"Ayah! Kenapa tega ingin memindahkan aku ke pondok pesantren, aku gak mau masuk pesantren ayah! Aku tidak pacaran ayah.." Arsyila berjongkok sambil memegang kaki ayahnya, Bara Wijaya. Keduanya baru saja sampai di rumah, setelah Bara tidak sengaja memergoki putrinya itu sedang berbicara berdua dengan seorang pria saat ia hendak menjemput putrinya pulang sekolah.
"Maaf nak! Keputusan ayah sudah final. Bukankah ayah sudah mengingatkan kamu untuk tidak berduaan dengan yang bukan mahram kamu? Tapi apa yang ayah lihat, tidak cuma sekali kamu berduaan dengan pria itu. Ayah gak mau melakukan zina nak."
"Tapi ayah, itu tidak seperti yang ayah lihat. Aku sama kak Daffa tidak pacaran kok. Dia hanya berpamitan saja sama aku karena kak Daffa sebentar lagi akan kuliah, dia sudah lulus ayah." Arsyila masih membujuk ayahnya.
"Kenapa dia harus berpamitan sama kamu? Pokoknya apapun alasannya kamu harus masuk pesantren! Bukankah itu yang diinginkan bunda kamu? Tolong kali ini kamu dengerin apa kata ayah. Memangnya kamu mau kalau bunda sedih di atas sana?" Arsyila menggelengkan kepalanya lemah.
"Ya sudah ikuti apa kata ayah."
Anggita Alma Sasongko, adalah bunda dari Arsyila Nura Nayyara. Anggita sudah meninggal saat Arsyila berumur 14 tahun. Bundanya sebelum meninggal, membuat beberapa rekaman video dirinya yang dimana isinya adalah pesan dan hadiah untuk putrinya itu di setiap ulang tahunnya.
Saat ini Arsyila berusia 17 tahun, 6 bulan yang lalu ia melihat rekaman video bundanya yang meminta Arsyila untuk masuk pesantren namun sampai saat ini Arsyila belum mau masuk ke pesantren. Entah alasan apa yang membuat Arsyila engga masuk pesantren.
Setiap Arsyila berulang tahun, saat itulah ayahnya menunjukkan rekaman video bundanya untuk Arsyila. Saat usianya berumur 15 tahun, bundanya meminta untuk Arsyila segera mengenakan hijab dan alhamdulillah Arsyila mengikuti kemauan sang bunda. Saat umurnya 16 tahun, bundanya meminta agar Arsyila tetap istiqomah dengan hijab yang ia kenakan, Arsyila juga tidak diperbolehkan untuk pacaran. Jika Arsyila menuruti semua itu maka ia boleh menggunakan ponsel. Bara bukannya tidak ingin memberikan Arsyila ponsel, Bara hanya takut jika Arsyila akan berhubungan dengan yang bukan mahram meskipun itu hanya sekedar teman.
Arsyila heran dengan bundanya yang masih sempat-sempatnya membuat video untuk dirinya di setiap ulang tahunnya. Tapi yang membuat Arsyila heran adalah mengapa dalam file tersebut hanya ada 4 video yang dimana hanya sampai Arsyila berumur 18 tahun saja.
***
"Om, please! Tolong bantuin aku bujuk ayah agar aku tidak masuk pesantren." Arsyila merengek di lengan omnya tersebut.
"Tidak Cila, kamu harus nurut apa kata ayah dan almarhumah bundamu ya. Kamu mau bundamu sedih di atas sana?"
Cila, adalah nama panggilan kesayangan yang hanya disematkan oleh keluarga dan orang terdekat saja.
"Tapi Om?" Cila sudah menitikkan air matanya. Ia merasa sia-sia sudah merengek terus menerus dari tadi karena percuma saja keputusan ayah dan Omnya sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.
Angga Dwimas Sasongko adalah adik bungsu dari bunda Arsyila, saat ini Omnya masih single di usia 32 tahun. Padahal banyak sekali yang mengejar cinta omnya itu tapi Angga masih betah untuk sendiri. Ia akan menikah di saat Arsyila, keponakannya itu sudah ada yang menjaganya, ia akan lebih tenang.
"Yaudah sekarang kamu siap-siap ya, besok setelah Subuh kita langsung berangkat."
Deg
Arsyila tercengang! "Kenapa harus secepat itu Om?"
"Agar kamu tidak banyak alasan lagi sayang dan tentunya tidak kabur!" Bukan Omnya yang menjawab melainkan ayahnya sendiri yang baru saja naik menuju ke kamarnya itu.
"Huwaaaa, kenapa ayah bisa tau sih? Ayah ada titisan peramal ya makanya bisa baca pikiran aku!" Arsyila mengerucutkan bibirnya.
"Karena ayah sudah hafal betul sikap putri ayah satu ini." Bara menarik pelan hidung mancung putrinya.
Arsyila menghentakkan kakinya lalu masuk ke kamarnya, saat ini ia ingin menangis sejadi-jadinya. Ia mengumpat dirinya sendiri mengapa ia bisa ceroboh malah ngobrol hanya berdua dengan Daffa, kakak kelasnya itu. Daffa memang sudah tiga kali menyatakan perasaannya kepada Cila tapi Cila sendiri tidak pernah menerimanya karena janjinya kepada bunda dan ayahnya bahwa ia tidak akan pernah pacaran sebelum ada ikatan halal, meskipun Cila sendiri menyukai Daffa.
Dengan bantuan Bik Sumi, Arsyila memasukkan barang dan baju-bajunya ke dalam koper.
"Bik, kenapa baju aku gamis semua?" Tanya Arsyila yang heran di dalam kopernya hanya baju gamis dan jilbab yang panjang semuanya.
"Ini semua dari Tuan Non, Tuan yang meminta bibi untuk meletakkan semua ini di dalam kopernya non." Jawab Bik Sumi.
Arsyila menelisik setiap gamis yang dibeli ayahnya itu, semua panjang dan lebar begitu juga jilbabnya. Selama ini memang Arsyila menggunakan hijab tapi selalu ia lilit ke belakang apalagi bajunya yang jauh dari kata longgar. Rasanya pasti nanti akan gerah, apalagi Cila yang memiliki kulit sensitif terhadap cuaca panas dan gerah, jika ia berkeringat berlebih maka kulitnya akan menimbulkan ruam dan gatal-gatal.
"Ya sudah bik, gapapa. Terimakasih ya sudah bantu Cila merapikan semuanya." Bik Sumi sudah ada semenjak Arsyila masih di perut bundanya. Bik Sumi tidak mempunyai anak makanya ia sangat menyayangi Arsyila.
Arsyila beralih menatap hewan peliharaannya. "Hai Cantik dan Tampan! Kalian baik-baik ya selama aku pergi, kalian jangan pernah pergi dari hidup aku seperti yang bunda lakukan. Aku pasti akan merasa kesepian tanpa kalian. Kata ayah disana tidak boleh bawa hewan peliharaan."
Bik Sumi yang mendengar curhatan Arsyila kepada keong peliharaannya hanya terkekeh, majikannya ini memang sangat unik sekali. "Tenang saja non, kan ada bibi nanti yang akan menjaga mereka dan akan bibi kasih makan nanti. Non jangan khawatir yah, non belajar saja yang fokus, biar Cantik dan Tampan ini tenang di tinggal non ke pesantren." Ya, Cila memberikan nama keongnya itu Cantik dan Tampan.
Di ruangan kerja Bara...
Ia menatap foto almarhumah istrinya bersama kedua anaknya. Aariz Zayyan Wijaya dan Arsyila Nura Nayyara. Aariz meninggal karena kecelakaan saat usianya 13 tahun.
Sebenarnya Bara tidak bisa jauh dengan putrinya tapi ia melakukan semua itu demi Cila menjadi muslimah yang lebih baik lagi dan itu pesan terakhir dari istrinya.
"Maafin ayah Cila, ayah melakukan semua ini untuk kebaikan kamu."
Suara ketukan pintu terdengar, "Bang, boleh Anggaa masuk?"
"Ya, masuk aja." Buru-buru Bara menyeka air matanya yang tadi sempat keluar karena merasa berat meninggalkan putrinya di pesantren.
"Ada apa ngga?"
"Apa abang yakin akan mengirim Cila ke pesantren?"
"Bukankah memang seperti itu keinginan kakak kamu? Abang hanya ingin melakukan yang terbaik agar Cila tidak jauh dari agamanya."
"Angga sudah diterima sebagai dosen di kampus dekat pesantren Cila. Angga juga lebih baik tinggal disana sekalian mengurus bisnis yang Kak Anggi jalani. Angga akan menjaga Cila dari jarak jauh jika abang mengizinkan."
"Silahkan, abang akan merasa tenang jika seperti itu."
"Lalu bang.... Bagaimana dengan video Kak Anggi saat ulang tahun Cila yang ke 18 nanti? Apakah abang yakin?"
"Pilihan kakakmu tidak pernah salah Ngga. Abang juga yakin akan hal itu. Tapi abang belum memberi tau keluarga mereka dan juga memang keluarga mereka menginginkan perjodohan ini."
"Baiklah, jika itu memang sudah menjadi keputusan abang dan kak Anggi, Angga hanya mendukung saja."
***
Malam harinya seperti biasa, mereka menikmati makan malam yang sudah disediakan Bik Sumi.
Cila sudah berada di meja makan begitu juga dengan ayahnya dan Omnya. "Cila, sudah ayah katakan berapa kali jangan pakai baju seperti ini?" Cila hanya mengenakan tangtop dan celana hotpantsnya. "Ayah tidak suka kamu pakai pakaian seksi seperti itu nak. Meskipun kamu anak ayah tapi tetap saja kan, itu bukan hal yang sopan. Jika kamu mau pakai pakaian seperti itu lebih baik di kamar saja."
"Ayah kenapa sih ngatur aku terus harus pakai baju seperti apa! Yang penting kan kalau aku keluar rumah aku gak pakai baju seperti ini." Arsyila memang sulit ditegur, ia akan menjawab jika tidak sesuai dengan keinginannya.
"Cila jangan bicara seperti itu dengan ayah kamu, ayah kamu hanya mengingatkan kamu." Tegur Angga.
Arsyila berdecak kesal, "Ck, Om sama ayah sama saja, terlalu banyak aturan!" Cila menghentakkan kakinya lalu berlari naik ke atas kamarnya. Sedangkan Bara merasa pusing dengan kelakuan anaknya sendiri.
"Cila benar-benar mirip kak Anggi bang, tingkahnya yang bar-bar."
"Iya kamu benar, abang jadi kangen sama Anggi."
Sementara di kamar, Arsyila tengah berpikir, ia terus mondar mandir seperti setrikaan. Memikirkan bagaimana caranya untuk kabar dan tidak jadi ke pesantren besok.
"Huwaaaa aku pengen kabur rasanya, masa aku mondok sih! Pasti disana aku gak bisa makan coklat sepuasnya lagi. Aku gak bisa bebas dan tentunya aku gak bisa bertemu Kak Daffa lagi."
Coklat adalah makanan favorit Cila, ia pecinta coklat. Sehari tanpa makan coklat rasanya dunianya akan hambar, ia pernah selama 3 hari tanpa makan coklat karena giginya sakit berujung menjadi demam karena tidak bisa menahan lagi keinginan makan coklat itu.
Sesuai yang sudah direncanakan ayah dan omnya, kini mereka tengah bersiap untuk peri ke pesantren setelah subuh ini.
“Sudah siap Cila?”
“Hem, siap ga siap juga sama aja kan!” Jawabnya ketus.
“Cilaaaa, jangan bicara ketus gitu sama ayah kamu.”
Cila berdecak kesal, “Ck, Om ini mendingan cari istri gih biar om ada temannya, jangan ngintilin Cila terus.”
“Cila yakin? Kan Cuma sama om aja Cila bisa minta coklat sepuasnya.”
“Hah palingan Om omdo doang kan?” Arsyila melengos.
“Loh beneran, ini mau gak?” Angga menunjukkan coklatnya seketika membuat mata Arsyila berbinar. Arsyila langsung mengambil secepat kilat coklat itu sebelum omnya ini berubah pikiran. Bara hanya geleng-geleng kepala saja melihat tingkah anak dan adik iparnya itu.
Setelah Arsyila memakan coklatnya, kini ia tertidur di belakang.
Setelah memakan waktu 3 jam dalam perjalanan kini mereka sampai di Pesantren Al-Kautsar. Pesantren ini berada di dekat perkampungan dan berada di bawah gunung kecil. Keadaan disana sangat sejuk, pemandangannya pun sangat bagus dan indah. Bagi siapapun akan merasa betah, tapi entah dengan Cila yang sudah terbiasa hidup di kota.
Pesantren ini mengingatkannya pada jaman ia mondok dulu. Ya, Bara pernah mondok disini saat ia Tsanawiyah sampai Aliyah. Setelah lulus ia kuliah di Jakarta dan meneruskan perusahaan yang dibangun orang tuanya.
“Akhirnya sampai juga. Saya sangat merindukan tempat ini.” Ucap Bara sambil menghirup udara segar.
Karena Arsyila masih tertidur jadi Bara dan Angga masuk ke wilayah pesantren untuk menyerahkan semua berkas-berkasnya. “Terimakasih Tuan, sudah percaya pada kami, semoga Arsyila bisa cepat beradaptasi di lingkungan pesantren ini dan bisa terus belajar dengan baik dan bisa mengamalkannya di kemudian hari.”
“Terimakasih atas doanya.”
“Silahkan, saya antar Tuan ke Ndalem.”
"Baik, terimakasih." Ucap Bara.
Bara dan Angga berjalan ke dalam, tidak begitu jauh. Kyai Abdul Hamid adalah pemilik pondok pesantren ini.
"Assalamu'alaikum." Ucap mereka secara bersamaan.
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab seorang laki-laki dari dalam
Ceklek
"Bara ya? Masya Allah, akhirnya kamu main kesini lagi nak, ada keperluan apa? Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Kyai Abdul Hamid. Kyai Abdul Hamid adalah gurunya saat ia mondok juga teman dari ayahnya Bara.
"Masya Allah, saya juga bisa bersilaturahmi lagi Kyai. Mohon maaf saya baru sempat kesini lagi."
"Gak masalah nak, saya tau kamu sibuk."
"Oh iya ini kenalin adik ipar saya namanya Angga. Dan Angga ini guru saya dulu juga teman almarhum papa saya."
Angga pun menyalami tangan Kyai Abdul Hamid. "Salam kenal Kyai, saya Angga."
"Iya nak, silahkan duduk dulu."
Baru saja Bara dan Angga duduk, ponsel Bara sudah berbunyi. Dilihat dari layar ponselnya ternyata putrinya yang memanggil pasti ia sudah bangun.
"Maaf Kyai, saya keluar dulu sebentar, ingin menjemput anak saya dulu. Dia tadi sedang tidur jadi saya tinggal sebentar kesini."
"Baiklah nak silahkan."
Bara cepat-cepat melangkahkan kakinya ke mobilnya. Ia takut putrinya akan merajuk. Dan benar saja saat ia membuka pintu mobil, putrinya sudah mengerucutkan bibirnya dan menangis.
"Maafin ayah, tadi ayah tinggal sebentar ke dalam, ayah gak tega bangunin kamu."
"Cila sebel sama ayah!"
"Iya maaf sayang. Ayo nak kita ke dalam temui Kyai dan Nyai disana."
Bara memegang tangan anaknya itu agar putrinya tidak lagi marah padanya. Namun segera Cila menepis tangan ayahnya.
"Jangan pegang tangan aku! Aku ngambek sama ayah!"
"Jangan dong nak, ini kan terakhir ayah ketemu kamu. Nanti ayah ketemu kamu lagi masih lama nak."
"Biarin, siapa suruh ayah suruh aku tinggal disini, wleeee."
Cila meledek ayahnya, Cila berlari mundur. Dan Brug!
Nah kan!
"Makanya Cila kamu jangan berlari seperti tadi. Ada yang sakit gak nak?"
"Gak! Aku kualat sama ayah nih. Huh hah huh." Cila mengelus pinggangnya yang terasa sakit tadi karena jatuhnya seperti duduk.
"Makanya lain kali Cila harus hati-hati, jangan ceroboh terus nak."
Akhirnya mereka pun sudah di luar ndalem dan langsung mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Jawab Kyai Abdul Hamid dan Ummi Inayah yang baru saja datang.
"Masuk nak."
"Terimakasih Umi."
"Masya Allah cantik banget kamu nak. Siapa namanya?" Pandangan Umi Inayah langsung tertuju kepada Arsyila yang menurutnya sangat cantik dan menggemaskan.
"Arsyila Nura Nayyara." Jawab Cila.
"Salim Cila." Angga menyenggol lengan Cila.
Arsyila pun menyalami Umi Inayah dan saat ingin menyalim Kyai Abdul Hamid, Kyai langsung menakupkan kedua tangannya di dada.
"Ayah, kok aku mau salim malah di gituin?"
"Astaghfirullah nak. Jangan bicara seperti itu."
Kyai Abdul Hamid mengerti mengapa Bara ingin putrinya itu belajar agama disini.
"Gapapa nak Bara, saya maklum."
Di sekolah Arsyila memang belajar agamanya namun ia tidak mengetahui jika perempuan dan laki-laki yang bukan mahram tidak boleh bersentuhan walaupun itu hanya sekedar salim. Di kota walaupun yang sudah berhijab tetap saja ada yang saling bersentuhan. Dan Arsyila menganggap itu hal yang biasa saja.
"Saya titip Arsyila disini ya Kyai."
"Baik Nak, kami semua akan menjaga dan mendidik Arsyila sebagaimana mestinya."
Lalu tatapan mereka beralih ke seorang wanita yang berpakaian gamis longgar dan jilbab panjang yang sedang melewati ruang tamu tersebut. "Oh iya kenalin ini nak Bara, putri kedua saya namanya Anindia Shafa."
"Nak, ini ada Bara dan putrinya yang bernama Arsyila. Arsyila juga akan belajar disini."
"Hai kak!" Sapa Arsyila.
"Ssstt, panggil Ning Anin."
"Kenapa harus gitu ayah?" Tanyanya dengan polos.
Bara bingung menjelaskan semuanya kepada putrinya ini. "Gapapa pak, senyamannya saja Arsyila panggil saya apa." Jawabnya dengan nada dan suara yang lembut.
"Dan ini ada adik ipar dari Bara namanya Angga."
Deg
Anin melirik sebentar ke arah laki-laki itu begitu juga dengan Angga yang dari tadi penasaran dengan wanita di depannya. Ia seperti mengenal wanita itu. Namun berbeda dengan Anin, ia tau siapa itu Angga, ia mengenalnya.
"Aku seperti pernah melihatnya dan kenapa aku jadi penasaran begini ya." Ucap Angga dalam hati.
"Kak Angga? Benarkah itu kak Angga?" Seru Anin dalam hati.
Bara merasa Angga dari tadi memperhatikan putri kedua dari Kyai Abdul Hamid. "Jaga pandangan kamu Angga." Bisik Bara di telinga Angga.
Angga sontak kaget lalu mengucap istighfar."
"Assalamu'alaikum." Ucap seorang laki-laki dari luar.
"Wa'alaikumussalam." Jawab semua orang yang berada di ruang tamu.
"Masya Allah banyak tamu ya Abah."
"Iya nak, kenalin ini Bara dan putrinya Arsyila serta Angga adalah adik ipar Bara. Bara adalah murid Abah waktu itu dan ayahnya dan ayah abah adalah teman sejak dulu. Putrinya akan menjadi santri disini."
"Kenalin nama saya, Alif Arsyad Ghazi."
"Iya gus."
Arsyila pun melirik Alif yang dari tadi hanya menunduk. Menurut Arsyila, Gus Alif sangatlah tampan, sebelas dua belas dengan kak Daffa. Melihat putrinya yang senyum sambil menatap Gus Alif langsung menyenggol lengan putrinya itu. "Nak, tidak boleh seperti itu. Kamu harus menjaga pandangan kamu!"
Sedangkan Arsyila hanya memutar bola matanya malas.
"Umi, anaknya ganteng banget!" Seru Arsyila. Umi Inayah hanya tersenyum saja mendengar pujian Arsyila kepada anaknya. Sedangkan Gus Alif hanya menunduk dan senyum kikuk.
Bara dan Angga yang mendengar pujian yang dilontarkan Arsyila itu menunduk malu dengan keberanian anaknya.
"Kamu ini gemesin banget sih nak, cantik banget kaya ada turunan Arab Arab gitu. Tapi Arsyila sayang, Umi hanya mengingatkan bahwa kamu disini harus menjaga pandangan kamu dari yang bukan mahram kamu, nanti takutnya zina mata nak. Arsyila paham kan sayang?"
"Hem paham Umi!"
"Alhamdulillah, nanti Arsyila akan diantar ke asrama oleh Ning Anin ya."
"Kenapa gak di tinggal disini saja Umi? aku pikir tadi aku akan tinggal disini."
"Tidak nak. Arsyila tinggal bersama teman-teman yang lain di asrama."
"Baiklah Umi."
Sore harinya, setelah solat Ashar. Arsyila diantar oleh Ning Anin ke kamar asramanya. Namun drama kembali dimulai ketika Bara mengambil ponsel dan kartu ATM milik putrinya itu.
"Ini cukup ya untuk 1 bulan ke depan." Bara memberikan uang seratus ribu sebanyak 5 lembar.
"Lalu ponsel aku gimana?"
"Cila, mana boleh di pesantren menggunakan ponsel." Sahut Om Angga.
"Ih Cila gak mau Om! Cila aja punya ponsel belum ada 2 tahun masa udah diambil lagi sih. Ayah gak ikhlas ya beliin Cila ponsel!" Arsyila merajuk, air matanya sudah ingin jatuh.
Ia berlari meninggalkan ayah, Om dan juga Ning Anin. Arsyila tidak akan betah disini, ia gak bisa jika tidak ada ponsel dan coklat. Apalagi Bara hanya memberikan uang 500 ribu untuk sebulan saja. Arsyila sudah menangis, ia tidak peduli dengan sekitarnya yang banyak santri di dekatnya.
Bara dan Angga menyusul Arsyila di bawah pohon rindang. "Cila sayang, jangan kaya gitu nak. Ayo ke asrama, Ning Anin sudah menunggu."
"Tapi ayah, Cila gak mau disini, Cila mau ikut ayah lagi." Rengek Cila dengan air mata yang sudah menggenang di pipinya. Bara memeluk putrinya begitu erat, ia juga tidak tega tapi itu harus melakukan semua itu demi kebaikan putrinya.
"Maafkan ayah nak." Batin Bara.
***
Setelah solat Isya, Arsyila di antar ke kamar asramanya oleh Ning Anin.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Jawab para santri yang berada di dalam.
Pintu kamar pun terbuka menampilkan 4 santri sambil tersenyum. "Ada apa Ning?"
"Ah ini ada teman baru kalian yang akan tidur disini. Saya harap kalian bisa berteman dengan baik ya."
"Baik Ning, insya Allah."
"Arsyila, ayo masuk. Aku tinggal dulu ya. Kalian harus berteman baik."
Arsyila mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Ia pun masuk sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang kamarnya. Kamarnya begitu sempit jika ditinggali oleh 5 orang di dalamnya. Ada 3 kasur di dalamnya. 3 kasur untuk seorang diri dan 1 kasur tingkat untuk 2 orang.
"Hai, nama kamu siapa? Aku Hafiza Zahra, panggil aja Hafiza."
"Aku Dania Salsabilla. Panggil saja Dania."
"Aku Arfa."
"Dan aku yang paling imut Nur Iffah. Panggil aja Iffah."
"Aku Arsyila Nura Nayyara. Panggil aja Arsy."
Mereka semua pun mengangguk.
"Kami harap, semoga kamu betah ya disini dan kita bisa menjadi teman yang baik. Kamu tidur sama aku aja, kamu mau di atas atau di bawah?" Hafiza menawarkan kasur tingkatnya.
"Aku di atas saja boleh?"
"Boleh. Sini aku bantu rapikan baju-baju kamu."
"Terimakasih Hafiza."
Semua baju-baju Arsyila telah selesai di tata rapi di lemari oleh Hafiza. Menurut Arsyila, Hafiza yang paling mengayomi yang lainnya dan terlihat dewasa.
"Kalian sudah berapa lama tinggal di pesantren?"
"Aku sudah 6 tahun disini, kalau Dania baru 2 tahun. Dan Iffah juga Arfa baru 1 tahun." Jawab Hafiza menjelaskan.
"Kamu lama sekali disini Hafiza, betah banget."
"Aku sudah dibiasakan dari kecil sama ibu aku untuk masuk pesantren padahal awalnya aku gak mau tapi aku sekarang terbiasa malahan aku nyaman banget disini."
"Kalau kamu Dania, Iffah dan Arfa?"
"Kalau aku karena mau sendiri Arsyi, aku gak betah di rumah karena papa dan mama sibuk kerja, abang aku tinggal terpisah. Nah kalau Arfa dia yang paling nakal hihi katanya sih karena ketauan pacaran sama papanya, keluyuran terus kalau malam. Benar kan Arfa?"
"Ya begitulah. Menurut mereka aku anak yang nakal dan susah diatur."
"Kalau kamu Iffah?"
"Hem aku... Karena orang tua aku gak punya biaya, aku kesini aja gratis karena aku termasuk anak yatim hehe."
"Kalau kamu Arsyi?"
"Aku disuruh almarhum bundaku. Aku juga gak mau pesantren tapi ayah aku maksa huh."
"Gapapa Arsyi, nanti lama-lama kamu terbiasa kok, aku akan selalu disini kalau kamu butuh aku." Hafiza merangkul Arsyi.
"Terimakasih Hafiza, kamu baik sekali."
Arfa menelisik baju-baju yang tadi dirapikan Hafiza dengan yang sekarang Arsyila kenakan. "Kamu pasti anak orang kaya ya? Baju kamu terlihat Branded dan mahal."
"Hush Arfa! Jangan nanya seperti itu, gak sopan tau!" Tegur Hafiza.
"Tau nih Arfa!" Sahut Dania.
"Gapapa kok, aku juga ga keberatan ditanya seperti itu. Ini semua ayah aku yang belikan. Aku hanya terima saja."
"Kamu cantik banget sih Arsyi! bulu mata kamu lentik, ada lesung pipinya, mata kamu hazel terus kulitmu putih lagi. Aku yang perempuan aja suka lihat kamu, apalagi kalau laki-laki." Sahut Iffah yang mengagumi kecantikan Arsyila.
Arsyila tersipu malu dipuji seperti itu. "Nanti kamu pasti jadi incaran Ustadz disini!" Celetuk Hafiza.
"Eh asal jangan Ustadz Athar ya! Dia milik aku huh." Arfa memperingati teman lainnya.
"Ih kamu suka sama Ustadz Athar? Saingan kamu itu Ning Fara loh!"
"Iya betul itu Dania, Ning Fara itu kayanya suka banget sama Ustadz Athar." Timpal Iffah.
"Memangnya disini banyak Ustadz yang ganteng?"
"Banyak Arsyi, aku sebutin yang masih muda dan tampan tentunya masih jomblo, ada Gus Alif, ada Ustadz Athar, Ustadz Hanan dan Ustadz Lutfi. Rata-rata kami semua mengidolakan mereka tapi cuma Ustadz Athar doang yang dingin, galak, cuek. Ustadz Athar itu yang paling tampan dari semua Ustadz disini. Tapi aku cuma mengagumi saja. Aku takut berharap nanti sakit kalau tidak menjadi kenyataan." Ucap Iffah dengan panjang lebarnya.
"Kalau kamu suka sama siapa Hafiza?"
"Aku? Aku hanya fokus belajar saja Arsyi, aku gak mau mikirin sesuatu hal yang bukan mahram aku. Aku takut zina hati."
"Kalau aku mengagumi semuanya hahaha tapi lebih condong ke Ustadz Lutfi sih. Aku suka aja lihat cowo berkulit sawo matang hehe tapi sayang dia kurang tinggi tapi kalau sama aku ya tinggian Ustadz Hanan hehe. Ustadz Lutfi itu ibarat Salman Khan heheh." Dania membayangkan Ustadz Lutfi yang begitu tampan di matanya.
"Tapi Ustadz Lutfi sepertinya menyukai Ning Fara, Dania!" Sahut Arfa.
"Iya sih aku kalah jauh huh."
"Ning Fara siapa?" Tanya Arsyila.
"Ning Fara itu sepupunya Ning Andin dan Gus Alif, tapi sekarang Ning Fara masih menempuh pendidikannya di Universitas di Jakarta."
"Oh."
"Sudah-sudah. Lebih baik kita bersiap untuk tidur biar besok subuh kita gak telat, kalau telat kita bisa kena takzir sama Ustadzah Dewi."
"Memangnya seperti itu?"
"Iya Arsyi! Disini para santri paling menghindari hukuman dari Ustadzah Dewi."
"Baiklah, ayo kita tidur."
Kelima kawan tersebut sangat bersemangat, Arsyila bersyukur bisa mendapat teman sekamar yang baik dan juga mengasyikkan. Arsyi lebih nyaman dengan Hafiza.
Baru juga merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan pintu terdengar.
"Assalamu'alaikum, kalian belum pada tidur?" Tanya Ustadzah tersebut.
"wa'alaikumussalam, ini kami mau tidur ustadzah." Jawab Hafiza.
"Jangan sampai besok pada kesiangan ya!"
"Baik Ustadzah."
"kita jangan berisik."
"Memangnya Ustadzah itu tidak tidur?" Tanya Arsyila.
"Tidurnya nanti tengah malam, jam segini masih keliling untuk memastikan tidak ada santriwati yang keluyuran."
"Oh begitu."
Tak lama suara dengkuran halus terdengar di telinga Arsyila, teman-temannya sudah pada tidur sedangkan dirinya masih terjaga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!