaha meyakinkan Anton bahwa Dinda adalah pilihan yang lebih baik.

"Memangnya dia punya adik perempuan?" tanya Anton penasaran. Ia mulai tertarik dengan ide Riani.

"Punya, namanya Dinda Kirana. Kamu pacari dan kamu nikahi adiknya itu agar bisa menjadi menantu orang kaya, biar hidupmu tidak lontang-lantung seperti itu. Apalagi kalau kamu bisa menyingkirkan Dyah, kamu dan Dinda akan menjadi pewaris satu-satunya semua harta milik Pak Rahman!" Riani melanjutkan dengan nada licik. Ia menjelaskan keuntungan yang akan didapatkan Anton jika berhasil menikahi Dinda dan menyingkirkan Dyah.

Anton terdiam, menimbang-nimbang saran Riani. Ia membayangkan dirinya hidup mewah dengan harta kekayaan Pak Rahman. Ia membayangkan dirinya memiliki segalanya yang selama ini hanya bisa ia impikan. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Dia sudah bosan hidup miskin. Ide Riani terdengar sangat cemerlang. Tapi, bagaimana caranya mendekati Dinda? Pikirannya buntu karena dia belum menemukan cara untuk bisa kenal dengan adik Dyah yang ternyata bernama Dinda Kirana itu.

"Tapi, bagaimana caranya agar bisa kenal adiknya Dyah yang bernama Dinda Kirana itu?" tanya Anton pada Riani. Ia merasa tidak mungkin bisa mendekati Dinda tanpa bantuan Riani.

"Tenang saja, aku akan membantumu. Aku akan mengatur pertemuan antara kamu dan Dinda," jawab Riani dengan senyum licik. Ia sudah memiliki rencana untuk menjebak Anton dan Dinda dalam sebuah permainan yang akan menguntungkannya. "Kebetulan sekali, Dinda sering main ke rumahku. Nanti, aku akan menghubungimu saat Dinda ada di sini."

"Benarkah? Wah, terima kasih banyak, Ri!" kata Anton dengan wajah berbinar. "Kamu memang teman terbaikku." Ia merasa sangat beruntung memiliki teman seperti Riani yang selalu siap membantunya.

"Sudah seharusnya aku membantumu. Aku juga ingin melihatmu sukses dan kaya raya," balas Riani. Ia mengatakan itu hanya untuk menyenangkan hati Anton, padahal ia memiliki motif tersembunyi. "Tapi ingat, Anton, kamu harus berhati-hati. Pak Rahman itu orang yang keras kepala dan tidak mudah ditipu."

"Aku tahu, Ri. Aku akan berhati-hati. Aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan Dinda dan hartanya," kata Anton dengan nada penuh tekad. Ia siap melakukan apa saja, bahkan jika itu berarti harus mengkhianati temannya sendiri.

Riani tersenyum puas mendengar perkataan Anton. Ia tahu bahwa Anton adalah orang yang ambisius dan mudah dimanipulasi. Ia akan memanfaatkan Anton untuk mencapai tujuannya sendiri. Ia ingin menghancurkan keluarga Pak Rahman karena ia merasa iri dengan kekayaan dan kebahagiaan mereka.

"Baiklah, Anton. Kalau begitu, kamu tunggu saja kabar dariku. Aku akan segera menghubungimu saat Dinda ada di rumahku," kata Riani.

"Siap, Ri! Aku akan menunggu dengan sabar," jawab Anton.

Anton lalu pamit pulang dengan hati yang penuh harapan. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Dinda dan memulai rencananya. Di benaknya, sudah terbayang kehidupan mewah yang akan ia nikmati bersama Dinda. Ia akan memiliki rumah mewah, mobil mewah, dan semua yang ia inginkan.

Sementara itu, Riani tersenyum licik melihat Anton pergi. Ia sudah merencanakan sesuatu yang jahat untuk menghancurkan keluarga Pak Rahman. Ia akan memanfaatkan Anton dan Dinda untuk mencapai tujuannya sendiri. Ia ingin melihat keluarga Pak Rahman menderita dan kehilangan segalanya.

"Tunggu saja, Pak Rahman. Sebentar lagi, kau akan merasakan pembalasanku," gumam Riani dalam hati. Ia merasa senang karena rencananya berjalan dengan lancar.

Beberapa hari kemudian, Riani melihat Dinda sedang berjalan menuju rumahnya. Ia segera menghubungi Anton dan memberitahunya bahwa Dinda ada di rumahnya.

"Anton, cepat datang ke rumahku! Dinda ada di sini!" kata Riani dengan nada bersemangat. Ia tidak sabar untuk melihat Anton dan Dinda bertemu.

"Benarkah? Aku segera ke sana!" jawab Anton dengan antusias. Ia merasa sangat senang karena akhirnya bisa bertemu dengan Dinda.

Anton lalu bergegas menuju rumah Riani dengan hati yang berdebar-debar. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Dinda dan memulai aksinya. Ia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan hati Dinda.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

penolakan Dan Dendam

Sore itu, sesuai rencana yang telah disusun oleh Riani, Anton datang ke rumahnya. Kedatangan Anton seolah-olah terjadi secara kebetulan, namun sebenarnya semua itu sudah diatur sedemikian rupa oleh Riani agar Anton bisa berkenalan dengan Dinda. Riani, dengan segala kelicikannya, telah merancang pertemuan ini dengan harapan bisa memanfaatkan Anton untuk mencapai tujuannya. Ia tahu bahwa Anton adalah pemuda yang mudah dipengaruhi, dan ia yakin bisa mengendalikannya untuk menghancurkan keluarga Pak Rahman.

Sejak saat itu, Dinda dan Anton semakin akrab dan dekat. Padahal, Anton adalah pemuda yang hidupnya tidak jelas, suka mabuk-mabukan, rambutnya gondrong, dan penampilannya urakan. Ia bukanlah tipe pria idaman yang biasanya diimpikan oleh para wanita. Namun, anehnya, Dinda justru terpikat pada Anton. Wajah Anton pun sebenarnya tidak bisa dibilang tampan, malah cenderung berantakan. Namun, mungkin karena sikapnya yang luwes dan kepandaiannya dalam mengambil hati, Dinda jadi suka dan terpesona pada Anton. Anton tahu bagaimana cara membuat Dinda merasa istimewa, dan ia tidak ragu untuk memberikan pujian dan perhatian yang membuat Dinda merasa nyaman di dekatnya.

Suatu sore, Anton menemui Dinda untuk mengajaknya jalan-jalan. "Din, kita jalan-jalan yuk!" ajak Anton pada Dinda dengan senyum menawan. Ia berharap Dinda akan menerima ajakannya tanpa ragu.

"Ayuk! Kebetulan Mas Anton mengajak jalan-jalan, karena aku juga bosan di rumah," balas Dinda dengan semangat. Ia sudah lama ingin menghabiskan waktu berdua dengan Anton, dan ajakan ini adalah kesempatan yang tidak ingin ia lewatkan.

"Sip, kalau begitu!" jawab Anton dengan mata berbinar-binar. Ia merasa senang karena Dinda menerima ajakannya dengan antusias.

"Kalau gitu, aku pamit dulu ya pada Bapak dan Ibu, biar mereka nanti nggak bingung mencariku!" kata Dinda sambil berjalan masuk ke dalam rumah, tanpa menunggu jawaban Anton. Ia ingin meminta izin kepada orang tuanya agar mereka tidak khawatir jika ia pergi dengan Anton.

Sesampainya di ruang tengah, Dinda melihat ayahnya, Pak Rahman, sedang duduk merokok sambil menonton televisi. Asap rokok mengepul di sekelilingnya, menciptakan suasana yang tidak sehat. "Pak, Dinda minta izin jalan-jalan ya!" kata Dinda meminta izin dengan sopan.

"Dengan siapa kamu jalan-jalan?" tanya Rahman dengan nada menyelidik. Ia ingin tahu dengan siapa putrinya akan pergi.

"Dengan Mas Anton, Pak!" jawab Dinda jujur. Ia tidak ingin menyembunyikan apa pun dari ayahnya.

"Anton yang rambutnya gondrong dan urakan itu?" tanya Pak Rahman lagi, dengan nada tidak setuju. Ia sudah mendengar tentang Anton dari orang-orang di desa, dan ia tidak menyukai pemuda itu.

"Iya, Pak!" jawab Dinda, jujur. Ia berharap ayahnya akan memberikan izin kepadanya.

"Tidak... Bapak tidak mengizinkan kamu pergi dengan Anton!" kata Pak Rahman tegas. Ia tidak ingin putrinya bergaul dengan pemuda yang tidak jelas seperti Anton.

"Tapi kenapa, Pak?" tanya Dinda kecewa. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya tidak mengizinkannya pergi dengan Anton.

"Boleh ya, Pak!" pinta Dinda penuh harap. Ia memohon kepada ayahnya agar ia bisa pergi dengan Anton.

"Tidak! Sekali tidak, tetap tidak!" kata Pak Rahman dengan nada yang tidak bisa dibantah. Ia sudah mengambil keputusan, dan ia tidak akan mengubahnya.

"Tapi apa alasannya Bapak tidak mengizinkan saya pergi dengan Mas Anton?" tanya Dinda, suaranya mulai bergetar menahan tangis. Ia merasa sedih dan frustrasi karena ayahnya tidak memberikan alasan yang jelas mengapa ia tidak boleh pergi dengan Anton.

"Karena Anton itu pemuda luntang-lantung, tidak jelas pekerjaannya, dan suka mabuk-mabukan!" jawab Pak Rahman dengan nada meninggi. Ia mengungkapkan semua alasan mengapa ia tidak menyukai Anton.

"Tapi alasan apa yang bisa saya berikan pada Mas Anton nanti, Pak?" ucap Dinda, air matanya mulai menetes. Ia merasa bersalah karena harus menolak ajakan Anton.

"Sudah, biar Bapak yang kasih alasan padanya!" kata Pak Rahman. Ia akan menghadapi Anton sendiri dan menjelaskan mengapa ia tidak mengizinkan Dinda pergi bersamanya.

Anton yang mendengar percakapan itu dari luar rumah, hatinya langsung panas. Ia merasa dihina dan direndahkan oleh Pak Rahman. Mukanya memerah menahan amarah. Ia tidak terima diperlakukan seperti ini.

Tiba-tiba, Pak Rahman keluar dari rumah dan menghampiri Anton. "Maaf, Anton, Dinda tidak bisa pergi karena kami ada acara keluarga. Kami akan pergi ke rumah tantenya Dinda dan akan segera berangkat!" kata Pak Rahman dengan dingin.

"Oh, maaf kalau begitu. Saya permisi!" kata Anton sambil berdiri dan berjalan menuju motornya. Ia lalu pergi meninggalkan rumah Pak Rahman dengan hati yang penuh dendam. Ia tidak akan melupakan perlakuan Pak Rahman kepadanya.

Anton tidak mempedulikan lagi tatapan memelas Dinda padanya. Dalam hatinya, ia bersumpah akan membalas perlakuan Pak Rahman. "Awas kau, Rahman! Tunggu saja pembalasanku!" katanya dalam hati. Ia akan membuat Pak Rahman menyesal telah menghinanya.

Entah apa yang ada dalam pikiran Anton saat itu. Matanya tampak merah menyala menahan amarah yang luar biasa. "Tunggu pembalasanku, tua bangka Rahman!" umpat Anton dalam hati. Dadanya bergemuruh bagai gelombang tsunami yang sulit untuk dibendung. Ia merasa seperti gunung berapi yang siap meletus.

Dia tidak terima dirinya dihina seperti itu. Ia merasa seperti cacing yang tidak ada harganya sama sekali. Giginya bergemeletuk menahan emosi yang meluap-luap. Ingin rasanya ia membunuh Pak Rahman saat itu juga, agar tidak bisa lagi menghinanya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa melakukan itu. Ia harus merencanakan sesuatu yang lebih cerdik.

"Dasar tua bangka! Sudah hampir mati saja masih bertingkah!" umpat Anton dalam hati sepanjang perjalanan pulang. Hati Anton penuh sumpah serapah yang ditujukan kepada Pak Rahman. Saking besarnya amarah yang ditahannya, tubuhnya sampai menggigil seperti orang yang sedang kedinginan luar biasa, dan tangannya terkepal dengan kuat. Ia merasa seperti orang yang dirasuki oleh setan.

Sesampainya di rumah, Anton langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu dengan keras. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan napas terengah-engah. Amarahnya masih belum reda. Ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak oleh Pak Rahman. Ia tidak bisa membiarkan ini begitu saja.

"Sialan! Aku akan membalasmu, Rahman! Aku akan membuatmu menyesal telah menghinaku!" teriak Anton sambil memukul dinding kamarnya dengan keras. Ia melampiaskan amarahnya dengan cara yang kasar.

Ia lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan mondar-mandir di kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan rencana-rencana jahat untuk membalas dendam pada Pak Rahman. Ia akan melakukan apa saja untuk membuat Pak Rahman menderita.

"Aku harus melakukan sesuatu! Aku tidak bisa membiarkan ini begitu saja!" gumam Anton dengan suara serak. Ia merasa seperti orang yang kehilangan akal sehat.

Tiba-tiba, ia teringat pada Riani. Ia tahu bahwa Riani juga tidak menyukai Pak Rahman. Ia lalu memutuskan untuk menemui Riani dan meminta bantuannya. Ia yakin bahwa Riani akan membantunya untuk membalas dendam pada Pak Rahman.

"Mungkin Riani punya ide untuk membalas Pak Rahman," pikir Anton. Ia merasa bahwa Riani adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya saat ini.

Ia lalu keluar dari rumah dan bergegas menuju rumah Riani. Di sepanjang jalan, ia terus memikirkan cara untuk membalas dendam pada Pak Rahman. Amarahnya semakin membara. Ia merasa seperti orang yang berjalan menuju neraka.

Sesampainya di rumah Riani, Anton langsung mengetuk pintu dengan keras. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Riani dan menceritakan semua yang telah terjadi.

Riani membuka pintu dengan wajah terkejut. Ia tidak menyangka Anton akan datang ke rumahnya malam-malam begini. "Anton? Ada apa kamu datang ke sini malam-malam begini?" tanya Riani dengan nada khawatir.

"Aku ingin bicara denganmu, Ri. Ini penting," jawab Anton dengan nada serius. Ia tidak ingin membuang waktu untuk basa-basi.

Riani mempersilakan Anton masuk ke rumahnya. Mereka lalu duduk di ruang tamu. Suasana di ruang tamu terasa tegang dan mencekam.

"Ada apa, Anton? Ceritakan padaku," kata Riani dengan nada lembut. Ia berusaha menenangkan Anton yang tampak sangat marah.

Anton lalu menceritakan semua yang telah terjadi antara dirinya dan Pak Rahman. Ia menceritakan bagaimana Pak Rahman telah menghinanya dan melarang Dinda untuk pergi bersamanya. Ia menceritakan semua perasaan sakit hati dan amarah yang ia rasakan.

Riani mendengarkan cerita Anton dengan seksama. Ia bisa merasakan amarah dan dendam yang membara dalam diri Anton. Ia merasa senang karena Anton telah termakan oleh umpan yang telah ia berikan.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

Dendam Dan Guna Guna

Keesokan harinya, Anton bergegas menuju rumah Riani. Pikirannya kalut, dipenuhi amarah dan dendam atas penolakan Pak Rahman. Ia tidak sabar untuk menceritakan semua kejadian yang dialaminya saat berkunjung ke rumah Pak Rahman, bagaimana sikap merendahkan dan hinaan yang diterimanya. Ia merasa harga dirinya telah diinjak-injak, dan ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi begitu saja.

Dengan emosi yang meluap-luap, Anton menggedor pintu rumah Riani. Riani, yang sudah menunggunya, segera membukakan pintu. Tanpa basa-basi, Anton langsung masuk dan mulai menceritakan semua yang dialaminya.

Mendengar penuturan Anton, hati Riani ikut panas. Ia sudah lama menyimpan dendam terhadap keluarga Pak Rahman, terkait dengan apa yang menimpa Gita, adik sepupunya, sebelum ia pindah ke desa ini. Kejadian itu masih membekas dalam ingatannya, dan ia merasa bahwa keluarga Pak Rahman telah merenggut kebahagiaan Gita. Dendam itu kini kembali membara, seolah menemukan bahan bakar baru. Ia melihat kesempatan untuk membalas dendam melalui Anton.

"Tenang, Ton, aku mengerti bagaimana perasaanmu," kata Riani, berusaha menenangkan Anton. "Pak Rahman memang keterlaluan. Dia tidak pantas memperlakukanmu seperti itu."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Ri?" tanya Anton dengan nada putus asa. "Aku sangat mencintai Dinda, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mendapatkan restu dari ayahnya."

Riani tersenyum licik. Ia sudah memiliki rencana untuk memanfaatkan Anton dan menghancurkan keluarga Pak Rahman. "Kalau begitu, kamu guna-guna saja Pak Rahman! Biar dia merestui hubunganmu dengan Dinda. Setelah itu, kamu bisa menikahi Dinda. Kalau kamu bisa menikahi Dinda, kamu akan menjadi orang kaya! Semua yang kamu inginkan akan terwujud!" jelas Riani panjang lebar, dengan nada penuh keyakinan. Ia berusaha meyakinkan Anton bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Anton terdiam, mencerna saran Riani. Ia merasa ragu, namun di sisi lain, ia sangat menginginkan kekayaan dan kebebasan dari kemiskinan. Ia membayangkan dirinya hidup mewah bersama Dinda, memiliki rumah besar, mobil mewah, dan segala sesuatu yang selama ini hanya bisa ia impikan.

"Apa kamu yakin ini adalah cara yang tepat, Ri?" tanya Anton dengan nada ragu. "Aku tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya."

"Percayalah padaku, Ton," jawab Riani dengan nada meyakinkan. "Ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan apa yang kamu inginkan. Pak Rahman tidak akan pernah merestui hubunganmu dengan Dinda jika kamu tidak melakukan sesuatu yang ekstrem."

"Saranmu bagus, Ri. Tapi bagaimana caranya? Dan apakah kamu tahu dukun mana yang hebat, yang bisa aku mintai tolong untuk mengguna-guna Pak Rahman?" tanya Anton tiba-tiba, memecah keheningan. Ia mulai tertarik dengan ide Riani, meskipun ia masih merasa sedikit takut.

"Kamu serius, Ton?" tanya Riani, berusaha meyakinkan diri bahwa Anton benar-benar serius dengan niatnya itu. Ia tidak ingin rencananya gagal di tengah jalan.

"Iya, benar! Aku sungguh-sungguh. Tapi bagaimana caranya?" desak Anton. Ia ingin segera mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

"Kalau kamu memang benar-benar serius, aku akan mengantarmu ke rumah Ki Sentanu. Dia dukun yang paling hebat di daerah ini!" jawab Riani dengan mantap. Ia sudah mempersiapkan segalanya, termasuk dukun yang akan mereka datangi.

"Memang kamu tahu tempatnya, Ri?" tanya Anton, sedikit ragu. Ia belum pernah mendengar tentang Ki Sentanu sebelumnya.

"Iya, aku tahu rumahnya. Rumahnya di Desa Sambirejo," jawab Riani. Ia sudah mencari informasi tentang Ki Sentanu dari orang-orang di desa.

"Kalau begitu, ayo sekarang saja antar aku ke rumah Ki Sentanu!" ajak Anton, tidak sabar. Ia ingin segera melaksanakan rencananya.

"Baiklah, kalau begitu ayo aku antar kamu ke sana sekarang!" sahut Riani. Ia merasa senang karena Anton telah sepenuhnya termakan oleh rencananya.

Anton dan Riani kemudian berangkat menuju Desa Sambirejo dengan mengendarai motor masing-masing. Mereka menyusuri jalanan desa yang berliku, melewati sawah dan ladang yang menghijau. Pemandangan yang indah itu tidak mampu menenangkan hati Anton yang sedang dilanda kecemasan dan ketakutan.

Setelah menempuh perjalanan melelahkan , mereka akhirnya tiba di sebuah rumah yang tampak paling terpencil di desa itu. Rumah itu dikelilingi oleh pepohonan rindang, memberikan kesan mistis dan angker. Suasana di sekitar rumah itu terasa sunyi dan mencekam.

Riani membelokkan motornya ke halaman rumah itu dan berhenti di bawah pohon mangga yang tumbuh besar di halaman tersebut. Pohon mangga itu tampak tua dan keriput, dengan cabang-cabang yang menjulur ke segala arah.

"Kamu yakin ini rumahnya, Ri?" tanya Anton, merasa ragu-ragu. Ia merasa tidak nyaman berada di tempat itu.

"Iya, aku yakin ini rumahnya. Meski aku belum pernah ke sini, tapi banyak orang bilang memang ini rumahnya!" jawab Riani dengan nada meyakinkan. Ia berusaha menyembunyikan rasa takutnya.

"Permisi!" teriak Riani memberi salam, memecah kesunyian. Suaranya terdengar bergetar karena ketakutan.

"Silakan masuk!" terdengar suara seorang wanita yang tampaknya sudah cukup tua, menjawab dari dalam rumah. Suara itu terdengar serak dan menakutkan. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang wanita tua muncul dari dalam. Wanita itu tampak keriput dan mengenakan pakaian yang lusuh.

"Ada apa kalian berdua datang ke sini?" tanya wanita tua itu penuh selidik, menatap Anton dan Riani dengan tatapan curiga. Matanya yang cekung memancarkan aura mistis yang membuat Anton merasa merinding.

Mendapat tatapan penuh selidik dari wanita tua itu, Riani merasa sedikit takut. Dengan sedikit gugup, ia berkata, "Maaf nyai, saya dan teman saya ke sini ada perlu dengan Ki Sentanu!" jelas Riani. Ia berusaha bersikap sopan dan ramah.

Wanita tua itu memandang Riani dan Anton dengan tatapan ragu. Menurutnya, terlalu aneh bagi anak-anak seusia mereka untuk mencari Ki Sentanu. Ia curiga bahwa mereka memiliki niat yang tidak baik.

Melihat keraguan di mata wanita tua itu, Riani tahu bahwa ia harus meyakinkannya. Setelah Riani meyakinkan bahwa mereka memang sangat membutuhkan bantuan Ki Sentanu, akhirnya wanita tua itu berkata, "Oo kalau begitu tunggulah sebentar, aku panggilkan!" kata wanita tua itu sambil melangkah masuk ke dalam rumah. Wanita tua itu ternyata adalah istri Ki Sentanu.

Riani dan Anton menunggu di ruang tamu. Ruang tamu itu sangat sederhana, dengan dinding yang penuh tulisan huruf Jawa yang tidak semua orang bisa membacanya. Tulisan-tulisan itu tampak kuno dan misterius. Aroma dupa dan kemenyan tercium kuat di ruangan itu, menambah kesan mistis. Suasana di ruang tamu itu terasa pengap dan mencekam.

"Ada perlu apa kalian berdua mencari saya?" Suara Ki Sentanu mengagetkan mereka yang sedang mengamati seisi rumah. Ki Sentanu tiba-tiba muncul dari balik pintu, mengenakan pakaian serba hitam dan ikat kepala batik. Wajahnya tampak tua dan keriput, dengan mata yang tajam dan menusuk.

Riani kemudian menceritakan maksud kedatangannya ke rumah Ki Sentanu. Ia menjelaskan bahwa ia datang hanya untuk mengantar temannya yang berdiri di sampingnya. Ia berusaha menyembunyikan perannya dalam rencana ini.

Mendengar penjelasan Riani, Ki Sentanu menggeleng-gelengkan kepala. "Apa kamu sudah yakin dengan keinginanmu itu?" tanya Ki Sentanu, menatap Anton dengan tajam. Ia bisa merasakan keraguan dalam diri Anton.

"Saya sudah yakin, Ki!" jawab Anton dengan mantap, berusaha menyembunyikan keraguannya. Ia tidak ingin Ki Sentanu tahu bahwa ia sebenarnya takut dan ragu.

"Kalau begitu, siapa nama lengkap Pak Rahman?" tanya Ki Sentanu sambil menatap Riani dan Anton bergantian. Ia ingin menguji keseriusan mereka.

Anton menatap Riani dengan bingung. Ia tidak tahu nama lengkap Pak Rahman. Ia merasa bodoh karena tidak mencari tahu informasi penting ini sebelumnya.

"Aditya Rahman!" ucap Riani, seakan mengerti apa yang dipikirkan Anton. Ia sudah mempersiapkan segalanya, termasuk nama lengkap Pak Rahman.

"Ya sudah kalau begitu tunggulah sebentar!" kata Ki Sentanu sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Ia akan mempersiapkan ramuan guna-guna untuk Anton.

Setelah beberapa saat masuk ke dalam, tak berapa lama kemudian Ki Sentanu sudah keluar sambil membawa sebuah bungkusan plastik kecil. Bungkusan itu tampak misterius dan menakutkan.

"Masukkan bubuk ini ke dalam minuman atau makanan yang diminum atau dimakan Pak Rahman. Kalau sudah kena pengaruh bubuk ini, Pak Rahman akan suka denganmu dan juga akan mengizinkan kamu menikahi anaknya!" ucap Ki Sentanu sambil memberikan bubuk yang dibungkus kertas dan dimasukkan ke dalam plastik, lalu diberikan kepada Anton. Suaranya terdengar serak dan menakutkan.

"Terima kasih, Ki!" balas Anton sambil menerima bungkusan itu dengan tangan gemetar. Ia merasa takut dan jijik memegang bungkusan itu.

"Sekarang pulanglah, tapi jangan sampai bubuk ini diminum atau dimakan oleh orang lain, bahaya akibatnya!" kata Ki Sentanu dengan tegas, memperingatkan Anton. Ia menjelaskan bahwa bubuk itu sangat berbahaya dan bisa menyebabkan kematian jika diminum oleh orang yang salah.

"Iya, Ki. Saya akan mengingat-ingat pesan Ki Sentanu!" balas Anton takzim. Ia berjanji akan berhati-hati dalam menggunakan bubuk itu.

Setelah memberikan mahar kepada Ki Sentanu, Anton dan Riani kemudian pamit pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Anton berpikir keras tentang bagaimana cara memasukkan bubuk itu ke dalam minuman atau makanan Pak Rahman. Ia khawatir jika ada yang tahu perbuatannya. Ia juga takut jika bubuk itu akan memberikan efek yang buruk bagi Pak Rahman.

Hati Anton merasa senang dan puas sekali sekarang. Ia yakin bahwa sebentar lagi Pak Rahman akan merestui hubungannya dengan Dinda, dan ia hanya tinggal menunggu tanggal dan hari pernikahan mereka saja. Ia membayangkan dirinya hidup bahagia bersama Dinda, memiliki segalanya yang ia inginkan.

Semua ini berkat bantuan Riani. Riani telah merencanakan segalanya dengan matang. Ia akan memasukkan bubuk itu ke dalam minuman Pak Rahman saat kerja bakti memperbaiki jalan di depan rumah mereka. Saat itu, giliran keluarga Riani yang membuat minuman dan camilan untuk bapak-bapak dan remaja putra yang kerja bakti. Karena setiap ada kerja bakti, pasti ada yang membuat minuman dan camilan untuk yang bekerja. Saat itulah Riani akan memasukkan bubuk itu ke dalam minuman Pak Rahman tanpa ada yang tahu. Ia akan memastikan bahwa tidak ada yang mencurigai perbuatannya.

Sebelumnya, Riani sudah memberi tahu Anton bahwa akan ada kerja bakti dan biasanya ada yang membuat minuman dan camilan, dan hari itu giliran keluarganya yang membuat minuman dan camilan. Maka, Riani akan menyuruh Anton datang ke rumahnya membawa bubuk itu. Ia akan mengatur segalanya agar rencana mereka berjalan lancar.

***********

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!