NovelToon NovelToon

Kutukan Cinta Terlarang

Penebusan

Hari itu Luna menjemput Elio yang sudah menyelesaikan bakti sosialnya.

Di perjalanan pulang, mereka kebetulan melihat stand disebuah kedai kecil bertuliskan pamflet "Baca Keberuntunganmu".

Jelas itu seperti tempat ramalan. Mereka memutuskan iseng masuk untuk ingin tahu jalan hidup mereka.

Mereka masuk dan disambut oleh seorang peramal wanita. Didepan meja sang peramal, Luna duduk bersebelahan dengan Elio.

Mereka tampak fokus mendengar setiap kata yang keluar dari bibir si peramal.

"Kalian saling mencintai?". itu terdengar seperti pertanyaan namun lebih ke basa basi.

Elio dan Luna saling menatap dan mereka mengangguk cepat. Peramal itu menarik napas berat.

“Dengan berat hati aku harus mengatakan ini, Kalian tidak bisa bersama.”

Deg. Hati mereka berdua serentak terasa seperti dihantam batu. Pasangan itu hanya bisa saling memandang.

“Hmm, ya itu memang benar. Pekerjaan kami memang tak mengizinkan kami menjalin hubungan,” ucap Luna sambil menyeringai, berusaha terdengar santai.

“Soal profesi bisa saja kalian berhasil melewatinya. Tapi yang lebih besar bukan itu,” potong sang peramal.

Luna langsung menajamkan pandangan. “Apa maksudmu?”

“Aku melihat benang merah antara kalian tidak tersambung,” jawab sang peramal datar.

Luna dan Elio saling berpandangan, menunggu penjelasan.

“Nona, kau tidak bisa menjalin hubungan, apabila kau yang mencintainya duluan ,” lanjutnya.

“Kenapa?” suara Luna cepat, mulai meninggi.

"Itu karena kutukan leluhur ayahmu yang menutup jalan kebahagiaan kalian.”

Wajah Luna mengeras, tak percaya dengan apa yang baru ia dengar.

“Kalian tidak akan bahagia, dan orang yang kau cintai itu akan terus tertimpa kesialan.”

“Apa-apaan itu!” seru Luna, kesal. Tangannya tanpa sengaja menyentak meja di depannya hingga cangkir di atas meja berguncang.

“Sayang, tenanglah.” Elio buru-buru menahan tangan Luna, berusaha menenangkannya.

“Aku hanya tidak menyangka, ada orang yang mencari uang dengan cara begini.” ketus Luna sambil memalingkan muka.

Wanita itu tetap menatap Luna dengan mata yang serius.

“Aku bicara jujur, Nona. Kutukan dari leluhur ayahmu sampai kepadamu. Ingatlah itu.”

Luna enggan mengakuinya, namun apa yang dikatakan si peramal itu ada benarnya. Yang pertama kali jatuh cinta diantara mereka adalah Luna.

***KILAS BALIK***

Kisah cinta Elio dan Luna bermula beberapa bulan lalu. Itu berawal dari hari peringatan seratus hari kepergian ayah Luna.

Seharian itu Luna hanya mendekam di kamar, ia tak ingin beranjak dari ranjangnya.

Brak!!

Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka keras. Joan, kakak laki-lakinya berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh amarah.

“Apa ini, Luna?” tanyanya sambil mengangkat selembar kertas yang kusut di tangannya.

Luna tersentak. Ia mengenalinya, kertas itu adalah catatan tentang judul tesisnya yang sudah ditandatangani oleh dosen pembimbingnya, untuk melakukan penelitian di wilayah yang dilanda konflik perang.

“Dari mana Kakak mendapatkannya?” tanyanya kaget.

Baru saat itu ia menyadari ibunya (Ana), berdiri di belakang Joan. Sang ibu terlihat terisak.

"Pasti Mama yang menemukannya, aku benar-benar ceroboh," pikir Luna.

“Apa maksudmu? Kau ingin pergi ke daerah konflik? Mau bunuh diri, hah?” suara Joan meninggi.

Luna menunduk, tak membalas sepatah kata pun.

“Nak, kenapa?” tanya ibunya dengan suara bergetar.

“Aku cuma ingin menyelesaikan kuliahku. Sekaligus menjadi orang yang lebih berguna,” jawab Luna dengan suaranya yang serak.

“Mungkin dengan ilmu ini aku bisa membantu banyak orang. Setidaknya, itu bisa menebus kesalahanku yang mengakibatkan Papa pergi.” katanya sambil menoleh ke dinding, matanya mulai berkaca-kaca.

Ruangan itu hening sejenak. Hanya isak dari Ibunya yang terdengar.

Ayah Luna meninggal akibat kecelakaan. Saat itu kedua orang tuanya sedang bertengkar hebat. Pertengkaran mereka bagi Luna sudah jadi pemandangan biasa sehari-hari.

Namun hari itu ia tak tahan lagi. Ia mengemasi barang-barangnya dan pergi meninggalkan rumah. Ayahnya mengejar dalam keadaan cemas, tetapi naas, kecelakaan merenggut nyawanya sebelum sempat tiba di rumah sakit.

Sejak itu Luna menanggung rasa bersalah yang tak kunjung padam, hingga ia memutuskan meneliti trauma korban perang sebagai tesis jurusan psikologinya.

Ana melangkah mendekat dan memeluk Luna erat-erat. Dari luar pintu, Gunawan (pamannya) mendengar semua percakapan itu, ia pun ikut melangkah masuk ke kamar Luna.

“Kami paham apa yang kau rasakan,” ucap Gunawan.

“Tapi bukan begini caranya. Kalau kau pergi, bagaimana dengan Mamamu?. Jika ingin menebus kesalahan, masih banyak yang bisa kau lakukan di sini.” lanjutnya.

Luna terisak dipelukan Ibunya. Tangis mereka pecah begitu saja. Joan, yang melihat itu, matanya mulai berkaca-kaca menatap ke atas langit-langit kamar. Seketika dia merobek kertas itu.

“Sudah, tak ada alasan lagi untuk kau pergi,” katanya tegas.

Setelah makan malam, Gunawan dan istrinya, Listi masih berada di rumah itu. Listi menatap Luna dan bertanya lembut

“Luna, bagaimana kalau kau ikut paman saja ke agensi? Kau tahu belakangan ini banyak artis yang memutuskan mengakhiri hidup karena depresi."

Listi melanjutkan, "Orang seperti mereka sebenarnya membutuhkanmu. Tante pikir kau bisa membantu menjaga kesehatan mental mereka.”

Gunawan mengangguk. “Kau tahu, anak-anak sekarang cepat rapuh. Kebetulan di agensi, ada boy group yang debut sudah dua tahun, tapi mereka punya banyak haters. Aku khawatir mereka tertekan. Aku juga tak bisa begitu saja membubarkan mereka.”

Luna menarik napas panjang, menunduk, namun tak memberi jawaban.

Gunawan melanjutkan, “Besok paman akan menjemputmu. Kau belum pernah sekalipun mampir ke gedung baru paman, kan?”

“Baiklah,” jawab Luna pelan.

Mendengar itu, Ana terlihat sedikit lega. Ia menggenggam tangan Luna erat, menaruh harap bahwa di bawah naungan pamannya, Luna setidaknya tak akan pergi ke tempat berbahaya untuk sementara waktu.

Tawaran Pamanku

Besoknya, Gunawan menjemput Luna. Sepanjang perjalanan, gadis itu hanya diam, pandangannya tertuju pada jendela luar.

Gunawan dan istrinya sesekali meliriknya melalui spion, memperhatikan keheningan di bangku belakang.

Sejak kematian ayahnya, Luna yang dulu periang kini berubah pendiam. Kekosongan itu membuat siapa pun di sekitarnya khawatir, terlebih ibunya.

Saat mobil berhenti di lampu merah, gedung milik pamannya mulai terlihat dari kejauhan menjulang mewah di pusat kota.

Sekilas, mata Luna menangkap layar besar di tepi jalan. Iklan sebuah produk sedang menampilkan beberapa pria muda, wajah-wajah khas idola dari sebuah group boyband.

Dan di antara mereka, pandangannya terpaku pada satu sosok. Laki-laki berambut perak panjang itu berdiri paling menonjol, rambutnya di ikat setengah ke belakang, dengan beberapa helai terjatuh bebas membingkai wajahnya.

Posturnya tinggi, wajahnya tampan sekaligus unik seakan seorang pangeran yang keluar dari dunia lain.

Luna sempat tertegun, seolah waktu berhenti. Namun suara klakson dari mobil lain membuatnya tersentak.

Mobil pun kembali melaju. Ia buru-buru menoleh lagi ke layar itu, tapi iklan sudah berganti dengan tampilan berbeda.

Sesampainya di gedung agensi, Luna nyaris tak bisa menyembunyikan rasa takjubnya. Interiornya elegan, rapi, dan modern.

Di sepanjang koridor menuju ruangan pamannya, Luna tak henti-hentinya dibuat kagum. Dindingnya dipenuhi poster-poster artis dunia yang pernah bekerja sama dengan agensi itu.

Senyum kecil tersungging di bibirnya saat matanya berhenti pada sebuah poster lama yaitu gambar dirinya sendiri.

Itu potret saat ia masih remaja sebagai model majalah fashion, dengan dandanan bak peri. Ada sinar polos namun anggun yang terpancar dari wajahnya.

“Paman masih menyimpan ini?” tanyanya pelan dengan senyumnya samar, bercampur malu dan nostalgia.

Gunawan mengangguk, “Tentu saja. Ini berharga bagi kami. Sayang sekali, itu jadi kali pertama sekaligus terakhir kau menjadi model. Apa kau berniat melanjutkan kembali?”

Luna menggeleng mantap. “ Luna tidak tertarik,” jawabnya dengan senyum tipis.

Gunawan sempat menyapa seorang staf, menanyakan keberadaan anggota boy grup yang tadi disebut. Sayangnya, grup itu sedang ada kegiatan di luar.

Akhirnya, setelah berkeliling, mereka memutuskan untuk pulang. Namun baru saja mereka hendak masuk ke mobil, sebuah minibus berhenti tak jauh dari sana.

Beberapa lelaki turun satu per satu, menunduk sopan sambil menyapa mereka. Gunawan membalas ramah. Lalu, seseorang muncul dari pintu mobil, sosok yang membuat Luna tertegun.

Itu dia. Laki-laki tampan, sosok yang dilihat Luna di layar iklan raksasa tadi.

Seakan waktu berhenti, tatapan mereka bertemu. Luna tak bisa memalingkan mata. Dan di sisi lain, laki-laki itu pun menatapnya dengan sorot yang sama.

Lelaki itu tersenyum tipis, menunduk memberi salam. Luna yang tersentak buru-buru mengalihkan pandangan, pipinya terasa panas.

“Itulah mereka yang Paman bicarakan semalam. Mau berbincang sebentar?” tanya Gunawan, memberi kesempatan.

Luna cepat-cepat menggeleng.

“Tidak usah. Cukup tahu saja,” jawabnya dingin.

Ada nada cuek yang sengaja ia selipkan untuk menyembunyikan gejolak di dadanya.

Mereka segera masuk ke mobil, meninggalkan halaman gedung AXL Entertainment itu. Namun dari balik kaca mobil, Luna mencoba melirik sekali lagi. Tatapan laki-laki itu masih terarah pada mobil mereka.

Listi melirik keponakannya. “Bagaimana menurutmu, Luna?” tanyanya penuh selidik. Luna hanya tersenyum samar.

Gunawan ikut menambahkan, “Nama grup mereka Neonix. Kau masih ingat Adrian? Dia leadernya.”

Luna menoleh, matanya berkedip mencoba mengingat. Adrian anak kecil yang dulu ikut training di agensi, datang dari luar negeri. Waktu itu usianya baru sepuluh tahun, paling muda di antara trainee lainnya.

Ia sering dibawa pulang oleh Gunawan, jadi teman bermain Luna dan sepupunya, Axiel.

“Mereka beranggotakan delapan orang,” Listi menimpali, seolah tahu titik lemah keponakannya. Ia sangat hafal Luna menyukai angka itu.

“Angka keberuntungan,” gumam Luna sambil tersenyum kecil. Listi menoleh pada suaminya, keduanya saling pandang penuh harap.

“Luna mau pikir-pikir dulu,” katanya menutup percakapan.

“Baiklah. Kami tunggu sampai besok,” jawab Gunawan, penuh kesabaran.

Tipeku

Sesampainya di rumah, Luna langsung merebahkan diri di ranjang.Dia merasa letih bercampur rasa penasaran.

Ia meraih ponselnya, membuka aplikasi Y***be, lalu mengetik "Neonix."

Layar menampilkan deretan video musik. Luna terpaku ketika wajah cowok tampan itu muncul. Elio, ternyata dia Visual dan juga center dari grup tersebut.

Mata Luna tak berkedip. Jantungnya berdetak lebih cepat seiring hentakan musik.

“Damn.” bisiknya. “Musiknya dan wajahnya ini benar-benar selera ku banget.”

Untuk beberapa menit, Luna lupa pada beban yang menempel di pundaknya. Hentakan musik dan bayangan wajah di layar itu seperti menariknya keluar dari kepedihan yang selama ini menghimpit.

Ia membiarkan dirinya larut, seperti remaja yang baru menemukan crush pertamanya.

...****************...

Keesokan paginya, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Ponsel Luna berdering tanpa henti di meja samping ranjang.

Ia masih tertidur, tangannya meraba-raba di antara selimut dan bantal mencari sumber suara. Begitu ponsel ditemukan, ia mengangkatnya malas sambil menarik penutup mata.

“Ya, Paman? Ada apa?” suaranya masih serak.

“Ah, Tuan Putri. Sepertinya kau baru bangun?” suara pamannya.

“Hmm iya. Semalam Luna tidur telat,” gumamnya.

Memang semalaman ia begadang, terhanyut mendengarkan musik dan menonton video grup idol baru favoritnya, Neonix.

“Sudah kuduga. Jadi, bagaimana? Kau mau bergabung?”

Luna mengerutkan kening. “Kenapa terburu-buru sekali?”

“Kemarin ada rapat beberapa petinggi kantor, sebagian besar memilih ingin membubarkan mereka.”

“Apa?” Luna sontak langsung terduduk. “Padahal mereka keren dan musiknya bagus.”

“Oh? Jadi kau menyukainya?” suara pamannya terdengar seperti menahan senyum dari balik telepon.

“Kalau begitu aku meminta bantuanmu. Mungkin hanya orang yang benar-benar mengerti gaya mereka yang bisa menolong mereka. Aku tunggu keputusanmu dua jam dari sekarang. Pikirkan baik-baik.”

Belum sempat Luna menjawab, sambungan telepon sudah terputus.

“Hah, apa-apaan itu." Luna menatap layar ponsel dengan bingung.

Ia bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar, mencoba menimbang keputusan yang baru saja dilemparkan padanya.

Tak lama kemudian, notifikasi pesan baru muncul.

"Kalau kau bersedia, kau akan langsung menandatangani kontrak selama masa penelitianmu. Kau bebas mau berbuat apa dengan mereka asalkan grup itu tidak bubar. Gajimu terserah padamu, kau atur sendiri."

Luna mengernyit membaca pesan itu. “Ini seperti jackpot,” gumamnya setengah tidak percaya.

Ia menatap layar beberapa saat, lalu menulis balasan singkat. "Oke, Aku bersedia."

Di sisi lain, Gunawan menatap layar ponselnya dan tersenyum puas. “Akhirnya, setidaknya untuk sementara dia tidak bisa macam-macam."

Gunawan langsung meneleponnya lagi.

“Kalau kau setuju, besok langsung ke kantor dan menandatangani kontrak,” ujarnya.

“Baiklah,” jawab Luna. “Tapi sebelum itu aku harus konsultasikan dulu dengan dosen pembimbing untuk perubahan fokus penelitian.”

Siang itu juga Luna menemui dosennya. Untunglah dosennya menerima perubahan itu dan bahkan mendukungnya.

Ia langsung menandatangani sampul tesis yang kini berjudul, “Dampak Pola Hidup Sehat dengan Kesejahteraan Psikologis.”

...****************...

Keesokan paginya, saat hendak berangkat. Joan menahannya. “Tunggu dulu, aku punya sesuatu untukmu."

Ia menyerahkan sebuah kotak kecil ke tangan adiknya. Luna mengerutkan kening, lalu perlahan membukanya. Matanya membesar, di dalamnya berisi sebuah kunci mobil baru.

“Apa ini, Kak?” tanyanya nyaris tak percaya.

“Hadiah untuk pekerjaan pertamamu,” jawab Joan sambil tersenyum kecil.

Luna spontan memeluk kakaknya erat-erat.

“Terima kasih, Kak!” serunya haru sambil memeluk kakaknya

“Semoga kau suka,” balas Joan sambil menepuk punggungnya.

Ana memandangi anak-anaknya itu dengan terharu. Sudah lama dia tidak merasakan kehangatan seperti itu.

Kini, di garasi rumah, terparkir mobil sejenis SUV besar keluaran terbaru, dengan warna silver gelap mengkilap.

Luna berlari kecil menghampiri mobil itu, lalu menoleh ke arah Joan dan membentuk tanda hati di atas kepalanya.

“Aku berangkat dulu, jaga Mama ya!” serunya ceria.

Sebelum menyalakan mesin, Luna menyalakan musik. Lagu dari idola barunya mulai mengalun riang memenuhi kabin. Ia melaju menuju kantor AXL Entertainment dengan semangat yang baru.

Sesampainya di kantor, Luna disambut ramah oleh seorang staf resepsionis lalu diantar ke ruang direktur.

Di ruang kerja pamannya, Luna mempelajari kontrak dengan seksama sebelum menandatanganinya.

Di kertas itu tertulis kontrak kerja selama enam bulan sebagai manager sementara boy group Neonix, yang berada di bawah naungan divisi 1.

“Mulai hari ini kamu resmi bergabung. Aku harap kamu bisa membantu mereka,” ujar Gunawan sambil menyimpan berkas yang sudah ditandatangani oleh Luna.

Gunawan memanggil seorang staf lelaki berpostur tegap, berpenampilan kasual, namun profesional.

“Ini Marcel, manager utama Neonix. Dia akan mengenalkanmu kepada anak-anak.”

Marcel hanya mengangguk mendengar arahan Gunawan. Marcel dan Luna saling bersalaman singkat.

Lalu ia mengajak Luna keluar dari ruangan itu menuju studio latihan tempat para anggota Neonix berkumpul.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!