"Kenapa mas Hasan belum juga pulang? Kemana perginya mas Hasan!"
Wati melirik sekilas bingkai foto pernikahannya yang terpasang di dinding kamar.
"Aku merindukan mu yang dulu, mas ... kenapa kamu berubah secepat ini mas." guamm Wati dengan tatapan merindu.
Ting.
[ "Dia hanya milik ku!" ]
Wati mengepalkan tangannya kesal, usai membaca pesan yang ia terima dari sahabatnya.
"Apa apaan ini! Di sini aku menunggu mu, sementara kamu malah sedang bersama Ida di meja judi... keterlaluan kamu , mas!" nafas Wati kian memburu.
Suara Hasan yang sudah setengah mabuk, terdengar nyaring dari sambungan telpon, di iringi alunan suara musik yang keras membengkakkan telinga.
[ "Halo istri ku! Tidak bisa kah kau tidak mengganggu ku semalam saja! Aku hampir menang ini!" ]
"Kamu di mana lagi, mas? Katakan pada ku, aku akan menjemput mu!" tanya Wati tanpa menghiraukan perkataan Hasan.
[ "Tidak perlu, aku masih bisa pulang sendiri. Lagi pula, malam ini aku gak berminat pulang ke rumah. Kau tidur saja, tidak usah menunggu ku!" ] seru Hasan dengan nada gak senang.
"Tapi, mas! Bagaimana jika mama mencari mu? Aku harus jawab apa? Cepat katakan pada ku, mas Hasan di ma..."
[ "Apa telinga mu tuli hem? Mas Hasan sudah mengatakannya pada mu, mas Hasan tidak akan pulang ke rumah mamanya malam ini! Yang pasti mas Hasan milik ku, dan malam seterusnya!" ] celetuk Ida, wanita itu merebut ponselnya dari tangan Hasan.
Tut tut tut.
Sambungan terputus, di saat Wati hendak menghubunginya kembali. Nomor Hasan sudah gak aktif.
'Astagfirullah mas, ujian apa lagi yang kau berikan pada rumah tangga hamba mu ini ya rob. Buka kan lah mata hati suami hamba, sadar kan lah dirinya, kembalikan lah ia ke jalan lurus mu, jauhkan lah suami hamba dari wanita yang berniat merusak keutuhan rumah tangga kami. Kembali kan lah mas Hasan pada ku ya rab!' jerit batin Wati menahan sesak di dadanya.
Demi kembali pada wanita yang ia cintai. Hasan rela menggelapkan dana perusahaan tanpa sepengetahuan sang istri.
Begitu ketahuan bukannya merasa bersalah atas apa yang ia lakukan. Sebaliknya, justru Hasan menyalahkan Wati. Menjadikannya akar dalam kesalahan yang sudah ia perbuat.
Dugh dugh dugh.
Suara gedoran yang di susul suara lengkingan sang ibu mertua, kian menambah kebisingan yang gak terelakan.
"Wati, buka pintunya Ti! Kebangetan kamu, suami belum pulang... bisa bisanya tidur nyenyak. Buka pintunya Wati!"
"I- iya mah, tu- tunggu sebentar." Wati melangkah ke arah pintu, sembari ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya secara kasar.
Gedoran pintu dan umpatan kembali terdengar dari Juleha, wanita yang sudah 3 tahun terakhir menjadi ibu mertuanya.
Dugh dugh dugh.
"Watiiiii! Woy buka pintunya, dasar mantu gak tau diri, gak ada sopan santunnya kamu ya! Berani kamu membuat ibu mertua mu ini teriak teriak kesetanan di malam buta kaya begini? Bangun kamu jangan tidur terus, Wati!" umpatan Juleha.
Ceklek.
Wati membuka pintu kamar yang ia kunci dari dalam.
"Akkhhh sakit mah, lepas, i- ini sakit mah!" Wati memekik kesakitan, kepalanya miring seiring tangan Juleha menjambak rambut panjangnya.
Tanpa perasaan, Juleha yang udah gak sabaran dengan kadar emosi yang meluap luap, langsung menyambut Wati dengan tangan kanannya. Wanita paruh baya itu menjambak rambut panjang Wati, hingga membuat wanita muda itu ke luar dari dalam kamar.
Juleha melepaskan jambakannya dari rambut Wati dengan mendorongnya hingga lengan kiri Wati membentur dinding.
Dugh.
"Akhhhhhh!" pekik Wati menahan sakit pada lengan kirinya, mengingat betapa kerasnya lengan Wati membentur dinding.
Juleha kini mencekal lengan kanan Wati dengan sangat erat, membuat Wati meringis kesakitan.
"Auuhhh sakit mah, Wati gak tidur, mah! Wati dari tadi menunggu mas Hasan pulang." seru Wati dengan kembali menangis.
Bagaimana pun perlakuan Juleha, tak sekali pun membuat hati Wati membencinya. Juleha adalah wanita yang telah melahirkan Hasan, wanita yang sangat Wati hormati dan sayangi layaknya ibu kandungnya yang sudah lama pergi.
"Kenapa lama sekali kamu buka pintunya hah! Istri gak tau di untung, istri pembawa sial kamu tuh, gara gara kamu, putra ku kehilangan pekerjaannya. Kamu pikir, aku ini akan percaya dengan perkataan mu itu!" sentak Juleha dengan nada gak santai.
Juleha menunjuk nunjuk kening Wati dengan jari telunjuk tangannya yang lain dengan wajah gemas, menahan kesal.
"Udah jelas kamu itu tidur, masih aja mengelak. Kamu gak tau kan, sedang apa dan di mana putra ku Hasan di luaran sana. Kamu malah enak enakan tidur di saat suami belum pulang, jadi istri ada gunanya sedikit dong Wati!"
***
Beberapa hari kemudian.
"Kamu mencintai ku kan, Wati?" tanya Hasan, menatap mata teduh Wati dengan intens.
"Iya, mas. Udah berapa kali mas Hasan menanyakan itu pada ku. Aku mencintai mas Hasan selama mas tetap berlaku baik seperti ini, buang kebiasaan buruk mas... kita tata rumah tangga kita lebih baik lagi." pinta Wati dengan sungguh sungguh.
Hasan tersenyum terpaksa, 'Mana mungkin aku bisa bersikap baik pada mu! Secara aku sudah berhasil bersama dengan Ida! Cinta pertama ku! Pujaan hati ku!'
"I- iya, apa pun itu... asal kamu mau melakukan satu hal untuk mas ya, Ti Hanya kali ini saja, setelah itu mas janji... tidak akan menyusahkan mu lagi." dusta Hasan.
"Melakukan apa, mas? Mas mau bawa Wati ke mana? Apa kita akan makan malam romantis di suatu tempat?" cecar Wati, mengingat Hasan tidak mengatakan akan kemana namun Wati di minta berdandan dengan cantik.
'Sebenarnya apa yang harus aku lakukan untuk mas Hasan? Kenapa mas Hasan malam ini begitu misterius, gak biasanya ia bermain teka teki seperti ini.' pikir Wati, sesekali melirik Hasan dalam kebingungan.
"Nanti kamu akan tau sendiri, yang pasti kamu harus melakukannya, ini semua demi cinta kita!" Hasan membawa Wati dalam pelukannya, lalu menyandarkan kepala Wati pada lengan kekarnya.
'Kali ini kamu harus melakukannya untuk ku. Aku tidak mungkin menyerahkan Ida pada bandot tua, biar kamu saja yang melayani bandot tua itu. Anggap saja ini hukuman untuk mu, yang terlalu ikut campur dengan urusan pribadi ku!' pikir Hasan, dengan seringai di bibirnya.
Mobil yang di tumpangi Wati dan Hasan memasuki sebuah pagar yang menjulang tinggi dengan penjagaan yang ketat.
"Naight club, kita ngapain kesini mas?" tanya Wati, setelah membaca tulisan yang terdapat di batu besar dengan cahaya lampu kerlip.
"Bu- bukan apa apa, sayang." kilah Hasan dengan gugup.
Mobil yang menjemput Hasan dan Wati kini berhenti di sebuah gedung berlantai 5, Hasan langsung mengajak Wati untuk turun, seolah sudah tau tujuannya ke mana, Hasan langsung membawa Wati dengan tangannya yang erat menggenggam pergelangan tangan istrinya.
"Kenapa kita ke sini, mas? Apa ini tempat biasa mas Hasan mabuk?" tebak Wati.
Langkah Hasan semakin yakin, membawa Wati memasuki gedung. Di mana di dalam ruangan yang mereka lewati pencahayaannya begitu tamaran.
Ada beberapa pria dan wanita yang duduk di delam bar dengan netra yang memperhatikan bartender melakukan atraksi sembari menyajikan minuman pada pengunjungnya.
"Gak usah banyak omong, Wati. Cukup ikuti saja permainannya!" seru Hasan dengan penuh penekanan, tanpa menatap Wati.
"Lepas, aku mau pulang, mas! Aku gak mau melakukan apa pun di tempat ini! Ini bukan tempat ku, mas!" Wati mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Hasan.
Hasan langsung memasuki lift, menyeret paksa Wati untuk ikut serta.
"Aku ini suami mu Wati, patuh lah pada ku!" bentak Hasan dengan mata melotot.
"Kamu itu emang suami ku, mas! Tapi aku gak harus mengikuti mu yang sesat. Lepas, mas! Aku mau pulang!" seru Wati dengan nada tinggi.
Plak.
Hasan melayangkan tamparan di pipi kanan Wati, hingga wajah Wati berpaling, sudut bibir Wati meninggalkan bercak darah.
"Akkkhhhh!" Wati memegangi pipinya yang terasa perih dan panas di waktu yang bersamaan.
"Aku bilang diam, diam Wati! Jangan membuat kesabaran ku habis!" geram Hasan.
"Harusnya aku yang berkata seperti itu, mas! Kesabaran ku habis menghadapi mu, mas!" bahu Wati bergetar, air mata lolos dari matanya tanpa ada isak tangis yang meluncur dari bibir mungil Wati.
"Gak usah cengeng kamu, kamu sendiri yang bilang mencintai ku. Maka lakukan lah tugas mu sebagai istri ku, turuti perkataan ku, dengarkan perintah ku!" sentak Hasan dengan sinis.
Wati menelan salivanya sulit, 'Ya Tuhan, jika aku tau lebih awal. Tidak akan mau aku di ajak mas Hasan pergi. Kali ini apa lagi yang harus aku hadapi.'
Pintu lift terbuka, tanpa membuang waktu. Hasan langsung membawa Wati melewati beberapa kamar yang ia lewati.
"Kamu gak berniat meninggalkan aku di tempat ini kan, mas?" tanya Wati tiba tiba.
"Tidak, kamu temani aku menemui bos besar. Kebetulan salah satu bos besar di night club ini menawari ku pekerjaan.. setelah itu ya pulang. Untuk apa berlama lama di sini." dusta Hasan.
'Semoga kali ini mas Hasan gak berbohong pada ku!' pikir Wati.
'Gua harus bisa bawa Wati ke kamar itu. Selain terbebas dari hutang, hubungan gua sama Ida juga lancar jaya. Gak salah emang gua ikutin saran Ida buat serahin Wati ke bos.' pikir Hasan.
Hasan menyeka air mata Wati, lalu menyeka sudut bibir Wati yang berdarah, "Maafkan aku ya! Jangan menangis lagi!"
"Maafkan aku, sudah berfikir buruk, mas."
"Aku emang buruk di mata mu, tapi tak apa, yang penting kamu sudah setuju melakukan ini untuk ku."
"Tidak aneh aneh kan, mas?"
"Tidak, hanya 1 hal aja kok." seru Hasan dengan tatapan meyakinkan.
Langkah Hasan dan Wati terhenti, pada sebuah pintu yang di jaga oleh 2 orang pria berseragam hitam, dengan tubuh tinggi kekar, berwajah seram.
"Masuk lah, bos sudah menunggu mu!" titah Leo, salah satu pria usai membuka pintu.
Wati menoleh kiri dan kanan, sejauh mata melirik hanya pintu yang tertutup rapat dengan beberapa angka yang berbeda pada setiap pintu.
'Apa gak ada orang ya, ini sepi banget, tempat apa si ini?' pikir Wati.
Dugh.
"Selamat bersenang senang, sayang!" Hasan mendorong punggung Wati, hingga wanita itu masuk ke dalam kamar.
Bugh.
Bersambung...
Bugh
Pintu langsung ditutup kembali dari luar.
Dugh dugh dugh.
"Buka pintunya, mas... buka, tolong buka pintunya!" Wati teriak ketakutan, ia memukul mukul pintu dengan kepalan tangannya.
Tap tap tap.
Suara langkah seseorang yang berjalan ke arahnya, membuat Wati mau tidak mau menoleh ke belakang, dengan dada yang naik turun, rasa takut menjalar di tubuhnya, keringat dingin pun kini gak bisa lari dari kulitnya yang putih mulus.
"Si- siapa di situ? Ja- jangan mendekat, ka- kalo anda mendekat, a- aku akan teriak." ancam Wat dengan tergagap di bawah gelapnya ruang tanpa pencahayaan.
Sreeek.
Di bawah gelapnya kamar, sebuah tangan, menarik lengan Wati dengan pak sa.
“Ahh sakit, lepas… apa yang akan bapak lakukan pada saya? Singkirkan tangan bapak dari lengan saya! Lepas! Bapak mau bawa saya ke mana?”
Wati terus meronta dengan tubuh bergetar takut, mencoba melepaskan diri. Dari pria yang terus menyeretnya pak sa, semakin dalam memasuki ke dalam ruang yang gelap.
Alex terkekeh, dengan nada mengejek, “Tidak usah pura pura, Wati. Lakukan saja tugas mu malam ini. Aku yakin, Hasan sudah mengatakan dengan jelas tujuan mu berada di tempat ini!”
Wati mengerutkan keningnya dalam, ‘Aku mengenali suara itu! I- itu suara …’
Bugh.
Tubuh Wati di hempaskan di atas kasur berukuran besar dengan cukup kasar.
“Akhhhh! Pak Alex, tolong biarkan saya pergi, pak!” Wati buru buru beranjak duduknya, ia beringsut mundur hingga punggungnya membentur kepala ranjang.
Alex terkekeh senang, “Bagus juga daya ingat mu, Wati! Kau masih bisa mengingat suara ku tanpa harus melihat wajah ku?”
“Saya masih bisa mengenali suara bapak! Jadi tolong biarkan saya pergi dari tempat ini, pak!” pinta Wati, mengedarkan pandangannya di bawah gelapnya ruang.
“Enak saja! Lakukan dulu tugas mu, Wati! Sesuai kesepakatan awal, jika Hasan tidak bisa memberikan uang 100 juta pada Night Club, maka sebagai gantinya… kamu yang akan bekerja di sini sebagai wanita penghibur!”
Wati menelan salivanya, lalu beringsut ke samping, mencoba turun dari atas tempat tidur usai tau tepiannya.
“Apa? Bekerja sebagai pe- penghibur? Sa- saya gak mau! Jika harus menjadi pelayan saya gak masalah! Setidaknya tidak harus menyerahkan tubuh saya pada pria hidung belang.”
“Tidak ada kata tawar menawar lagi, Wati! Tugas mu sudah mutlak. Dan aku yang akan menentukan tugas mu kedepan. Akan berakhir di ranjang pria hidung belang. Atau akan berakhir menjadi wanita ku di atas ranjang.”
Wati menajamkan indra pendengarannya, seiring langkah Alex yang menyeretnya tadi melangkahkan kaki.
“Aku yang menentukan jalan hidup ku sendiri. Dan aku menolak apa pun yang menjatuhkan harga diri ku sebagai seorang istri dari mas Hasan!”
“Harusnya kamu tinggalkan Hasan, Watii! Pria itu bahkan lebih peduli dengan kekasihnya. Dan menyerahkan mu pada ku! Apa suami seperti itu yang kamu junjung tinggi martabatnya?”
“Mas Hasan gak mungkin tega menyerahkan ku pada mu! Ini pasti hanya akal akalan mu, pak! Aku tau bapak seperti apa orangnya! Pria yang menghalal kan segala cara untuk bisa mendapatkan apa yang anda inginkan!” sentak Wati.
“Wati Wati, aku kasihan pada mu. Kau begitu setia pada Hasan, kau begitu mencintai Hasan. Tapi yang kau dapat hanya penghianatan! Tidak kah kamu ingin membalas setiap air mata, luka yang Hasan berikan pada mu?” tanya Alex dengan nada santai.
“Mas Hasan hanya sedang tersesat, dan lupa jalan pulang. Suatu saat mas Hasan akan kembali setia pada ku! Aku yakin itu pak! Bapak juga bodoh, kenapa mau di tipu 2 kali sama mas Hasan? Gak kasihan kah dengan istri bapak di rumah yang sedang menunggu bapak pulang?”
Alex terkekeh, 'Istri dia bilang? Jadi selama Wati bekerja untuk ku, dia sama sekali gak sadar kalo aku masih melajang? Astagaa sungguh di liar nurul anak ini! Pantas jika dulu Wati gak peka dengan perhatian yang aku berikan selama dia bekerja dengan ku!'
“Ahahaha, apa kau tau Wati! Hasan lebih mencintai cinta pertamanya dari pada kamu yang istrinya sendiri!”
Tak.
Kamar yang tadinya gelap gulita, kini tampak terang benderang. Wati berhasil menemukan kontak lampu dan menyalakannya. Tapi sayangnya malam itu Wati gak akan lolos dari Alex.
“Tolong biarkan aku pergi, pak!” pinta Wati dengan tatapan memohon.
“Kalo pun aku membiarkan mu pergi dari kamar ini. Apa kamu yakin, orang orang yang berada di luar kamar, akan mengizinkan mu pergi dari tempat ini? Anggap ini sebagai penjara untuk mu, Wati! Tidak ada kebebasan untuk mu!”
Grap.
“Akh lepas, menjauh dari saya, pak!”
Wati meronta saat tangan besar pria asing itu menariknya lalu memeluknya.
Tanpa rasa bersalah apa lagi kasihan pada Wati, wanita yang pernah bekerja dengannya. Alex melakukan apa yang dia inginkan.
Brugh.
Alex menghempaskan Wati ke atas ranjang.
“Kau akan jadi milik ku malam ini, Wati!”
Gumam Alex dengan suara parau menyusuri leher jenjang Wati, pria itu mengukungnya.
“Tidak, saya tidak mau. Le paskan saya, pak! Saya sudah bersuami. Kau pria gila jika masih berani menyentuh wanita bersuami, le paskan saya!” teriak Wati sembari berusaha meronta, bahkan ia mencakar lengan pria yang tengah memberikannya tanda kepemilikan di leher jenjangnya.
‘Tega sekali kamu mas Hasan, menyerahkan ku pada pria yang pernah menjadi bos kita. Kau sungguh suami kejam mas, aku membenci mu!’ Wati terisak dengan hati menjerit.
"Kau yang membuat ku gila, Wati." beo Alex, malah membenarkan perkataan Wati.
Wati hanya bisa menangis di bawah selimut.
“Pria bajingan seperti dia tidak pantas kau sebut suami, Wati! Dari pada menangis, lebih baik kau tidur! Ku pasti lelah usai melayani ku, kau butuh mengistirahatkan tubuh mu!"
"Ngomong ngomong, milik mu ternyata sempit juga, aku pikir longgar. Apa suami mu tidak pernah meminta haknya dari mu?” imbuh Alex tanpa saringan.
Bersambung ...
Sementara di lantai 1 Night Club.
“Kenapa lama sekali sih?” tanya Ida yang langsung menggelayut manja di lengan Hasan.
“Maaf sayang, ayo kita lanjut main.”
Hasan langsung menyambar kartu yang ada di tangan Ida.
“Gak salah dengar nih gue, lo mau main… punya modal gak lo?” Doni, pria yang duduk di seberang Ida dan Hasan.
“Gue ngajak main, berarti gue punya modal. Bukan begitu, sayang!” Hasan melirik Ida dengan senyuman nakalnya.
“Betul sekali, ide ku gak pernah salah kan, sayang! Coba aja, kamu mau dengerin aku dari dulu!” gerutu Ida.
“Maaf ya sayang, aku sempat meragukan ide gila mu.”
“Wih gila benar, serius lo… jadiin istri lo jaminan sama bos besar?” timpal Sukdi.
Hasan terkekeh, "Yah mau gimana lagi, satu satunya cara ya cuma itu. Lagi juga gua ini termasuk suami yang baik kan! Gua izinin tuh si Wati nyobain batang lain, hitung hitung biar itu anak tau gaya kalo di ranjang. Jangan cuma gaya batu kelelep aja bisanya ahahah."
"Gila lo jadi suami, San!" sentak Doni.
"Hahaha itu bukan gila, tapi lo gokil, San! Keren lo! Bisa bisanya lo julukin permainan bini lo gaya batu kelelep. Kocak lo!" kekeh Sukdi.
“Ssstttt gak usah pake toa, udah lanjut aja main lagi. Kali ini, sayang ku mas Hasan pasti bakal menang mengalahkan kalian.” seru Ida dengan menatap remeh Sukdi dan Doni
Tangan Ida menyambar gelas minuman yang ada di atas meja, tanpa malu lalu Ida membantu Hasan meminumnya.
Doni menggelengkan kepala gak habis pikir.
“Apa lo gak sayang, istri lo dicicipi bos besar dari night club ini, San?”
Hasan menatap dalam Ida, menatap wanita itu penuh cinta, “Gak usah banyak tanya. Selama ada Ida di sisi gue, istri gue… lewat.”
“Kalau begitu, kenapa gak kamu ceraikan istri mu, sayang… eh tapi jangan deh. Nikahi aku, sayang. Aku tidak keberatan jika harus menjadi istri ke 2. Asal Wati yang akan kita berikan pada bos besar, jika kamu kalah di meja judi lagi, aku hanya milik mu kan!” tanpa rasa malu, Ida mengatakannya di depan Doni dan Sukdi.
“Ide mu bagus juga sayang, boleh lah kita laksanakan. Aku juga sudah jenuh dengan permainan Wati di atas ranjang. Terlalu payah! Wanita itu hanya bisa gaya kedebong kanyut, harus selalu aku yang pekerja keras. ” dumel Hasan.
“Jika dengan mu saja wanita itu sudah payah, lalu bagaimana jika bos besar yang bermain dengannya? Apa bos besar akan puas dengan istri mu, sayang?” pikir Ida.
“Aku tidak peduli lah sayang, yang penting saat ini aku terbebas dari hutang judi.” sentak Hasan.
“Gue tebak nih ya, istri lo udah kaya angka sepuluh saat bersatu dengan bos besar, secara bos besar itu pendek, gendut pula perutnya.” kekeh Sukdi.
“Ahaha kau benar Sukdi, sudah seperti angka sepuluh, lucu sekali aku membayangkannya.” timpal Ida dengan nada mengejek.
“Dasar pasangan gila.” umpat Doni.
“Bukan pasangan gila, tapi pasangan licik.” ralat Sukdi melihat Hasan dan Ida dari sudut pandangnya.
Bukannya marah, Hasan dan Ida justru tertawa, “Hahaha, itu benar.”
"Wah sudah lengkap nih, ayo tambah minumnya." seru Nining, seorang wanita berpakain minim, saat menghampiri ke empatnya dengan satu rekan wanitanya yang sebelumnya duduk di samping Sukdi.
"Malam ini kita berpesta, sayang." ujar Doni pada Siska, wanita yang menuangkan minuman ke dalam gelas minumannya.
"Waah sepertinya ada yang habis menang banyak nih!" timpal Julia, wanita yang duduk bersama Sukdi.
"Gak usah banyak tanya deh, pokoknya malam ini kita berpesta." timpal Ida, gak mau menjelaskan pada Siska dan Julia.
Satu meja dengan 3 pasangan itu pun lanjut bermain, dengan di temani minuman dan kacang kulit di atas meja
Pukul 2 dini hari.
“Kau bisa antar aku dan istri ku pulang, sayang?” tanya Hasan, dengan tatapan memohon pada Ida.
Ida memperlihatkan wajah sendunya dengan mata berbinar sedih, “Aku akan mengantar mu sayang, tapi kenapa aku harus mengantar saingan ku juga? Tidak kah kau kejam pada ku sayang?”
“Untuk kali ini, sayang! Anggap saja ucapan terima kasih karena Wati sudah mau menggantikan posisi mu.” Hasan mengangguk kan kepalanya meyakinkan Ida.
“Baik lah, jemput sana saingan ku. Dia pasti sudah selesai melayani bos besar.” Ida mengibaskan tangan nya.
Cup.
“Kamu paling pengertian.” Hasan mengecup bibir Ida.
Hasan beranjak dari duduknya lalu menuju lift, tujuannya sudah pasti kamar di mana ia meninggalkan Wati.
Sesampainya di lantai paling atas, Hasan yang sudah berdiri di depan 2 orang pengawal langsung mengatakan maksudnya.
“Bagaimana, apa bos besar sudah menyuruh Wati keluar dari kamar?” tanya Hasan dengan gak jelas karena dalam pengaruh minuman.
“Kami rasa, anda harus melupakan wanita yang ada di dalam sana! Dia bukan lagi wanita mu!” seru Danu dengan seringai di bibirnya.
Hasan mengerutkan keningnya, mencoba mencerna perkataan sang pengawal, “Apa maksud mu?” tanya Hasan pada akhirnya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!