NovelToon NovelToon

Diantara Cinta Dan Dosa

Prolog

Wanita cantik dengan tatapan sendu itu termenung di depan jendela kamar, rintik hujan semakin membawa ingatannya jauh ke masa lalu. Tatapannya kosong tapi pikirnya penuh. Sebuah tangan kekar melingkar di perutnya, membuat hati yang semula dingin perlahan menghangat. Wangi maskulin menguar di indera penciumannya, lembut nafas memburu terasa hangat di telinganya. kecupan - kecupan kecil itu terasa menggelitik di leher jenjangnya.

Dia terbuai, terlena dengan belaian lembut sang pemilik hati. Siapa yang bisa menolak surga dunia yang penuh gairah dan cinta.

"Hari ini putusan sidang perceraian kita," suara parau Vanya mencoba memecah heningnya suasana setelah percintaan mereka berakhir.

Vano seolah acuh, ia semakin mengeratkan pelukannya. "Aku tidak perduli!" ujarnya sambil terus mengecup pipi istrinya.

"Setelah hakim ketuk palu nanti, maka pernikahan kita selesai," Vanya mempertegas.

"Persetan dengan perceraian, kita tetap bisa menjalin hubungan tanpa ikatan pernikahan bukan? Vanya kita saling mencintai apalah arti sebuah pernikahan?"

"Sehina itukah aku di matamu?" lirih Vanya dengan mata yang berkaca.

Vano terdiam, pikirannya semakin kacau. Sejujurnya ia tidak rela harus bercerai dengan Vanya, wanita yang telah di nikahinya selama 5 Tahun itu. Apalagi mereka sudah di karuniai seorang anak perempuan yang kini sudah berusia 4 tahun.

"Vanya tolonglah bersabar sebentar lagi. Aku yakin pelan-pelan keluarga besarku akan menerimamu juga Elana, jangan egois pikiran masa depan Elana." Bujuk Vano.

"Berapa lama lagi? Lima tahun bukan waktu yang sebentar Mas, selama itu aku dan Elana gak pernah di anggap ada di tengah keluargamu, bahkan aku selalu di kucilkan dan di rendahkan. Aku mungkin masih bisa terima jika hanya aku yang di sakiti, tapi aku tidak terima jika Elana yang di sakiti. Dan apa yang kamu lakukan? Hanya meminta aku sabar dan mengalah. Aku tahu kamu sangat berbakti terhadap orang tuamu, tapi posisimu di sini juga sebagai suami dan ayah yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi isti dan anaknya. Di mana peranmu sebagai kepala keluarga?" Kesal Vanya kemudian memunguti pakaiannya yang berserakan, lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Vano hanya diam tak bereaksi apa-apa. Memanglah dia tak bisa melawan keluarganya karena takut kehilangan segalanya. Namun, ternyata dengan diamnya Vano justru membuat dirinya malah harus kehilangan orang-orang yang sangat berarti dalam hidupnya.

Sore itu langit tampak murung, rintik gerimis seolah menangis. Hembusan angin terasa dingin, menembus dinding hati yang pilu. Itulah yang Vanya rasakan saat mendengar ketukan palu dari hakim. Jangan di tanya seberapa hancur ia saat ini, pasti sangat hancur, namun ia berusaha menyembunyikan luka itu di balik senyum palsunya. Vanya hanya tertunduk menertawakan jalan hidupnya, bahkan ia tak sanggup untuk memandang Vano untuk yang terakhir kalinya.

-

-

Perlahan tangan Vanya meraih stop kontak yang menempel di dinding kamar. Ruangan yang awalnya gelap gulita berubah menjadi terang benderang. Mata Vanya memindai seluruh ruangan yang menjadi tempat kenangannya bersama Vano, setiap sudut rumah punya cerita tersendiri untuk mereka berdua.

Dari foto-foto yang terpajang di dinding, Ranjang kokoh nan empuk menjadi saksi bisu penyatuan cinta mereka, hingga bantal yang selalu mereka gunakan untuk berbaring bersama sambil menonton film. Setiap detail kecil di ruangan itu membawa Vanya kembali ke masa-masa indah bersama Vano. Dia bisa merasakan kehangatan dan kebersamaan yang mereka miliki, dan itu membuatnya merasa sedih karena sekarang semuanya telah berubah. Vanya berjalan perlahan ke arah meja rias, di mana masih tergeletak beberapa barang couple milik mereka. Dia mengambil sebuah jam tangan yang pernah Vano berikan padanya, dan kenangan saat Vano memberikannya kembali muncul di benaknya. Dengan jam tangan itu di tangannya, Vanya merasa seperti masih terhubung dengan Vano, meskipun kini Vano bukanlah miliknya lagi.

Perlahan tangannya mengemas barang-barang yang akan ia bawa. Tak banyak yang harus di bawa, hanya beberapa pakaiannya juga Elana dan beberapa kenangan kecil yang tidak bisa ia tinggalkan. Dia melipat setiap pakaian dengan hati-hati, seolah-olah setiap lipatan bisa membawa kembali kenangan yang telah berlalu. Ketika dia selesai mengemas, Vanya melihat sekeliling ruangan yang kini tampak dingin dan sunyi. Dia merasa seperti meninggalkan sebagian dari dirinya di sini, sebagian dari kenangan dan kebahagiaan yang pernah ia rasakan bersama Vano. Dengan koper yang sudah siap, Vanya menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk meninggalkan tempat yang penuh dengan kenangan ini dan memulai babak baru dalam hidupnya.

Perlahan Vanya melangkah meninggalkan rumah sederhana yang penuh cinta. Meskipun Vano termasuk orang yang berpunya, Vanya tak pernah meminta rumah mewah untuk mereka tinggali. Dia lebih menyukai kebersamaan dan kehangatan yang mereka miliki daripada kemewahan material. Ketika Vanya menutup pintu rumah itu, dia merasa seperti menutup sebuah bab dalam hidupnya.

Dia berjalan perlahan menuju mobil yang terparkir di depan rumah, sambil menoleh ke belakang untuk melihat rumah yang telah menjadi saksi bisu kebahagiaan mereka. Vanya berharap bahwa kenangan indah yang mereka ciptakan di rumah itu akan tetap abadi, meskipun hubungan mereka telah berakhir. Dengan napas dalam-dalam, Vanya membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Vanya harus segera menemui putri kecilnya yang ia titipkan pada Ibunya.

-

-

Sementara itu kondisi Vano juga tak lebih baik dari Vanya. Pria berusia 33 tahun itu melampiaskan kekecewaan nya pada minuman alkohol yang memabukkannya. Vano lebih memilih kehilangan kesadaran nya dari pada harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hubungan yang telah dibangun selama bertahun-tahun kini berakhir dengan cara yang tidak dia inginkan. botol demi botol minuman alkohol itu ia tenggak, seolah-olah mencoba untuk menghilangkan rasa sakit dan kekecewaan yang menghantuinya. Namun, semakin banyak dia minum, semakin kabur pikirannya, rasa sakit di hatinya tidak kunjung pergi. Vano berbaring di sofa, dikelilingi oleh botol-botol kosong dan asap rokok yang memenuhi ruangan. Dia tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya, yang penting baginya adalah melupakan sejenak kenyataan yang tidak bisa dia terima. Dalam keadaan mabuk, Vano terus memikirkan Vanya, bertanya-tanya mengapa semuanya harus berakhir seperti ini. Tapi, jawaban yang dia cari tidak pernah datang, hanya keheningan dan kesunyian yang menyambutnya.

"Sudah cukup! Kamu bisa mati overdosis jika tidak terus minum," terdengar samar, namun Vano tahu persis siapa pemilik suara itu.

"Vanya," Gumamnya lirih. Vano mencoba membuka mata dan mencari sumber suara. Terlihat jelas sosok seorang perempuan cantik berdiri di depannya. Meski kepalanya terasa berat Vano memaksakan diri untuk bangkit, dengan langkah yang tertatih ia menghampiri sosok yang ia rindukan.

"Sampai kapanpun kamu tetap milikku," kata terakhir yang Vano ucapkan sebelum ia ambruk dan kehilangan kesadarannya.

-

-

Perlahan Vano membuka mata, mengedipkannya beberapa kali menyesuaikan diri dengan cahaya yang menyilaukan dari pantulan sinar matahari yang tepat mengenai wajahnya. kemudian ia duduk bersandar di tempat tidur sambil memegang kepalanya yang masih terasa berat. Sunyi, sepi itulah yang kini ia rasakan, biasanya setiap pagi Vano akan di sambut hangat oleh Vanya juga putri kecilnya. Keheningan kini telah mengambil alih rumah yang dulu di penuhi celotehan putri kecilnya itu.

***

Hallo semuanya...

Setelah sekian purnama akhirnya author publish karya baru, semoga kalian suka dan terhibur ya...

Mohon maaf atas segala kekurangannya.

Jangan lupa komen dan like biar author lebih semangat ngehalunya...

Salam sayang dari author abal-abal ini...

Life After Divorce

Vanya memilih membuka lembaran baru, hidup di tempat yang baru bersama putri kecilnya. Menyusun kepingan-kepingan hati yang hancur, memulai semua dari awal. Terkadang ia merasa rindu, merasa kehilangan. Terlebih lagi Elana sejak semalam selalu menanyakan ayahnya. Terbesit sedikit penyesalan, apa benar jika ia bisa sedikit lebih bersabar lagi Vanya akan mendapatkan hasil yang indah? Bukan tak ingin bertahan. Hanya saja Vanya sudah cukup lelah, mentalnya hancur, dia bahkan hampir gila dan sering kali konsultasi ke psikolog dan itu cukup membuatnya menderita.

"Mami, papi mana?" tanya Elana saat terbangun. Gadis cilik itu memindai seluruh ruangan mencari sosok sang ayah.

Vanya mengulas senyum sambil mengelus rambut putri kecilnya, tak menyangka bahwa putri kecilnya itu akan menjadi korban perceraian dan keegoisan orangtuanya. Senyum putri kecilnya masih terpatri di benak Vanya, sementara realita pahit perceraian mulai menghantui mereka. "Nak.. Papi sedang tugas di luar kota, kemungkinan akan lama," jawab Vanya ragu.

"Elana mau telpon papi boleh?" tanya gadis kecil itu penuh harap.

"Nanti ya sayang. Papi pasti sekarang sedang sibuk meeting," kilah Vanya memalingkan wajahnya, tak sanggup menatap mata Elana yang penuh harap.

Seketika raut wajah Elana berubah kecewa. Elana di usianya yang masih sangat dini memang sangat ekspresif dan juga pandai berbicara.

"Kita sarapan dulu ya sayang, oma sudah masak makanan kesukaan Elana." Vanya mengalihkan pembicaraan agar Elana tidak lagi menanyakan tentang Vano.

"Iya mami." Jawab Elana patuh.

Memang benar cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Sosok ayah memberikan pelukan hangat, memberikan rasa aman, serta cinta yang tak tergantikan. Mengingat hal itu Vanya menjadi rindu pada ayahnya yang telah kembali pada sang pencipta.

Setelah selesai sarapan tak lupa Vanya mencuci piring. Sekelebat kenangan tentang Vano muncul, biasanya Vano selalu memeluknya dari belakang ketika ia mencuci piring maupun memasak. Tak jarang Vano selalu menggoda dan mengajak bercinta di manapun dalam keadaan apapun. Mereka memang sengaja tak memakai jasa ART agar lebih leluasa, hanya ada pengasuh Elana itupun tidak menginap dan hanya menjaga Elana dari pagi hingga sore saja.

"Vanya apa gak sebaiknya kamu tinggal di sini saja? Kamu kan harus kerja. Mama bisa bantu jaga Elana." ucap mama Herlina membuyarkan lamunan Vanya.

"Tidak apa-apa Ma, Vanya gak enak sama pak Hartono dan anak-anaknya kalau harus tinggal di sini. Lagian Vanya sudah siap menanggung semua konsekuensi dan memikirkan matang-matang sebelum Vanya menggugat cerai Vano." Vanya meyakinkan mama Herlina.

Pak Hartono memanglah ayah tiri dari Vanya, Sehingga Vanya merasa sungkan jika harus merepotkan terlebih ada dua anak pak Hartono lainnya yang juga tinggal di rumah ini. Walaupun mereka bersikap baik pada Vanya maupun Elana.

Mama Herlina mengelus lengan Vanya sambil menguatkan putri tunggalnya itu. "Ya sudah, kalau itu sudah jadi keputusan kamu. Mama cuma bisa dukung,"

"Makasih ya ma," memegang tangan mama Herlina, meyakinkan bahwa dirinya akan baik-baik saja.

-

-

Sementara itu suasana di rumah Vano cukup riuh, Semua itu karena ulah Vano semalam. Vano mabuk sampai tak sadarkan diri, beruntung semalam Kirana adik bungsunya menyusul ke rumah untuk mengecek keadaan Vano. Karena khawatir Vano tak ada kabar setelah sidang perceraiannya usai.

"Vano, kali ini kamu harus nurut apa kata mama! Ini alasan mama tidak pernah merestui kamu dan Vanya. Vanya Itu bukan wanita baik-baik. Dia itu egois dan angkuh. Bahkan setelah menikah dan menjadi ibu dia tidak mau meninggalkan pekerjaan nya. Dia pikir kamu gak mampu apa nafkahi dia? Mama mau menantu yang penurut bukan pembangkang seperti Vanya, pokoknya mama mau kamu nikah sama Bella."

"Maa.. Kak Vano bahkan baru sehari bercerai, mama sudah membicarakan pernikahan saja," selah Kirana, menurutnya kali ini mama nya nya memang sudah keterlaluan.

"Diam kamu! Mama gak bicara sama kamu," bentak mama Erika mengacungkan telunjuknya tepat di wajah Kirana.

Vano tak tahan dengan perdebatan dua wanita di hadapannya yang membuatnya semakin pusing. "Vano masih pusing, kalau mama kesini hanya untuk marah, maaf lebih baik mama pulang saja." secara tidak langsung Vano mengusir ibunya.

"Jangan kurang ajar ya kamu Vano!" bentak mama Erika tidak terima atas sikap Vano yang dianggapnya tidak sopan.

"Ma.. Kondisi Kak Vano masih belum stabil, jadi percuma mama bicara pasti kak Vano gak mau dengar. Setidaknya tunggu beberapa hari lagi baru mama bicara. Sekarang biarkan Kak Vano menenangkan diri." Kirana mengalah, nada bicaranya pun kini melemah, dia berusaha membujuk sang mama. Kirana tahu Vano sangat mencintai Vanya terlebih mereka terpaksa harus bercerai pastilah keputusan ini cukup membuat Vano terluka.

"Kamu sama saja seperti kakak-kakakmu yang lain Kirana. Punya anak tiga, semua pembangkang." mama Erika pergi Dengan menghentakkan kakinya sambil terus mengomel karena kesal kepada anak-anaknya yang sering membuatnya pusing itu.

"Ya sudah kakak istirahat saja. Biar Kirana yang bujuk mama." ucap Kirana menyusul mama Erika.

Keheningan setelah kepergian Kirana dan juga mama Erika seakan menenggelamkan Vano pada kerinduannya terhadap Vanya dan Elana. Kamar yang biasanya di penuhi suara dan tawa kini menjadi sunyi senyap.

"Vanya, Elana... Aku rindu kalian" Gumamnya dengan tatapan kosong.

-

-

Vanya Hari ini berencana akan langsung pindah ke apartemen peninggalan almarhum ayahnya. Vanya memiliki beberapa aset seperti beberapa bidang tanah, sebuah rumah dan satu unit apartemen peninggalan sang Ayah. lama setelah kepergian sang ayah, akhirnya mama Herlina memutuskan untuk menikah lagi dengan pak Hartono. Namun, ia tak mengambil sedikitpun harta peninggalan Almarhum suaminya dan ia menyerahkan semua harta itu kepada putri tunggal mereka.

"Mami, kenapa kita pindah rumah sih? papi nanti bakal tinggal di sini juga kan?" tanya Elana polos saat memasuki pintu apartemen.

Vanya berjongkok di hadapan putrinya, menatap mata Elana dalam-dalam. "Sayang... Elana kan sebentar lagi sekolah, dan apartemen ini dekat dengan sekolah El nantinya. Jadi kita tinggal di sini memudahkan Elana berangkat ke sekolah. Sus Tari kan tidak bisa nyetir mobil sayang," Vanya sebisa mungkin memberi pengertian pada Elana.

Elana masih terus merengek, ia merasa tidak puas dengan jawaban yang Vanya berikan. "Tapi papi ikut pindah juga kan?"

Vanya hanya terdiam, entah ia harus menjawab apa. dalam hatinya Vanya juga tak tega jika harus terus-menerus membohongi putri kesayangannya itu. Sekali berbohong pasti akan di tutupi dengan kebohongan yang lainnnya.

"Nanti kita bicarakan lagi ya sayang, sekarang kita susun barang-barang kesayangan Elana ini dikamar baru," Vanya mengajak Elana untuk melihat kamar yang akan di tempati Elana nantinya.

"Waah.. Kamarnya bagus sekali mami, Elana suka," Elana cukup terkesan dengan dekorasi kamar barunya yang di dominasi warna pink dan putih itu. Meski kamar itu di renovasi mendadak, hanya dalam waktu kurang dari seminggu tapi pengerjaannya sudah selesai. Bahkan Vanya sendiri pun belum sempat melihatnya.

"Syukurlah kalau Elana suka,"

"Terimakasih ya mami," Elana memeluk erat Vanya.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen...

Hati yang tertaut

Duniamu mungkin hancur, namun hidupmu harus tetap berjalan meski tertatih, berdarah dan penuh luka. karena di setiap luka ada pembelajaran untuk bangkit. Hancur bukan berarti terpuruk karena di setiap serpihan ada kesempatan untuk membangun kembali.

Elana gadis kecil yang energik dan ceria itu sudah banyak berubah akhir-akhir ini. Ia menjadi lebih pendiam dan tak banyak bicara, ia juga enggan menanyakan keberadaan sang ayah. Terakhir dirinya merengek menanyakan keberadaan Vano, membuat Vanya tak mampu menahan emosinya dan tak sengaja membentak Elana. Meski telah kali-kali Vanya meminta maaf atas kekhilafannya itu, tetap saja Elana merasa takut jika harus bertanya tentang Vano. Meskipun sebenarnya Elana benar-benar sangat merindukan sosok sang ayah.

Seperti biasa dari pagi hingga sore hari Elana di jaga oleh Sus Tari, terkadang jika ada pekerjaan yang mengharuskan Vanya pergi ke luar kota, sus Tari akan menginap di apartemen. Vanya sebenarnya sudah mengajak sus Tari untuk tinggal bersamanya, Namun wanita berusia 40 tahun itu masih punya dua anak yang masih sekolah, jadi tak bisa melepas begitu saja kedua putrinya tersebut, apalagi dirinya juga seorang single parents.

"Bu.. Sebaiknya Ibu istirahat dulu, Ibu pasti capek, wajah ibu juga terlihat pucat. Biar saya yang menjaga Nona Elana." ucap sus Tari yang khawatir melihat keadaan Vanya.

Saat ini Elana sedang terbaring di rumah sakit, sudah sejak kemarin siang badannya panas, Dan semalam Vanya membawanya ke rumah sakit, Elana juga kerap mengigau memanggil nama ayahnya.

"Tidak apa-apa sus. Sus saja yang istirahat dan makan terlebih dahulu,"

"Kalau begitu saya belikan ibu makanan ya, dari kemarin siang ibu belum makan apa-apa. Nanti malah ibu ikutan sakit?"

Vanya hanya mengangguk.

"Saya pamit dulu bu."

"Iya silahkan sus."

-

-

Sebulan setelah perceraian putranya, mama Erika begitu sibuk mengatur pernikahan Vano dengan putri sahabat lamanya yaitu Bella, mereka memang cukup lama mengenal, Bella juga bersahabat akrab dengan Kirana. bahkan dulu Vano dan Bella sempat di jodohkan, Namun Vano menolak karena dirinya sudah berpacaran dengan Vanya. Bella sudah lama menyimpan perasaan terhadap Vano. Namun, Vano hanya menganggap Bella seorang adik sama seperti Kirana.

"Vano hari ini hari pernikahan kamu, mama lihat kok kamu gak ada semangat-semangatnya sih!" omel mama Erika membuka gulungan selimut di kasur Vano. Sementara Vano masih tertidur lelap.

"Vano!" Panggil mama Erika sekali lagi.

Vano menggeliat malas, "Vano sedang tidak enak badan ma, bisa gak kalau pernikahan nya di tunda dulu? Atau di batalkan, misalnya?" jawabnya asal.

"Ngaco kamu! Mama gak mau tahu kamu harus secepatnya bangun dan bersiap. keluarga besar sudah menunggu di bawah, Sebentar lagi rombongan mau berangkat" Kesal mama Erika, Vano bukan lagi anak kecil lagi yang harus serba di layani oleh orangtuanya. Tapi Itulah Vano walaupun umurnya dewasa, sikapnya bisa di bilang masih labil dan seringkali kekanak-kanakan.

Dengan sangat terpaksa Vano menuruti keinginan mama Erika.

-

-

Bella terlihat sangat cantik dengan gaun pengantinnya, Rambut tersanggul rapi, serta hiasan bunga melati yang menjuntai menambah kesan anggun di hari pernikahannya. Pipinya merona bukan karena riasan tapi karena pancaran kebahagiaan yang membuatnya terlihat semakin berseri-seri.

Hari yang di tunggu tiba, Sekian lama mendamba pujaan hati yang telah lama di kagumi, dan kini akhirnya bisa di miliki.

Degup jantung Bella semakin terpacu tatkala rombongan pengantin pria tiba.

Semua keluarga menyambut dengan penuh suka cita. Vano di temani Mama Erika dan Papa Dharma berjalan perlahan menuju altar pernikahan yang sudah di hiasi dengan bunga-bunga dan tirai sutra yang lembut serta Lampu hias menambah kesan romantis dan sakral di altar pernikahan.

Acara demi acara berjalan dengan lancar, Kini Bella dan Vano telah sah menjadi sepasang suami-istri.

Langit mulai menghitam, matahari perlahan tenggelam, berganti menjadi cahaya rembulan yang di temani jutaan bintang yang berkerlipan.

Vano duduk di tepi ranjang pengantin yang khas dengan dekorasi bunga-bunga yang cantik serta wangi yang semerbak, harusnya malam ini menjadi momen yang bahagia untuk sepasang pengantin baru bukan? Tapi tidak dengan Vano, hatinya gusar ia justru semakin teringat dengan Elana dan juga Vanya. Sebulan sudah Vanya memutuskan akses komunikasi. selama itu juga Vano selalu berusaha mencari dan memantau Elana dari kejauhan tanpa sepengatahuan Vanya.

"Kak Vano!" panggil Bella keluar dari kamar mandi, Kini wanita cantik itu telah membersihkan diri dan berganti pakaian mengenakan gaun satin berwarna merah yang cukup terbuka.

Vano hanya menoleh sambil tersenyum tipis.

Bella berinisiatif duduk di samping Vano sambil bergelayut manja pada laki-laki yang baru beberapa jam sah menjadi suaminya tersebut.

"Bea bahagia banget hari ini kak, Bea janji akan jadi istri yang baik untuk kak Vano," Senyum bahagia terpancar dari wajah Bella yang kemerah-merahan. Bea adalah panggilan khusus Vano pada Bella semasa mereka kecil, karena dulu Vano memang belum bisa berbicara dengan jelas.

Vano memang tidak mencintai Bella, tapi bukan berarti dia akan bersikap tidak baik. Sedari kecil mereka memang sudah akrab dan Vano menyayangi Bella layaknya seorang kakak beradik.

Vano berusaha melonggarkan pelukan tangan Bella, sejujurnya Vano tidak terlalu suka dengan kontak fisik dengan orang lain terkecuali Vanya.

Seketika raut wajah Bella berubah kecewa. "Kenapa kak? Kakak gak suka Bea peluk begini?" Bella kembali mengeratkan pelukannya.

"Maaf ya Bella," sungguh Vano tak bisa mengungkap isi hatinya terhadap Bella, Vano takut Bella akan kecewa.

"Aku tahu, kak Vano belum bisa menerima pernikahan ini. Tapi aku mohon buka hati kak Vano. Berikan aku kesempatan untuk masuk ke dalamnya." mohon Bella dengan wajah sendunya sambil mengelus dada Vano.

Tak ada sepatah katapun keluar dari bibir Vano, Cup! Vano mengecup kening Bella

Seketika senyum Bella mengembang. Ia yakin Lambat laun Vano pasti akan mencintainya seiring berjalannya waktu.

Dering telepon memecahkan keheningan di antara mereka berdua.

"Aku angkat telpon dulu," Ucap Vano tergesa berjalan menuju balkon hotel.

"Hallo Ma?" ucap Vano begitu panggilan tersambung.

"Hallo nak Vano, maaf kalau mama mengganggu." Ternyata itu panggilan dari Mama Herlina mantan mertuanya.

"Tidak kok ma, ada apa ma?"

"Ini mengenai Elana," ucap mama Herlina menggantung seperti ragu-ragu untuk bicara.

"El kenapa?" perasaan Vano semakin tak karuan, sejak semalam ia selalu teringat putri kecilnya itu.

"Elana sedang di rawat di rumah sakit, dari semalam terus mengigau memanggil nama kamu. Vanya sebenarnya melarang mama memberitahukan kamu. Tapi mama tak tega melihat kondisi Elana, sejak kemarin tidak mau makan dan kondisinya semakin memburuk. Maaf ya Vano jika Vanya egois" jelas mama Herlina merasa tak enak.

"Di rumah sakit mana ma?"

"Permata harapan, Lantai 4 ruang melati no.1"

"Baik ma, Vano kesana sekarang,"

"Terimakasih ya nak," ucap mama Herlina merasa lega, biarlah Vanya marah terhadapnya. Siapa tahu kehadiran Vano bisa membuat kondisi Elana membaik.

Dan di sini mama Herlina tidak tahu menahu tentang pernikahan kedua Vano.

"Bella, maaf aku harus pergi," Vano terlihat begitu tergesa-gesa.

"Ke mana kak? Tanya Bella penasaran.

"Elana putriku, dia sedang di rawat di rumah sakit. Aku harus segera ke sana,"

"Aku ikut ya kak,"

"Tidak sekarang ya Bella, nanti aku pasti ajak kamu ketemu Elana,"

"Iya kak, hati-hati ya!" Ucap Bella menahan kecewa. Bella memang belum pernah bertemu langsung dengan Elana maupun Vanya. Karena dulu semenjak tahu Vano akan menikah dengan Vanya, Bella memutuskan untuk menetap di luar negeri dan baru pulang setelah mendengar kabar perceraian Vano.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak like dan komen ya....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!