Amanda terbangun saat merasakan pelukan hangat di pinggangnya. Sebuah kecupan mendarat lembut di pipinya, membuat bulu kuduknya meremang, bukan karena takut, tapi karena rasa nyaman yang sulit dijelaskan.
Ia membuka mata perlahan. Di hadapannya, wajah Azka tampak begitu dekat. Mata pria itu menatapnya dengan sorot penuh cinta, bibirnya tersenyum lembut seperti biasa, senyum yang selalu berhasil menenangkan hati Amanda, bahkan ketika dunia terasa berat.
“Selamat malam, Sayang,” bisik Azka pelan, suaranya serak tapi menenangkan. “Maaf aku pulang telat lagi.”
Amanda menatapnya sejenak sebelum tersenyum kecil. “Aku udah biasa, kok. Lagipula, aku tahu kamu kerja keras buat kita,” jawabnya dengan suara lembut.
Azka terkekeh kecil. Ia membelai pipi istrinya dengan ibu jarinya, menghapus sisa kantuk dari wajah itu. “Aku nggak mau kamu nunggu sampai begadang tiap malam. Aku tahu kamu sering pura-pura belum tidur, padahal matamu udah berat banget.”
Amanda tertawa pelan. “Kalau aku tidur duluan, nanti kamu pulang sendirian, kan? Aku cuma pengin nyambut kamu pulang. Itu aja.”
Azka menatapnya lama. Tatapannya seperti berkata banyak hal yang tidak diucapkan. Lalu tanpa kata, ia mencium kening Amanda dengan penuh kasih. “Kamu selalu bikin aku merasa punya rumah, Manda.”
Amanda tersenyum. “Memang kamu punya rumah. Aku, kan?”
Azka mengangguk pelan, lalu menarik Amanda lebih dekat ke dalam pelukannya. Aroma tubuhnya yang khas, perpaduan parfum dan sabun mandi, membuat Amanda merasa hangat. Ia memejamkan mata lagi, menikmati detik-detik hening di antara mereka.
Hanya ada napas yang berpadu, jantung yang berdetak beriringan, dan rasa cinta yang tak perlu banyak kata.
Keesokan paginya, sinar matahari masuk dari celah gorden kamar. Amanda terbangun lebih dulu dari Azka. Ia menatap wajah suaminya yang masih terlelap. Ada sesuatu yang menenangkan setiap kali ia melihat pria itu tidur, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk momen itu.
Azka tampak damai, garis wajahnya tegas, rahangnya kuat, tapi bibirnya lembut. Amanda masih ingat betul bagaimana mereka pertama kali bertemu, di sebuah acara perusahaan tempatnya bekerja dulu. Azka datang sebagai pembicara tamu, dan sejak pertemuan itu, semuanya berubah.
Dia jatuh cinta pada caranya berbicara, pada cara Azka menatap orang lain dengan percaya diri tapi tetap sopan. Dan ketika akhirnya pria itu menyatakan cinta, Amanda tak ragu sedikit pun.
“Sudah bangun?” suara berat Azka memecah lamunan Amanda. Ia membuka mata perlahan, menatap istrinya yang sedang memandangi dirinya.
Amanda tersipu. “Kamu sadar aku perhatiin ya, Mas?”
Azka mengulum senyum. “Dari tadi kamu senyum-senyum sendiri. Gimana aku nggak sadar?”
Amanda menunduk, pura-pura merapikan selimut. “Aku cuma ... bersyukur, Mas.”
“Bersyukur kenapa?” tanya Azka, menarik tubuhnya untuk duduk di tepi ranjang.
“Bersyukur karena aku punya kamu, Mas.”
Azka menatapnya beberapa detik, lalu tiba-tiba menarik Amanda ke dalam pelukannya. “Dan aku bersyukur karena Tuhan memberiku seseorang seperti kamu. Serius, Manda, hidupku sebelumnya berantakan. Tapi sejak kamu datang, semuanya terasa lebih tenang.”
Amanda menatap suaminya dengan mata berbinar. “Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku cuma tahu aku cinta kamu, Mas”
Azka tersenyum, mencium dahinya lama. “Itu udah cukup.”
Pagi itu mereka sarapan bersama. Amanda menyiapkan menu sederhana, nasi goreng, telur mata sapi, dan teh hangat kesukaan Azka. Di meja makan, suasana begitu tenang. Hanya suara sendok bertemu piring dan percakapan ringan yang membuat rumah terasa hidup.
“Kamu tahu nggak, Manda,” ucap Azka tiba-tiba, menatap istrinya dengan mata berbinar. “Besok aku harus berangkat ke luar kota. Ada proyek baru yang harus aku tangani langsung.”
Amanda berhenti mengaduk tehnya. “Berapa lama, Mas?”
“Mungkin seminggu, atau dua minggu,” jawab Azka sambil menyesap minumannya. “Tapi kalau kamu mau, kamu bisa ikut. Aku nggak keberatan.”
Amanda menatapnya kaget. Biasanya, kalau Azka pergi kerja, dia lebih sering berangkat sendiri. Tapi kali ini, ajakan itu membuat hatinya berdebar.
“Serius aku boleh ikut, Mas?” tanyanya pelan, seolah takut harapan itu hanya candaan.
Azka tertawa kecil. “Tentu aja boleh. Malah aku pengin kamu ikut. Biar kamu lihat dunia kerja aku. Dan biar aku nggak kangen terus.”
Amanda menunduk, pipinya memerah. “Kalau gitu aku ikut, deh. Aku nggak mau jauh-jauh dari kamu.”
Azka mengangkat alisnya, pura-pura terkejut. “Wah, jadi kamu udah kecanduan aku, ya?”
Amanda mencubit lengannya pelan. “Ih, narsis banget sih!”
Azka tertawa keras, lalu berdiri dan menghampiri istrinya. Ia berdiri di belakang Amanda, menunduk, dan berbisik lembut di telinganya. “Tapi aku suka kamu begini, pengin selalu sama aku.”
Suara itu membuat jantung Amanda berdebar cepat. Ia menoleh sedikit dan menemukan wajah Azka yang begitu dekat. Sekali lagi, pria itu mencium pipinya, membuatnya tersenyum tanpa sadar.
Hari itu mereka menghabiskan waktu berdua di rumah. Amanda menemani Azka beres-beres dokumen untuk perjalanannya. Di sela-sela kesibukan itu, mereka bercanda, saling menggoda, seperti dua anak remaja yang baru jatuh cinta.
“Mas, kamu yakin aku nggak ganggu kerjaan kamu kalau ikut?” tanya Amanda sambil melipat kemeja suaminya.
“Ganggu? Kamu malah penyemangatku,” jawab Azka tanpa menoleh dari laptopnya. “Coba aja bayangin, aku kerja keras di sana, terus setiap pulang ke hotel, aku lihat wajah kamu. Semua capek langsung hilang.”
Amanda tertawa kecil. “Manis banget, ya. Aku sampai lupa kalau kamu ini bos yang galak, Mas.”
Azka menoleh cepat, pura-pura tersinggung. “Hei, siapa bilang aku galak?”
“Karyawanmu kali yang bilang,” jawab Amanda cepat.
Azka mendengus. “Kalau sama kamu, aku nggak bakal bisa galak. Kamu tuh kelemahanku, Manda.”
Ucapan itu membuat Amanda berhenti melipat. Ia menatap suaminya lama, lalu tersenyum lembut. “Aku cuma pengin jadi alasan kamu pulang setiap hari, Mas.”
Azka berdiri, menghampiri, lalu menarik Amanda ke dalam pelukannya. “Dan kamu memang alasanku pulang.”
Menjelang sore, mereka duduk di teras belakang rumah, menikmati teh dan senja yang mulai turun. Langit berwarna oranye keemasan, dan angin sore membawa aroma bunga melati dari taman kecil yang ditanam Amanda sendiri.
“Kalau kamu udah ikut aku nanti,” kata Azka pelan, “Aku pengin kita sempat jalan-jalan juga. Nggak cuma kerja. Aku janji bakal sempatin waktu buat kita.”
Amanda mengangguk sambil tersenyum. “Aku nggak minta banyak, Mas. Asal bisa bareng kamu, itu udah cukup.”
Azka menatapnya dalam, seolah ingin mengingat setiap detail dari wajah itu. “Kamu tahu nggak, Manda ... kadang aku takut kehilangan kamu.”
Amanda menoleh, sedikit heran. “Kenapa tiba-tiba ngomong gitu, Mas?”
Azka tersenyum tipis. “Karena kamu terlalu baik buat aku. Aku cuma takut suatu hari kamu sadar kalau kamu pantas dapet yang lebih baik.”
Amanda langsung menggenggam tangannya erat. “Jangan ngomong gitu lagi. Aku cinta kamu, Mas. Dan aku nggak butuh siapa-siapa lagi.”
Azka menarik napas dalam, lalu menunduk mencium tangan istrinya. “Aku juga cinta kamu. Lebih dari apa pun.”
Hening. Hanya suara jangkrik mulai terdengar, pertanda malam datang.
Malamnya, setelah makan malam, Amanda duduk di tempat tidur sambil menatap koper yang hampir penuh. Ia merasa seperti anak kecil yang akan pergi piknik. Dalam hatinya, ia berdoa agar perjalanan besok menjadi kenangan indah bagi mereka berdua.
Azka keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan kaus putih dan celana panjang. Rambutnya masih basah, dan tetesan air menuruni lehernya. Amanda menatapnya diam-diam, menyadari betapa beruntungnya ia bisa mencintai dan dicintai oleh pria seperti Azka.
“Kamu kelihatan bahagia banget, Sayang,” kata Azka sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Ya iyalah,” jawab Amanda sambil tersenyum. “Kapan lagi bisa ikut kamu kerja dan liburan bareng, Mas.”
Azka menaruh handuk di kursi, lalu duduk di tepi ranjang. “Aku senang kamu mau ikut. Aku janji, bakal jadi perjalanan yang menyenangkan.”
Amanda mengangguk, lalu berbaring. “Aku nggak sabar, Mas.”
Azka mematikan lampu, lalu ikut berbaring di sebelahnya. Dalam gelap, ia menarik tubuh Amanda ke dalam pelukannya. “Tidurlah, Sayang. Besok kita mulai petualangan baru.”
Amanda tersenyum, memejamkan mata. “Iya, Mas. Aku bahagia banget punya kamu.”
Azka membisikkan kata yang selalu membuatnya tenang. “Dan aku bahagia karena kamu percaya sama aku.”
Amanda bangun lebih awal. Dia ingin menyiapkan sarapan buat sang suami. Hari ini dia ingin memberikan sesuatu yang istimewa. Suaminya mengajak ikut serta ke luar kota. Dimana tinggal salah seorang sahabatnya.
Azka yang baru terbangun tak melihat sang istri, langsung bangun. Mendengar suara berasal dari dapur, yakinlah dia kalau Amanda berada di sana.
Azka memeluk Amanda dari belakang dan meletakan kepalanya di bahu sang istri. Dia mengecup pipinya dengan lembut.
"Selamat Pagi kesayanganku!" ucap Azka.
"Pagi, Mas. Aku bau bawang, Mas duduk saja sana. Biar aku siapin sarapan dulu," balas Amanda.
Azka tersenyum, masih memeluk Amanda dari belakang sambil menatap wajah istrinya lewat pantulan kaca di dapur. Aroma tumisan bawang dan kopi yang baru diseduh membuat suasana pagi itu terasa hangat.
“Bagiku kamu tetap wangi, Sayang. Kayaknya kamu semangat banget pagi ini,” ujar Azka sambil sedikit mengangkat alisnya. “Ada yang spesial, ya?”
Amanda terkekeh pelan tanpa menoleh. “Ya jelas semangat, lah. Aku kan ikut Mas ke luar kota. Sekalian mau ketemu sahabatku juga di sana.”
“Oh, jadi gitu alasannya,” goda Azka, suaranya rendah dan hangat. “Kirain semangat karena mau nemenin suami kerja.”
Amanda menoleh sebentar, pura-pura manyun. “Ya dua-duanya lah. Mas ini, sukanya mancing mulu.”
Azka tertawa kecil, lalu melepaskan pelukannya dan menarik kursi untuk duduk. “Ya udah, aku duduk manis aja deh. Mau menyaksikan koki tercantik di dunia sedang masak."
“Pagi-pagi dah gombal aja."
"Itu bukan gombal, Sayang. Bagiku kamu memang wanita tercantik di dunia."
"Mas selalu saja bisa buat aku tersipu. Oh ya, aku masak nasi goreng spesial nih, biar Mas tambah semangat juga,” kata Amanda sambil menata piring di meja makan.
Azka menatapnya dengan tatapan penuh rasa sayang. “Hmm ... kalau tiap hari disambut kayak gini, kerja ke luar kota pun rasanya pengen cepat pulang.”
Azka meraih kopi yang telah di siapkan sang istri dan meneguknya perlahan. Dia selalu menyukai apa pun yang Amanda suguhkan.
Amanda tertawa kecil. “Harus, aku tak mau kamu tergoda wanita lain di luar sana. Aku bisa berbagi apa saja, asal bukan cintamu. Kalau aku tahu kamu mendua, lebih baik aku mundur, Mas."
Mendengar ucapan sang istri, Azka langsung tersedak. Amanda langsung mendekati suaminya. Menepuk punggungnya dengan pelan.
"Kamu kenapa, Mas? Ada yang omongin kamu, nih!" ujar Amanda.
"Aku hanya batuk. Kamu masih saja percaya mitos begitu." Azka tampak sedikit gugup.
"Tapi benar loh, Mas. Aku tak mau kamu mendua. Jika kamu memang sudah tak cinta lagi, kita bisa pisah secara baik-baik. Kamu jujur saja," ucap Amanda.
"Manda, kamu ngomong apa sih? Pagi yang cerah ini jangan bicara yang berat-berat. Lebih baik kita sarapan. Nanti telat sampai bandara," balas Azka.
Amanda menatap Azka beberapa detik, mencoba membaca raut wajah suaminya yang tampak agak kikuk. Tapi karena tak ingin merusak suasana pagi, ia hanya menghela napas dan tersenyum tipis.
“Iya deh, Mas. Aku cuma bercanda kok,” ucap Amanda sambil kembali duduk.
“Bagus, soalnya kalau kamu ngomong serius, jantungku langsung deg-degan,” jawab Azka sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.
Mereka lalu menyantap sarapan bersama. Nasi goreng buatan Amanda memang selalu jadi favorit Azka, rasanya pas, tidak terlalu pedas, dan selalu disajikan dengan telur mata sapi setengah matang.
“Enak banget, Sayang,” puji Azka di sela-sela suapan. “Kayaknya di luar kota nggak bakal nemu rasa seenak ini.”
Amanda tersenyum sambil menatapnya. “Makanya, jangan pernah bosan pulang, Mas. Jangan sering di luar kota.”
"Sayang, aku kan melakukan itu demi masa depan kita juga."
"Iya, Mas. Semoga rahimku segera dititipkan anak, biar kebahagiaan kita sempurna."
"Sayang, berdua denganmu saja sudah sangat membahagiakan. Jangan selalu berpikir ke sana saja," balas Azka.
"Iya, Mas. Aku juga bahagia denganmu. Tapi pasti akan lebih sempurna jika di antara kita ada anak."
Azka mengangguk pelan, senyum hangat masih menghiasi wajahnya. Setelah sarapan selesai, Amanda segera membereskan meja sementara Azka menyiapkan koper dan beberapa berkas kerja di ruang tamu.
Sekitar setengah jam kemudian, suara klakson pelan terdengar dari luar. Supir mereka sudah datang.
“Mas, udah siap?” tanya Amanda sambil keluar dari dapur, kini sudah berganti pakaian dengan kemeja putih dan celana kulot krem yang membuatnya terlihat rapi tapi tetap sederhana.
Azka berdiri sambil menatap istrinya dari ujung kaki hingga kepala. “Wah, cantik banget. Kapan sih jeleknya? Ini mau nemenin kerja atau mau bikin semua orang di bandara salah fokus?”
Amanda mendengus kecil. “Mas bisa aja. Yuk, nanti ketinggalan pesawat.”
Mereka keluar rumah sambil membawa koper. Udara pagi masih sejuk, langit cerah tanpa awan. Supir mereka, Pak Darto, sudah menunggu di depan mobil.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Amanda ramah.
“Pagi, Bu, Pak. Sudah siap berangkat?”
Azka mengangguk. “Siap, Pak. Langsung ke bandara ya.”
Mobil pun melaju pelan meninggalkan halaman rumah. Di kursi belakang, Amanda bersandar di bahu suaminya, sementara Azka menggenggam tangannya erat.
Sesekali Amanda menatap keluar jendela, melihat matahari yang mulai naik perlahan. Ia tak tahu kenapa, tapi di hatinya muncul perasaan campur aduk, bahagia karena bisa ikut, tapi juga ada sedikit rasa khawatir yang belum bisa dijelaskan.
Azka menoleh sekilas dan tersenyum. “Kamu kenapa diam aja, Sayang?”
“Nggak apa-apa, Mas. Cuma ... semoga perjalanan ini lancar dan semua baik-baik aja,” jawab Amanda pelan.
Azka menatapnya sebentar, lalu menepuk tangan istrinya lembut. “Pasti, Sayang. Selama kamu di sampingku, semua pasti baik-baik aja.”
Mobil terus melaju menuju bandara, meninggalkan pagi yang baru dimulai tapi tanpa mereka sadari, perjalanan itu akan membuka lembaran baru dalam kisah mereka.
Dua jam perjalanan udara, akhirnya Azka dan istrinya Amanda. Ketika berjalan, tangan pria itu selalu menggenggam tangan wanitanya.
"Sayang, kita langsung ke hotel. Sehabis makan siang aku baru rapat," ucap Azka.
"Saat kamu rapat, aku mau bertemu temanku. Boleh, Mas?" tanya Amanda dengan manjanya.
"Apa nggak tunggu aku selesai rapat dulu. Biar bisa aku temani?" tanya Azka.
"Nggak usah, Mas. Aku sudah tak sabar ingin bertemu. Sudah hampir sepuluh tahun kami tak bertemu."
"Apa kamu tak pernah berkomunikasi lagi dengannya?" tanya Azka.
Mereka mengobrol sambil berjalan menuju mobil. Tas bawaan mereka telah di angkut seseorang yang menjemputnya.
"Sejak orang tuanya pindah tugas dan dia harus ikut dengan mereka, komunikasi kami terputus. Baru beberapa hari lalu aku dapat nomor ponselnya dari teman. Dan yang menyenangkan, kebetulan suami tercintaku mengajak ke kota tempat tinggalnya," ujar Amanda. Azka ikut tersenyum melihat istrinya begitu bahagia.
Mobil yang menjemput mereka melaju perlahan meninggalkan bandara. Di luar, langit kota itu tampak biru terang, awan putih berarak lembut. Amanda duduk di samping Azka, sesekali menoleh ke jendela dengan mata berbinar. Terlihat jelas, hatinya sedang senang.
Azka menatap istrinya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Jarang-jarang kamu seantusias ini. Siapa sih teman yang mau kamu temui? Jangan bilang itu mantan kamu,” ucap Azka sambil mengistirahatkan punggung di sandaran kursi.
Amanda menoleh. “Ih, Mas. Mana mungkin aku berhubungan dengan seorang pria tanpa Mas tau. Aku ini seorang istri. Harus bisa menjaga nama baik suamiku," balas Amanda.
Azka mengangguk pelan. “Senang ya, akhirnya bisa ketemu lagi setelah sekian lama.”
“Banget, Mas,” jawab Amanda cepat, senyumnya merekah. “Aku bahkan masih simpan gelang persahabatan yang dia kasih dulu. Nggak nyangka, setelah sepuluh tahun, kita bakal dipertemukan di kota ini.”
"Jika ada kesempatan aku ingin berkenalan. Aku juga ingin tau, sahabat seperti apa yang membuat istriku sebahagia ini."
"Pasti, Mas. Aku akan mengenalkan kamu dengannya," balas Amanda.
Mobil berhenti di depan hotel bintang lima di pusat kota. Seorang bellboy langsung membuka pintu, sementara petugas lain membawa koper mereka. Lobi hotel tampak megah, dengan wangi bunga segar yang samar.
Setelah check-in dan masuk ke kamar, Amanda berdiri di balkon, menikmati pemandangan kota dari lantai dua puluh.
“Cantik banget ya, Mas,” ucapnya lembut. “Kota ini terasa hangat, entah kenapa.”
Azka berjalan menghampiri dan melingkarkan lengannya di pinggang istrinya. “Mungkin karena kamu bahagia,” ujarnya.
Amanda tersenyum, menoleh ke arah suaminya. “Mungkin.”
Siang hari, setelah makan siang bersama, Azka bersiap untuk rapat. Amanda membantu merapikan dasinya.
“Jangan lama-lama ya, Mas,” ujar Manda dengan manja. “Aku juga mau siap-siap ketemu temanku Uni.”
Azka tersenyum. “Hati-hati di jalan. Kirim pesan kalau sudah sampai.”
“Iya, Mas. Aku janji." Amanda mengecup pipinya sebelum pria itu berangkat.
Begitu pintu tertutup, Amanda menarik napas panjang. Ia membuka ponselnya, melihat pesan terakhir dari seorang sahabatnya bernama Yuni dan biasa dia panggil Uni.
“Aku sudah tak sabar bertemu, Uni. Banyak yang harus kita bicarakan setelah sepuluh tahun.”
Pesan itu dikirim, dan Amanda menatap layar beberapa detik sebelum berbalik menuju lemari, memilih gaun sederhana tapi elegan.
**
Setelah selesai berpakaian, Amanda pergi ke kafe tempat mereka janji bertemu menggunakan taksi.
"Kenapa dadaku rasanya berdebar, seperti mau ketemu pacar aja," gumam Amanda pada dirinya sendiri.
Setengah jam kemudian, sampailah Amanda di tempat tujuan. Dia keluar dari taksi dan membayarnya. Dengan langkah yang pasti dia masuk ke dalam kafe.
Amanda memandangi ke sekeliling ruangan mencari keberadaan sang sahabat. Dia juga tak yakin kalau masih mengenalinya. Pasti sudah banyak perubahan baik segi wajah maupun penampilan.
Amanda berdiri di tengah kafe yang tak terlalu ramai itu, matanya menyapu setiap meja dengan hati berdebar. Musik lembut mengalun di latar, aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara.
Lalu, pandangannya berhenti pada sosok wanita berambut sebahu yang sedang melambaikan tangan dari pojok ruangan. Senyum lebar menghiasi wajahnya.
“Amanda!”
Amanda spontan tersenyum lebar dan melangkah cepat menghampiri. Begitu mereka bertemu, tanpa pikir panjang keduanya langsung berpelukan erat.
“Uni ... ya ampun, kamu nggak banyak berubah!” ujar Amanda dengan suara bergetar.
Yuni terkekeh pelan. “Kamu juga, Manda. Tapi sekarang kelihatan makin elegan. Lihat deh, gaya istri mapan banget.”
Amanda menertawakan ucapan itu sambil menepuk bahu sahabatnya. “Dasar, kamu masih aja suka bercanda. Tapi serius, aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi. Rasanya kayak mimpi.”
Mereka duduk di meja pojok, dekat jendela besar. Pelayan datang, dan mereka memesan makan siang sambil terus mengobrol panjang lebar. Obrolan mengalir begitu saja, tentang masa SMP, tentang teman-teman, melanjutkan kemana setelah tamat kemarin. Dan juga tentang kehidupan rumah tangga.
“Jadi kamu udah menikah juga?” tanya Amanda sambil menyeruput minumannya.
Yuni mengangguk. “Udah, hampir lima tahun. Suamiku kerja di perusahaan ekspor, tapi sering banget dinas ke luar kota. Jadi kadang rumah sepi.”
Amanda mengangguk, matanya memancarkan simpati. “Aku juga sering ditinggal keluar kota sama suamiku. Tapi ya ... begitulah hidup berumah tangga, kan?”
Mereka tertawa kecil bersama. Waktu berjalan tanpa terasa. Dari tawa berubah jadi nostalgia, dari nostalgia berubah jadi cerita yang lebih dalam, tentang kehilangan, kesepian, dan hal-hal yang dulu tak sempat diungkapkan.
Saat matahari mulai condong ke barat, Yuni menatap Amanda dengan tatapan hangat tapi sulit diartikan. “Manda ... kamu ada waktu sebentar lagi, kan?”
“Masih kok. Kenapa?”
“Aku pengen kamu ikut aku ke rumah. Nggak jauh dari sini, cuma lima belas menit. Siapa tahu kamu dan suami mau menginap nantinya," ucap Yuni.
Amanda mengernyit pelan tapi tersenyum. “Boleh. Sekalian aku mau lihat seperti apa rumah sahabat lamaku sekarang.”
Mereka membayar makanan, lalu keluar dari kafe. Udara sore terasa lembut, matahari menyorot di antara dedaunan. Yuni membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Amanda masuk.
Sepanjang perjalanan, Amanda merasa aneh, bukan karena Yuni, tapi karena perasaannya sendiri. Ada sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!