Malam itu, langit seperti diselimuti tinta hitam. Petir membelah cakrawala, namun tak menurunkan hujan hanya kilatan cahaya yang menari di atas lembah panjang, seolah para dewa sedang mencari sesuatu yang hilang.
Di bawah sinar kilat yang redup, hutan sekitar Desa Longyuan bergoyang oleh angin utara yang membawa aroma belerang dan tanah basah. Setiap desir angin terasa berat, seperti memikul ratusan tahun kutukan yang belum dituntaskan.
Di tengah badai itu, seorang lelaki tua berlari menembus kabut. Nafasnya berat, tapi tatapannya tetap tajam. Dialah Long Wei, salah satu tetua desa, orang yang dikenal berani memasuki area yang bahkan roh-roh enggan untuk mendatanginya. Langkahnya berhenti di depan reruntuhan Kuil Batu Naga, tempat yang selama ini dianggap berbahaya oleh seluruh penduduk Longyuan.
Dari dalam reruntuhan, terdengar tangisan bayi pelan, serak, namun menembus suara hujan dan guruh. Long Wei mendekat dengan hati-hati. Api dari lentera bambunya bergetar, menyorot sesosok bayi mungil yang terbungkus kain lusuh dengan pola pola aneh yang terasa kuno. Bayi itu menangis keras, sementara di lengan kanannya tampak pola teratai bersinar merah keemasan. Cahaya itu berdenyut mengikuti detak jantung kecilnya.
Long Wei menatap tanda itu lama sekali. “Tanda naga…,” gumamnya pelan, suaranya lebih mirip doa yang tercekik. “Apakah ini pertanda kebangkitan, atau kutukan baru?”
Petir kembali menyambar, kali ini sangat dekat. Batu-batu kuil retak dan mengeluarkan asap tipis. Long Wei segera membungkus bayi itu dengan jubahnya lalu berlari kembali ke desa, menembus kabut dan kilat yang seolah mengejarnya. Dalam pelukannya, bayi itu tiba-tiba berhenti menangis. Seolah badai yang mengamuk di langit tunduk pada kehadirannya.
Di rumah bambu tua di tepi desa, lima orang duduk mengelilingi lentera minyak yang redup. Bai Feng, Xuan Yuan, Shui Lan, dan Tian Yu menatap Long Wei yang baru tiba dengan napas tersengal. Di pelukannya, bayi yang kini terbungkus kain hangat tampak tenang, matanya tertutup, tapi pola teratai di lengannya tetap bersinar lembut.
Bai Feng mencondongkan tubuhnya, suaranya tenang tapi penuh tekanan. “Dari mana kau mendapatkannya?”
Long Wei menjawab tanpa mengangkat kepala. “Dari reruntuhan kuil naga di utara lembah. Tangisannya memanggilku ke sana.” Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan suara rendah. “Tato di lengannya… bukan pola manusia biasa. Aku melihatnya sekali, di medan perang lama, di lengan Kaisar Naga Agung.”
Suara angin meniup lentera hingga nyalanya menipis. Xuan Yuan menyipitkan mata. “Kaisar Naga? Kau yakin? Pola itu sudah lenyap ribuan tahun. Tidak mungkin—”
“Tidak ada yang mustahil di tempat ini,” potong Long Wei pelan. “Desa Longyuan sudah lama menjadi tempat sisa-sisa kekuatan naga terkubur. Bukankah itu alasan kita semua di sini?”
Shui Lan menatap bayi itu lama. Ia merasakan aliran Qi halus keluar dari tubuh mungil itu, murni, tapi berbahaya, seperti api surgawi yang masih tertidur. “Bayi ini… bukan makhluk biasa,” katanya perlahan. “Qi-nya terasa seperti milik naga langit. Kalau orang luar tahu, dunia akan datang memburunya.”
Long Wei mengangguk pelan. “Itulah sebabnya aku datang pada kalian malam ini. Kita harus merahasiakan ini dari siapa pun. Dunia luar tidak boleh tahu bahwa ada anak naga lahir di tanah ini.”
Tian Yu, yang sejak tadi diam di sudut ruangan, membuka matanya. Pandangannya tajam menembus bayangan. “Kau ingin membesarkannya di sini? Di desa yang bahkan dewa pun sudah melupakannya?”
“Aku tidak punya pilihan,” jawab Long Wei tanpa ragu. “Langit menitipkannya padaku. Jika kutinggalkan, dunia akan binasa sebelum waktunya.”
Tidak ada yang menanggapi. Hanya suara lentera yang berderak pelan, dan angin malam yang membawa aroma hujan serta takdir yang berat.
Menjelang fajar, kabut tipis menggantung di atas desa. Long Wei berdiri di depan rumahnya, menatap lembah yang perlahan diterangi cahaya pagi. Di pelukannya, bayi itu menggeliat, lalu membuka mata sepasang mata emas, berkilau seperti dua serpihan matahari.
Long Wei tersenyum samar. “Kau tidak takut pada cahaya,” gumamnya lembut. “Maka aku akan memberimu nama yang layak untuk menantang langit.”
Ia menatap langit yang mulai cerah dan berbisik pelan, “Mulai hari ini, kau bernama Tian Long "Sang naga dari langit!". Semoga langit memaafkan dosa kami karena menyembunyikanmu.”
Angin pagi berembus lembut, tapi ada gema samar seperti auman jauh di antara gunung. Seolah nama itu membangunkan sesuatu yang tertidur sangat lama.
........... ........... .......... .......... ..........
Pagi di Desa Longyuan selalu dimulai dengan suara seruling bambu dari lembah. Nada-nadanya lembut tapi sendu, seakan hutan dan sungai sedang berkabung atas sesuatu yang pernah hilang. Di tepi desa, kabut biru menari di antara pepohonan tinggi, membawa aroma embun dan rumput liar.
Seekor burung hitam melintas di langit, menandai datangnya musim baru. Di halaman rumah bambu tua, seorang pemuda berdiri dengan mata terpejam. Tubuhnya tegap, ototnya terlatih, dan di lengan kanannya tato teratai naga bersinar samar di bawah sinar matahari pagi. Tian Long telah tumbuh menjadi remaja, dan setiap gerakannya menunjukkan ketenangan sekaligus kekuatan yang tersembunyi.
Tangannya memegang tombak kayu buatan sendiri. Ia mengangkatnya perlahan, lalu menurunkannya dengan gerakan yang mengikuti irama napas bumi. Setiap kali ujung tombak menembus udara, terdengar bunyi lirih seperti bisikan naga.
Long Wei berdiri tidak jauh dari situ, memperhatikan dengan senyum samar. “Pernafasanmu sudah mulai menyatu dengan aliran Qi bumi,” katanya pelan. “Sekarang, coba ulangi gerakan terakhir jurus Cakar Dewa Naga.”
Tian Long menyeringai sedikit tertawa, lalu mulai mengatur napas. Udara di sekelilingnya tiba-tiba bergetar halus. Ia menekuk lutut, merentangkan jari-jarinya seperti cakar, dan dalam sekejap, serangan dilepaskan cepat, tajam, dan menggetarkan udara. Batu besar di hadapannya retak membentuk lima garis dalam sekali tebas.
Long Wei menepuk bahu Tian Long dengan puas. “Bagus. Kau mulai memahami dasar jurus itu. Namun jangan terburu-buru memanggil Qi naga. Tubuhmu belum siap menahannya.”
Tian Long menarik napas panjang. “Aku mengerti, Paman. Tapi… setiap kali aku menggerakkan Qi, aku seperti mendengar suara gemuruh yang jauh di dalam tubuhku. Seperti ada sesuatu yang hidup di sana.”
Long Wei menatapnya tajam. “Itu tanda bahwa darah naga di dalam tubuh mu mulai terbangun. Suara itu adalah roh naga yang masih tertidur. Jangan bangunkan dia sebelum waktunya, jika tidak mau dirimu celaka.”
"Setiap orang punya roh naga dan kekuatan naga, hanya saja ada yang dominan dan tidak dominan, semakin kuat darah naga dalam tubuh seseorang, semakin kuat roh naganya" Ucap Long Wei dengan tangan yang diletakkan di belakang punggungnya, sambil berjalan membelakangi Tian Long.
"Meskipun darah naga kuat membuat kekuatan seseorang juga ikut kuat, namun kekuatan selalu selaras dengan resiko. Roh naga yang kuat, akan sulit dikendalikan, jika kekuatan jika seseorang belum mampu untuk mengendalikan kekuatan naga itu" Lanjut Long Wei
Tian Long mengangguk, namun matanya menyimpan rasa penasaran yang dalam.
Ketika cahaya jingga keemasan perlahan turun dari langit barat, ia menelusup di antara sela bambu dan menyentuh batu-batu lembah yang berlumut. Angin sore membawa aroma tanah dan keringat muda. Di tengah lapangan batu yang memantulkan cahaya redup, tiga pemuda berputar dalam lingkaran gerak tongkat kayu menebas udara, tawa memecah ketegangan.
Debu berputar setiap kali tongkat menghantam tanah. Tawa muda sesekali pecah, membelah udara sore. Namun di antara riuh itu, satu sosok tampak berbeda. Pemuda itu bergerak tanpa suara, tubuhnya mengikuti arus angin. Setiap ayunan tangannya membuat udara di sekitarnya bergetar halus. Pada lengan kanannya, garis keemasan berpendar singkat, lalu lenyap seperti kilasan cahaya di ekor naga. Itu adalah Tian Long, yang berlatih bersama kedua sahabatnya.
Meskipun hidup di desa yang terisolasi, mereka tetap menjalani hari seperti pemuda biasa; bercanda, bertarung, dan bermimpi.
“Wah, kau terlalu serius lagi!” teriak salah satu pemuda, menepuk pundaknya.
“Kau latihan seperti mau berperang dengan dewa.” ucap pemuda lain menimpali
Tian Long hanya tersenyum tipis. “Mungkin suatu hari, aku memang harus berperang dengan mereka.” ucap Tian Long dengan percaya diri, namun sedikit terkekeh.
Kedua pemuda itu tertawa, menganggapnya bercanda. Tapi di mata Tian Long, ada bayangan halus kerinduan yang tak bisa dijelaskan, seolah sesuatu memanggilnya dari kejauhan.
........... ........... .......... .......... ..........
Angin malam merayap pelan melalui celah-celah dinding bambu, membawa hawa lembap dari hutan dan sisa aroma tanah basah setelah senja. Di dalam ruangan kecil yang diterangi lampu minyak, asap tipis dari teko tua melingkar pelan di udara, menyatu dengan harum getir daun teh yang diseduh terlalu lama.
Suara serangga dari luar berdenting bersahut sahutan lirih, namun cukup untuk mengisi jeda di antara helaan napas lima sosok yang duduk melingkar di sekitar meja kayu tua. Permukaan meja itu dingin dan sedikit lengket oleh embun malam.
Bai Feng mengangkat cangkirnya, merasakan panas yang merembes ke kulit jarinya. Saat teh menyentuh lidahnya, rasa pahitnya menyalakan kembali ingatan lama sepahit beban yang tak diucapkan. Bara api di tungku memercik sekali, menerangi wajah-wajah yang tertunduk dalam bayangan, menyingkap sekejap garis garis lelah di mata mereka sebelum gelap menelan kembali semuanya.
Bai Feng meletakkan cangkirnya. “Qi di tubuh bocah itu semakin kuat. Bahkan sebelum mencapai usia dua puluh, dia sudah menembus tahap Spirit Connection. Kalau begini terus, segel naga di tubuhnya akan pecah.”
Shui Lan menatap nyala api di tungku. “Tapi jika kita menahannya terlalu lama, ia bisa mati karena tekanan energi.”
Xuan Yuan mengangguk setuju. “Kita tak bisa terus menyembunyikannya, Saudara Wei. Cepat atau lambat, dunia luar akan mencium keberadaan naga baru.”
Long Wei terdiam cukup lama sebelum menjawab. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu bahaya yang menunggu di luar. Sekte-sekte besar, para pemburu artefak, bahkan roh-roh iblis akan datang jika mendengar kabar ini.”
“Jadi apa rencanamu?” tanya Tian Yu, suaranya dalam dan dingin.
“Untuk saat ini,” jawab Long Wei pelan, “kita biarkan seperti biasa. Kita hanya perlu melatih tubuh dan hatinya. Jika waktunya tiba, dia sendiri yang akan memutuskan jalan apa yang ingin dia tempuh.”
Mereka tidak lagi berbicara, hanya saling bertukar pandang dalam diam yang berat. Anggukan mereka lebih mirip sumpah yang tak diucapkan. Dari luar, angin lembah menyusup melalui sela dinding bambu, dingin dan membawa aroma daun basah.
Di antara desirnya, terdengar nada seruling melayang jauh lirih, panjang, dan sendu. Nada itu menembus malam seperti doa purba yang merambat di udara, mengguncang hati mereka dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan… seolah langit tengah memanggil sesuatu yang tertidur di bawahnya.
........... ........... .......... .......... ..........
Malam merayap semakin dalam. Tian Long belum juga memejamkan mata. Ia duduk di tepi jendela, sementara cahaya bulan menetes lembut di wajahnya. Embun menempel di daun bambu di luar sana, memantulkan kilau perak yang bergetar setiap kali angin berhembus.
Ia merasakan hawa dingin menelusup ke kulit, lalu menatap lengan kanannya. Di sana, pola teratai perlahan menyala, samar seperti napas terakhir lilin yang hampir padam. Ia mengangkat tangannya sedikit ujung jarinya bergetar ketika menyentuh kilau itu, seolah sedang menyentuh sesuatu yang hidup.
Di kejauhan, seruling masih terdengar, makin jauh, makin hening dan di antara gema itu, Tian Long merasa seolah seluruh langit tengah bernafas bersamanya.
“Ini sebenarnya apa…? Aku sebenarnya siapa...?” bisiknya pada diri sendiri.
Tiba-tiba angin berembus dingin. Dari arah gunung, terdengar gema rendah seperti auman yang sangat jauh. Suara itu hanya terdengar sekali, namun cukup untuk membuat hatinya bergetar.
Ia menatap ke arah gunung dengan pandangan kosong. Entah mengapa, dalam detik itu, ia merasa ada sesuatu yang menatap balik dari kegelapan sana sesuatu yang kuno, agung, dan penuh kerinduan.
Pagi berikutnya, Tian Long terbangun lebih awal. Kabut belum sepenuhnya terangkat, tapi suara air dari sungai kecil di belakang rumah mengalun pelan. Ia memutuskan untuk berlatih sendiri.
Langkah-langkahnya ringan di tanah basah. Ia berhenti di tepi sungai dan mengatur napas, seperti yang diajarkan pamannya. Udara dingin masuk ke dadanya, dan Qi di tubuhnya mulai bergerak. Perlahan, ia mengangkat tangannya dan mencoba memusatkan energi di ujung jari.
Kilatan cahaya emas muncul kecil, tapi cukup untuk memantulkan wajahnya di permukaan air. Untuk sesaat, ia melihat bukan dirinya, tapi bayangan seekor naga berwarna emas yang berputar di balik refleksi itu.
Ia terkejut, kehilangan konsentrasi. Kilatan itu lenyap bersama suara riak air.
“Jadi benar… ada sesuatu di dalam diriku,” gumamnya lirih. “Tapi siapa kau sebenarnya?”
Suara lembut tiba-tiba terdengar di belakangnya. “Kalau kau terus menatap air, jawabannya tidak akan datang.”
Tian Long menoleh. Long Wei berdiri beberapa langkah darinya, membawa tongkat bambu di tangan. Wajahnya tenang, tapi matanya tajam.
“Qi tidak akan menjawab rasa penasaran, Tian Long,” lanjutnya. “Ia hanya menjawab niat. Jika kau berlatih hanya untuk tahu siapa dirimu, kau akan tersesat. Tapi jika kau berlatih untuk melindungi apa yang penting, barulah kekuatan sejati akan muncul.”
Tian Long menunduk hormat. “Aku mengerti, Paman.”
“Bagus.” Long Wei menatap langit yang mulai cerah. “Hari ini, kita akan melatih jurus baru. Jurus ini hanya digunakan ketika nyawa menjadi taruhan.”
“Namanya apa?” tanya Tian Long, matanya berbinar.
Long Wei tersenyum samar. “Auman Naga Langit. Jurus yang dulu digunakan Kaisar Naga untuk memanggil kekuatan langit.”
Matahari mulai naik. Cahaya pagi menembus kabut lembah, memantulkan warna emas di air sungai. Tian Long berdiri tegak, memegang tombaknya, menatap ke arah pegunungan tempat suara naga tadi malam bergema.
Untuk pertama kalinya, di dalam dadanya muncul perasaan yang tak bisa dijelaskan seperti panggilan jauh yang menunggu untuk dijawab.
Dan dalam diam, teratai di lengannya berdenyut sekali, seolah ikut menyambut awal perjalanan panjang yang belum ia mengerti.
Langit di atas Desa Longyuan begitu jernih hingga tampak seolah baru saja dicuci oleh tangan para dewa. Kabut lembah bergulir pelan, berubah menjadi helaian cahaya keemasan yang menari di antara daun bambu yang bergetar lembut. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan embun muda, bercampur dengan jejak dupa yang tersisa dari persembahan dini hari.
Di lapangan batu di belakang rumah bambu, Tian Long berdiri tegak di tengah lingkaran batu raksasa yang penuh ukiran naga berliku. Simbol-simbol itu seperti hidup, berkilau samar di bawah cahaya matahari, seolah menunggu sesuatu yang telah lama dijanjikan. Udara di sekitarnya terasa tebal, berat, dan nyaris berdesir seakan lembah itu sendiri menahan napas.
Dari sisi barat lapangan, Long Wei berdiri dalam diam. Tongkat latihan di tangannya memantulkan kilau dingin; matanya menelusuri setiap gerak muridnya dengan tajam, seperti pedang yang mengamati keteguhan baja.
“Jurus ini bukan teknik biasa, Tian Long,” ucapnya perlahan, suaranya tenang namun bergema dalam dada. “Auman Naga Langit adalah pemanggilan antara roh bumi dan langit. Mereka yang tak seimbang di antara keduanya akan tertelan oleh kekuatan yang mereka bangkitkan.”
Angin melewati wajah Tian Long, membawa hawa sejuk yang menembus tulangnya. Ia menutup mata, menarik napas panjang. Dari bawah kakinya, tanah terasa hidup berdenyut lembut, mengalirkan Qi yang hangat ke seluruh tubuh. Aliran itu naik perlahan melalui nadi spiritualnya, berputar di dada, dan berhenti tepat di pusat napasnya.
Daun daun bambu berdesir. Seekor burung hitam yang sedari tadi bertengger di dahan terdekat tiba-tiba mengepakkan sayap dan terbang, meninggalkan gema jerit kecil yang pecah di udara.
Tian Long membuka matanya. Di sana, kilau emas tipis berpendar di dalam irisnya. Ia mengangkat tombak yang terbuat dari kayu tua, gagangnya terasa dingin di telapak tangannya. Ujung senjata itu menangkap sinar matahari, menyalakan cahaya seolah menantang langit itu sendiri.
“Baik, Paman,” katanya perlahan. Suaranya dalam, namun mengandung getar yang sulit disembunyikan. “Aku siap.”
Long Wei menatapnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Mulailah.”
Sejenak dunia hening. Angin berhenti. Bahkan kabut pun seakan enggan bergerak.
Tian Long menurunkan tubuhnya sedikit, kaki menapak tanah, kedua telapak tangannya membentuk lingkar keseimbangan. Napasnya bergetar lembut, lalu mengalun dalam ritme yang tak dikenal manusia irama purba yang hanya dimengerti oleh langit, bumi, dan naga.
Udara di sekelilingnya pecah menjadi pusaran keemasan. Debu dan daun kering melayang naik, menari mengelilinginya. Rambutnya terangkat oleh angin yang lahir dari Qi-nya sendiri, berkilau di bawah sinar matahari yang menembus kabut.
Suatu kekuatan mulai berdenyut di dalam dadanya. Getarannya menembus tanah, lalu langit. Batu-batu di sekelilingnya bergetar halus, dan ukiran naga di bawah kakinya tampak bergerak, seolah terbangun dari tidur panjang ribuan tahun.
Tian Long membuka matanya sepenuhnya. Cahaya emas meledak di dalam pandangannya. Lalu.... Ia mengaum.
Suara itu keluar bukan dari tenggorokannya, tapi dari kedalaman jiwanya. Udara bergetar keras, burung-burung beterbangan, sungai di lembah terbelah riaknya, dan langit di atas sana bergetar seolah menjawab panggilan itu.
Dalam sekejap, langit dan bumi seakan bersatu di satu titik di dalam napas seorang manusia yang baru saja memanggil kekuatan naga kuno untuk pertama kalinya.
Suara itu seolah bukan suara manusia. Nada rendah bergulung dari dada, naik menjadi gemuruh yang mengguncang seluruh lembah. Batuan bergetar, air sungai di kejauhan naik bergelombang, dan hewan-hewan berlarian ketakutan. Dari dalam pusaran cahaya, bayangan naga muncul transparan, megah, dan berputar di atas tubuh Tian Long.
Long Wei menahan napas. “Berhenti! Cukup!”
Tapi Tian Long tak mendengar. Energi di dalam tubuhnya bergerak liar, lebih besar dari yang bisa ia kendalikan. Cahaya dari tato teratai di lengannya meledak terang; setiap kelopaknya bersinar seperti bara. Ia menjerit, suaranya bercampur dengan auman naga yang menggema ke seluruh lembah.
“Paman… aku tak bisa menahannya!”
Long Wei melompat ke arahnya. Ia menekan bahu Tian Long, menyalurkan Qi bumi untuk menstabilkan aliran energi di tubuh sang pemuda. Suara petir terdengar dari langit yang tiba-tiba gelap.
“Dengarkan aku, Tian Long! Fokuskan Qi-mu ke jantung, bukan ke tenggorokan! Tarik balik energinya!”
Tian Long menggigit bibir, mencoba menahan amukan energi yang terasa seperti ribuan pisau menari di nadinya. Dalam keputusasaan, ia memusatkan kesadarannya ke suara pamannya. Perlahan, pusaran cahaya mengerut, naga transparan itu mengecil, lalu lenyap.
Sunyi.
Hanya napas berat Tian Long yang tersisa, sementara lututnya menancap di tanah yang retak. Long Wei menatapnya lama, lalu menepuk bahunya. “Kau hampir kehilangan kendali. Tapi kau juga hampir menyentuh inti jurus ini.”
Tian Long menunduk, keringat membasahi wajahnya. “Aku… aku mendengar suara di kepalaku, Paman. Suara yang memanggilku… memintaku untuk melepaskan semuanya.”
Long Wei menatap langit yang kembali cerah. “Itu bukan suara yang harus kau ikuti. Ingatlah, darah naga dalam dirimu akan selalu mencoba menguasaimu. Kau harus menjadi tuannya, bukan budaknya.”
Tian Long menatap teratai di lengannya. Cahaya emas itu kini meredup, tapi masih berdenyut perlahan seperti jantung kedua. “Aku akan belajar mengendalikannya,” katanya lirih.
“Dan aku akan memastikan kau tetap di jalurmu,” balas Long Wei, suaranya lembut namun penuh janji.
........... ........... .......... .......... ..........
Sore itu, sinar mentari condong ke barat, menembus celah pepohonan dan memantul di permukaan sungai yang berkilau lembut. Tian Long berjongkok di tepi sungai, menangkupkan kedua tangannya, lalu membasuh wajahnya perlahan. Air sungai terasa dingin, seperti menyimpan rahasia gunung yang belum terucap. Butiran air menetes dari dagunya, jatuh satu per satu ke permukaan yang memantulkan langit jingga.
Dalam pantulan itu, sesuatu bergetar samar bayangan naga emas, melingkar di balik dirinya, dengan sisik berpendar seperti bara matahari tenggelam. Kali ini, naga itu tidak lagi tampak murka. Sorot matanya teduh, dalam, seolah menatap Tian Long bukan sebagai ancaman… melainkan pengakuan.
Ia terdiam. Suara aliran air menyusup di antara jari jarinya, menenangkan dada yang sempat berdebar. Tian Long menutup mata, membiarkan hembusan angin sore menyinggahi wajahnya, membawa aroma lembab dari bebatuan sungai dan dedaunan yang baru tersentuh senja.
Dari arah kuil tua di puncak lembah, suara lonceng berdentang pelan nyaring sekali, lalu memudar, meninggalkan gema panjang yang terasa hingga ke tulang. Burung-burung beterbangan dari pepohonan, seolah mengikuti irama yang sama.
Di langit barat, awan mulai berubah warna. Jingga perlahan menipis, berganti semburat ungu kebiruan. Di tengah hamparan langit itu, lima bentuk menyerupai naga berputar perlahan, membentuk lingkaran sempurna di sekitar satu titik cahaya yang berdenyut lembut, seperti jantung langit yang baru terbangun. Sekali berdenyut dan hilang begitu saja, seolah tak pernah ada.
Di beranda rumah bambu, Long Wei berdiri diam, kedua tangannya bersedekap. Angin menyingkap ujung jubahnya, sementara cahaya terakhir matahari menimpa wajahnya yang suram.
“Langit mulai bergerak,” bisiknya, hampir tak terdengar, tapi berat seperti sumpah yang jatuh di atas bumi. Ia memandang ke arah sungai, tempat muridnya duduk diam di bawah sinar senja. “Semoga waktu masih berpihak… sebelum dunia sadar bahwa naga telah terlahir kembali.”
Malam turun perlahan. Di dalam rumah, Tian Long berbaring menatap atap bambu. Ia teringat suara pamannya, auman naga, dan cahaya yang tadi menelan tubuhnya. Di balik semua itu, ada sesuatu yang ia rasakan bukan ketakutan, melainkan panggilan halus yang membisikkan satu kata: “Datanglah.”
Ia menutup matanya, dan dalam kegelapan, ia melihat gerbang batu raksasa dengan simbol naga terukir di atasnya. Di balik gerbang itu, cahaya keemasan memancar seperti matahari di lautan awan. Suara auman bergema lagi, kali ini jelas.
“Anak naga… darahmu adalah kunci.”
Tian Long terbangun dengan napas terengah. Di luar, angin malam berembus, membawa aroma hujan dan abu. Ia menatap tangannya teratai di lengannya berdenyut sekali lagi, lebih terang daripada sebelumnya.
Dan jauh di dalam tanah, di bawah reruntuhan kuil naga tua, sesuatu bergetar. Batu-batu retak, dan dari celah kecil di antara reruntuhan, muncul semburat cahaya emas yang menembus bumi, melesat ke langit malam.
Langit memancarkan guruh tanpa petir. Seluruh Benua Timur yang tertidur perlahan merasakan hembusan Qi naga pertama setelah seribu tahun sunyi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!