NovelToon NovelToon

DULU AKU DITINGGALKAN, KINI DISAYANG SULTAN

Bab 01 Luka di Antara Cinta dan Darah Daging

“Apa? Jadi kamu dan orang tua kamu datang ke sini untuk melamar adikku Mas?” Tanya Dela dengan suara gemetar, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya membulat, napasnya terasa tersangkut di tenggorokan. Ia berdiri kaku di ruang tamu rumahnya, tempat yang seharusnya menjadi saksi kebahagiaan, bukan kehancuran hatinya.

Di hadapannya, Riki kekasih yang selama ini ia cintai dengan sepenuh hati hanya menundukkan kepala, menatap lantai tanpa berani menatap mata Dela yang kini berkaca-kaca. Di belakangnya berdiri orang tua Riki, tersenyum canggung, sementara suasana ruang tamu terasa begitu tegang dan menyesakkan.

Dela hampir tidak bisa berdiri tegak. Rasanya lututnya bergetar hebat.

“Jawab, Mas,” ucapnya lagi dengan nada yang parau. “Jangan diam saja! Apa selama ini kamu dan adikku sudah menjalin hubungan di belakang aku?”

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Dela, tapi setiap kata terasa seperti belati yang menusuk jantungnya sendiri. Ia menggigit bibirnya menahan air mata, tapi sia-sia. Setetes demi setetes akhirnya jatuh juga.

Bagaimana tidak hancur? Laki-laki yang ia cintai laki-laki yang ia yakini akan datang melamarnya hari ini justru datang untuk melamar Tika, adiknya sendiri.

Dela menatap Riki yang masih terdiam. Jantungnya berdetak keras, namun bukan karena cinta, melainkan karena rasa sakit dan kecewa yang luar biasa.

“Aduh Dela. Sudahlah kamu itu gak usah lebay begitu,” suara Rena, ibunya, memecah keheningan dengan nada yang terdengar menusuk.

“Lagian sadar diri dong. Riki mana mau serius sama kamu? Secara kamunya aja buluk begitu. Riki itu pantasnya sama Tika cantik, modis, dan wanita karier. Beda sama kamu!”

Dela menoleh ke arah ibunya dengan tatapan tidak percaya. Kata-kata itu bagai tamparan keras di wajahnya.

“Ibu kok malah bilang begitu sih? Mas Riki itu pacarnya Dela, kenapa malah melamar Tika?” Suaranya pecah, nyaris tidak terdengar karena tertahan isak.

Namun Rena hanya mendengus pelan. “Gak usah drama Dela. Mana ada laki-laki berkelas yang mau sama kamu. Kamunya aja yang ke PD an, mau-mau aja dipacarin. Biarkan saja Riki menikah dengan Tika, mereka lebih serasi. Tika cantik, kariernya bagus. Riki juga tampan dan mapan.”

Dela merasa dadanya sesak. Ia menatap Riki lagi, berharap ada penjelasan, harapan, atau pembelaan. Tapi Riki tetap diam.

“Bener begitu Mas?” Tanya Dela dengan suara serak, nyaris berbisik.

Riki menelan ludah. Matanya gelisah.

“Maafkan aku Dela,” katanya akhirnya. “Aku lebih mencintai Tika.”

Kata-kata itu bagai palu godam yang menghantam batok kepala Dela. Dunia seolah berhenti berputar. Ia terdiam, membeku.

“Mbak, tolong biarkan Mas Riki menikah denganku,” pinta Tika dengan wajah tanpa dosa. Ia memegang tangan Riki dan menatapnya penuh keyakinan. “Aku juga mencintainya.”

Dela memejamkan mata kuat-kuat, menahan perih yang tak bisa dijelaskan. Dalam pikirannya hanya ada satu tanya kenapa harus Tika? Adiknya sendiri? Bukankah di luar sana masih banyak perempuan yang bisa Riki pilih?

Namun yang lebih menyakitkan, justru ibunya sendiri ikut mendukung pengkhianatan itu.

“Dela kamu itu sadar diri dong,” ujar Eka kakak tertuanya, dengan nada sinis. “Lihat Tika jauh lebih cantik dan berkelas dibanding kamu yang gak terawat relakan aja Riki buat dia.”

Dela menatap satu per satu wajah keluarganya ibu, kakak, adik, semuanya tapi tak ada yang berpihak padanya. Semuanya mendukung Riki dan Tika. Ia merasa benar-benar sendirian.

Bahkan Ibu Riki pun akhirnya angkat bicara. “Maafkan anak Tante ya Dela. Riki memilih Tika jadi pendamping hidupnya.”

Dela menatap ke lantai. Hatinya sudah terlalu remuk untuk menahan air mata lagi. Dengan suara pelan tapi mantap ia berkata, “Baiklah aku relakan, Mas Riki menikah dengan kamu Tika.”

Setelah kata-kata itu keluar, Dela langsung berlari keluar rumah. Ia tak sanggup menatap mereka lagi. Udara sore terasa berat di dadanya.

...****************...

Namaku Dela Prameswari, usiaku 25 tahun.

Setelah lulus SMA, aku ingin sekali kuliah. Tapi Ibu melarangku. Katanya uang tidak cukup. Kakakku, Eka, masih kuliah waktu itu. Ibu bilang tidak sanggup membiayai dua anak sekaligus. Aku terpaksa mengalah.

Dari pada menganggur di rumah, aku memutuskan berjualan kue. Awalnya aku senang, bisa membantu keluarga. Tapi setelah Eka lulus dan menjadi sarjana, aku berharap bisa gantian kuliah. Lagi-lagi harapan itu pupus. Saat itu Tika baru lulus SMA dan ingin kuliah juga. Ibu menyuruhku mengalah lagi.

“Tika juga butuh masa depan,” katanya waktu itu.

Padahal aku pun ingin punya masa depan. Tapi akhirnya aku pasrah.

Apalagi sejak Ayah di PHK karena sakit-sakitan, beban keluarga justru jatuh di pundakku. Uang hasil jualan kueku yang tidak seberapa selalu diminta Ibu untuk bayar listrik, air, dan kebutuhan rumah.

Dari kecil Ibu memang pilih kasih. Ia selalu memuji Eka dan Tika karena mereka cantik dan berpendidikan. Sedangkan aku? Aku cuma anak lulusan SMA yang kerja bikin kue, berpenampilan sederhana, dan dianggap tidak bisa dibanggakan.

Hari ini, luka itu semakin dalam karena Ibu lebih memilih adikku untuk bersama kekasihku.

...****************...

Aku berjalan tanpa arah. Langit sore mulai gelap, angin berhembus pelan membawa aroma tanah basah. Pandanganku kosong hatiku hancur berkeping-keping.

Bagaimana aku bisa membeli baju bagus atau berdandan seperti perempuan lain, kalau hasil jerih payahku saja selalu untuk kebutuhan rumah? Aku bahkan tak punya bedak. Baju yang kupakai pun sederhana, dress panjang murah yang kubeli di pasar dengan harga tak sampai seratus ribu. Tapi semua itu kulakukan demi keluarga.

Aku tersenyum pahit. “Aku jelek begini juga demi kamu Tika...” gumamku lirih sambil mengusap air mata. “Aku rela gak kuliah rela kerja dari pagi sampai malam demi kamu bisa sekolah.”

Langkahku terus berlanjut tanpa tujuan. Sampai tiba-tiba...

“Tiiiin!”

Suara klakson keras membuatku kaget. Tapi tubuhku sudah terlalu lemah untuk bereaksi. Sekejap kemudian, bruk! tubuhku terpental, jatuh ke aspal pandanganku gelap.

Pengendara motor yang menabrakku panik.

“Wah gila! Cewek ini jalan di tengah jalan kayak mau bunuh diri aja!” Omelnya, tapi kemudian wajahnya berubah cemas saat melihatku tergeletak tak sadarkan diri. Ia segera menepikan motornya dan menghampiri.

Ia memeriksa tubuhku, memastikan tidak ada luka serius. Untung saja aku hanya pingsan. Lelaki itu menarik napas lega.

“Syukurlah gak parah,” gumamnya. Tapi kemudian langit mulai meneteskan gerimis.

Ia celingukan, mencari tempat berteduh. Jalanan sepi, rumah-rumah tertutup rapat. Akhirnya ia melihat sebuah rumah tua tak berpenghuni di pinggir jalan. Ia ragu sejenak, tapi kemudian memutuskan menggendongku ke sana.

Tubuhku yang lemah diangkat dengan gaya bridal style. Entah kenapa, di saat seperti itu, justru seseorang di kejauhan melihatnya. Orang itu memandang dengan pandangan curiga.

Setelah sampai di rumah tua itu, lelaki tersebut meletakkanku di atas kursi kayu usang.

“Hey, bangun dong kamu gak apa-apa kan?” Ujarnya pelan sambil menepuk pipiku pelan. Tapi aku masih terdiam.

Di luar, hujan semakin deras. “Untung aja aku udah berteduh di sini,” gumamnya, menatap jendela yang berembun. “Coba kalau gak udah kehujanan sama orang pingsan.”

Beberapa menit kemudian hujan mulai reda. Namun tiba-tiba terdengar suara ramai dari luar.

“Tuh orang! Itu dia!” Teriak seseorang.

Sekelompok warga datang membawa senter dan payung. Wajah mereka penuh kecurigaan. Mereka melihat aku terbaring di kursi dan lelaki itu berdiri di dekatku di rumah kosong, dalam keadaan gelap.

“Woi! Ngapain kamu sama cewek itu di rumah kosong?!” Bentak salah satu warga.

Lelaki itu terkejut. “Bukan Pak! Saya cuma nolong...”

Tapi warga sudah keburu salah paham. Mereka menuduhnya melakukan hal tidak senonoh. Padahal yang terjadi hanyalah kesalahpahaman.

Dan di situlah, malam panjang Dela dimulai.

Ditinggalkan kekasih, dikhianati keluarga, dituduh orang karena nasib yang tak disengaja. Hujan sudah berhenti, tapi hatinya masih saja basah oleh air mata dan luka yang belum kering.

Mungkin benar, hidup kadang tidak adil. Tapi dari reruntuhan itu, selalu ada secercah cahaya yang menunggu waktu untuk muncul.

Dan Dela masih belum tau, bahwa pertemuannya malam itu dengan pria asing itu akan mengubah seluruh jalan hidupnya.

Bab 02 Salah Paham di Malam Hujan

Dela mulai sadar dari pingsannya ketika samar-samar terdengar suara ricuh dari luar. Suara banyak orang bercampur dengan teriakan membuat kepalanya berdenyut hebat. Begitu matanya terbuka, pandangannya buram sejenak. Ia menatap sekeliling, dan betapa terkejutnya ia dirinya kini berada di sebuah rumah kosong yang remang-remang, dan di sana ada banyak orang berkerumun dengan wajah-wajah murka.

“Hey! Kalian berdua jangan berbuat mesum di sini ya!” Bentak seorang ibu dengan suara melengking.

“Dasar anak muda zaman sekarang, mau begituan aja gak tau tempat!” Timpal yang lain sambil menunjuk ke arah Dela dan lelaki yang berdiri gugup di sampingnya.

“Tau aja udara sedang dingin malah cari yang anget-anget!” Ujar seorang bapak sambil mendengus.

“Udah, ayo kita arak aja mereka keliling kampung!” Seru warga lain, disambut gemuruh setuju dari yang lain.

Suasana semakin ricuh. Beberapa warga bahkan sudah menyalakan senter dan lampu petromaks, menyorot wajah Dela dan lelaki itu dengan tatapan menghakimi. Dela yang baru saja siuman memegang kepalanya, meringis menahan nyeri akibat benturan di jalan tadi.

“Ada apa ini? Kenapa ramai-ramai begini?” Tanya Dela dengan suara gemetar, matanya masih berusaha menyesuaikan dengan cahaya.

Sementara lelaki yang tadi menolongnya pemuda berjaket lusuh dengan wajah panik mencoba menjelaskan dengan tergesa.

“Semuanya tolong jangan salah paham dulu! Ini gak seperti yang kalian tuduhkan! Saya cuma...”

“Halah mana ada maling mau ngaku!” Potong salah satu warga, suaranya tinggi dan penuh emosi.

“Udah, ayo kita arak aja biar kapok!”

Dela menatap sekeliling dengan bingung dan takut. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi. Tubuhnya masih lemah, tapi jantungnya berdetak cepat. Ia bisa menangkap bahwa para warga salah paham dan menganggapnya melakukan hal yang tak senonoh.

Ternyata semua bermula dari seseorang yang melihat lelaki itu menggendong tubuhnya yang pingsan dan membawanya ke rumah kosong untuk berteduh dari hujan. Orang itu salah paham, lalu berkoar-koar ke warga bahwa ada sepasang muda-mudi berbuat mesum di lingkungan mereka. Tanpa berpikir panjang, para warga pun beramai-ramai melakukan penggerebekan.

“Kalian jangan main hakim sendiri! Kami gak ngapa-ngapain sumpah!” Ujar lelaki itu lagi, suaranya memohon.

“Tadi aku cuma gak sengaja nabrak gadis ini di jalan. Dia pingsan aku panik, dan karena hujan mau turun, aku bawa dia berteduh di sini! Aku cuma mau nolong!”

Namun penjelasan itu tak membuat warga percaya.

“Halah, alibinya bagus! Buktinya gadis ini kamu baringkan di kursi, pasti habis kamu apain!” Seru seorang pria dengan nada menuduh.

Dela menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang sudah menggenang di pelupuk mata.

“Ya Tuhan apa salahku sampai Engkau terus memberiku cobaan seberat ini?” Batinnya, suaranya hanya terdengar di hati. Ia baru saja kehilangan cinta, kini dituduh berbuat tak senonoh.

“Aku cuma ingin menenangkan diri tapi malah begini,” gumamnya lirih, menunduk dengan air mata yang jatuh satu-satu.

Situasi semakin memanas hingga akhirnya kabar keributan itu sampai juga ke telinga Pak RT. Dengan napas ngos-ngosan, lelaki paruh baya itu datang menenangkan warganya.

“Sudah, sudah! Tenang dulu semuanya!” Teriaknya sambil mengangkat tangan.

“Kita selesaikan baik-baik. Jangan main hakim sendiri!”

Setelah berbicara cukup lama, akhirnya para warga setuju tidak akan mengarak Dela dan lelaki itu. Tapi ada syarat yang membuat Dela ternganga tak percaya mereka berdua harus dinikahkan malam itu juga.

Sebagian warga mengenali Dela sebagai anak dari kampung sebelah. Maka mereka segera membawa Dela dan lelaki itu yang diketahui bernama Arsen pulang ke rumahnya untuk dinikahkan. Arsen yang bukan orang kampung situ hanya bisa pasrah. Dalam hati, ia berpikir lebih baik menikah dari pada diarak keliling kampung dan dipukuli massa. Ia sama sekali tidak tau bahwa rumah yang mereka tuju adalah rumah tempat Dela baru saja menyaksikan lamaran kekasihnya dengan adiknya sendiri.

Malam itu, rumah keluarga Dela masih ramai sisa acara lamaran. Tapi tiba-tiba, suasana berubah drastis ketika rombongan warga datang sambil menyeret Dela dan Arsen.

“Bu Rena! Ini nih anak gadis Ibu!” Teriak seorang warga.

“Bisa-bisanya berbuat mesum di rumah kosong!”

“Iya! Kami gak rela lingkungan kami dicemari oleh perbuatan tak senonoh mereka! Kalau dibiarkan, kami semua bisa kena apesnya!” Tambah yang lain dengan wajah penuh amarah.

Rena, ibu Dela yang baru saja membereskan baki kue lamaran langsung membeku di tempat. Tika dan Eka yang berdiri di sampingnya ikut terkejut, nyaris tak percaya dengan tuduhan yang mereka dengar.

“Ya ampun Dela...” Rena menatap putrinya dengan pandangan penuh amarah dan kecewa.

“Kamu ini bener-bener ya! Gak pernah bikin Ibu bangga, malah bikin malu! Dasar anak gak tau diri!”

PLAKKK!

Tamparan keras mendarat di pipi Dela. Kepalanya menoleh ke samping, air matanya langsung menetes deras.

“Bu... bukan begitu Bu. Dela gak...”

“Diam!” Potong Rena dengan suara lantang.

“Udah cukup Ibu dengar dari warga!”

Tika yang berdiri di samping malah tersenyum miring. “Ya ampun Mbak Dela. Apa sebegitu kebeletnya ingin nikah sampai rela begitu? Atau karena frustasi ya gara-gara Mas Reza lebih pilih aku?” Ujarnya sinis, dengan nada yang seolah simpati tapi menusuk tajam.

“Cukup Tika!” Seru Dela dengan suara serak.

“Ini semua gak seperti yang kalian pikir! Aku gak ngapa-ngapain sama sekali!”

Laki-laki di sebelahnya Arsen ikut maju satu langkah.

“Iya Tante, kami gak melakukan apa-apa. Ini cuma salah paham!”

Rena melirik tajam ke arah Arsen, lalu menatapnya dari atas sampai bawah.

“Oh jadi ini laki-lakinya? Ya ampun penampilannya aja kayak gembel begitu. Tapi ya cocok sih sama Dela!” Ejeknya sinis.

Dela menunduk dalam-dalam, merasa seluruh harga dirinya diinjak di depan semua orang.

“Ya sudahlah,” saut Eka, kakaknya. “Dari pada kamu jadi perawan tua, mending nikah aja sama dia. Cocok banget sama-sama gak punya masa depan.”

Suara tawanya terdengar menampar telinga Dela berkali-kali.

Di tengah keributan itu, seorang lelaki tua muncul dari dalam kamar dengan langkah tertatih. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, tapi matanya penuh kasih. Dialah Surya, ayah Dela, yang mendengar semua kekacauan dari dalam.

“Dela ada apa ini Nak?” Suaranya lemah tapi tegas.

Begitu melihat ayahnya, Dela langsung berlari memeluknya sambil menangis keras.

“Pak Dela bisa jelasin ini cuma salah paham Dela dituduh berbuat mesum, padahal Dela cuma ditolong waktu pingsan. Dela gak salah Pak tolong percaya sama Dela!”

Surya mengelus kepala putrinya dengan lembut. “Iya Nak Bapak percaya. Bapak tau kamu gak mungkin melakukan hal kayak gitu.” Suaranya tenang, meneduhkan. Tapi sayangnya, warga tetap tak percaya.

“Percuma Pak,” sela salah satu warga.

“Kalau gak dinikahkan, nanti malah jadi bahan omongan sekampung.”

Surya memandang Arsen, lalu menghela napas panjang. Wajahnya terlihat sedih tapi pasrah. Ia tahu, tidak ada cara lain untuk menyelamatkan nama baik anaknya di mata masyarakat yang keras menilai.

“Nak nama kamu siapa?” Tanya Surya pelan.

“Arsen Pak. Nama saya Arsen,” jawab pemuda itu dengan sopan.

“Saya bersumpah gak ngapa-ngapain anak Bapak. Saya cuma mau nolong.”

Surya menatapnya dalam-dalam.

“Bapak percaya sama kamu Arsen. Tapi orang-orang gak akan berhenti ngomong. Mungkin ini takdir menurut Bapak lebih baik kamu terima saja pernikahan ini. Siapa tau memang Dela jodohmu yang sudah Tuhan pilih.”

Arsen terdiam lama. Ia menatap wajah Dela yang masih berlinang air mata. Ada rasa iba di sana juga tanggung jawab yang tiba-tiba tumbuh. Ia tidak ingin gadis ini terus dihina dan dihakimi.

Sementara itu, Rena melirik sinis ke arah suaminya.

“Belain aja terus anak kesayanganmu itu!” Katanya ketus. “Dari dulu juga kamu buta sama tingkah Dela!”

Surya tidak menggubris. Ia justru menatap Dela dengan lembut.

“Nak dengerin Bapak. Arsen ini kelihatannya anak baik mungkin Tuhan memang ngatur semuanya begini supaya kamu dapat seseorang yang benar-benar tulus. Relakan Riki buat adikmu percaya sama Bapak ini jalan yang terbaik.”

Dela terdiam, dadanya sesak. Dalam hati, ia masih ragu dan takut.

“Tapi aku gak kenal dia Pak gimana kalau dia orang jahat?” Batinnya lirih.

Namun sebelum sempat ia menjawab, Arsen menatap ke arah Surya dan berkata dengan mantap, “Baiklah Pak. Saya bersedia menikah dengan putri Bapak malam ini.”

Semua warga bersorak puas, menganggap keadilan sudah ditegakkan. Surya mengangguk pelan, menepuk bahu Arsen dengan haru.

“Terima kasih Nak. Semoga keputusan ini membawa kebaikan buat kalian berdua.”

Malam itu juga, di bawah sinar lampu minyak dan tatapan warga kampung, Dela dan Arsen dinikahkan dengan Surya sebagai wali, serta beberapa warga sebagai saksi.

Dela menunduk sepanjang ijab kabul, matanya berkaca-kaca. Bukan karena bahagia, tapi karena nasibnya terasa seperti dipermainkan takdir.

Rena, Eka, dan Tika hanya berdiri di belakang, menatap dengan tatapan sinis penuh kepuasan.

“Cocok banget,” bisik Eka pelan pada Tika.

“Dela sama si gembel itu benar-benar jodoh dari dunia bawah.”

Tika terkekeh pelan. “Biarin aja akhirnya Mbak Dela punya laki-laki juga meski cuma sisa.”

Sementara itu, Dela hanya bisa menatap Arsen sekilas. Lelaki itu memang tampak sederhana, tapi di balik matanya yang tenang, ada ketulusan yang belum pernah ia lihat pada siapa pun.

Dan di balik kesalahpahaman malam itu tanpa disadari, awal dari kisah hidup baru mereka pun dimulai.

Bab 03 Sibuk Malam Pertama

Di dalam kamar, suasana terasa canggung dan sunyi. Dela duduk di tepi ranjang dengan kepala menunduk, tangannya saling menggenggam menahan gugup. Baru semalam dirinya mengalami kejadian paling aneh dan mengejutkan dalam hidup menikah dengan pria yang bahkan belum sempat ia kenal. Semua terasa begitu cepat, terlalu cepat sampai pikirannya sulit mencerna kenyataan.

Arsen yang baru saja selesai membersihkan diri, berdiri tak jauh dari pintu kamar. Ia tampak kikuk, berusaha memecah keheningan.

“Hai,” ucapnya pelan namun terdengar cukup jelas. “Kita belum sempat kenalan dengan benar. Kenalin aku Arsen.” Ia mengulurkan tangan dengan senyum sopan, mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku.

Dela menatap sekilas, ragu sejenak sebelum akhirnya membalas jabatan tangan itu.

“Aku Dela,” jawabnya singkat, suaranya lirih. Sentuhan tangan mereka hanya sebentar, namun cukup untuk membuat pipi Dela terasa panas.

Setelah keheningan beberapa detik, Arsen memecah suasana lagi.

“Aku rasa kaki kamu perlu diurut atau dibawa ke rumah sakit. Sepertinya terkilir waktu jatuh tadi,” katanya sambil melirik kaki Dela yang tampak agak bengkak.

Dela buru-buru menggeleng. “Tidak perlu nanti juga sembuh sendiri,” elaknya.

Padahal sebenarnya seluruh tubuhnya terasa nyeri, terutama di bagian kaki yang sakit saat digerakkan. Tapi untuk pergi berobat, Dela tak punya uang sepeser pun. Semua tabungannya sudah habis diminta ibunya untuk acara lamaran Tika dan Riki.

Ingat hal itu saja membuat hatinya terasa perih. “Sakit hati aja rasanya kalau diingat lagi,” gumamnya dalam hati.

Ia bahkan yang memasak semua hidangan lamaran itu sendiri, tapi justru di hari yang sama ia kehilangan orang yang paling ia cintai.

Arsen menatapnya serius. “Kamu jangan suka menyepelekan luka. Aku lihat kamu jatuh lumayan keras, bahkan kepalamu sempat terbentur kan?” Suaranya terdengar khawatir. Ia merasa bersalah karena semua ini berawal darinya.

“Lagian kamu ngapain sih malam-malam jalan sendirian? Jalannya juga gak lihat-lihat lagi,” lanjut Arsen dengan nada separuh heran, separuh khawatir.

Dela menarik napas panjang. “Aku cuma mau cari udara segar. Di rumah rasanya sesak,” jawabnya singkat, menahan cerita sebenarnya bahwa ia sedang lari dari kenyataan pahit.

Suasana kembali hening. Arsen menatap sekeliling kamar yang sederhana itu, lalu menatap pakaiannya yang masih berdebu dan bau keringat.

“Kamu punya baju cowok gak? Aku butuh ganti,” katanya.

Dela menggeleng pelan. “Aku gak punya baju cowok. Tapi kalau kamu mau bisa pakai punya Bapak. Aku ambilkan,” jawabnya dengan nada sopan.

“Ya boleh yang penting bersih,” ujar Arsen tersenyum kecil. Dela hanya mengangguk lalu beranjak keluar kamar.

Langkahnya pelan karena kaki yang terkilir membuatnya sedikit pincang. Ia menuju kamar ayahnya yang berada di belakang dekat dapur. Sejak Pak Surya sakit, kamar itu jarang didatangi Rena ibunya. Sang ibu memilih tidur sendiri di kamar depan, sementara Dela yang setia merawat ayahnya.

“Bapak,” panggil Dela pelan sambil mengetuk pintu.

“Mas Arsen gak punya baju ganti, boleh pinjam baju Bapak?” Tanyanya.

Pak Surya yang masih terjaga tersenyum lembut. “Iya Nak. Ambil saja di lemari,” jawabnya pelan.

Dela membuka lemari dan mengambil kemeja bersih milik ayahnya. Tapi sebelum pergi, ia menatap ayahnya dengan cemas.

“Kok Bapak belum tidur? Sudah malam loh Bapak lapar? Dela ambilkan makan ya?” Tawarnya.

Surya menggeleng pelan. “Tidak Dela Bapak tidak lapar. Bapak cuma kepikiran kamu.”

Dela mendesah pelan. “Bapak gak usah mikirin Dela. Dela baik-baik saja kok,” katanya meski dalam hatinya sendiri masih guncang.

Surya menatap langkah anak gadisnya yang agak pincang. “Itu kaki kamu kenapa Nak? Jalannya kok agak aneh?” Tanyanya cemas.

“Cuma nyeri sedikit Pak. Mungkin karena jatuh tadi,” jawabnya pelan.

Surya menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara lembut tapi tegas, “Nak sekarang kamu sudah jadi seorang istri. Apa pun alasannya perlakukan suamimu dengan baik. Jangan biarkan pernikahan ini hanya jadi main-main, meskipun awalnya dipaksa. Laksanakan kewajibanmu sebagai istri dengan hati yang tulus.”

Dela menunduk terdiam. Kata-kata ayahnya terasa berat tapi penuh makna.

“Iya Pak,” jawabnya singkat. “Bapak sudah minum obat?”

“Sudah,” jawab Surya.

“Kalau begitu Bapak tidur ya. Jangan begadang, nanti sakitnya kambuh,” ujar Dela lembut sebelum meninggalkan kamar.

Sesampainya di kamar, Dela menyerahkan baju ganti pada Arsen.

“Ini baju Bapak. Dipakai aja,” ucapnya singkat.

“Terima kasih,” balas Arsen dengan senyum tipis.

Dela duduk di ranjang, mengelus kaki yang masih nyeri. Ia masih sulit percaya dengan keadaan sekarang. Rasanya hidupnya berubah dalam semalam dari gadis patah hati, menjadi seorang istri dari pria yang baru ia kenal beberapa jam.

Saat hendak berbaring, kepala Dela yang terbentur semalam tak sengaja mengenai bantal.

“Auh sakit,” desisnya pelan sambil menahan perih.

Arsen yang sedang melipat bajunya segera menoleh. “Kamu kenapa?” Tanyanya cepat, wajahnya tampak khawatir.

“Kepalaku sakit. Kayaknya kena benturan waktu jatuh,” jawab Dela sambil memegangi kepala.

Arsen mendekat, duduk di sisi ranjang. “Coba aku lihat,” katanya lembut. Ia menyingkirkan sedikit rambut Dela dan tampaklah benjolan memar di sisi kepala gadis itu.

“Ya ampun Dela. Ini bengkak loh pasti ini penyebab kamu pingsan tadi,” ucapnya prihatin.

“Ada kotak P3K gak?” Tanyanya.

“Ada di lemari kecil,” jawab Dela sambil menunjuk arah.

Arsen segera mengambil kotak itu dan dengan telaten membersihkan luka kecil di kulit kepala Dela. Setiap kali kapas menyentuh kulitnya, Dela meringis kecil. Tapi di balik rasa sakit itu, ada perasaan hangat yang aneh seseorang yang tak ia kenal begitu peduli padanya.

“Terima kasih,” ucap Dela pelan setelah selesai diobati.

Arsen hanya tersenyum. “Sudah istirahat aja. Besok kamu pasti butuh tenaga.”

...****************...

Keesokan paginya, sinar matahari menembus jendela kamar. Dela membuka mata perlahan dan langsung merasakan nyeri tajam di pergelangan kakinya.

“Aduh...” Desisnya. Ia mencoba berdiri tapi tubuhnya goyah.

Arsen yang baru saja selesai berwudhu langsung menoleh.

“Kamu kenapa?” Tanyanya cemas.

“Kakiku sakit banget buat jalan,” ucap Dela menahan perih.

Arsen segera menghampiri. “Udah aku anter ke dokter aja sekarang,” katanya tegas.

Dela buru-buru menolak. “Jangan! Mahal. Pasti biayanya mahal. Ini cuma terkilir, nanti aku bawa ke tukang urut aja.”

“Tapi...”

“Udah aku biasa kayak gini kok,” potong Dela cepat.

Arsen mendesah pelan, menyerah untuk sementara. Ia tahu gadis itu keras kepala, tapi dalam hati ia tetap khawatir.

Pagi itu, Dela benar-benar tak bisa berbuat banyak. Biasanya ia bangun paling pagi, memasak, mencuci, membersihkan rumah, dan menyiapkan sarapan untuk semua penghuni rumah. Tapi kali ini, hanya bisa duduk sambil menahan sakit.

Sementara di ruang makan, Tika dan Eka sudah bersiap hendak ke kantor. Mereka turun dengan tergesa, berharap sarapan sudah tersaji seperti biasa. Namun, begitu melihat meja makan yang kosong melompong, keduanya langsung berdecak kesal.

“Loh mana sarapannya?” Tanya Tika dengan nada tinggi.

“Iya kok meja makan kosong begini? Mbak Dela ke mana sih?” Gerutu Eka sambil menatap jam tangannya.

Suaminya Rian, ikut menimpali dengan nada sinis, “Pengantin baru hasil grebekan warga aja udah bangun kesiangan.”

Eka terkekeh sinis. “Mungkin mereka masih sibuk malam pertama,” katanya sambil mengangkat alis menggoda.

“Ih Mas Rian! Jangan ngomong sembarangan,” sahut Tika, tapi senyum sinis tetap tersungging di bibirnya.

Tak lama kemudian, suara Tika memanggil ibunya terdengar nyaring.

“Bu! Ibu!”

Rena yang sedang menyapu ruang tengah segera datang. “Apa sih ribut-ribut pagi-pagi?” Tanyanya agak kesal.

“Ibu sarapannya mana? Aku mau berangkat kerja, tapi belum makan!” Keluh Tika.

“Iya nih bu,” sambung Eka. “Aku sama Mas Rian juga belum sarapan.”

Rena memutar bola matanya. “Loh Dela gak masak apa? Masa Ibu udah nyuci, beres-beres rumah juga, masih harus masak lagi?”

“Entahlah bu. Dari tadi belum keluar dari kamarnya,” jawab Eka dengan nada sinis.

Rena mendengus. “Haduh anak satu itu. Mentang-mentang pengantin baru bangun kesiangan. Udah kayak nyonya besar aja!”

Tanpa pikir panjang, Rena langsung melangkah menuju kamar Dela, disusul Tika dan Eka di belakangnya. Sambil berjalan, mulutnya terus berkomat-kamit, mengomel tanpa henti.

“Bukannya bantu Ibu beresin rumah. Tau sendiri rumah masih berantakan habis lamaran kemarin!”

Rena sampai di depan kamar Dela lalu mengetuk pintu keras-keras.

“Dela! Bangun kamu!” Suaranya lantang membuat Dela dan Arsen di dalam kamar terkejut.

Arsen buru-buru membuka pintu. “Iya Bu ada apa?” Tanyanya sopan.

“Mana Dela?”

“Ada Bu di dalam,” jawab Arsen cepat.

Tanpa izin, Rena langsung menerobos masuk. Tatapannya tajam melihat Dela yang masih duduk di ranjang dengan kaki diperban.

“Astaga ini kamu ngapain aja dari tadi hah?”

Dela menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, bingung harus menjawab apa. Ia tak sanggup menjelaskan bahwa kakinya sakit dan tidak bisa berjalan. Tapi melihat ekspresi marah sang ibu ia tau, apa pun alasannya Dela tetap akan disalahkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!