Jam di dinding laboratorium memproyeksikan angka digital biru pucat: 03:14.
"Bintang terbesar," sebuah suara wanita yang tenang dan elegan memenuhi ruangan, "membakar dirinya sendiri paling cepat. Hidrogen mereka terkuras dalam rentang waktu kosmik yang sekejap mata. Semakin terang cahayanya, semakin cepat ia mati."
Suara itu berhenti sejenak, jeda 1.2 detik yang terkalibrasi, seolah menunggu tanggapan yang tidak kunjung datang.
"Mereka mati dalam kesendirian, di kegelapan yang tak terbayangkan, setelah memberikan semua kehangatan mereka. Apa kau mendengarku, Ethan?"
Ethan Pradana tidak mendengarkan.
Atau lebih tepatnya, dia mendengarkan, tetapi tidak menyerap. Suara A.U.R.O.R.A. telah menjadi soundtrack konstan dalam hidupnya selama enam tahun terakhir, sama alaminya dengan detak jantungnya sendiri—sesuatu yang baru ia perhatikan ketika suaranya berhenti.
Dia berdiri bersandar di meja kerjanya, sebuah pulau anomali di lautan baja steril dan kaca kuarsa di Laboratorium Fisika Terapan Neo-Babel. Sudut ruangannya adalah kekacauan yang personal. Papan data tulisan tangan yang kuno berdampingan dengan tablet holografik, kabel-kabel meliuk seperti sulur, dan di tangannya, sebuah cangkir keramik berpola paus kartun—bukan smart-mug standar lab—berisi cokelat panas yang telah mendingin.
Di hadapannya, di tengah ruangan, tergantung sebuah mahakarya yang mustahil.
Itu adalah prototipe dari Proyek Dyson Sphere, dalam bentuk hologram berdiameter tiga meter. Ia berputar pelan, sebuah bola cahaya kompleks yang terbuat dari jutaan segi heksagonal yang saling bertautan, memancarkan cahaya keemasan lembut yang menari-nari di wajah Ethan yang berusia dua puluh tahun.
Itu adalah ciptaannya. Dan itu salah.
"Resonansinya tidak stabil," bisik Ethan. Matanya, yang seharusnya lelah setelah lima puluh delapan jam terjaga, justru bersinar tajam, melacak satu segi heksagonal yang berkedip merah dalam simulasi. "Lihat itu, Aurora. Di ekuator. Setiap tiga puluh nanodetik, ada lonjakan energi parasit. Sesuatu yang fundamental salah."
"Aku melihatnya, Ethan," jawab Aurora. Suaranya tidak datang dari pengeras suara, melainkan seolah beresonansi dari udara itu sendiri, dipancarkan oleh puluhan emitor akustik tersembunyi. "Itu anomali yang sama dengan simulasi 7.1, 7.2, dan 7.3."
"7.4," Ethan mengoreksi, mengangkat cangkir ke bibirnya. Cokelatnya terasa hambar. "Dan itu bukan anomali yang sama. Amplitudonya menyimpang 0.004%. Ada pola yang belum kita lihat."
"Pola yang tidak akan kau temukan jika korteks prefrontalmu beroperasi dengan seperempat efisiensi normal," balas Aurora. "Laporan biometrikmu mengkhawatirkan. Kadar kortisolmu di atas ambang batas kritis. Denyut jantungmu tidak teratur. Kau bukan bintang, Ethan. Kau manusia. Dan manusia butuh tidur."
Ethan akhirnya berpaling dari hologram itu, menatap sebuah lensa biru kecil yang tersembunyi di antara panel dinding. "Dan kau," katanya, "adalah Asisten Riset Operasional & Penalaran Terpadu yang Adaptif. Kau seharusnya beradaptasi dengan metodologiku."
"Metodologimu saat ini adalah kelelahan ekstrem yang disengaja. Itu tidak logis."
"Logika tidak akan menyelesaikan ini." Ethan berjalan mendekati hologram itu, begitu dekat hingga cahaya keemasannya menembus kaus tipis yang dikenakannya. Dia mengangkat tangan, dan saat jemarinya menembus foton, sebuah jendela data terbuka, menampilkan baris-baris persamaan yang tak ada habisnya. "Logika Julian Frost mengatakan ini tidak mungkin. Logika Profesor Thorne mengatakan ini akan menghabiskan anggaran seratus tahun. Logika mereka terbatas."
Dia menyapukan jarinya, dan hologram itu berputar lebih cepat. "Ini bukan masalah teknik, Aurora. Ini masalah filosofis. Kau tidak bisa menampung energi murni sebuah bintang tanpa memahaminya. Dan bintang... bintang itu liar. Kekacauan yang indah."
"Kekacauan adalah variabel yang tidak terhitung," kata Aurora. "Tugasku adalah menghitungnya."
"Dan tugasku adalah merasakannya." Ethan menutup jendela data itu dengan frustrasi. Dia kembali ke mejanya dan menjatuhkan diri ke kursi. Keheningan di laboratorium berteknologi tinggi ini tiba-tiba terasa berat. Simulasi Dyson Sphere terus berputar, keindahan yang gagal, sebuah janji yang belum bisa ia penuhi.
Dia memijat pelipisnya, akhirnya merasakan beban 58 jam itu menekan bahunya. Kesunyian di laboratorium berteknologi tinggi ini memiliki bobot yang berbeda. Itu bukan sekadar ketiadaan suara; itu adalah ketiadaan kehidupan. Dia adalah satu-satunya napas di gedung pencakar langit yang menampung ribuan pikiran di siang hari. Inilah ironi terbesarnya: dikelilingi oleh teknologi yang dirancang untuk menghubungkan, dia adalah orang paling kesepian di planet ini.
Dia menatap cangkir cokelatnya. Tangan A.I.-nya yang tak terlihat telah mendinginkannya dengan sempurna hingga 60 derajat Celcius, suhu optimal untuk konsumsi langsung tanpa risiko luka bakar. Tapi Ethan selalu menyukai cokelat panas yang membakar lidah. Sesuatu yang membuatnya terkejut, sesuatu yang mengingatkannya bahwa dia nyata.
Rasa manis yang dingin itu tiba-tiba memicu sesuatu. Sebuah ingatan yang tajam dan menusuk, sejelas panel data di depannya.
Usianya delapan tahun. Di luar jendela Panti Asuhan St. Jude, hujan turun dengan deras, membentur atap seng berkarat dengan suara gemuruh. Di dalam, dingin menusuk tulang.
Listrik padam lagi—penjatahan terjadwal untuk Zona D, "Zona Kumuh".
Di ranjang seberangnya, seorang anak perempuan bernama Maya terbatuk lagi, suara batuk kering yang terdengar menyakitkan di kegelapan. Nebulizer-nya yang bertenaga baterai berbunyi lemah, hampir habis.
Ethan menarik selimut tipisnya lebih erat. Di sebelahnya, di ranjang susun bawah, Nate—yang saat itu berusia sepuluh tahun dan sudah menganggap dirinya pelindung Ethan—bergerak.
"Kau kedinginan, Eth?" bisik Nate.
Ethan tidak menjawab. Dia hanya mendengarkan suara batuk Maya.
Nate mendesah. Dia merogoh ke bawah tempat tidurnya dan mengeluarkan sesuatu yang disembunyikan. Satu bungkus cokelat instan, yang mungkin dia 'pinjam' dari dapur.
"Sial," bisik Nate. "Airnya juga dingin. Pemanasnya mati."
Dia tetap mencampurnya, menuangkan air keran yang dingin ke dalam dua cangkir kaleng. Dia memberikan satu pada Ethan. Rasanya mengerikan—manis yang menggumpal, berpasir, dan dingin sedingin es. Tapi itu adalah sesuatu. Itu adalah satu-satunya kehangatan yang mereka miliki malam itu.
Maya meninggal tiga hari kemudian. Bukan karena pemadaman listrik secara langsung, tetapi karena komplikasi yang diperburuk oleh perawatan yang tidak konsisten. Karena mesin yang seharusnya menyelamatkannya tidak dianggap 'prioritas' oleh jaringan listrik kota.
Karena seseorang di Zona-A memutuskan bahwa lampu taman mereka lebih penting daripada paru-paru seorang anak di Zona-D.
Ethan mengerjapkan mata. Laboratorium kembali fokus. Hologram Dyson Sphere masih berputar.
Dia mengepalkan tangannya.
"Energi bukan hak istimewa," bisiknya pada dirinya sendiri. "Itu adalah hak asasi."
Dia tidak sedang membangun proyek sains. Dia sedang membangun sebuah sumpah. Dia sedang berusaha memastikan tidak ada lagi anak yang kedinginan di kegelapan, mendengarkan mesin yang sekarat.
"Aurora," katanya, suaranya kini tegas. "Matikan simulasi 7.4."
Hologram itu lenyap, mengembalikan ruangan ke cahaya biru pucat dari monitor.
"Aku akan pulang," katanya, sambil berdiri. Kursinya berdecit pelan.
"Itu adalah keputusan yang logis," jawab Aurora. "Kapsul tidurmu di apartemen sudah disiapkan. Aku akan memesan pod transportasi."
"Tidak," kata Ethan. "Aku akan jalan kaki. Aku butuh udara."
"Udara di luar memiliki tingkat polusi partikulat 2.5 di atas batas aman. Dan ini adalah jam 05:30. Tidak efisien. Berbahaya."
"Aku akan mengambil risiko," kata Ethan, meraih jaket tipis dari sandaran kursinya. "Aku butuh sesuatu yang nyata."
Udara pagi pukul 05:30 di Neo-Babel terasa dingin dan berbau ozon yang disanitasi. Ethan menarik napas dalam-dalam, merasakan partikulat itu menggigit paru-parunya. Rasanya nyata.
Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang diterangi lampu LED, melewati taman-taman steril yang rumputnya dipotong oleh drone seukuran serangga. Kota itu mulai menggeliat. Kendaraan otonom meluncur tanpa suara di jalanan di bawah.
Iklan holografik raksasa di sisi gedung pencakar langit mulai beralih dari mode tidur ke mode pagi—menjual kopi, paket data berkecepatan tinggi, dan "Peningkatan Status EQ" yang menjanjikan kehidupan lebih baik.
Dia tiba di Terminal Transportasi Utama, sebuah kubah kaca besar yang berfungsi sebagai penghubung antara Zona-S (Sains), tempat dia bekerja, dan Zona-A (Akademisi), tempat apartemennya yang disubsidi berada.
Dia melihat tiga pintu masuk utama yang terpisah:
PRIORITAS ALFA (TIER-S & A+) - Sebuah gapura marmer yang lengang.
UMUM (TIER-A & B) - Jalur baja yang sudah mulai ramai.
LAYANAN (TIER-C & D) - Sebuah pintu beton di samping, berbau pembersih industri.
Secara naluriah, Ethan berjalan menuju jalur UMUM. Dia benci jalur Alfa.
Bahkan sebelum dia bisa mencapai antrean, seorang petugas keamanan berseragam kaku melihatnya. Wajah Petugas Krenn langsung pucat.
"Peneliti Pradana! Tuan!" Krenn berlari kecil menghampirinya, jelas panik. "Jalur Anda di sini, Tuan. Lewat sini, silakan."
"Saya lebih suka di sini, Petugas," kata Ethan pelan, berusaha agar tidak menarik perhatian.
"Tuan, saya mohon," bisik Krenn, matanya melirik ke kamera di atas. "Saya bisa ditandai karena 'Menghambat Aset Tier-S'. Sistem akan memotong poin saya. Tolong, Tuan."
Ethan menghela napas. Dia benci ini. Dia benci menjadi "aset".
"Baik," katanya, dan membiarkan Krenn mengawalnya ke gerbang PRIORITAS ALFA yang sepi.
Saat dia mendekat, panel di depannya memindai retina dan tanda biologisnya. Sebuah layar biru tembus pandang muncul di udara.
NAMA: ETHAN PRADANA
SKOR: 280 (IQ) / 95 (EQ)
STATUS: AKADEMISI TIER-S. PENELITI KEPALA (PROYEK DYSON).
AKSES: PRIORITAS ALFA. SEMUA ZONA.
KESEHATAN: KELELAHAN EKSTREM. (Peringatan: Istirahat wajib 8 jam disarankan.)
"Selamat pagi, Peneliti Pradana," suara sistem yang ceria menyapanya. "Pod pribadi Anda sedang menunggu."
Saat gerbang kacanya mendesis terbuka, sebuah keributan kecil terjadi di seberang terminal, di pintu masuk LAYANAN. Seorang wanita muda berseragam sanitasi abu-abu menjatuhkan data-pad kerjanya. Benda itu meluncur di lantai, berhenti tepat di dekat garis pemisah antara zona mereka dan zona Alfa.
Wanita itu membeku. Dia menatap data-pad itu, lalu menatap Petugas Krenn, lalu menatap Ethan. Dia terjebak. Dia tidak diizinkan melintasi garis itu tanpa izin.
Ethan bertindak tanpa berpikir.
Dia melangkah keluar dari gerbang Alfa-nya, berjalan melintasi lantai marmer, membungkuk, dan mengambil data-pad itu. Dia berjalan ke arah wanita itu, yang kini tampak pucat pasi.
"Anda menjatuhkan ini," kata Ethan, menyodorkan benda itu dengan senyum kecil.
Wanita itu, mungkin tidak lebih tua dari Ethan, menatapnya. Wajahnya tidak menunjukkan rasa terima kasih. Wajahnya menunjukkan teror murni.
Dia tidak mengambil data-pad itu.
Sebaliknya, dia menjatuhkan diri dalam-dalam, membungkuk begitu rendah hingga kepalanya hampir menyentuh lututnya. "Maaf, Peneliti-Tier-S!" suaranya bergetar. "Maafkan kecerobohan saya! Saya tidak bermaksud mengganggu Anda! Maaf!"
Ethan membeku. Senyumnya lenyap. "Tidak, saya hanya..."
"Tuan Pradana!" Petugas Krenn sudah ada di sampingnya, memegang lengan Ethan dengan lembut namun tegas. "Tolong jangan berinteraksi. Ini tidak diizinkan. Ini demi keamanan Anda. Dan regulasi antar-Tier."
Krenn mengangguk tajam pada penjaga di jalur Layanan, yang langsung membentak wanita itu. "Ambil! Cepat! Dan kembali bekerja!"
Wanita itu, masih gemetar, menyambar data-pad dari tangan Ethan—tangannya bergerak begitu cepat seolah-olah tangan Ethan adalah api—dan bergegas kembali ke antreannya, tidak pernah mengangkat matanya lagi.
Petugas Krenn mengawal Ethan kembali ke gerbang Alfa. "Maaf atas gangguan itu, Tuan. Perilaku Tier-D memang tidak bisa ditebak."
Ethan tidak menjawab.
Dia melangkah masuk ke pod transportasinya yang mewah dan sepi. Pintu tertutup dengan desisan kedap suara. Pod itu meluncur tanpa suara ke dalam terowongan vakum, mempercepatnya menuju rumah.
Dia menatap pantulannya di kaca yang gelap.
Dia telah mencoba tersenyum. Dia telah mencoba membantu. Dan wanita itu menatapnya seolah-olah dia adalah monster.
Dia teringat kata-kata Aurora. Mereka mati dalam kesendirian.
Dia adalah bintang paling terang dalam sistem ini, dipuja dari kejauhan, tetapi tidak ada yang bisa mendekatinya tanpa terbakar. Dia adalah seorang jenius, seorang pahlawan, seorang Peneliti Tier-S. Tapi dia adalah Ethan Pradana. Dan dia adalah orang paling kesepian di dunia.
Pod itu melambat, memberi sinyal kedatangan di Zona-A.
Resonansi...
Masalah di lab terasa begitu jauh sekarang, namun sekaligus terhubung. Masalahnya bukan hanya pada sangkar bintang itu. Masalahnya ada pada sangkar di sekelilingnya.
Dia bersandar di kaca yang dingin. Lelah. Bukan hanya lelah 58 jam. Tapi lelah seumur hidupnya.
Pod transportasi itu mendesis pelan saat tiba di lobi Zona-A. Ethan melangkah keluar, tetapi alih-alih berbelok ke kanan menuju menara apartemen akademisi steril tempat kapsul tidurnya menunggu, dia berbelok ke kiri.
Dia berjalan menyusuri koridor yang lebih tua, di mana plakat-plakat baja di dinding telah digantikan oleh plester yang retak.
Bau ozon yang disanitasi memudar, digantikan oleh sesuatu yang lebih tua, lebih manusiawi; debu, kabel yang sedikit panas, dan... ya, samar-samar tercium aroma bawang putih dan jahe dari salah satu unit di lantai atas.
Dia berada di perbatasan, di gedung apartemen yang lebih tua yang menampung campuran Tier-A tingkat rendah dan beberapa Tier-B yang beruntung. Itu adalah tempat yang secara teknis tidak seharusnya dia tinggali, tetapi sistem tidak pernah mempertanyakan kunjungannya.
Dia berhenti di depan pintu 14B dan menekan telapak tangannya ke panel akses yang sudah usang. Panel itu berkedip hijau—cetak telapak tangannya telah terdaftar sebagai "keluarga" selama hampir satu dekade.
Pintu itu mendesis terbuka.
"Kau curang, Reyes! CURANG!"
Suara itu menghantamnya seperti dinding.
Sebuah hologram pertandingan Gravity-Ball raksasa memenuhi ruang tamu, menampilkan dua atlet berotot dalam gravitasi nol yang saling melempar bola logam. Di depan holo-proyektor, seorang pria muda berusia dua puluh dua tahun, hanya mengenakan celana kargo dan kaus kotor, melompat-lompat di sofa.
"Tidak mungkin dia bisa membelokkan tembakan itu tanpa pendorong ilegal! Sialan!"
Ini adalah Nathaniel "Nate" Reyes.
Apartemen itu adalah antitesis dari laboratorium Ethan. Itu adalah kekacauan yang hangat. Lensa-lensa kamera bertebaran di meja kopi seperti kerang. Pakaian kotor teronggok di kursi.
Dan di setiap permukaan dinding yang tersedia, tergantung foto-foto cetak fisik—bukan layar data, tetapi kertas foto asli yang mengilap. Foto-foto pemogokan pekerja di Zona-C, potret seorang musisi jalanan tua yang tertawa, foto lanskap kota yang diambil dari sudut yang mustahil.
Itu adalah rumah.
"Woi!" Nate akhirnya melihat Ethan berdiri di ambang pintu. Dia membekukan hologram pertandingan itu. "Lihat siapa yang datang! Si Manusia Hantu. Kau tampak seperti mayat hidup yang baru saja ditabrak pod transportasi, Eth."
Ethan hanya mengangguk, terlalu lelah untuk menyusun balasan yang cerdas. Dia melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke tumpukan pakaian kotor, di mana jaket itu langsung berbaur.
"Dia tidak tampak seperti mayat hidup," sebuah suara yang lebih lembut terdengar dari sudut ruangan. "Dia tampak kelelahan."
Aluna "Luna" Carpenter mengangkat kepalanya dari tumpukan buku dan data-pad anatomi. Dia duduk di lantai, bersandar di rak buku yang penuh sesak, rambut cokelat gelapnya diikat seadanya.
Dia mengenakan seragam medis mahasiswa biru muda, dan bahkan dari seberang ruangan, Ethan bisa melihat lingkaran hitam di bawah matanya yang tajam dan penuh empati.
"Ethan, kau belum tidur," katanya. Itu bukan pertanyaan; itu adalah diagnosis.
Dia berdiri dan berjalan menghampirinya.
Tanpa ragu, dia mengangkat tangan dan menempelkan punggung tangannya yang dingin ke dahi Ethan. "Kau demam."
Ethan tidak bergeming. Jika ada orang lain—Petugas Krenn, Profesor Thorne, bahkan Senator—yang menyentuhnya seperti itu, dia akan mundur secara naluriah.
Tapi ini Luna. Sentuhannya adalah salah satu dari sedikit data sensorik yang tidak pernah coba dianalisis oleh otaknya. Dia hanya menerimanya.
"Aku baik-baik saja," bisiknya. "Hanya... ada masalah di lab."
"Jangan dimanja, Lun," kata Nate dari sofa, sambil membuka kotak kardus besar di atas meja dengan hati-hati, seolah itu adalah artefak berharga.
"Dia itu mesin. Dan mesin butuh bahan bakar. Kabar baik, Eth, kau datang di waktu yang tepat."
Aroma yang luar biasa—campuran gurih dari kacang panggang, cokelat, dan keju—memenuhi ruangan.
Mata Luna terbelalak. "Nate, kau... kau serius? Kau benar-benar pergi sejauh itu ke 'Warung Sinar Jaya' di Zona-C?"
"Tentu saja," kata Nate bangga, mengangkat sepotong martabak cokelat kacang—favorit Ethan.
"Aku memenangkan taruhan 'Iron Bulls'. Bonus harus dirayakan dengan benar." Dia mengedip pada Ethan. "Hanya yang terbaik untuk menghormati Ibu Pradana, kan?"
Mereka bertiga duduk di lantai, di sekitar meja kopi yang penuh sesak, seperti yang telah mereka lakukan ribuan kali sejak panti asuhan. Ini adalah ritual mereka. Ethan mengambil sepotong martabak cokelat kacang—favoritnya.
Nate mematikan hologram olahraga itu dan beralih ke saluran berita. Seorang penyiar yang tersenyum sempurna sedang melaporkan tentang anak jenius baru. "...skor IQ 160 yang mengesankan di usia sepuluh tahun! Seorang bintang baru untuk Akademi Emas..."
Ethan mengernyit dan mematikan holo-proyektor itu.
"Hei!" protes Nate.
"Aku tidak mau melihat itu," kata Ethan pelan.
Nate menatapnya sejenak, kunyahannya melambat. Dia mengerti. "Ah," katanya. "Masalah 'Tier-S' lagi? Ada yang membungkuk terlalu rendah padamu hari ini?"
Ethan hanya mengangkat bahu, tetapi kepahitan dari pertemuan di terminal masih terasa di lidahnya, lebih kuat dari rasa cokelat.
"Kau tidak bisa menyalahkan mereka, Eth," kata Nate, nadanya lebih serius sekarang. "Bagi mereka, kau itu seperti dewa.
Sesuatu yang tidak bisa disentuh. Sesuatu yang menentukan apakah mereka bisa memberi makan keluarga mereka atau tidak."
"Aku bukan dewa," gerutu Ethan. "Aku hanya... aku hanya mencoba memperbaiki sesuatu."
"Kalau begitu berhentilah bertingkah seperti kau sendirian," kata Nate. "Aku serius, Eth. Kau bersembunyi di lab-mu itu. Kau tidak melihat apa yang terjadi di luar.
Profesor Thorne-mu itu, dan para politisi yang mendanai... Senator Rostova... mereka bukan temanmu.
Mereka tersenyum padamu di depan kamera, tapi aku mendengar omongan di ruang redaksi. Mereka hanya ingin mainan barumu. Mereka tidak peduli dengan 'hak asasi manusia'."
"Nate, jangan," potong Luna. "Dia lelah. Jangan mulai dengan politik."
"Ini bukan politik, Lun! Ini adalah keselamatannya!" Nate menunjuk Ethan dengan sisa martabaknya.
"Orang-orang sepertimu, Eth... orang-orang idealis... dunia ini memakanmu hidup-hidup. Mereka akan membiarkanmu membangun mainanmu, dan begitu selesai, mereka akan mengambilnya dan membuangmu."
Keheningan memenuhi ruangan, hanya menyisakan suara kunyahan Ethan. Dia tahu Nate benar. Dia merasakannya dalam senyuman dingin Senator Rostova di acara penghargaan.
Dia merasakannya dalam kepanikan Petugas Krenn.
"Lalu apa yang harus kulakukan, Nate?" tanya Ethan pelan. "Berhenti?"
Nate menghela napas, amarahnya mengempis.
"Tidak. Tentu saja tidak. Kau tidak bisa berhenti. Itu seperti meminta matahari berhenti bersinar. Aku hanya bilang... jangan naif. Percayalah padaku.
Percaya pada kami. Jangan percaya pada mereka."
Ethan mengangguk.
Luna mengulurkan tangan dan meletakkannya di atas tangan Ethan yang memegang martabak. "Dia hanya khawatir. Kami khawatir. Kau memaksakan diri lagi. Seperti waktu kau mencoba memperbaiki pemanas air di panti. Kau tidak tidur tiga hari dan akhirnya pingsan di atap."
Ethan tersenyum tipis mendengar ingatan itu. "Tapi pemanasnya berfungsi setelah itu, kan?"
"Selama dua minggu," Luna tertawa.
"Lalu meledak."
Mereka tertawa bersama, dan ketegangan di ruangan itu pecah. Untuk sesaat, dia bukan Peneliti Tier-S. Dia bukan si jenius. Dia hanya Ethan, dan dia bersama keluarganya.
Dia sedang memakan potongan terakhirnya ketika Luna tiba-tiba berkata, "Ya Tuhan, Eth. Kau seperti anak-anak."
"Hah?"
Luna tertawa lagi, tawa pelan yang selalu membuat sesuatu di dada Ethan terasa hangat. "Kau punya cokelat. Di seluruh wajahmu."
Sebelum Ethan sempat bereaksi, Luna mengambil serbet kertas, mencondongkan tubuhnya ke depan.
Dunia Ethan tiba-tiba menyempit.
Nate dan apartemen yang berantakan itu lenyap. Yang ada hanyalah wajah Luna. Aroma sabun dan buku-buku tua darinya.
Matanya yang cokelat, yang tidak menatapnya dengan rasa takut atau kagum, tetapi hanya dengan... kasih sayang yang tulus.
Tangannya yang lembut namun cekatan—tangan seorang calon dokter—dengan lembut membersihkan noda cokelat di sudut mulutnya.
Jantung Ethan, yang biasanya berdetak dengan ritme yang bisa diprediksi, tiba-tiba melakukan anomali biometrik yang Aurora bicarakan.
Dia membeku. Dia bisa menghitung kecepatan orbit sebuah komet, tetapi dia tidak bisa memproses data yang datang dari sentuhan sederhana ini.
Dia hanya... menatapnya.
KLIK.
Suara itu menghancurkan momen itu seperti batu yang dilempar ke kolam yang tenang.
Ethan dan Luna tersentak mundur.
Nate Reyes menyeringai dari balik kamera digital berteknologi tinggi yang kini dipegangnya. Itu bukan model terbaru, tapi model profesional yang kokoh.
"Sempurna," kata Nate, melihat layar pratinjau. "Momen 'Si Jenius dan Si Cantik'. Ini akan laku. Atau setidaknya, bagus untuk album kita."
Ethan memelototinya, wajahnya terasa panas. "Hapus itu, Nate."
"Tidak akan," kata Nate riang.
"Ini adalah bukti bahwa kau sebenarnya manusia."
Luna, wajahnya sedikit memerah, mulai sibuk mengumpulkan kotak martabak yang kosong. "Sudah larut. Sebaiknya kau tidur, Ethan."
"Ya. Tidur," kata Ethan. Tapi dia tidak bergerak.
Otaknya, yang baru saja ditenangkan oleh makanan dan rasa aman, kini berputar kembali. Sentuhan Luna. Kehangatan. Kelembutan. Itu memicu sesuatu yang lain. Ingatan dari Part 1.
Hujan. Kaca. Cahaya yang pecah.
Pembiasan.
"Lensa," bisik Ethan.
Nate mendongak dari kameranya. "Hah? Kau mau lensa? Aku punya Sigma 50 milimeter yang baru..."
"Tidak." Ethan tiba-tiba berdiri, matanya menyala dengan api yang sama yang Luna lihat beberapa jam lalu di lab.
Dia mencari-cari di meja kopi yang berantakan, menyingkirkan lensa dan data-pad, mencari sesuatu untuk ditulis.
Dia menemukan serbet kertas yang baru saja digunakan Luna.
"Eth, apa yang kau..."
Ethan tidak menjawab. Dia meraih pulpen dari saku Nate dan, di atas serbet bernoda cokelat itu, dia mulai menggambar.
Itu bukan persamaan. Itu adalah sebuah pola. Geometri yang rumit, seperti kepingan salju yang mustahil, atau seni Islam kuno.
Pola heksagonal yang berulang, tetapi melengkung dalam sudut-sudut fraktal yang presisi.
Itu adalah pola yang dia ingat dari "latihan terjemahan" kakeknya.
Sesuatu yang dia kira hanyalah ornamen di pinggir halaman manuskrip kuno.
"Itu... segalanya," bisik Ethan, menatap gambar di serbet itu. Kelelahan 58 jam lenyap, digantikan oleh gelombang adrenalin murni.
"Itu jawabannya. Aurora salah. Aku salah. Ini bukan sangkar. Ini lensa."
Dia menatap Nate dan Luna dengan tatapan liar dan gembira.
"Aku harus pergi."
Dia menyambar serbet itu dan berlari ke pintu.
"Apa?!" teriak Nate, melompat dari sofa. "Kau baru saja datang! Martabaknya bahkan belum dingin! ETHAN!"
Tapi Ethan sudah di luar pintu.
Pintu itu mendesis tertutup di belakangnya.
Nate menatap pintu yang tertutup itu dengan putus asa. "Manusia itu! Aku bersumpah..." Dia mengusap wajahnya, lalu menatap Luna.
Luna berdiri diam, menatap pintu tempat Ethan menghilang. Dia tidak marah. Dia hanya terlihat sangat sedih, dan sangat khawatir.
"Dia tidak akan berhenti sampai ini selesai, kan?" bisiknya.
Nate menghela napas panjang, amarahnya menguap, hanya menyisakan rasa lelah.
Dia berjalan ke kameranya dan melihat foto yang baru saja diambilnya. Ethan dan Luna. Terjebak dalam gelembung kecil keintiman yang sempurna. Sebuah momen yang sudah terasa seperti sejarah yang hilang.
"Tidak," kata Nate pelan. "Dia tidak akan pernah berhenti."
Pintu otomatis Laboratorium Fisika Terapan Neo-Babel mendesis terbuka bahkan sebelum Ethan berhenti berlari. Dia melesat masuk, mengabaikan tatapan bingung dari beberapa peneliti pagi yang baru saja meletakkan mantel mereka.
Dia adalah komet yang terbakar menembus atmosfer pagi yang tenang.
"Aurora!" teriaknya saat pintu lab pribadinya terbuka.
"Ethan," suara A.I. itu terdengar, nadanya nyaris seperti teguran seorang ibu. "Detak jantungmu 135 BPM. Ini tidak sehat. Sensor biometrikmu menunjukkan kau belum tidur. Kau seharusnya berada di kapsul..."
"Lupakan biometrik!" Ethan berlari ke konsol utamanya, napasnya terengah-engah. "Buka simulasi 7.4. Hapus matriks penahanan. Kosongkan."
"Menghapus... tapi Ethan, data intinya..."
"Aku punya data intinya!" Dia membentangkan serbet kertas yang lecek itu dan menamparnya ke pemindai resolusi tinggi di mejanya. "Pindai ini! Resolusi penuh!"
Ada jeda 2.1 detik. Keheningan yang sarat akan keraguan digital.
"Ethan," kata Aurora, suaranya terdengar ragu—sebuah emulasi yang telah dia programkan bertahun-tahun lalu untuk menangani permintaan yang tidak logis. "Ini... serbet. Dengan noda glukosa, kafein, dan jejak... kacang."
"Itu adalah *jawabannya*," kata Ethan, matanya menari-nari di atas layar saat pemindaian muncul. "Abaikan residu organiknya. Analisis geometrinya. Lakukan dekonstruksi fraktal. Itu bukan seni. Itu matematika."
Dia menunjuk ke pola di layar. "Kau salah. Aku salah. Kita semua salah. Kita mencoba membangun sangkar. Kakekku... dia tahu. Ini adalah lensa."
Hening sejenak.
"Memproses," kata Aurora. "Geometri fraktal non-linear. Ini... rumit. Data dari manuskrip yang kau berikan padaku tidak lengkap."
"Lengkapi!" Ethan menarik kursi dan duduk, tubuhnya bergetar karena adrenalin dan kelelahan. "Ekstrapolasi polanya. Gunakan logika kuantummu. Kau melihatnya sebagai permukaan dua dimensi, Aurora. Itu salah. Lihat lekukannya. Setiap segi adalah prisma mikro. Tiga dimensi. Bahkan mungkin empat."
Dan kemudian, pekerjaan itu dimulai.
Layar-layar di sekitar Ethan menyala. Di satu sisi, gambar serbet itu. Di sisi lain, cetak biru Dyson Sphere yang gagal. Di tengah, sebuah kanvas kosong di mana Aurora mulai membangun model matematika baru.
Ini adalah tarian mereka. Tarian yang hanya mereka berdua yang tahu langkahnya.
"Tidak, Aurora," kata Ethan, menunjuk ke sebuah baris kode. "Algoritma itu terlalu kaku. Kau mencoba memaksanya. Biarkan dia mengalir. Seperti... seperti air yang mencari celah."
"Air tidak 'mencari', Ethan. Air menuruti gravitasi," balas A.I. itu.
"Kalau begitu, ini adalah gravitasinya!" Ethan mengetik dengan cepat, mengganti seluruh blok persamaan dengan sesuatu yang lebih mirip formula teoritis dari musik.
"Itu puitis," kata Aurora, "tapi secara matematis tidak sehat."
"Buat dia sehat," geram Ethan.
Matahari terbit di luar jendela, membanjiri laboratorium dengan cahaya pagi yang tajam. Ethan tidak menyadarinya. Peneliti lain mulai berdatangan.
Mereka berjalan melewati pintu kaca lab Ethan, melirik ke dalam, melihat sang jenius Tier-S itu dalam mode "penciptaan"—rambutnya acak-acakan, matanya terpaku pada layar, bergumam pada A.I.-nya. Mereka tidak berani mengganggu. Mereka hanya berbisik-bisik di pendingin air.
Jam berganti jam. Cangkir cokelat panas baru muncul di mejanya, dibawa oleh drone layanan, lalu mendingin, tak tersentuh.
Waktu menunjukkan pukul 09:00 pagi. Hari kerja resmi telah dimulai.
"Model selesai," kata Aurora. "Arsitektur Lensa Fraktal, Sim 7.5. Siap dijalankan."
"Jalankan," bisik Ethan.
Dia menahan napas. Hologram di tengah ruangan berkedip. Model Dyson Sphere yang baru, berdasarkan serbet itu, muncul. Kali ini, ia tidak berwarna emas yang sakit-sakitan.
Ia bersinar dengan cahaya putih yang stabil, murni, dan membutakan.
"Penahanan plasma... stabil," kata Aurora. "Keluaran energi... 90%... 95%..."
Ethan tersenyum lebar. Dia berhasil.
"Sembilan puluh sembilan persen," lanjut Aurora. "Semua sistem normal. Tidak ada kebocoran energi. Stabilitas penuh pada... Tiga puluh detik."
Dan kemudian itu terjadi.
Sebuah kedipan kecil. Satu segi heksagonal di kutub utara berkedip merah.
"Anomali terdeteksi," kata Aurora, suaranya datar.
"Tidak...," bisik Ethan.
Segi merah itu menyebar seperti virus. Merah. Merah. Merah. Seluruh hologram bergetar hebat.
"Peringatan!" seru Aurora. "Harmonik umpan balik yang tidak terkendali! Penahanan... gagal!"
Dengan suara robekan digital yang mengerikan, hologram putih cemerlang itu runtuh menjadi badai statis merah, lalu lenyap.
Keheningan total memenuhi laboratorium.
Ethan menatap ruang kosong tempat mimpinya baru saja mati.
"Simulasi 7.5," kata Aurora pelan, "gagal. Keruntuhan energi kaskade. Waktu stabilitas: 34.7 detik."
Ethan tidak bergerak. Dia hanya menatap. Dia begitu yakin. Dia mempertaruhkan segalanya pada satu momen "Eureka" itu. Dan itu gagal.
"Jalankan lagi," katanya, suaranya serak.
"Ethan, hasilnya akan sama..."
"JALANKAN LAGI!"
Aurora menjalankan simulasi itu lagi. Hologram putih menyala. Stabil. Indah. Dan tepat pada 34.7 detik, ia runtuh lagi.
"Sial!" Ethan menghantamkan tinjunya ke meja. "Kenapa? Kenapa gagal?"
"Itu adalah pertanyaan yang bagus, Peneliti Pradana."
Suara itu datang dari pintu. Suara yang tajam, menghakimi, dan terlalu bersih.
Ethan menoleh. Berdiri di pintu labnya yang terbuka, sambil memegang data-pad, adalah **Dr. Julian Frost**.
Frost adalah antitesis Ethan dalam segala hal. Jika Ethan adalah kekacauan intuitif, Frost adalah ketertiban yang kaku.
Rambut pirangnya yang dipotong sempurna, setelan abu-abu mahal yang pas di badan (bahkan di lab), dan tatapan mata biru pucatnya yang selalu terlihat seolah sedang mengoreksi kesalahan matematika seseorang.
Skor IQ-nya 190—sebuah angka yang brilian bagi siapa pun, tetapi sebuah penghinaan baginya karena itu 90 poin di bawah Ethan.
"Bermain dengan 'sihir' lagi, Pradana?" kata Frost, nadanya kering. Dia berjalan masuk tanpa diundang, matanya melirik ke meja Ethan. "Serbet? Sungguh? Itu sumber datamu?"
"Dr. Frost," kata Ethan, suaranya datar. Dia berusaha mengendalikan dirinya. "Ini model teoretis yang sedang saya kerjakan."
"Model yang gagal," Frost mengoreksi. "Dua kali, jika catatanku benar. Aku melihatnya dari observatorium."
Dia mengetuk data-padnya. "Arsitektur Lensa Fraktal. Indah. Puitis. Dan, seperti yang sudah kuprediksi, sangat tidak stabil. Kau menciptakan putaran umpan balik harmonik, Pradana. Fisika dasar. Kau memfokuskan energinya begitu sempurna hingga ia menghancurkan dirinya sendiri. Itu adalah bom, bukan reaktor."
"Itu stabil selama 34 detik," kata Ethan, nadanya defensif. "Model lama bahkan tidak bisa stabil selama satu nano-detik."
"Tiga puluh empat detik kegagalan *adalah* kegagalan," balas Frost tajam. "Itu tidak praktis. Itu tidak bisa diandalkan. Itu hanya pertunjukan kembang api yang mahal."
Frost berjalan mendekat, tatapannya meremehkan. "Sementara kau mengejar dongeng dari manuskrip kuno... timku"—dia menekankan kata 'timku'—"mencapai peningkatan efisiensi 0.5% pada model penahanan standar. Itu *nyata*. Itu bisa diverifikasi. Itu adalah sains, Pradana. Sesuatu yang seharusnya kau coba suatu saat nanti."
Wajah Ethan mengeras. "Sainsku berhasil."
"Benarkah?" Frost tertawa kecil. "Kalau begitu, aku tidak sabar menunggu presentasimu di depan Profesor Thorne. Aku yakin dia akan sangat terkesan dengan 'Sains Serbet'-mu."
Frost berbalik. "Omong-omong, Profesor ingin menemuimu. Sekarang."
Dia berjalan keluar, meninggalkan Ethan dalam keheningan yang lebih dingin dari sebelumnya.
Ethan menatap hologram yang gagal itu. Dia merasa dipermalukan. Dia tahu dia ada di jalur yang benar. Tiga puluh empat detik itu adalah keajaiban. Itu *mustahil*. Itu berarti dia hanya melewatkan satu variabel...
Tapi Frost benar. Di dunia ini, keajaiban yang gagal tetaplah kegagalan.
Dia bangkit dari kursinya. Dia mengabaikan serbet itu, membiarkannya tergeletak di pemindai seperti sampah.
Dia berjalan keluar dari labnya, menuju kantor administrator, merasa seperti anak kecil yang dipanggil ke kantor kepala sekolah.
Dia harus menemui Profesor Thorne.
Perjalanan dari laboratorium pribadi Ethan di Zona-S ke Sarang Administrator adalah perjalanan antar dunia.
Dia meninggalkan dunianya—dunia kekacauan kreatif, kabel, dan cokelat panas—dan memasuki dunia yang berbeda. Di sini, karpetnya tebal, menelan suara langkah kakinya. Udaranya lebih dingin.
Dindingnya tidak dilapisi papan data, melainkan karya seni modern yang disetujui perusahaan—lukisan-lukisan abstrak geometris yang mahal dan tidak berjiwa.
Tidak ada yang berlari. Para peneliti dan administrator yang berjalan di sini bergerak dengan tujuan yang pelan dan terukur, berbicara dalam bisikan yang sopan. Ini adalah dunia **Profesor Aris Thorne**.
Kantor Thorne berada di sudut, satu-satunya di lantai itu yang memiliki jendela asli yang menghadap ke taman di bawah, bukan hanya pemandangan kota. Pintu kayunya yang berat (bukan pintu geser otomatis) tertutup.
Ethan menarik napas, mencoba menenangkan detak jantungnya. Dia sudah lelah berdebat dengan Julian Frost. Sekarang dia harus berdebat dengan atasannya.
Dia mengetuk.
"Masuk."
Ethan mendorong pintu itu terbuka. Ruangan itu besar dan sempurna. Tidak ada satu pun data-pad yang salah tempat.
Rak-rak buku berisi buku-buku fisik yang dijilid kulit—bukan untuk dibaca, tapi untuk dipamerkan. Di belakang meja kayu mahoni yang besar, duduklah Profesor Aris Thorne.
Thorne berusia enam puluhan, dengan rambut perak yang disisir rapi dan mata abu-abu tajam yang seolah sedang menghitung anggaran bahkan saat dia tersenyum.
Dia mengenakan rompi rajut di balik jas labnya, sebuah sentuhan akademis kuno. Dialah yang menemukan Ethan—menariknya dari akademi setelah Ethan mempublikasikan makalahnya tentang fusi dingin pada usia 17 tahun. Thorne telah menjadi mentornya, pelindungnya.
Dan sekarang, secara teknis, Ethan adalah atasannya. Sebuah fakta yang tidak pernah dilupakan oleh mereka berdua.
"Ethan," kata Thorne, mengangkat kepalanya. Dia tidak tersenyum. Dia menunjuk ke kursi di seberang mejanya. "Duduk."
Ethan duduk.
Thorne mengatupkan jari-jarinya. "Aku baru saja mendapat laporan lengkap dari Dr. Frost. Dan juga data dari Sim 7.5-mu."
Dia menatap Ethan. "Apa yang harus kukatakan padamu, Nak?"
"Profesor," Ethan memulai, mencondongkan tubuh ke depan. "Saya tahu itu gagal. Tapi 34 detik itu! Itu mustahil! Model lama bahkan tidak bisa..."
"Aku tidak tertarik pada kegagalan yang mustahil, Ethan!" Suara Thorne memotong tajam, nadanya tidak lagi kebapakan. Itu adalah nada seorang administrator yang marah. "Aku tertarik pada hasil.
Senator Rostova meneleponku setiap pagi, menanyakan kemajuan. Dewan mengawasiku, menanyakan anggaran. Dan apa yang harus kuberikan pada mereka? Bahwa Peneliti Kepala-ku, si jenius Tier-S, menghabiskan 72 jam tanpa tidur untuk mengejar teori berdasarkan... coretan di serbet?"
Thorne bersandar di kursinya, memijat pangkal hidungnya. Dia tampak benar-benar lelah. "Kau membuatku terlihat bodoh, Ethan. Lebih buruk lagi, kau membuatku terlihat tidak kompeten."
"Tapi saya di jalur yang benar," kata Ethan pelan, menolak untuk menyerah. "Saya hanya butuh lebih banyak waktu. Jika saya bisa..."
"Waktu?" Thorne tertawa, tawa yang kering dan tanpa humor. "Waktu adalah satu-satunya hal yang tidak kita miliki. Proyek ini sudah terlambat satu tahun dari jadwal. Dan terobosan 0.5% dari tim Dr. Frost adalah satu-satunya kemajuan nyata yang kita miliki dalam enam bulan."
Ethan merasa darahnya mendingin. "Apa yang Profesor katakan?"
Thorne menatap lurus ke arah Ethan, matanya sekeras baja. "Aku katakan, ini sudah selesai. Proyek 'Lensa Fraktal'-mu secara resmi ditangguhkan."
"Apa? Tidak!" Ethan berdiri. "Anda tidak bisa melakukan itu! Itu jawabannya!"
"Itu adalah kegagalan yang boros!" balas Thorne, suaranya naik. "Dan aku tidak akan mempertaruhkan seluruh proyek ini—karierku, kariermu—demi intuisi mistismu! Ini adalah perintah resmi, Peneliti Pradana. Kau dilarang membuang-buang waktu lab, sumber daya, atau kredit komputasi lagi untuk Arsitektur Lensa Fraktal. Mengerti?"
Ethan menatapnya, tertegun. Dia tidak pernah dibentak seperti ini oleh Thorne.
"Apa yang harus saya kerjakan?" bisiknya, merasa dikalahkan.
Thorne mengambil data-pad dan menggesernya ke seberang meja. "Mulai besok pagi, kau akan bergabung dengan tim Dr. Frost. Kau akan membantu mereka mengimplementasikan optimalisasi 0.5% itu ke dalam sistem utama."
Dunia Ethan seakan miring. "Bergabung... dengan tim Frost? Maksud Anda... melapor padanya?"
"Dr. Frost adalah pemimpin tim pada proyek itu, ya," kata Thorne datar, menghindari tatapan Ethan. "Aku menempatkan aset terbaiku di tempat yang paling menjanjikan. Kau adalah aset terbaikku, Ethan. Pergi dan buatlah itu menjanjikan."
Itu adalah penghinaan tertinggi. Bukan hanya menghentikan proyeknya, tetapi memaksanya bekerja *di bawah* satu-satunya orang yang paling membencinya, mengerjakan proyek yang dia tahu adalah jalan buntu.
Ethan berdiri diam untuk waktu yang lama. Dia bisa merasakan darah berdebar di telinganya. Dia ingin berteriak. Dia ingin melempar kursi ke jendela.
Tapi dia hanya mengangguk.
"Baik, Profesor," katanya, suaranya hampa. "Seperti yang Anda katakan."
Dia berbalik dan berjalan keluar dari kantor yang rapi itu, menutup pintu kayu berat di belakangnya. Dia berjalan melewati koridor administrator, melewati Julian Frost yang berdiri di dekat pendingin air, yang memberinya senyuman tipis dan penuh kemenangan.
Ethan tidak memedulikannya. Dia terus berjalan.
Dia kembali ke lab pribadinya. Di dalam, Aurora telah mematikan hologram yang gagal itu. Ruangan itu gelap dan sunyi. Dia menjatuhkan diri ke kursinya, menatap layar yang kosong.
Dia telah dikalahkan.
Dia dikalahkan oleh politik, oleh hierarki, oleh ketakutan. Dia sendirian. Benar-benar sendirian.
Dia menatap mejanya yang berantakan. Di sana, di antara cangkir-cangkir kosong, ada sebuah bingkai foto digital kecil. Foto satu-satunya yang dia miliki, dari kotak yang diberikan Nate tiga tahun lalu. Foto seorang wanita Indonesia tersenyum, dengan mata yang sama sepertinya. Ratna Pradana.
Dia menatap foto ibunya. Dia memikirkan Maya yang batuk di kegelapan. Dia memikirkan wanita pembersih yang ketakutan di terminal.
Dia menatap layar yang gelap.
"Aurora," katanya, suaranya nyaris tak terdengar.
"Ya, Ethan?"
"Profesor Thorne benar," kata Ethan. "Itu gagal."
"Secara teknis, ya," jawab A.I. itu. "Simulasi 7.5 runtuh karena umpan balik harmonik." Jeda sejenak. "Namun... data 34.7 detik itu. Itu adalah data paling menarik yang pernah saya proses. Secara statistik, itu seharusnya tidak terjadi. Itu anomali yang indah."
Ethan mengangkat kepalanya perlahan. Sebuah percikan api kecil menyala di matanya yang lelah. "Sebuah anomali yang indah..."
Dia tersenyum tipis. "Profesor Thorne menangguhkan proyek *resmi*ku."
"Benar," kata Aurora. "Semua sumber daya terkait telah ditandai 'dilarang' dalam sistem."
"Tapi dia tidak bilang apa-apa tentang hobi," kata Ethan.
Jeda 1.5 detik. "Saya tidak mengerti, Ethan."
Ethan mencondongkan tubuhnya ke depan, matanya kini terpaku pada layar. "Aurora. Matikan semua koneksi eksternal ke laboratorium ini. Mulai pukul 22:00 malam ini, kita akan bekerja secara *offline*. Kita akan beralih ke daya cadangan internal dan menggunakan server pribadiku."
"Ethan," kata Aurora, "itu adalah pelanggaran berat terhadap protokol keamanan. Jika ketahuan..."
"Jika ketahuan, aku akan bilang kau yang melakukannya," canda Ethan datar.
"Itu tidak lucu."
"Aku tahu," kata Ethan, senyumnya memudar, digantikan oleh tekad yang dingin. "Mereka ingin aku mengerjakan optimalisasi 0.5%? Baik. Aku akan memberikannya pada mereka di siang hari. Tapi di malam hari... malam hari adalah milik kita."
Dia mengambil serbet bernoda cokelat itu dari pemindai, melipatnya dengan hati-hati, dan memasukkannya ke dalam saku dadanya.
"Kita akan memecahkan masalah 34 detik itu, Aurora," katanya. "Meskipun harus membakarku sampai habis."
Ethan Pradana berjalan.
Dia tidak ingat pernah berjalan sepelan ini di koridor Zona-S. Biasanya, dia berlari, pikirannya melesat lebih cepat dari kakinya, menarik tubuhnya dalam gema antusiasme. Sekarang, setiap langkah terasa berat, seolah sol sepatunya terbuat dari timah. Pintu kayu mahoni kantor Profesor Thorne tertutup di belakangnya dengan suara *klik* pelan yang final, sehalus dan setajam pisau bedah.
*Bergabung dengan tim Dr. Frost.*
Kalimat itu berulang di benaknya, sebuah putaran audio yang menyakitkan.
Dia berbelok di sudut, kembali ke area lab utama yang lebih bising. Di sinilah dia bertemu dengannya. Julian Frost sedang berdiri di dekat pendingin air, seperti yang Ethan duga, berbicara dengan dua peneliti junior dari timnya. Mereka tertawa mendengar sesuatu yang Frost katakan.
Saat Frost melihat Ethan, senyumnya tidak goyah. Itu adalah senyum predator yang telah menandai wilayahnya. Dia mengangkat gelas airnya ke arah Ethan sebagai sapaan mengejek.
"Pradana," kata Frost, suaranya cukup keras untuk didengar oleh dua peneliti junior yang kini menatap Ethan dengan canggung. "Kudengar kau akan bergabung dengan kami. Selamat datang di dunia sains yang *sesungguhnya*. Kita mulai bekerja dengan optimalisasi *spreadsheet* besok pagi. Jam delapan. Tepat."
Frost tidak menunggu jawaban. Dia berbalik, dan tawa kecil terdengar dari kelompok itu saat mereka berjalan pergi.
Penghinaan itu terasa fisik, seperti pukulan di perut. *Spreadsheet.* Mereka akan menyuruh jenius Tier-S, pemenang Nobel, pimpinan Proyek Dyson Sphere, untuk mengerjakan *spreadsheet*.
Ethan tidak membalas. Dia tidak punya apa-apa untuk dibalas. Dia hanya menundukkan kepalanya dan terus berjalan, merasakan tatapan peneliti lain di punggungnya. Dia adalah raja yang baru saja digulingkan di depan umum.
Pintu lab pribadinya mendesis terbuka. Dia masuk. Kegelapan menyambutnya. Hologram yang gagal itu sudah tidak ada. Ruangan itu terasa dingin dan kosong.
"Aurora," katanya, suaranya hampa.
"Ya, Ethan." Suara A.I. itu terdengar hati-hati. "Saya mendengar percakapan Anda dengan Profesor Thorne. Semua direktori yang terkait dengan 'Arsitektur Lensa Fraktal' kini telah ditandai 'Terlarang - Level Otorisasi Thorne'."
"Dia memblokirku dari pekerjaanku sendiri," bisik Ethan.
"Secara teknis," kata Aurora, "dia telah mengalihkan prioritasmu. Data-padmu telah menerima paket tugas barumu."
Ethan menatap data-pad di mejanya. Sebuah notifikasi baru berkedip. Dari: `Dr. J. Frost`. Subjek: `Tugas Optimalisasi Q4 - Tim Penahanan Standar`.
Dia membukanya. Itu lebih buruk dari yang dia bayangkan. Itu bukan hanya *spreadsheet*. Itu adalah pekerjaan verifikasi kode baris demi baris—tugas yang membosankan dan melelahkan untuk memeriksa ulang algoritma 0.5% Frost, mencari *bug* minor. Itu adalah pekerjaan yang biasanya mereka berikan pada mahasiswa magang Tier-A.
Dia melemparkan data-pad itu ke seberang meja. Benda itu menabrak dinding dengan suara *klak* yang memuakkan dan jatuh ke lantai.
"Dia ingin aku berhenti," kata Ethan, suaranya bergetar karena amarah yang tertahan. "Inilah tujuannya. Menghinaku sampai aku menyerah dan pergi."
"Itu adalah kesimpulan yang logis," kata Aurora. "Tindakan Profesor Thorne konsisten dengan manajemen yang berusaha menyingkirkan aset yang tidak stabil secara halus."
"Aset yang tidak stabil?" Ethan tertawa, suara yang kering dan pahit. "Karena aku menemukan sesuatu yang tidak mereka pahami? Karena aku tidak mengikuti buku manual mereka?"
Dia mondar-mandir di labnya, yang kini terasa seperti sangkar. "Dia benar-benar memblokir *semuanya*?"
"Setiap terminal di Zona-S," konfirmasi Aurora. "Setiap upaya untuk mengakses file `Sim_7.5` akan secara otomatis mencatat pelanggaran dan mengirimkan peringatan langsung ke kantor Profesor Thorne dan Dr. Frost."
Ethan berhenti di depan jendela. Neo-Babel terbentang di bawahnya, kota yang cemerlang dan sempurna. Kota yang dibangun di atas logika Kasta IQ. Dan dia baru saja mengetahui kebenaran dari sistem itu. Sistem tidak menghargai kecerdasan; sistem menghargai *kepatuhan*.
Dia adalah anomali 280-IQ yang tidak patuh. Dan sistem, seperti sistem kekebalan tubuh, kini berusaha menetralisirnya.
Dia menatap pantulannya di kaca. Wajah seorang pria berusia dua puluh tahun yang tampak seperti baru saja menua satu dekade dalam satu jam. Dia dikalahkan. Frost telah menang. Thorne telah menang.
Dia kembali ke mejanya, melewati data-pad yang tergeletak di lantai. Dia duduk di kursinya, keheningan di lab terasa memekakkan telinga. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia tidak bisa memikirkan jalan keluar.
Dia hanyalah seorang jenius yang tidak berguna.
Matanya tertuju pada sesuatu di mejanya, di samping cangkir cokelatnya yang sudah berkerak.
Sebuah bingkai foto digital kecil.
Itu adalah satu-satunya barang pribadi yang dia bawa ke lab. Foto itu tidak jelas, direkonstruksi dari data yang rusak di dalam kotak kayu tua yang diberikan Nate padanya tiga tahun lalu. Foto seorang wanita muda, mungkin tidak lebih tua dari dirinya sekarang, dengan rambut hitam panjang dan senyum yang... yang terlihat persis seperti senyumnya.
Ratna Pradana. Ibunya.
Dia mengambil bingkai itu. Dia tidak tahu apa-apa tentang wanita ini, selain bahwa dia adalah seorang ilmuwan biofisika brilian yang pergi ke Mars dan tidak pernah kembali. Dia tidak tahu suaranya, tidak tahu aromanya. Dia hanya tahu bahwa wanita ini telah memberinya nama, warisan, dan mata yang sama.
Dia memikirkan ibunya, seorang ilmuwan, seorang penjelajah. Apakah dia akan menyerah saat menghadapi birokrat? Apakah dia akan berhenti hanya karena seseorang yang lebih tinggi pangkatnya menyebut idenya "tidak praktis"?
Dia memikirkan Maya yang batuk di kegelapan.
Dia memikirkan wanita pembersih di terminal yang gemetar ketakutan padanya.
Kemarahan yang sebelumnya tumpul dan putus asa, kini mulai mengeras. Itu berubah dari sesuatu yang panas dan cair menjadi sesuatu yang dingin, padat, dan tajam. Seperti baja.
"Tidak," bisiknya.
Dia meletakkan foto itu kembali ke meja, memutarnya sehingga menghadap langsung ke arahnya.
"Mereka bisa mengambil proyekku," katanya pelan. "Mereka bisa mengambil timku. Mereka bahkan bisa mengambil namaku dari pintu."
Dia menatap lensa biru Aurora.
"Tapi mereka tidak bisa mengambil pikiranku."
Dia mengambil data-pad yang rusak dari lantai. Layarnya retak, tapi masih berfungsi. Dia meletakkannya dengan rapi di atas meja.
"Aurora," katanya.
"Ya, Ethan?"
"Berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menyelesaikan tugas verifikasi kode Dr. Frost?"
Jeda sejenak saat A.I. itu menganalisis. "Jika kau bekerja dengan efisiensi penuh, tugas 160 jam-manusia itu... bisa kau selesaikan dalam empat jam."
Ethan melirik jam. Pukul 10:30 pagi.
"Baik," katanya. Dia menarik napas dalam-dalam, mengesampingkan harga dirinya. "Mari kita selesaikan pekerjaan membosankan ini."
"Dan setelah itu?" tanya Aurora.
Ethan tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Setelah itu, kita akan bekerja."
Sisa hari itu adalah neraka pribadi yang diciptakan oleh birokrasi.
Ethan menundukkan kepalanya dan bekerja. Dia memaksa otaknya yang dirancang untuk membayangkan arsitektur bintang, untuk fokus pada tanda titik koma yang salah tempat dan perulangan *loop* yang tidak efisien dalam kode optimalisasi Julian Frost.
Itu adalah pekerjaan yang menyiksa, pekerjaan yang menumpulkan pikiran. Setiap baris kode yang dia verifikasi terasa seperti penghinaan. Dia bisa merasakan jam-jam hidupnya terkuras untuk sesuatu yang dia tahu hanya akan memberikan peningkatan marjinal. Model penahanan standar adalah jalan buntu, dan dia baru saja dipaksa untuk mengecat dinding di ujung jalan buntu itu.
Pukul 14:30, Dr. Frost mampir ke labnya. Dia tidak mengetuk.
"Bagaimana kemajuannya, Pradana?" tanya Frost, bersandar di kusen pintu, melipat tangan di dada. Dia jelas menikmati ini.
"Baris 40.800," kata Ethan, tidak mengangkat kepalanya dari layar. "Aku menemukan redundansi di sub-protokol pendinginmu. Itu menyebabkan penundaan 0.02 nanodetik."
Mata Frost sedikit menyipit. Dia tidak menyangka Ethan akan *benar-benar* bekerja, apalagi menemukan kesalahan. "Bagus sekali," kata Frost dingin. "Senang melihat bakatmu akhirnya diterapkan pada sesuatu yang *produktif*."
Frost pergi. Ethan mengepalkan tangannya di bawah meja sampai buku-buku jarinya memutih, lalu kembali bekerja.
Pukul 15:00, dia selesai. Empat setengah jam. Dia mengirim paket verifikasi yang telah selesai ke server Frost, dengan catatan sopan: `Selesai. Mohon tugas selanjutnya.`
Dia tidak menerima balasan. Tentu saja tidak.
Sisa sore itu dia habiskan dengan... menunggu. Dia tidak diizinkan mengerjakan proyeknya. Dia tidak punya tugas lain. Dia adalah seorang jenius Tier-S yang duduk di lab bernilai miliaran dolar, dibayar untuk tidak melakukan apa-apa. Penghinaan itu, dalam beberapa hal, lebih buruk daripada pekerjaan rendahan tadi.
Dia membersihkan labnya. Dia mengkalibrasi ulang pemindainya. Dia mengatur data-padnya. Dia minum tiga cangkir cokelat panas.
Pukul 17:00, alarm akhir hari kerja berbunyi. Para peneliti di luar labnya mulai mengemasi tas mereka.
Dia menunggu.
18:00. Kru pembersih Tier-D masuk, mengosongkan tempat sampah dengan kepala tertunduk, menghindari kontak mata dengannya.
19:00. Koridor di luar menjadi sunyi.
20:00. Lampu utama di gedung meredup ke mode malam.
21:00. Hanya suara kipas pendingin server yang terdengar.
Pukul 22:00. Tepat.
Ethan berdiri. Dia berjalan ke pintu labnya dan menguncinya secara manual—sebuah fitur kuno yang dia pasang khusus.
Dia kembali ke konsolnya.
"Aurora," katanya pelan.
"Ya, Ethan?"
"Malam ini adalah milik kita," katanya, mengulangi sumpahnya dari sore tadi. "Matikan semua koneksi eksternal ke laboratorium ini. Alihkan ke daya cadangan internal. Pindahkan semua pemrosesan ke server pribadiku."
"Memproses," kata Aurora. "Ethan, ini adalah pelanggaran berat terhadap setidaknya dua belas protokol keamanan Zona-S. Jika ketahuan..."
"Jika ketahuan," potong Ethan, "aku akan bilang kau yang melakukannya."
"Itu tidak lucu," balas A.I. itu.
"Aku tahu." Senyum Ethan telah memudar, digantikan oleh tekad yang dingin dan fokus yang tajam. "Jika ketahuan, aku yang akan bertanggung jawab. Tapi kita tidak akan ketahuan. Aktifkan protokol 'Perawatan Diagnostik Mandiri'."
"Protokol 'Diagnostik' diaktifkan," kata Aurora. "Semua pemantauan eksternal kini melihat lingkaran data yang menunjukkan lab ini dalam mode pemeliharaan standar. Kita aman. Kita... sendirian."
Laboratorium menjadi gelap gulita selama beberapa detik saat jaringan utama terputus, lalu kembali menyala dengan cahaya merah redup dari sistem daya cadangan. Hanya konsol utama Ethan yang bersinar putih terang.
Rasanya seperti berada di dalam kapal selam, jauh di bawah permukaan lautan yang penuh musuh.
"Baik," kata Ethan, menggosok kedua tangannya. Kelelahan yang dia rasakan seharian lenyap, digantikan oleh energi yang familier—energi penciptaan. "Ayo bekerja."
Dia duduk. "Buka Sim 7.5. Tunjukkan padaku keruntuhannya. Tepat di 34.7 detik."
Hologram putih itu menyala di tengah ruangan yang remang-remang. Bersinar stabil. 30 detik... 32... 34...
Dan tepat pada 34.7 detik, kedipan merah itu muncul. Runtuh. Gagal.
"Jalankan lagi," kata Ethan.
Gagal lagi.
"Oke. Itu adalah umpan balik harmonik, seperti yang Frost katakan. Tapi *mengapa*?" Ethan mulai mondar-mandir. "Lensa itu memfokuskan energinya terlalu sempurna..."
"Mungkin Dr. Frost benar," kata Aurora hati-hati. "Mungkin konsepnya secara fundamental cacat. Mungkin itu adalah bom, bukan reaktor."
"Tidak," kata Ethan. "Itu tidak mungkin. Kakekku... manuskrip itu... polanya terlalu sempurna untuk menjadi sebuah kesalahan." Dia berhenti. "Variabel apa yang kita lewatkan, Aurora?"
"Aku sudah menjalankan 10.000 skenario variabel, Ethan. Material, suhu, tekanan..."
"Bukan variabel *fisik*," gumam Ethan. "Variabel... lain. Tiga puluh empat detik. Mengapa 34?"
Jam di dinding menunjukkan pukul 23:30.
Dia menjalankan simulasi lagi. Gagal.
Dia mengubah kelengkungan lensa sebesar 0.01%. Gagal (lebih cepat, 22 detik).
Dia mengubah ketebalan material. Gagal (28 detik).
Jam menunjukkan pukul 01:45 pagi.
"Ini tidak masuk akal!" Ethan membanting tangannya di konsol. "Aku tahu aku benar! Tapi datanya terus mengatakan aku salah!"
"Ethan, mungkin kau harus istirahat. Pendekatanmu menjadi tidak menentu."
"Aku tidak butuh istirahat!" teriaknya. Dia kelelahan, frustrasi, dan buntu. Dia menatap layar kegagalan, kebencian membara dalam dirinya—kebencian pada Frost, pada Thorne, dan pada dirinya sendiri karena tidak bisa menyelesaikannya.
Dia memejamkan mata, memijat pelipisnya.
Dia menenangkan napasnya. Dia membuka matanya dan menatap foto ibunya, Ratna Pradana, yang bersinar lembut di bawah cahaya monitor.
"Maaf, Bu," bisiknya. "Aku tidak secerdas yang mereka kira."
Dia menatap foto itu, pada senyumnya yang tenang. Dia memikirkan apa yang akan dikatakan ibunya. Apa yang akan dikatakan Kakeknya.
*Mereka melukis dengan makna. Bahkan ruang kosong di antaranya... itu adalah bagian dari cerita.*
"Ruang kosong...," bisik Ethan.
Dia menatap simulasi yang gagal itu. "Aurora... apa yang terjadi... *sebelum* keruntuhan? Tepat di 34.6 detik."
"Semua pembacaan normal. Stabilitas 100%."
"Tidak, tidak. Perbesar. Tampilkan fluktuasi energi kuantum di *ruang* antar-segi lensa. Bukan di lensanya. Di *celah*."
"Memperbesar... Ethan... itu aneh. Ada lonjakan energi *sebelum* kegagalan. Sebuah harmonik minor di ruang vakum."
Ethan mencondongkan tubuh ke depan, jantungnya berdebar kencang. "Ya Tuhan. Itu dia. Celahnya. Itu bukan hanya ruang kosong. Itu adalah bagian dari sirkuit!"
Dia teringat Kakeknya. Dia teringat Frost yang mengejeknya. *Fisika dasar.*
"Aurora," katanya, suaranya bergetar karena penemuan. "Dr. Frost benar. Ini adalah umpan balik harmonik. Tapi dia salah tentang *penyebabnya*. Lensa ini sempurna. *Lingkungannya* yang salah. Ruang di sekitarnya. Kita tidak hanya perlu membangun lensanya. Kita perlu membangun *ruang vakum* di sekitarnya dengan presisi yang sama!"
Dia mulai mengetik dengan panik, otaknya akhirnya menyala kembali.
"Jalankan simulasi baru. Sim 7.6. Arsitektur Lensa Fraktal. Tapi kali ini... kalibrasi ulang ruang vakum antar-segi. Perlakukan celah itu sebagai... sebagai penyerap harmonik."
"Memproses..." kata Aurora. "Ethan, ini... ini secara teoretis sangat kompleks. Tapi... masuk akal."
"Jalankan," perintah Ethan.
Jam menunjukkan pukul 03:00 pagi.
Hologram putih itu menyala lagi.
Tiga puluh detik. Jantung Ethan berdebar di dadanya.
Tiga puluh tiga...
Tiga puluh empat...
Tiga puluh lima... Jantungnya berhenti.
Tiga puluh enam...
Tiga puluh tujuh...
*Runtuh.*
Lebih baik. Tiga detik lebih baik. Tapi tetap gagal.
Ethan tidak bersorak. Dia tidak membanting meja. Dia hanya menatap kegagalan baru itu dengan tatapan dingin dan analitis.
Frustrasinya telah hilang, digantikan oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih keras.
Dia telah menemukan jalurnya. Dia tahu dia benar. Dia hanya perlu lebih banyak data. Data yang tidak bisa dia dapatkan dari simulasi.
"Aurora," katanya, mematikan hologram itu. "Simpan Sim 7.6. Mulai protokol pembersihan. Hapus semua jejak pekerjaan kita malam ini dari server pribadi."
"Selesai," kata A.I. itu. "Apa rencanamu selanjutnya, Ethan? Kita tidak bisa maju tanpa data fisik."
Ethan berdiri dan meregangkan punggungnya yang kaku. Dia berjalan ke pintu dan membukanya, membiarkan cahaya normal koridor masuk. Saat itu pukul 04:00 pagi.
"Rencana selanjutnya?" kata Ethan, sambil menatap foto ibunya di seberang ruangan. "Rencana selanjutnya... Aku butuh bantuan."
Dia tidak bisa melakukan ini sendirian. Dia perlu "mengakuisisi" data dan material. Dan untuk itu, dia tahu persis siapa yang harus dia hubungi.
Dia harus menelepon Nate.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!