''Malam itu sunyi, terlalu sunyi hingga suara detak jam terasa seperti dentuman yang menggetarkan lantai kayu. Di kamar yang remang ,seorang gadis duduk sendiri,wajahnya polos dan penuh keheranan,menatap lilin yang bergetar pelan.Cahaya kuning itu menari di dinding,menciptakan bayangan-bayangan yang tak hidup.
Seseorang seakan berjalan di lorong, langkahnya lembut namun berat,seakan membawa rahasia yang tak ingin di ungkap.gadis itu menoleh namun tak ada seorangpun di sana . Hanya udara dingin yang masuk lewat jendela, menyentuh kulitnya dan meninggalkan rasa aneh.
''Eomma.....''panggil gadis itu ketika melihat bayangan berjalan di lorong kamarnya, namun tidak ada yang menyaut meskipun sudah beberapa kali di panggilnya. Dia bergerak keluar dari kamarnya mengikuti bayangan yang aneh itu,namun bayangan itu menghilang tepat di depan pintu kamar yang selama ini selalu di kunci oleh ibunya, tangannya gemetar saat hendak menyentuh handle pintu tersebut, udara malam begitu pekat hingga setiap nafas terasa dingin di tenggorokannya,hening yang menusuk itu tiba-tiba pecah oleh suara lembut namun tajam.
'“Apa yang kamu lakukan?”
"Haeun menoleh perlahan, tapi… lorong kosong. Tak ada siapa pun. Hanya bayangan panjang dari lilin yang menari-nari di dinding. Jantungnya berdetak begitu kencang, seolah ingin melompat keluar dari dada.
"Dan tiba-tiba… ada sesuatu yang menempel di bahunya. Tangan dingin, tak bersuara, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya meremang. Haeun menahan napas, perlahan menoleh ke belakang, dan matanya membesar.
Ibunya berdiri di sana—tapi… bukan di lorong tadi. Seolah ia muncul dari kegelapan begitu saja, tanpa langkah, tanpa suara. Senyum samar menghiasi wajahnya, tapi ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tak bisa Haeun jelaskan.
“Kenapa… kamu membuka pintu itu?” Suara ibunya kini terdengar lebih berat, lebih dingin, menyelinap masuk ke telinga Haeun. Tubuhnya terasa kaku, kaki tak mampu bergerak. Bayangan di dinding seakan menari lebih liar, mengikuti detak jantungnya yang tak tertahankan.
"Aku...... aku........ " tenggorokan nya tercekat tidak bersuara..
" sudahlah, pergi tidur sana, besok kamu sekolah... " ucap ibunya dengan tatapan tajam ke arahnya.
" baik..... " jawab haeun sedikit ketakutan, jujur saja dia merasa ada yang aneh di rumah baru nya ini, rumah yang baru di tinggali nya empat hari yang lalu.
" ya haeun adalah seorang gadis introvert dan polos, dulu dia tinggal di seoul sebelum ibunya mengajak dia pindah ke kota gonjiam ini, kota yang sangat asing dan aneh menurutnya, kota yang sangat sepi dan jauh berbeda dari seoul yang ramai.
" besok adalah hari pertama dia masuk sekolah di kota gonjiam, rasanya dia sedikit merasa resah dan agak takut, karena jujur saja, dia sudah berulang kali pindah sekolah dengan alasan di bully, ya, haeun selalu di bully di beberapa sekolah lamanya, meskipun sekarang dia sudah kelas 11 , tapi dia masih sangat sulit bergaul dengan orang-orang sekitar nya, hanya ibunya lah yang selalu ada di dekat nya meskipun ibunya juga kadang menyeramkan seperti para temannya dulu yang kerap membully nya.
" tuhan.... aku harap besok aku punya teman... " doa haeun sebelum tidur, karena sudah sebesar ini dia tetap tidak punya teman satupun, yang ada hanya para perundung di sekitar nya.
"Kabut tipis menutupi halaman rumah baru Haeun di pinggiran kota Gonjiam. Rumah itu berdiri sendiri di ujung jalan sepi, dikelilingi pohon-pohon pinus yang tinggi dan rapat. Cahaya matahari pagi hanya menembus sedikit, membuat bayangan di lantai bergerak lambat seperti hidup sendiri.
"Haeun duduk di meja makan, menatap mangkuk bubur yang masih mengepulkan uap. Tubuhnya tegak tapi matanya kosong, wajah polosnya tertutup rasa cemas yang tak ia pahami sepenuhnya. Ini baru pertama kalinya ia pindah rumah,selama ini ia hanya berpindah sekolah, mencoba lari dari ejekan dan tatapan sinis teman-teman sekelasnya.
Ibunya berdiri di dekat kompor, punggungnya lurus, wajahnya dingin. Ia bergerak lambat, tenang, tanpa senyum.
“Cepat sarapanmu,” ucapnya, suaranya datar tapi tegas, memaksa Haeun bergerak.
Haeun menelan ludah,Setiap pagi terasa berbeda di rumah baru ini. Suara jam tua berdetak berat, seakan menghitung detik-detik yang terlalu lambat. Angin yang masuk dari jendela berdesir, membawa aroma basah dari tanah dan daun mati di halaman. Ada sesuatu di luar, sesuatu yang bergerak samar di antara kabut, tapi Haeun tidak bisa memastikan apakah itu nyata atau hanya imajinasinya.
“eomma…” Haeun akhirnya bersuara, pelan. “Kenapa kita pindah ke sini?”
Ibunya menoleh perlahan, tatapannya menusuk tapi kosong. Nada suaranya datar, seperti berbisik di telinga sendiri.
“Kau harus mulai di sini,Kau akan mengerti nanti.”
“Lalu… aman di sini?” tanya Haeun, suaranya nyaris tak terdengar.
Sekali lagi, tak ada jawaban. Hanya keheningan yang semakin menekan. Haeun menelan ludah, tangannya menggenggam sendok. Bayangan-bayangan di dinding rumah bergerak perlahan, seolah mengikuti setiap gerakannya.
Ia memandang jendela, menatap pohon-pohon tinggi di halaman. Sesekali, ia merasa ada sesuatu menatap balik. Bayangan itu samar, hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri.
Ibunya berbalik, menatapnya sekilas. “Sarapanmu habiskan dulu. Kau akan terlambat nanti. "
Nada suaranya tetap dingin, namun ada sesuatu yang terselip di sana,seolah peringatan. Haeun menunduk, sendoknya gemetar saat ia menyuap bubur. Ia tak tahu kenapa, tapi hatinya sudah merasakan bahwa rumah baru ini,, dengan kabutnya, pohon-pohon tinggi, dan keheningan yang aneh, bukan sekadar tempat tinggal baru. Ada sesuatu yang menunggu. Sesuatu yang bisa ia rasakan tapi belum bisa ia lihat.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Haeun merasa ketakutan sekaligus penasaran tentang apa yang akan menunggunya di rumah ini.
"Kabut pagi masih menggantung tipis di jalan ketika Haeun melangkah keluar rumah. Tas sekolah tergantung di pundaknya, tapi langkahnya lambat, ragu. Jalanan Gonjiam sepi, hanya terdengar suara daun pinus yang digerakkan angin dan desah kabut yang menyelinap di celah-celah rumah.
Sepanjang perjalanan ke Hanwon High School, Haeun menelan ludah beberapa kali. Rasanya udara di kota ini lebih berat daripada di Seoul, seperti menyimpan rahasia yang tidak ingin ia ketahui. Setiap bayangan di pinggir jalan tampak bergerak perlahan, dan ia sering merasa ada tatapan yang mengikutinya, walau saat menoleh, tak ada siapa pun.
Setibanya di sekolah, gedung tinggi dengan cat abu-abu tua berdiri kokoh di depannya. Namanya terpampang jelas: Hanwon High School (한원고등학교). Bangunan itu tampak normal, tapi Haeun bisa merasakan ketegangan halus yang mengalir dari lorong dan jendela,seolah setiap sudut menyimpan cerita yang tidak ingin diceritakan.
" haeun berjalan pelan mengikuti langkah kaki guru yang tadi menyapa nya dan mengajaknya pergi ke dalam kelas.
" buk gayoung, ini murid pindahan dari seoul, dia akan menempati kelas ibuk ya, ucap guru tadi pada seorang guru lain yang berdiri di depan kelas.
" ouh baik buk, ucap guru itu tersenyum Dikit pada haeun dan Guru di sampingnya.
“Kalian semua, hari ini kedatangan murid baru,” ucapnya pelan tapi tegas. “Namanya Kim Haeun,Dia baru pindah dari Seoul. Tolong sambut dengan baik.”
" haeun kamu duduk di kursi itu ya..... " tunjuk guru itu pada kursi no sebelas, kursi satu-satunya yang terlihat kosong di kelas itu. Haeun tidak menjawab dia hanya mengangguk mengerti.
"Bisik-bisik terdengar di kelas. Haeun menunduk, pipinya memerah. Ia menggenggam tas di pangkuannya, langkahnya gemetar saat berjalan menuju bangku nomor sebelas di dekat jendela.
Saat hampir sampai, matanya tertumbuk pada seorang cowok yang sudah duduk di bangku sebelahnya. Ia menatap Haeun sekilas,tidak tersenyum, tidak mengucapkan sepatah kata pun,tetapi tatapannya intens. Haeun langsung menunduk, menelan ludah, dan jantungnya terasa seperti hendak meloncat.
Ia menaruh tas di samping kursi, duduk perlahan, dan mencoba menatap buku di depannya. Namun tatapan dari cowok itu tetap menempel, membuatnya merasa setiap gerakannya diawasi.
Sekelilingnya tak kalah menakutkan. Beberapa murid masih menoleh, berbisik di antara mereka. Haeun menarik napas perlahan, mencoba menenangkan diri, tapi suara-suara dan tatapan itu membuatnya merasa kecil, rapuh, dan sendirian.
Ia menatap jendela, bayangan pohon di halaman bergerak pelan diterpa angin, dan Haeun menyadari satu hal,di sekolah ini, ia bukan hanya murid baru. Ia adalah gadis introvert yang harus melewati tatapan, bisik-bisik, dan dunia yang terasa terlalu besar untuknya.
Di sampingnya, cowok itu tetap diam. Tatapannya misterius, menempel, tanpa kata. Haeun tidak tahu siapa dia, dan itu membuatnya semakin takut.
Suara detak jam di dinding terasa terlalu keras di ruang kelas yang setengah sunyi. Cahaya matahari menerobos lewat jendela besar, memantul di papan tulis, menciptakan bayangan lembut di wajah-wajah murid yang mulai lelah mendengarkan pelajaran.
Haeun duduk diam di bangkunya. Tangannya menggenggam pensil, tapi ujungnya tak pernah benar-benar menyentuh kertas. Setiap kali ia mencoba menulis, pandangannya kabur. Pikiran dan tubuhnya seolah tak sejalan.
"Di sebelahnya, cowok itu yang bahkan belum ia ketahui namanya tetap duduk dengan posisi yang sama sejak awal pelajaran. Bahunya tegap, wajahnya dingin, dan tatapannya lurus ke depan. Tidak ada ekspresi, tidak ada gerakan kecil, bahkan tidak ada desahan napas yang bisa terdengar.
Sesekali, Haeun berani melirik dari sudut mata. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam diam cowok itu yang terasa… berat. Seperti udara di sekitarnya berubah setiap kali Haeun menoleh.
Tiba-tiba, suara kapur guru terhenti.
“Kim Haeun,” panggilnya.
Jantung Haeun melonjak. Ia mendongak cepat, bibirnya gemetar. “Y–ya, Bu…”
Guru itu menatapnya singkat, matanya tajam tapi tidak jahat. “Kau sudah mengerti penjelasan tadi?”
Haeun menelan ludah. “S...sudah, Bu.”
Padahal ia bahkan tidak tahu pelajaran apa yang sedang dibahas.
Beberapa murid tertawa pelan. Suara mereka kecil, tapi cukup untuk membuat wajah Haeun memanas. Ia menunduk, menatap meja. Ujung jarinya memutih karena terlalu erat menggenggam pensil.
Ketika guru kembali menulis di papan, suasana hening lagi.
Namun kali ini, keheningan itu berbeda.
Haeun merasa seperti ada sesuatu di belakangnya.
Tatapan tajam, dingin, tak terlihat tapi nyata.
Ia menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa. Semua murid sibuk mencatat, guru masih menulis. Tapi entah kenapa, bulu kuduknya berdiri.
Cowok di sebelahnya tiba-tiba berbicara, suaranya dalam dan pelan.
“Kau mendengarnya juga?”
Haeun menoleh perlahan. “A...apa?” suaranya nyaris tak keluar.
Cowok itu menatap papan tulis, tidak menatapnya. “Bisikannya.”
Haeun membeku. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Bisikan? Ia tidak mendengar apa pun atau mungkin ia memang menolak untuk mendengarnya.
Suara bel akhirnya memecah keheningan. Murid-murid berdiri, berhamburan keluar. Tapi haeun masih duduk dengan tenang di kursi nya.
"namun saat ia menoleh ke arah cowok itu…
Kursinya sudah kosong.
Padahal ia yakin detik sebelumnya cowok itu masih duduk di sana.
"Haeun berdiri mengikuti langkah-langkah murid lain yang bergerak menuju kantin. Setiap langkah terasa berat, meski ia hanya berjalan perlahan di antara kerumunan yang ramai. Suara tawa, percakapan, dan hentakan sepatu di lantai terasa menggelegar di telinganya.
Ia menunduk, mata fokus ke lantai, berusaha tidak menarik perhatian. Bangku kosong di sampingnya di kantin membuatnya merasa sedikit lega, tidak ada yang duduk terlalu dekat, tidak ada yang bisa menyentuhnya tanpa izin.
Saat Haeun menaruh nampan makanannya di meja, beberapa murid dari kelasnya tadi menoleh. Beberapa cewek tersenyum tipis, tapi ada nada sinis di baliknya.
“Haeun-ssi, akhirnya muncul juga,” salah satunya bersuara pelan, cukup agar Haeun mendengar.
Haeun menelan ludah, menunduk lebih dalam, mencoba menjawab dengan suara yang hampir tak terdengar, “A...aku… hanya mau makan.”
Mereka tertawa kecil, menatap Haeun dengan tatapan yang menusuk. Salah satu dari mereka mencondongkan tubuh sedikit, memiringkan kepala, seolah menunggu reaksi Haeun.
Haeun menggigit bibirnya, fokus pada nasi hangat di nampannya, mencoba tidak menarik perhatian lebih. Setiap gerakan terasa lambat dan tangannya gemetar mengingat masa kelam saat dulu berada di Seoul.
“Ih, lihat deh… dia memang pantas duduk di samping cowok aneh itu,” salah satu cewek bersuara.
“Haha… benar-benar nggak akan betah dia lama-lama di sini,seperti beberapa murid lain yang juga nggak betah saat duduk di samping cowok aneh itu” celetuk cewek lain sambil mencondongkan tubuh.
Haeun menelan ludah, mengingat semua bully yang pernah ia alami di Seoul. Ketakutan itu kembali, menekan dadanya.
Di ujung kantin, cowok misterius berdiri diam, menatap Haeun dari jauh. Wajahnya tetap datar, ekspresinya tak bisa ditebak, seakan dia hanya pengamat. Haeun tidak mengerti apa-apa, bahkan tidak sadar tatapan itu.
Tiba-tiba, langkah berat terdengar. Seorang cowok tinggi melangkah ke arah Haeun dengan langkah percaya diri. Rambutnya rapi, seragamnya selalu terlihat sempurna, dan tatapannya tajam. Murid-murid lain yang melihatnya sedikit menunduk, takut-takut. Cowok itu adalah ketua OSIS sekaligus ketua kelas, dan sedikit ditakuti beberapa murid karena tegas dan disiplin.
“Hei… cukup,” suaranya terdengar lantang. Beberapa cewek yang membuli Haeun menoleh, terkejut oleh nada seriusnya.
Cowok itu berdiri di samping Haeun, menatap mereka. “Kalau kalian masih ingin mengganggu dia, berarti kalian siap menghadapi konsekuensinya,” katanya datar, tegas. Tidak perlu marah, tidak perlu teriak,tatapannya sudah cukup menakutkan.
Beberapa cewek saling berpandangan, wajah mereka memucat. Mereka ragu, kemudian mundur perlahan, dan satu per satu akhirnya pergi meninggalkan kantin dengan langkah tergesa-gesa.
Haeun menunduk, dada masih berdebar kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya bisa menatap cowok itu dari sisi matanya.
Cowok itu menoleh sebentar, memastikan Haeun aman, lalu berjalan pergi, kembali ke meja lain. Ia tidak tersenyum, tidak mengajak bicara, hanya melakukan apa yang perlu dilindungi, tanpa terlalu dekat atau terlalu ramah.
Haeun menelan ludah, masih takut, tapi sedikit lega. Ia menatap kursi di sampingnya yang kosong, dan dari ujung kantin, cowok misterius masih berdiri diam, menatapnya. Haeun tidak sadar bahwa ada sesuatu yang berbeda tentang tatapannya… sesuatu yang hanya bisa dirasakan, bukan dimengerti.
Ia kembali menunduk, mencoba menyelesaikan makanannya dengan hati-hati, tetap waspada tapi sedikit lebih aman daripada sebelumnya.
"“Setiap tatapan menyimpan misteri yang tak bisa dijelaskan.”
" Bel pulang berbunyi, haeun menutup buku di mejanya dengan gerakan perlahan. Sepanjang hari, ia hanya diam. Tidak ada kata-kata, tidak ada tawa, tidak ada sapaan. Dunia di sekitarnya tampak berisik, tapi baginya, semua itu hanyalah gema yang tidak menyentuh hati.
Langkah-langkah murid lain di lorong terdengar seperti gelombang yang bergulir terlalu dekat. Haeun tetap menunduk, matanya tertutup sebagian oleh poni tipis, mencoba menyelamatkan diri dari tatapan yang tidak ia inginkan.
Di samping nya, cowok aneh yang di bicarakan oleh beberapa siswa tadi tetap duduk, Diam, Menatap, Wajahnya tak tersentuh ekspresi. Haeun tidak tahu siapa dia, dan itu membuat ketenangannya tetap rapuh. Ia bahkan tidak menoleh ke arahnya.
Ketika kelas mulai kosong, Haeun menatap jam di dinding. Detik-detik berjalan lambat, dan udara di dalam kelas terasa berat, seperti menahan napas bersamanya. Ia menarik napas panjang, menutup buku catatannya, dan mengangkat tas di bahunya dengan gerakan hati-hati.
Lorong panjang terbentang di hadapannya. Setiap langkah terdengar jelas di lantai yang dingin. Haeun melangkah perlahan, sesekali menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang terlalu memperhatikannya.
Namun, saat ia mendekati pintu keluar, hawa di lorong seakan berubah. Bayangan di dinding tampak lebih gelap dari sebelumnya, bergerak meski lampu menyala terang. Angin sepoi menyentuh rambutnya, meski tak ada jendela terbuka. Bulu kuduknya berdiri, tapi Haeun menelan ketakutannya dan melangkah lebih cepat.
Beberapa murid sudah menunggu di dekat pintu, dan bisikan kecil terdengar tajam, sinis, seperti jarum yang menusuk. Haeun menunduk, jari-jari menggenggam tali tas, tubuhnya menegang.
Lalu, langkah berat terdengar. Sosok tinggi muncul di pintu, ya dia ketua kelas, orang yang sedikit ditakuti karena ketegasan dan wibawanya. Ia berdiri diam, menatap murid-murid yang berbisik. Tidak ada kata yang keluar, tapi tatapannya cukup untuk membuat mereka mundur satu per satu, seperti ombak yang menepi.
Haeun mengangkat kepala sekilas, merasakan lega yang aneh. Tapi udara di sekitarnya tetap berat, seakan sesuatu yang tak terlihat masih menunggu, menempel di bayangan gedung sekolah.
"Dan di kelas yang kini kosong, cowok misterius itu masih duduk. Matanya mengikuti Haeun yang menjauh, diam, tak tersentuh ekspresi, seolah mencatat setiap langkahnya. Haeun sama sekali tidak tahu, tidak menyadari bahwa bayangan itu, dengan diamnya, baru saja mulai menguntai cerita yang akan mengubah hari-harinya.
"Kelas sudah kosong. Sinar senja menyusup perlahan melalui jendela, membelah bayangan meja dan kursi menjadi garis-garis panjang. Haeun telah pulang, meninggalkan ruang yang kini sepi tapi terasa… berat.
Di sudut kelas, cowok misterius berdiri sendiri. Sekelilingnya, bayangan bergerak perlahan, menempel di dinding, hadir tanpa wujud, seperti makhluk yang hanya bisa dirasakan.
Ia menatap ke arah bangku yang baru saja ditinggalkan Haeun. Bibirnya bergerak, nyaris tanpa suara, tapi gumamnya bergelombang di udara:
“Waktu tertinggal… dan langkahnya akan menelan malam sebelum fajar...... " gumamnya....
"Bayangan di sekitarnya merespons dengan gerakan halus, seakan menyatu dengan kata-katanya. Udara di kelas terasa tebal, bergetar, menahan napas, tapi cowok itu tetap diam, matanya kosong, penuh rahasia yang tidak bisa dijelaskan.
Hening kelas terasa seperti menunggu sesuatu, sesuatu yang akan datang, tapi tak seorang pun bisa meramalkannya. Gumaman itu menggantung, samar, dan meninggalkan rasa dingin yang tak hilang meski Haeun sudah lama pergi.
"Di sudut kamar yang remang, lilin-lilin kecil berdiri berjajar, menebarkan cahaya temaram yang menari-nari di dinding. Aroma dupa menebal, membungkus ruangan dalam hangat yang aneh, setengah menenangkan, setengah menakutkan.
"Pintu kamar itu selalu terkunci, menyembunyikan sunyi yang tidak biasa. Lilin-lilin berdiri di lantai, menebarkan cahaya yang menari liar di dinding, membuat bayangan benda-benda tua tampak bergerak sendiri. Aroma dupa pekat memenuhi ruangan, menekan, menyesakkan.
" Wanita tua itu duduk bersila, punggung tegak, mata menunduk pada buku kulit lusuh di depannya. Tangannya bergerak pelan, menulis simbol-simbol yang aneh di udara seolah menarik energi dari kegelapan. Bibirnya bergetar, mengucapkan mantra yang asing, bergema samar di ruangan,suara yang bukan hanya didengar, tapi terasa di tulang.
Di sudut kamar, bayangan tampak hidup. Bentuknya samar, memanjang, dan bergerak mengikuti gerak tangan wanita itu. Sesekali mereka menunduk, bergeser, seakan memahami setiap kata yang diucapkan.
"Wanita itu berhenti sejenak, menutup mata, dan gumamnya terdengar lirih tapi menusuk.
“Jalur yang tersembunyi… akan menelan cahaya… dan menuntun langkah yang tertahan ke dalam malam.”
Udara di kamar itu bergetar, tebal, dan berat. Lilin-lilin berkedip serentak, bayangan tampak lebih hidup, menari di dinding seperti makhluk yang menunggu perintah. Suara mantra itu bergema, samar tapi penuh janji yang tidak bisa dipecahkan,janji yang gelap, namun sangat nyata.
Kamar itu tetap sunyi, tapi aura kegelapannya menempel, menunggu saat yang tepat untuk menjalar keluar, menyusup ke rumah, ke langkah-langkah Haeun yang tidak menyadari bahwa sesuatu telah mulai bangkit… diam, tersembunyi, dan tak terhindarkan.
"Haeun membuka pintu rumah dengan langkah perlahan. Suara engsel berdecit tipis terdengar, memecah sunyi yang menempel di udara. Rumah gelap,tidak ada lampu yang menyala, hanya lilin-lilin kecil menebar cahaya temaram yang menari di dinding dan lantai kayu.
“Eomma…?” Haeun memanggil, suaranya kecil, polos, nyaris tenggelam di kegelapan.
Ia mengangkat bahu, sedikit bergumam pada dirinya sendiri,
“Kenapa sih Eomma nggak pakai lampu… gelap banget.”
Langkahnya ringan, menapak pelan ke ruang tengah. Ia ingin menceritakan hari ini di sekolah, tentang kelas yang sunyi, tentang lorong yang panjang, tentang beberapa murid yang masih membingungkan, tapi rumah yang gelap membuatnya berhenti sejenak, menyesuaikan matanya dengan cahaya lilin yang terbatas.
"Di balik gelap itu, sosok ibunya tampak berdiri, diam. Haeun sama sekali tidak tahu, tidak curiga, dan hanya tersenyum tipis, memulai cerita tentang hal-hal sepele di sekolahnya.
“Di kelas tadi… aku duduk di samping…”
Ibu itu tetap diam, menatap dari kegelapan. Haeun terus bicara, polos, tanpa menyadari ada sesuatu yang lain,sesuatu yang menempel di bayangan, menunggu, tapi belum disentuhnya.
Lilin-lilin menyorot bayangan panjang di dinding, menari pelan mengikuti suara Haeun yang bercerita. Kegelapan terasa misterius, tapi untuk Haeun, itu hanya rumahnya, dan ia hanya ingin menceritakan hari di sekolah nya.
"Ibunya tersenyum tipis, lembut tapi dingin, menatap Haeun tanpa emosi yang jelas.
“Syukurlah kalau kamu senang,” gumamnya pelan.
Lalu ia menambahkan dengan nada tegas tapi halus,
“Haeun-ah… sekarang mandi, dan setelah itu… bacalah ini.”
"Ia menyerahkan sebuah buku kecil dengan simbol-simbol aneh, menyerupai huruf kuno tapi tidak dimengerti siapa pun. Suara ibunya bergumam, pelan namun menempel di udara:
“Sha’ryn… Mok’tha… Jin’khal… Yeol’ra… Haeun, ulangi perlahan.”
Haeun menatap buku itu, matanya melebar. Kata-kata itu asing, aneh, sulit dipahami. Hatinya berdebar, sedikit penasaran, tapi ia tetap patuh.
“Kenapa aku harus membaca ini, ya…?” gumamnya pelan pada dirinya sendiri, tapi ia mulai mengucapkan kata-kata itu dengan hati-hati, bibir bergerak perlahan, mencoba menirukan suara ibunya.
"Lilin-lilin menyorot bayangan panjangnya, bergerak mengikuti setiap gerakan, dan ibunya tetap diam, menatap dari gelap, wajahnya lembut tapi dingin, menyimpan rahasia yang Haeun tidak akan mengerti… setidaknya, belum sekarang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!