Su Runa (蘇如娜, Sū Rúnà) hanya ingin hidup tenang, bekerja santai, dan rebahan damai di apartemen kecilnya. Bukan cita-cita yang muluk, kan? Sayangnya, angan itu tak sejalan dengan kenyataan.
Malam itu, apartemennya seperti kapal DIY yang karam. Di lantai berserakan gunting, lem tembak, pita, kain bekas, dan kardus setengah jadi. Di meja kerja, mie instan yang sudah mengering menjadi “fosil malam kelaparan,” dan laptopnya masih menyala menampilkan software editing video. Nana (娜娜, Nànà)—begitu panggilan akrabnya—seorang konten kreator DIY yang gemar membaca buku lintas bidang. Keahliannya dalam memasak murni untuk bertahan hidup, dengan motto hidup: “Yang penting makan, bukan makan itu penting.” Ia juga memiliki ingatan visual yang tajam dan bakat membuat sketsa yang menyerupai aslinya.
Di usia 25 tahun, kehidupannya cukup sederhana: kerja, makan, tidur, dan sesekali bertualang di dunia maya. Tidak ada ramalan, portal bercahaya, atau sistem aneh yang muncul dari udara. Hanya dirinya dan segunung kerjaan yang harus diselesaikan sebelum matahari terbit.
Ia duduk bersila di kursi putar, mengetik cepat sambil menguap lebar. “Lima menit lagi, habis edit langsung tidur,” gumamnya sambil menyeruput sisa kuah mie dingin.
Su Runa melirik novel fantasi kolosal yang terbuka di samping laptop. Halaman terakhirnya seolah bersinar, menggoda seperti bisikan iblis: ‘Selesaikan aku sekarang~’.
Baginya yang punya “Sindrom Nggak Bisa Tidur Kalau Ending Belum Tahu”, ini siksaan batin. Tapi dia menahan diri. “Besok aja baca ending-nya. Hidup sehat dimulai dari tidur yang cukup,” katanya bijak … lima menit sebelum matanya kalah oleh ngantuk.
Sayangnya, bukan videonya yang selesai malam itu. Melainkan hidupnya.
Su Runa tak pernah menyangka bahwa tidur “sebentar” akan membuat jiwanya log out dari tubuh di dunia modern. Setelah malam penuh deadline dan mie instan, hidupnya … “di-upload” ke dunia kolosal—yang seharusnya fiksi. Ya ... karena tidak ada satupun catatan sejarah mengenai dinasti yang ia hadiri saat ini. Hanya saja, kebetulan punya budaya dan bahasa yang sama seperti dinasti-dinasti yang ada di sejarah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Su Runa terbangun, tapi bukan suara laptop atau notifikasi HP yang pertama ia dengar. Melainkan … tangisan bayi. Yang lebih aneh lagi, setelah beberapa detik, ia sadar: itu suara tangisannya sendiri.
“Eh?” pikirnya. Bingung dengan situasi dan kondisi yang dialaminya saat ini. Tapi yang keluar hanya “WAAAAAA!!” nyaring.
Pandangannya buram, tubuhnya mungil dan lemah. Tangan kecilnya mengepal tanpa kendali. Panik? Tentu saja. Siapa yang tidak panik saat tahu dirinya jadi bayi?!
Perlahan suasana sekitar mulai jelas: cahaya lampu minyak redup, dinding kayu sederhana, dan beberapa wajah asing muncul bergantian menatapnya. Atap di atas yang dilihat saat ini bukanlah plafon putih apartemen, melainkan kayu kasar.
"Ini… di mana? Kok kaya rumah zaman kerajaan?" batinnya.
Beberapa pelayan wanita berlari ke dalam ruangan, disusul seorang perempuan anggun berpakaian mewah. Wajahnya lembut tapi tegas—dan dari tatapan penuh kasih itu, Su Runa menyadari satu hal: perempuan ini adalah ibunya … yang baru.
"Selamat, Nyonya 夫人 (Fūrén)! Putri Anda lahir dengan selamat!" Para pelayan bersorak kecil, wajah mereka cerah oleh kebahagiaan.
Tanggal 14 Bulan 3 Tahun 472, Dunia Xuanyu 玄域 (Xuányù), Dinasti Hanxu 翰胥 (Hànxū). Di malam musim semi yang hangat. Bunga-bunga plum (梅花, méihuā) bermekaran memenuhi halaman rumah keluarga Yun, mengirimkan wangi lembut ke udara. Embun tipis menari di antara pepohonan, dan langit malam begitu jernih seolah alam tengah menyambut tamu kecil istimewa.
Tangisan pertamanya terdengar nyaring, bersatu dengan suara angin musim semi yang lembut. Para pelayan bahkan berbisik bahwa kelahiran di malam seindah itu pasti membawa keberuntungan besar bagi keluarga Yun.
“Selamat, Tuan 老爺 (Lǎoye). Nyonya baru saja melahirkan seorang putri. Ibu dan anak lahir dengan selamat,” ucap seorang bidan dengan pakaian sederhana setelah keluar dari ruang bersalin.
Seorang pria dewasa tertawa lega. “Akhirnya aku punya anak perempuan!”
Seorang anak laki-laki ikut bersorak, “Akhirnya aku punya Meimei 妹妹 (Mèimei – Adik Perempuan)!”
"Anak? Meimei? Eh bentar… jangan bilang aku yang dimaksud!" batinnya berusaha mencerna situasi saat ini.
Su Runa ingin protes, tapi tubuh mungilnya hanya bisa menendang udara dan menangis lebih keras. “WAAAAAA!!”
Ia bukan lagi Su Runa. Kini ia adalah bayi baru lahir di zaman kolosal.
“Apartemenku … laptopku … Wi-Fi ku … novelku yang belum tamat …!!” ratapnya dalam hati, disertai tangisan bayi super melengking.
“Sepertinya Nona lapar, Tuan,” ujar bidan.
“Aku mengerti. Biar aku bawa dia ke istriku,” jawab sang ayah dengan wajah berseri.
“Aku nggak lapar! Kalian salah paham, woy!” tentu saja tidak ada yang bisa mendengar teriakan batinnya.
Pria itu mengecup dahi istrinya yang masih terbaring di ranjang dengan rambut yang disanggul rapi sederhana. “Istriku 夫人 (Fūrén), selamat, ya. Putri kecil kita lahir secantik dirimu. Terima kasih sudah berjuang melahirkannya.”
Wanita itu tersenyum. “Suamiku 夫君 (Fūjūn), kenapa anak kita menangis terus?”
“Berilah ia makan, sepertinya dia kelaparan.”
Sambil meraih bayinya, ia menyusui dengan penuh kelembutan. Suasana tenang, hingga suara langkah kecil terdengar. Seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun berlari masuk.
“Nama Meimei siapa, Diedie 爹爹 (Diēdiē - Ayah), Niangqin 娘親 (Niángqīn - Ibu)?”
Pria itu tersenyum bangga. “Namanya Yun Ruona 雲若娜 (Yún Ruònà).
『雲映天光,若水含情,娜姿如畫。』
Yún yìng tiān guāng, ruò shuǐ hán qíng, nà zī rú huà.
‘Awan memantulkan cahaya langit, sehalus air yang menyimpan perasaan, anggunnya laksana lukisan.’”
Wanita yang adalah ibu baru Su Runa di dunia ini mengangguk bahagia. “Nama yang indah, suamiku.”
"Aku cukup suka nama ini. Approve! Diedie jago banget kasih nama." batin Su Runa senang.
“Yeay, sekarang aku punya adik namanya Yun Ruona! Nanti kita panggil Nana, ya?” seru anak laki-laki itu.
“Ide bagus, putraku 儿子 (érzi). Nama panggilannya adalah Nana,” jawab Tuan Yun.
Nyonya Yun tersenyum setuju. “Selamat datang di keluarga kami, Nana.”
"Aku punya nama panggilan yang sama seperti di kehidupan sebelumnya."
Anak laki-laki itu menepuk dada bangga. “Aku Gege 哥哥 (Gēge – Kakak laki-laki) mu, Yun Zhen 雲禎 (Yún Zhēn). Mulai sekarang aku akan melindungimu!”
Nyonya Yun tertawa lembut. “Dia masih terlalu kecil untuk mengerti, Zhen'er.”
Tuan Yun ikut menimpali dengan nada main-main, “Ini Diedie, jangan lupa panggil aku duluan, ya, nanti.”
“Lah, malah rebutan panggilan,” celetuk Nyonya Yun sambil melotot kecil.
Para lelaki di ruangan itu langsung terdiam. Nana yang masih bayi pun merasa aura ibu rumah tangga zaman kolosal ini kuat juga.
Malam mulai larut. Setelah diberi ASI, Su Runa diletakkan di ranjang kecil dengan selimut hangat. Ia menatap langit-langit kayu dengan mata bayi bundar, sementara pikirannya tetap seperti orang dewasa.
“Baiklah, karena sudah terlanjur jadi bayi. Aku Su Runa, kini jadi Yun Ruona, akan jalani kehidupan baru ini dengan baik ...,” gumamnya dalam hati.
Keluarganya terlihat hangat, bukan bangsawan tapi juga bukan orang miskin.
"Sepertinya kehidupanku di sini akan berjalan damai … 'kan?"
✨ Bersambung ✨
Tanggal 28 Bulan 3 Tahun 472, Dunia Xuanyu, Dinasti Hanxu — Musim Semi Pertama Setelah Kelahiran.
Suara burung-burung pagi menyambut matahari musim semi yang hangat. Sinar mentari menembus kisi-kisi jendela kayu, menari lembut di atas ranjang kecil tempat Yun Ruona yang masih bayi sedang berbaring.
Ia membuka mata perlahan. Pandangan masih sedikit kabur, tapi cukup untuk melihat satu arah, langit-langit kayu dengan balok penopang melintang. Tidak ada alarm, tidak ada suara notifikasi … hanya kicau burung dan langkah pelan pelayan yang sibuk membersihkan rumah.
“Jadi ini bukan mimpi …,” batinnya dengan nada pasrah. “Aku benar-benar jadi bayi.”
Pelayan masuk membawa baskom air hangat. “Nona muda 小姐 (Xiǎojiě), selamat pagi~,” sapa salah satu pelayan muda dengan nada riang sambil mengelap wajah dan tangan mungilnya dengan kain halus.
"Nona muda?" pikir Yun Ruona. "Kayaknya statusku lumayan juga ya… bukan anak rakyat jelata. Tapi juga nggak seperti di istana."
Setelah dirapikan dan dibedong, Yun Ruona diletakkan di dalam keranjang anyaman yang diberi selimut lembut. Dari sana, ia bisa melihat pemandangan sebagian halaman rumah: taman plum bermekaran, pelayan mondar-mandir, dan seorang anak laki-laki yang sedang berlatih bela diri dengan seorang guru tua.
“Wah, pagi-pagi gege udah latihan… aku aja dulu bangun siang kalau nggak ada kelas, hehehe,” gumamnya dalam hati.
Anak laki-laki itu tidak lain adalah Yun Zhen — kakak laki-lakinya, yang kemarin dengan bangga menyatakan akan melindungi dirinya. Usianya sekitar delapan tahun, tapi gerakannya cukup lincah dan penuh semangat.
“Gege ini rajin juga, ya .... Umur berapa dia mulai latihan bela diri? Jangan bilang dari umur lima atau enam tahun kayak di drama-drama TV itu. Impossible banget!” pikir Nana kagum dengan sedikit julid. Tapi beberapa detik kemudian ia menguap kecil dan hampir ketiduran lagi.
"Kerja bagus, Tuan Muda 少爺 (Shàoyé). Teruskan latihan seperti ini. Dalam dua tahun sudah mencapai tingkat ini, kalau bukan jenius, sangat sulit," puji sang guru pada Yun Zhen.
"Baik, Shifu 師父 (Shīfu - Guru)!" balas Yun Zhen dengan semangat.
"Hah! Beneran? Ini sih namanya penempaan hidup sejak orok. Ogah banget!" protes Yun Ruona lantaran merasa nasibnya akan sama seperti kakak lelakinya nanti.
Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari arah pintu.
“Nana~ Putri kecilku sudah bangun ya~,” suara Nyonya Yun terdengar seperti lagu pengantar tidur, tapi kali ini membangunkan. Ia masuk ke kamar dengan mengenakan pakaian rumah yang elegan namun sederhana, rambutnya disanggul rapi, wajahnya teduh.
Wanita itu mendekat dan menggendongnya dengan penuh kasih. “Putriku 女兒 (Nǚ’ér), lihatlah, pagi ini bunga plum begitu indah~” katanya sambil membuka jendela lebar-lebar. Udara segar masuk ke dalam ruangan, membawa aroma bunga musim semi.
“Indah sih, tapi… aku masih bayi. Aku belum bisa komentar,” keluhnya dalam hati sambil mengedipkan mata polos.
Tak lama kemudian, Tuan Yun masuk sambil membawa gulungan kertas dan tersenyum cerah. “Istriku 娘子 (Niángzǐ), lihatlah! Para pelayan bilang anak kita pagi ini tidak rewel sama sekali. Ia benar-benar membawa keberuntungan!”
Nyonya Yun tersenyum. “Tentu saja, suamiku 相公 (Xiānggōng). Lihat betapa tenangnya wajahnya. Seperti anak yang bijaksana.”
“Bukan tenang, Niang … aku cuma belum bisa ngomong aja. Tunggu aja nanti, bila waktunya tiba, apa kalian akan tetap bilang aku bijaksana atau malah biang keladi ....”
Tuan Yun duduk di kursi rotan dan menatap putrinya lekat-lekat. “Suamimu ini yakin, kelak Nana kita akan jadi gadis pintar dan lembut seperti air.”
"Uhuk... Maaf ya, Diedie, sepertinya aku bakal mengecewakan ekspektasimu~"
Nyonya Yun tertawa kecil. “Jangan terlalu tinggi harapanmu, Suamiku~ Dia baru lahir dua hari.”
“Justru karena itu!” Tuan Yun menjawab penuh semangat. “Didikan keluarga Yun harus dimulai sejak dini!”
Yun Ruona dalam hati, “Jangan bilang aku disuruh belajar baca tulis sejak bayi—” ia menghela napas, tapi karena masih bayi, hanya terdengar kata, "Ha~"
Hal itu yang membuat Tuan dan Nyonya Yun tertawa kecil melihat tingkah lucu sang putri kecil. "Kapan aku bisa ngomong ...?" keluhnya tak sabar. Tak sabar untuk memprotes balik perkataan orang lain.
Sebelum pikirannya melayang jauh, Yun Zhen masuk dengan wajah berkeringat dan semangat membara. “Die! Niang! Aku sudah selesai latihan! Boleh aku gendong Meimei sekarang?”
Tuan Yun tertawa. “Tentu saja. Tapi hati-hati. Meimei masih kecil, tubuhnya masih rapuh.”
Pelayan dengan sigap membantu Yun Zhen duduk dan menempatkan Yun Ruona kecil di pelukannya dengan posisi aman. Wajah Yun Zhen langsung ceria tak terkira.
“Meimei~ aku Gege-mu. Lihat, Gege kuat ‘kan? Nanti aku bakal jagain kamu dari siapa pun!” katanya sambil menggoyang tubuh kecil Nana pelan-pelan saking gemasnya.
Nana hanya bisa menatap kosong. "Iya iya… aku percaya. Tapi tolong jangan goyang terlalu kencang, nanti aku muntah susu!"
Siapa yang tak tergoda dengan tubuh mungil yang memikat mata untuk diunyel-unyel. Nana pun sebenarnya gemas dengan anak kecil. Apalagi anak bayi. Rasa ingin melihat dirinya sendiri menggelora. Tapi apalah daya, dia masih bayi yang belum bisa menopang kepala dengan kokoh. Kalau bisa, mungkin ia akan berkaca setiap hari, tidak, setiap saat demi melihat pipi tembamnya sendiri.
Pelayan di sekitar tertawa kecil melihat tingkah sang kakak. Suasana pagi itu hangat, penuh keceriaan keluarga.
Siang harinya, suasana rumah sedikit berbeda. Tuan Yun sedang menerima tamu di aula depan. Dari obrolan pelayan, Yun Ruona tahu bahwa keluarga Yun bukan bangsawan tinggi, tapi cukup terpandang di wilayahnya. Mereka memiliki usaha pengiriman hasil bumi, jadi sering berurusan dengan pejabat lokal maupun pedagang dari luar kota.
Pelayan wanita yang menjaga Yun Ruona bercerita sambil menimang keranjang bayi, seolah Yun Ruona mengerti, “Tuan kita memang bukan pejabat resmi, tapi beliau sangat disegani. Nyonya juga terkenal lembut tapi tegas. Tidak hanya mampu mengurus rumah dengan sangat baik, tetapi juga tidak sedikit membantu Tuan mengurus pekerjaannya. Mereka dijuluki pasangan yang sepadan. Nona kecil kita pasti tumbuh jadi gadis baik yang sama hebatnya seperti Tuan dan Nyonya.”
"Informasi latar belakang keluarga: diterima. Setidaknya jadi bayi nggak seburuk itu. Bisa dapat informasi dan gosip secara cuma-cuma, tanpa perlu bersusah payah mengejarnya. Hihihi ...."
Sore menjelang, matahari condong ke barat. Nana digendong ibunya keluar ke teras, menikmati hembusan angin musim semi. Ia melihat burung beterbangan, pelayan menyapu halaman, dan Yun Zhen yang masih latihan jurus dasar dengan keras kepala. Dunia kolosal ini tampak damai… tapi entah kenapa, perasaan Yun Ruona seperti membaca bab awal novel fantasi—tenang sebelum badai.
“Kalau ini novel, pasti bentar lagi ada tokoh protagonis atau antagonis yang muncul …,” gumamnya dalam hati.
"Tapi seingatku novel yang pernah aku baca juga tidak ada yang punya awal cerita seperti ini. Termasuk novel yang endingnya belum sempat aku lihat itu. Mungkin aku terlalu banyak pikiran. Kebetulan aku terlempar ke dinasti antah berantah yang tak tercatat di sejarah."
Ibu mencium dahinya lembut. “Putriku, semoga hidupmu selalu damai.”
Nana menatap langit, dalam hati berkata, “Kayaknya nggak semudah itu, Niangqin ....”
✨ Bersambung ✨
Tanggal 3 bulan 9 tahun 472, Dunia Xuanyu, Dinasti Hanxu — penghujung musim panas, menjelang gugurnya dedaunan pertama.
Musim semi perlahan berganti, membawa warna-warna baru pada halaman kediaman keluarga Yun. Dalam sekejap, Yun Ruona telah tumbuh menjadi bayi mungil berusia enam bulan. Tubuhnya kini semakin berisi dan pipinya kian tembam, seperti bakpao kukus yang baru matang. Ia sudah bisa duduk dengan bantuan bantal penopang, meski sesekali masih terhuyung dan hampir terguling ke samping. Ia mampu menggenggam benda kecil dengan jemari mungilnya, dan bereaksi terhadap suara di sekitarnya.
Meski belum bisa berdiri, berjalan, atau bicara, satu hal pasti — ia telah menguasai seni ekspresi wajah tingkat tinggi. Kadang bibirnya merenggut seolah berpikir dalam, kadang matanya menyipit nakal, dan lebih sering lagi ia tersenyum lebar pada siapa pun yang menatapnya.
“Lihat! Lihat~ Nona muda kita senyum lagi~” teriak salah satu pelayan muda dengan nada gemas.
Setiap kali Yun Ruona melemparkan ekspresi menggemaskan, para pelayan, pengasuh, bahkan penjaga rumah sering kali dibuat terkapar oleh rasa gemas tak tertahankan — tentu bukan benar-benar mati, hanya idiom belaka. Aura bayi yang memancar dari wajahnya benar-benar seperti pesona peri kecil yang mampu meluluhkan hati siapa pun yang lewat.
Salah satu kebiasaan barunya adalah bercermin. Begitu diletakkan di depan cermin perunggu kecil yang dipoles mengilat, ia akan menatap pantulan dirinya dalam-dalam, lalu… tersenyum lebar sambil mengeluarkan suara tawa tak jelas, “Ah—Ehe~”
"Cermin, Cermin Perunggu, katakan padaku, siapa bayi terimut di dunia ini? Muehehehe ...," batin Nana seolah sedang berbicara dengan cermin bak di film Snow White.
“Dia melakukannya lagi~!” pelayan menjerit kecil menahan tawa.
“Benar-benar Nona kecil adalah ‘Peri Cermin Kecil’ kita~ 愛鏡小仙 (Ài jìng xiǎo xiān)!” seru pelayan yang lain.
"Kayaknya ketimbang Peri, aku lebih seperti orang gila. Ha~ Ini bakal jadi kesalahpahaman pertama dalam hidup yang tak ingin aku luruskan. Mentang-mentang jadi bayi dan nggak ada yang dengar suara hatiku."
Julukan itu pun tersebar di seluruh kediaman. Tidak hanya pelayan, Nyonya Yun pun ikut menirukan dengan nada lembut, “Nana, Peri Cermin Kecilku, pagi ini kau lebih ceria dari biasanya~” sambil mencium pipi tembamnya yang seolah tidak pernah kempes.
Yun Ruona hanya dalam hati menjawab, “Tentu saja ceria… pantulan wajahku di cermin terlalu imut untuk tidak dikagumi. Kalau aku bukan aku, mungkin aku pun akan jatuh cinta pada bayi ini~”
Jika Nyonya Yun ikut-ikutan memanggilnya Peri Cermin Kecil karena gemas, itu sudah jadi hal yang lumrah. Tapi ... kenapa Tuan Yun dan Yun Zhen ikut-ikutan juga?
"Peri Cermin Kecil Diedie ada di mana, ya~" tanya Tuan Yun dengan nada menggoda.
"Peri Cermin Kecil Gege~ Lihat! Gege-mu berhasil di tes sastra hari ini. Hebat, 'kan?" ujar Yun Zhen dengan bangga.
"Ternyata dia lelaki di rumahku ini sudah masuk tahap menjadi budak anak perempuan. Lihatlah kelakuan mereka .... Seolah mencari perhatianku."
Namun di balik keceriaan yang memenuhi kediaman keluarga Yun, ada riak kecil yang mulai muncul di bawah permukaan. Seperti aliran air tenang yang menyembunyikan arus kuat di dasarnya, perubahan itu perlahan tapi pasti merambat ke kehidupan sehari-hari mereka.
Meski hari-hari di rumah Yun tampak damai, ada perubahan yang mulai terasa akhir-akhir ini. Sejak pertengahan bulan 8 tahun 472, Tuan Yun Haoran 雲浩然 (Yún Hàorán) — ayah Yun Ruona — semakin jarang berada di rumah. Jika biasanya setiap pagi ia sempat menggendong putrinya sebelum berangkat bekerja, kini keberangkatannya sering sebelum fajar, dan kepulangannya kadang larut malam saat semua sudah tidur.
Pelayan dapur sering berbisik saat mencuci peralatan, “Akhir-akhir ini Tuan sering menerima tamu malam-malam. Mereka datang diam-diam, tanpa kereta keluarga, dan memakai pakaian khas ibu kota. Kau perhatikan?”
“Ya. Bahkan aku pernah lihat salah satu membawa gulungan surat bersegel. Setelah dibaca, Tuan langsung membakarnya di halaman belakang,” timpal pelayan tua dengan suara pelan, memastikan tidak ada siapa pun mendengar.
“Apakah ini ada hubungannya dengan urusan dagang, atau… hal lain?”
"Hus! Jangan bicara macam-macam. Kalau nggak mau nyawamu hilang."
"Ah ... oke, oke."
Bisikan itu mengambang di udara seperti asap dupa, samar namun menyisakan jejak. Mereka seolah berpura-pura tidak mendengar, melihat, dan mengerti demi keamanan nyawa masing-masing. Hal-hal seperti ini sangat tabu untuk dibicarakan lebih lanjut oleh pelayan dengan status rendah seperti mereka.
Yun Ruona yang sedang duduk di pelukan ibunya, tentu belum benar-benar mengerti. Namun karena jiwa dalam tubuhnya adalah jiwa orang dewasa dari dunia modern, nalurinya — atau mungkin sisa kepekaan dari kehidupan sebelumnya — merasakan sesuatu yang ganjil di balik rutinitas ayahnya akhir-akhir ini.
"Sepertinya kedamaian di kediaman ini tidak akan bertahan lama. Jika aku benar-benar bayi baru lahir, aku tidak akan peduli dengan perkataan mereka. Jangankan peduli, ingat saja tidak mungkin. Mari tunggu saja bagaimana kedepannya nanti," batin Nana yang ikut larut dalam pikirannya setelah mendengar percakapan para pelayan tadi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suatu sore tanggal 18 bulan 9 tahun 472, saat angin bertiup lembut membawa aroma bunga musim semi yang mulai berguguran, Nyonya Yun mengajak Yun Ruona ke taman kecil di belakang rumah. Yun Zhen sedang berlatih dengan semangat seperti biasa. Keringat membasahi dahinya, tapi matanya penuh tekad. Tekad kuat yang membara bagai kobaran api. Yun Ruona dapat merasakan tekad itu dari aura yang keluar saat Yun Zhen sedang berlatih.
Saat Yun Zhen menyadari sang adik memperhatikannya, ia berhenti sejenak, mengusap peluh di dahi, lalu berjalan menghampiri dengan langkah ringan. Tentu saja ekspresinya terlihat lebih hidup ketika Yun Ruona menghampiri saat ia sedang berlatih.
“Meimei, lihat ini~” katanya sambil memutar pedang kayu dengan gaya penuh percaya diri. Ia lalu jongkok, menyentuh pipi tembam Yun Ruona dengan jari telunjuknya. “Kau harus cepat tumbuh besar supaya bisa menonton Gege bertanding, ya!”
Yun Ruona merespon dengan tawa ceria dan lambaian tangan tak jelas, seolah benar-benar mengerti. Adegan itu membuat Nyonya Yun tertawa lembut, sementara Yun Zhen semakin semangat kembali berlatih.
“Gege benar-benar rajin, ya …,” pikir Yun Ruona sambil menatapnya kagum.
"Yang akan jadi pasangannya nanti pasti sangat beruntung. Melihat di usia hampir sembilan tahun dia sudah semahir ini, pasti akan jadi petarung yang hebat. Apapun jalan yang akan ia pilih, entah Wenguan 文官 (wénguān) yang mengatur negara dengan kebijaksanaan, atau Wuguan 武官 (wǔguān) yang melindungi tanah air dengan pedang di tangan, masa depannya pasti gemilang."
"Kira-kira nanti pasanganku akan seperti apa, ya? Paling tidak harus setara kuatnya dengan Gege."
Nyonya Yun mengusap lembut kepala Yun Ruona. “Putriku, dunia ini luas dan sering kali tak terduga. Tapi selama kita punya hati yang teguh, kita bisa melalui semuanya,” ucapnya dengan nada tenang, seolah berkata bukan hanya pada bayinya, tapi juga pada dirinya sendiri.
"Tiba-tiba banget Niangqin berbicara seperti ini ...."
Yun Ruona menatap wajah ibunya. Dalam ketenangan itu, ada sesuatu yang dalam … seperti seseorang yang menyimpan rahasia besar namun tetap memilih tersenyum demi keluarganya.
✨ Bersambung ✨
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!