NovelToon NovelToon

Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

awal tumbuh rasa kagum dari sang gus

Pagi itu, suasana pesantren lebih riuh dari biasanya.

Langit tampak cerah, burung-burung beterbangan di atas menara masjid, dan udara pagi yang lembap membawa aroma khas tanah dan bunga melati dari taman depan asrama.

Di antara hiruk pikuk para santriwati yang bersiap menuju aula utama untuk menghadiri kajian bulanan akbar, terdengar suara teriakan dari luar kamar.

> “Syahnaz, cepetaaannn!! Ntar kita nggak dapet tempat duduk!”

Lubna, sahabat dekat Syahnaz, sudah berdiri di depan pintu sambil menenteng buku tulis dan kitab.

> “Iyaa, iyaaa… dikit lagiii!”

Syahnaz menjawab tergesa sambil membenarkan kerudung abu-abunya di depan cermin. Namun langkahnya mendadak terhenti.

Keningnya berkerut.

> “Gelangku mana ya? Tadi waktu ngedekor panggung masih kupakai…” gumamnya pelan.

Ia menatap meja kecil di sisi tempat tidurnya, membuka laci, lalu menunduk mencari di bawah lemari. Nihil.

Panik kecil mulai terasa.

> “Lubna! Kamu duluan aja, ya! Aku nyusul!” teriaknya dari dalam kamar.

“Tapi jangan lama-lama, Syahnaz! Ntar acaranya keburu mulai!” sahut Lubna dari luar, separuh berlari.

“Iyaaa, okeyy! Jagain tempatku yaa…” balas Syahnaz sambil tersenyum tipis menjenguk temannya di balik jendela.

Ia terus mencari gelang kayu berwarna hitam legam itu — gelang kaoka, buatan tangan dari kayu langka yang harum dan kuat.

Di setiap butirnya terukir nama kecilnya: Syahnaz Fakhira az-Zahra, tulisan halus yang nyaris tak terlihat.

Itu bukan sembarang gelang — tapi ia adalah pemberian Ayah-nya, Hanafi, setelah syahnaz kecil lahir.

> “Ya Allah… di mana gelangnya…” bisiknya lirih, matanya mulai menerawang.

Ia bergegas ke halaman depan, menyusuri jalan setapak menuju serambi rumah Bu Nyai.

Langkahnya terhenti ketika melihat sosok perempuan berwibawa dengan jilbab lebar warna krim tengah berdiri di sana — Bu Nyai Maryam, pengasuh pesantren.

> “Cari apa, Nduk?” suara lembut itu memecah keheningan pagi.

Syahnaz sontak menunduk sopan, sedikit gugup.

> “Eh… U-ummi, ini… nyari gelang, Ummi.”

Bu Nyai tersenyum lembut, sorot matanya penuh pengertian.

> “Ooh, gelang ya? Sudah, nanti aja dicari setelah kajian selesai. Insyaa Allah kalau teman-temanmu menemukan, Ummi suruh kasih tahu kamu.”

Syahnaz menunduk hormat.

> “Na‘am, Ummi. Syukron katsiran…” ucapnya pelan.

> “Iya, Nduk. Sekarang gih ke aula, acara sebentar lagi mulai.”

Syahnaz mundur perlahan, lalu berbalik sambil menahan napas. Ia melangkah cepat menuju aula, menggenggam ujung kerudungnya erat-erat.

Di dadanya, tersisa doa kecil yang bergetar lembut —

> Semoga gelang itu ketemu.

......................

Begitu tiba, Lubna langsung melambai heboh dari barisan tengah.

“Lama banget, Syah!” bisiknya begitu Syahnaz duduk.

“Iya, tadi ketemu Bu Nyai,” jawab Syahnaz santai, sambil merapikan buku catatan dan kitab kecilnya.

Lubna mendekat sedikit. “Ngapain? Ketauan nggak, kamu telat?”

“Enggak kok,” jawab Syahnaz ringan, masih sibuk membuka kitab.

“Eh Syahnaz...” Lubna menyenggol bahunya tiba-tiba.

“Apaan sih?” Syahnaz kaget, hampir menjatuhkan pulpen.

“Kamu tau nggak siapa tamu kita hari ini? Yang bakal isi tausiyah?” bisik Lubna sambil senyum-senyum penuh arti.

“Iya tau.”

“Ya ampun, mukamu datar banget. Serius tau nggak, sih?”

“Iyaa, Gus Naufal kan? Aku juga yang bantu nempel spanduknya di aula, masa nggak tauu,” jawab Syahnaz cuek.

Lubna langsung menepuk dahinya. “Aduh kamu nih yaaa... nggak ada heboh-hebohnya! Ini loh, Gus Naufal! Gus muda dari pesantren tertua di Indonesia! Bukan cuma Jawa aja Syah—Indonesia! Cucu Kiai Kholid! Ganteng, hafidz, lulusan Kairo pula!”

“Duh, santai aja kali, Lubna,” Syahnaz terkekeh kecil. “Yuk fokus, buka kitabmu. Nih acara udah mulai.”

Lubna manyun, tapi tetap membuka kitab.

Beberapa menit kemudian, aula yang tadinya riuh berubah hening. Semua mata tertuju pada sosok Gus muda yang baru naik ke panggung.

Gus Naufal.

Wajahnya tenang, senyum tipisnya memancarkan wibawa, dan sorot matanya teduh namun tajam.

Lubna berbisik heboh, “Ya Allah, Syah... ganteng bangettt... aku deg-degan sumpah.”

“Ih Lubna, jangan lebay,” Syahnaz menahan tawa, menepuk tangan sahabatnya. “Astaghfirullah, fokus woi, bukan fan meeting.”

Lubna cuma menunduk malu, pipinya memerah.

 

Gus Naufal mulai berbicara dengan suara lembut tapi berkarisma.

Kalimatnya menembus hati para santriwati. Hingga di akhir tausiyahnya, ia berhenti sejenak, lalu menatap seluruh aula.

“Sekarang, saya ingin bertanya…” ucapnya.

“Apakah batasan perempuan dalam menuntut ilmu di zaman sekarang, ketika dunia dan teknologi sudah terbuka lebar?

Sampai sejauh mana perempuan boleh tampil di ruang publik tanpa menyalahi syariat?”

Semua terdiam. Tak ada satu pun tangan yang terangkat.

“Tidak ada yang bisa menjawab?” tanya Gus Naufal sambil tersenyum tipis. “Baiklah, bagi yang bisa menjawab, saya beri hadiah kecil. Oleh-oleh dari Kairo.”

“Dari Kairo?!” bisik Syahnaz takjub.

Lubna langsung mendorong bahu Syahnaz. “Cepet Syah, jawab! Aku tau kamu bisa, ayo jangan diem aja!”

Syahnaz menarik napas pelan, lalu tersenyum. “Oke, kalau gitu...”

Tangannya terangkat mantap. “Saya, Gus!”

Semua mata langsung menoleh ke arahnya.

Gus Naufal sedikit mengangkat alis, memperhatikan gadis bersuara lantang itu. “Na’am, silakan."

 "Tapi sebelumnya, mohon maaf Gus....boleh ulang pertanyaannya?”ucap syahnaz dengan ragu.

“ouhh boleh boleh.”

Gus Naufal pun mengulanginya

“Apakah batasan perempuan dalam menuntut ilmu di zaman sekarang, ketika dunia dan teknologi sudah terbuka lebar? Sampai sejauh mana perempuan boleh tampil di ruang publik tanpa menyalahi syariat?. silahkan di jawab dgn panjang lebar. tafadholi! " ucap Gus Naufal mempersilahkan.

Syahnaz menunduk sejenak, lalu membuka suaranya tenang dan lembut:

Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Segala puji bagi Allah yang telah memuliakan kita dengan ilmu, dan menuntun kita dengan cahaya Al-Qur’an. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad ﷺ, sang guru agung yang mengajarkan kita makna hidup dan adab dalam menuntut ilmu.

Pertanyaan tadi sungguh dalam, dan menurut saya… ini sangat mewakili keadaan perempuan hari ini.

“Apakah batasan perempuan dalam menuntut ilmu di zaman sekarang, ketika dunia dan teknologi sudah terbuka lebar? Dan sampai sejauh mana perempuan boleh tampil di ruang publik tanpa menyalahi syariat?”

Jawabannya… begini, sahabat-sahabat yg saya cintai.

Islam tidak pernah membatasi langkah perempuan untuk menuntut ilmu. Justru, Islam memuliakannya. Rasulullah ﷺ bersabda:

> طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”

(HR. Ibnu Majah)

Lihat? Rasulullah tidak mengatakan “bagi setiap laki-laki,” tapi setiap muslim — artinya termasuk kita, para perempuan.

Karena perempuan yang berilmu bukan hanya menuntun dirinya, tapi juga menuntun generasi setelahnya. Ibu yang berilmu, akan melahirkan umat yang berilmu.

Namun… Islam juga mengajarkan batas-batas adab dalam menuntut ilmu.

Perempuan boleh menuntut ilmu di mana pun, bahkan lewat teknologi yang canggih sekali pun, asal tetap menjaga:

Aurahnya tertutup dengan sempurna,

seperti firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 31:

> “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak darinya.”

Ikhtilāṭ dijaga, tidak bercampur bebas dengan laki-laki non-mahram.

Kita bisa belajar tanpa harus mengorbankan kehormatan.

Suara dan tutur kata dijaga, seperti yang difirmankan Allah:

> “Maka janganlah kamu merendahkan suaramu dalam berbicara, agar tidak bangkit nafsu orang yang ada penyakit dalam hatinya.”

(QS. Al-Ahzab: 32)

Nah, tentang tampil di ruang publik, Islam pun tidak melarang.

Kita boleh menjadi dokter, guru, penulis, pengusaha, bahkan pendakwah — selama niat kita lillāh, bukan karena ingin dilihat manusia.

Dulu, ada sahabiyah bernama Asy-Syifā’ binti Abdullah, guru perempuan pertama di masa Rasulullah ﷺ.

Ada juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang menjadi tempat para sahabat bertanya tentang ilmu.

Mereka aktif di masyarakat, tapi tetap terjaga kehormatannya.

Jadi, batasnya bukan pada tempat atau profesi, tapi pada niat dan adab.

Kalau niatnya karena Allah, caranya sesuai syariat, maka langkah perempuan — sekecil apa pun — akan bernilai ibadah.

Tapi kalau niatnya untuk riya, atau tampil berlebihan hingga menyalahi fitrah, maka itu bukan lagi kemuliaan… melainkan jebakan dunia.

 

Kesimpulannya, sahabat-sahabatku,

Islam tidak mengekang perempuan, tapi menuntun agar kita tetap mulia.

Kita boleh menuntut ilmu setinggi langit, tapi jangan lupa untuk tetap berpijak di bumi syariat.

Karena perempuan berilmu dan beriman itu ibarat bunga yang tumbuh di antara duri dunia:

indah, harum, tapi tetap terjaga.

> “Perempuan yang berilmu dan beriman adalah cahaya bagi umat.

Ia tidak menyaingi lelaki, tapi berjalan searah menuju ridha Allah.”

Barakallaahu fiikum.

Setelah Syahnaz selesai, suasana aula hening.

Semua menatapnya dengan wajah takjub.

Bahkan Gus Naufal sendiri terdiam lama sebelum akhirnya tersenyum.

“Masyaa Allaah...” gumamnya lirih.

“ afwan,Bagaimana Gus?” tanya Syahnaz pelan, dgn ragu.

“Maa syaa Allaah…” ucap Gus Naufal pelan, matanya menatap Syahnaz dengan ekspresi takjub.

“Jawabanmu… sangat sempurna. Kalau boleh tahu, siapa nama antum?”

Syahnaz menunduk dalam, kedua tangannya menggenggam ujung kitabnya erat-erat.

“Syukron atas pujiannya, Gus. Nama saya Syahnaz Fakhira az-Zahra… panggil saja Syahnaz,” jawabnya lembut, tanpa berani menatap wajah sang Gus muda.

Gus Naufal tersenyum tipis, suaranya lembut namun berwibawa.

“Maa syaa Allaah, nama yang indah, seindah akhlak dan tuturmu, Syahnaz. Silakan maju ke depan. Ini ada sedikit hadiah dari saya, oleh-oleh dari Kairo.”

Suara riuh kecil langsung terdengar di antara barisan santriwati.

“Cieeee… Syahnaz dapet hadiah!”

“Uuuuu… dari Gus Naufal langsung loh!”

Syahnaz menelan ludah, wajahnya memanas, tapi tetap berusaha tenang.

Dengan langkah pelan, ia berdiri dan berjalan ke depan. Setiap langkahnya terasa berat oleh tatapan kagum yang mengiringi.

“Baik, mari kita beri tepuk tangan untuk Syahnaz!” seru pembawa acara dengan semangat.

Serentak aula bergemuruh oleh tepuk tangan dan sorakan para santriwati.

Gus Naufal tersenyum lembut, memandang gadis berkerudung abu - abu yang kini berdiri di hadapannya.

Syahnaz menunduk sopan, tangannya menerima bingkisan dengan kedua tangan.

“Syukron, Gus,” ucapnya lirih, menunduk hormat tanpa sedikit pun mengangkat wajah.

“Baarakallaahu fiiki, Syahnaz,” jawab Gus Naufal tenang, suaranya sejuk namun bergetar halus — entah mengapa.

Sorakan kembali terdengar.

“Uuuuu! Cieee Syahnaz!”

“Duh, beruntung banget ya!”

Syahnaz tersipu. Dengan cepat ia menunduk lebih dalam, lalu menuruni panggung tanpa menoleh sedikit pun. Ia tak suka jadi pusat perhatian, apalagi di hadapan ratusan pasang mata.

Gus Naufal hanya tertawa ringan melihat tingkah para santri.

Tatapannya sempat mengikuti langkah Syahnaz yang berlalu, sebelum ia kembali menatap hadirin.

“Tenang, semuanya tenang…” ucap pembawa acara setengah tertawa, mencoba menertibkan santriwati yang masih heboh.

Dari sisi aula, Bu Nyai yang sejak tadi memperhatikan ikut tertawa kecil sambil menggeleng.

“Lha salah siapa dari tadi nggak ada yang berani jawab?” ujarnya setengah menggoda, membuat seisi aula semakin riuh dengan tawa.

Suasana pun mencair kembali.

Kajian berlanjut hingga akhir acara, namun diam-diam, di tengah lantunan doa penutup, ada dua hati yang tersentuh tanpa saling tahu —

satu penuh ilmu dan keteduhan, satu lagi penuh adab dan rahasia masa lalu.

kabar yang memilukan

Hai, kenalin...

ini Gus Naufal Syarif.

Gus muda yang katanya bikin deg-degan satu pesantren . Umurnya baru 21 tahun, tapi udah kelar kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo — keren banget kan? Wajahnya tuh teduh, tapi tatapan matanya tajam. Gimana ya, kayak... adem tapi nyentuh gitu.

Sekarang beliau udah balik ke Indonesia, katanya sih mau nerusin perjuangan kakeknya, Kiai Sepuh Kholid, ulama besar yang dihormati banget karena keilmuannya dan keteguhannya menjaga tradisi pesantren.

Yang bikin aku (dan mungkin semua santriwati di bumi ini ) kagum, bukan cuma karena wajahnya yang Masyaa Allah, tapi juga karena sikapnya.

Gus Naufal itu kalau ngomong lembut, tapi dalem banget maknanya. Nggak pernah tinggi suara, nggak pernah marah, tapi entah kenapa... setiap kata-katanya bisa bikin orang pengen jadi lebih baik.

Ya, itu aja sih yang aku tau—dari cerita teman-teman, tentunya.

Hehe... sekian dulu sebelum aku malah baper sendiri

...----------------...

(lanjut ke cerita)

Begitu sampai di asrama, Syahnaz langsung berlari menuju kamarnya dengan wajah berseri-seri.

“Syah, hati-hati! Nanti jatuh!” teriak salah satu temannya yang melihatnya berlari sambil menenteng paperback berwarna krem itu.

“Iyaa!” balas Syahnaz singkat, lalu menutup pintu kamarnya dan segera duduk di atas kasur.

Tak lama, Lubna muncul di ambang pintu dengan wajah penasaran.

“Apa isinya, Syah?” tanyanya sambil mendekat.

“Belum tahu...,” ucap Syahnaz, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

Perlahan, ia membuka paperback itu. Dan begitu melihat isinya, kedua matanya membulat tak percaya.

“Maa syaa Allaah! Ini beneran?!” serunya refleks.

Lubna yang ikut mengintip sontak berteriak kecil, “Buset! Ini parfum mahal banget, Syah! Jangan-jangan Gus Naufal salah kasih?!”

Syahnaz terkekeh kecil, tapi tetap memandangi kotak parfum yg elegan berwarna rose gold itu.

(kurang lebih begitu parfume nya)

“Enggak mungkin salah, Lub. tulisan untuk santri ada di kertas kecilnya, tuh,” katanya sambil memperlihatkan secarik catatan kecil bertuliskan ‘Untuk santriwati darul falah.

“Waaah... berarti beneran buat kamu!” ucap Lubna takjub.

Belum sempat mereka lanjut bicara, Nayla tiba-tiba muncul dengan gaya jahilnya.

“Wow, elegan banget! Boleh coba semprot, Syahnaz?”

“Ihh, apa’an sih Nay! Enggak ah, sayang. Ini mahal banget,” jawab Syahnaz sambil menjauhkan kotaknya.

“Peliiiit~,” goda Nayla pura-pura manyun.

“Bukan pelit, Nayla. Tapi mubadzir kalau cuma buat iseng,” timpal Lubna dengan gaya seperti ustazah muda.

Syahnaz mengangguk cepat. “Betul kata Lubna!” ucapnya sambil membuka tutup parfum, lalu mengendusnya pelan.

Sekejap, aroma lembut dan mewah menguar di udara.

“Maa syaa Allaah… wangi banget. Jadi gini ya, bau parfum mahal,” ucap Syahnaz terkekeh kecil.

“Manaa coba!” seru Nayla dan Lubna bersamaan.

Syahnaz mengulurkan tangan, dan begitu aroma itu menyentuh hidung mereka, mereka bertiga langsung bereaksi bersamaan,

“Ihhh wanginya!” lalu tertawa bersama hingga suara mereka menggema di kamar sederhana itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Beberapa bulan berlalu sejak kajian akbar itu. Hidup Syahnaz berjalan seperti biasa; mengajar adik kelas, ikut halaqah, dan membantu di dapur pesantren setiap sore. Segalanya terasa damai dan teratur — sampai pagi itu, setelah shalat Subuh berjamaah, sesuatu yang tak biasa terjadi.

Ketika para santriwati masih sibuk melipat sajadah, Ustadzah Asiyah tiba-tiba mendekatinya.

“Syahnaz, ikut saya ke kantor sebentar, ya,” bisiknya lembut namun terdengar agak berat.

Syahnaz menatap ustadzah itu bingung.

“Naam, Ustadzah,” jawabnya pelan sambil merapikan mukena hitam yang masih ia kenakan. Ia lalu berjalan mengikuti langkah ustadzah menuju kantor — langkah yang terasa semakin berat tanpa tahu kenapa.

Sesampainya di kantor, suasana terasa hening. Hanya ada suara detik jam dinding dan aroma kopi yang sudah dingin.

“Syahnaz... pulang, ya?” ucap ustadzah pelan, menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Syahnaz tertegun. “Hah? Pulang, Ustadzah? Kenapa? Ada apa?!” tanyanya cepat, nada paniknya mulai terdengar.

Ustadzah tersenyum, berusaha tegar. “Nggak apa-apa, Sayang... pulang aja dulu, ya? Cepetan siap-siap. Nanti ustadzah bantu.”

Hati Syahnaz mulai berdebar tak tenang. Ada sesuatu yang tidak beres, tapi wajah lembut ustadzah membuatnya menahan tanya.

“Baik, Ustadzah,” ucapnya akhirnya, walau suaranya bergetar.

Ustadzah menepuk lembut bahunya. “Ayo, ustadzah bantu siapin barang-barangmu.”

Di kamar, suasana sunyi. Lubna dan teman teman nya masih di musholla membaca wiridan subuh. Syahnaz hanya bisa menatap koper kecilnya yang perlahan diisi satu per satu — pakaian, kitab, mukena, semuanya.

“Ibu Syahnaz bilang... bawa semua pakaian sama kitab-kitabnya, ya,” ucap ustadzah hati-hati.

Syahnaz menoleh kaget. “Hah? Syahnaz boyong, Ustadzah?” tanyanya tak percaya.

“Enggak, nggak... Ikutin aja dulu, ya? Nanti juga ngerti,” jawab ustadzah sambil berusaha tersenyum.

Setelah semuanya siap, Syahnaz mengambil ponselnya dari loker dan menatap ustadzah lagi.

“HP Syahnaz udah boleh diambil, kan Ustadzah?” tanyanya ragu.

“Iya, boleh. Tapi... jangan nelpon dulu, ya? Tunggu di rumah aja, biar tenang,” jawab ustadzah lembut.

Syahnaz mengangguk. Hatinya gelisah, tapi ia patuh.

Ustadzah menggandeng tangannya keluar asrama menuju mobil yang sudah menunggu di halaman depan. Udara pagi Surabaya terasa dingin dan sunyi saat mereka melangkah menuju mobil.

“Jaga diri baik-baik, ya, Nak,” ucap ustadzah sambil memeluknya sebelum pintu mobil tertutup.

Syahnaz hanya tersenyum kecil, masih belum tahu bahwa perjalanan pulang kali ini — bukan perjalanan biasa. Tapi perjalanan yang akan mengubah seluruh hidupnya.

Syahnaz duduk di kursi belakang mobil, menatap jalanan Surabaya yang perlahan mulai ramai. Langit masih berwarna kelabu muda, sisa embun menempel di kaca jendela. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam—entah kenapa dadanya terasa sesak, seperti ada sesuatu yang menunggu di ujung perjalanan ini.

Setibanya di Bandara Internasional Juanda, sopir pondok membantunya menurunkan koper kecil dan tas kain berisi kitab-kitab.

“Makasih ya, Pak,” ucapnya sopan sambil tersenyum kecil.

“Iya, Nak Syahnaz. Hati-hati di jalan, ya,” jawab sang sopir dengan nada lembut, seolah menahan sesuatu.

Syahnaz mengangguk, lalu melangkah masuk ke bandara. Suara roda koper yang beradu dengan lantai terdengar berirama di antara hiruk-pikuk orang-orang yang lalu-lalang. Ia menuju meja check-in, menyerahkan tiket, lalu duduk di kursi ruang tunggu dengan perasaan campur aduk.

Waktu terasa lambat.

Ia menggenggam ponselnya erat, menatap layar hitam yang berkali-kali memantulkan wajahnya sendiri. Dalam hati, keinginan untuk menelpon Ibu sangat besar. Ia ingin tahu ada apa sebenarnya. Tapi kata-kata ustadzah terus terngiang:

> “Jangan nelpon dulu, ya? Tunggu di rumah saja, biar tenang.”

Ia menghela napas panjang. “Baiklah... sabar, Syahnaz,” gumamnya pelan, lalu memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri sambil berzikir lirih.

Pesawat perlahan mendarat di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya. Dari balik jendela kecil, Syahnaz menatap hamparan tanah kelahirannya—hangat, tapi entah kenapa terasa asing hari itu. Hatinya berdebar tanpa sebab. Sejak subuh tadi, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Ia menarik kopernya pelan-pelan, menatap sekeliling mencari siapa yang menjemputnya. Dan di antara kerumunan orang yang menunggu di luar pagar kedatangan, ia melihat sosok yang tak pernah ia sangka akan datang sendiri menjemputnya—Kakek Toha.

“Kakek?” ucapnya pelan, hampir tak percaya. Biasanya kalau ia pulang, yang menjemput selalu umi sama abi atau bibinya. Kakek Toha jarang sekali ke bandara, apalagi pagi-pagi begini.

Kakeknya tersenyum lembut, tapi sorot matanya sayu. “Ayo, Nak. Koper kamu sini, biar Kakek bantu,” ucapnya.

Syahnaz tertegun sejenak, tapi segera menuruti. “Iya, Kek…”

Sepanjang perjalanan di mobil, suasana hening. Hanya suara mesin dan gemerisik angin yang menemani. Syahnaz beberapa kali mencoba membuka percakapan, tapi setiap kali ia tanya, kakeknya hanya menjawab singkat.

“Keluarga gimana, Kek? Umi sehat?”

“Sehat, Nak…” jawabnya pelan, matanya tetap menatap ke depan.

Ada yang aneh. Sangat aneh. Tapi Syahnaz memilih diam, menunduk, menggenggam tas kecilnya erat.

Dan begitu mobil berbelok memasuki gang rumahnya, napasnya tercekat.

Dari kejauhan ia sudah melihat bendera hijau tertancap di depan rumah, menandakan seseorang telah berpulang ke rahmatullah bendera duka. Orang-orang berkerumun di halaman, beberapa lelaki mengenakan sarung dan peci, sebagian perempuan menunduk sambil menyeka air mata.

Deg.

Langkah Syahnaz langsung gemetar.

“Kakek…” suaranya parau, “itu… siapa yang…”

Namun kakek Toha tidak menjawab. Hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Tanpa pikir panjang, Syahnaz membuka pintu mobil dan berlari ke arah rumah.

“Umi!!!” serunya.

Orang-orang menoleh, sebagian menyingkir memberi jalan. Langkahnya terseret-seret di tanah yang lembab, jantungnya berdentum keras.

Begitu melewati pintu ruang tamu, matanya langsung terpaku pada satu titik.

Sebuah kain putih terbentang di ruang tengah.

Di sekitarnya duduk para tetangga dan kerabat yang membaca Surah Yasin lirih.

Syahnaz menutup mulutnya, air matanya pecah seketika.

“Umi… siapa… siapa itu…” suaranya nyaris tak keluar.

Umi yang duduk di pojok ruangan langsung bangkit, berlari memeluknya erat.

“Anakku… sabar ya, Nak…”

“Umi… jangan bilang gitu…”

Umi mengangguk pelan, suaranya gemetar. “abiii, Syahnaz… abi Hanafi sudah berpulang…”

Syahnaz terjatuh berlutut.

Suara di sekelilingnya memudar, berganti dengan isak tangis yang tak tertahan.

Dunia terasa runtuh di hadapannya. Lelaki yang dulu menuntunnya mengaji, yang membelikan gelang kayu kaoka hitam itu, kini terbujur kaku dalam balutan kain kafan.

“Abiii!!!”

Suara Syahnaz pecah menembus ruangan. ia berlutut di sisi jasad ayahnya, menatap wajah yang kini terbungkus kain putih.

“Abiii… ini Abi cuma tidur kan? Lagi ngeprank Syahnaz aja kan, Bii?” serunya sambil menggoyangkan tubuh ayahnya pelan.

Tangannya bergetar, suaranya parau, matanya basah.

Semua orang di ruangan terdiam — hanya isakan Syahnaz yang terdengar.

“Udah, Syahnaz… jangan digituin, Nak. Kasihan Abi-nya…” ucap Tante Nur, menahan tangis sambil memeluk bahu Syahnaz dari belakang.

Tapi Syahnaz justru menggeleng kuat.

“Nggak, Tan… Abi tuh suka bercanda! Abi pasti bangun bentar lagi, kan, Tan?!”

Suara gadis itu pecah di ujung kalimatnya.

Tante Nur menunduk, air matanya jatuh. “Nggak, Nak… nggak, Syahnaz… Abi kamu udah tenang sekarang…”

Syahnaz terisak makin keras. Ia menunduk, mencengkeram ujung kain kafan itu dengan erat.

“Abi… Syahnaz belum sempat pamit, Bii… Syahnaz belum sempat bilang terima kasih…”

Ikrimah, ibunya, yang sejak tadi berusaha kuat, akhirnya mendekat lagi ke sisi syahnaz.

Ia duduk di samping putrinya, menghapus air matanya yang terus jatuh, lalu memeluk Syahnaz erat-erat.

“Cukup, Nak… Jangan begini,” suaranya lirih tapi tegas. “Abi kamu udah tenang, Sayang. Ikhlasin, ya… biar Abi bisa tenang di sana.”

Syahnaz menangis dalam pelukan ibunya.

“Umi… Syahnaz nggak kuat…” bisiknya.

“Umi juga nggak kuat, Nak… Tapi kita harus belajar ikhlas. Doain Abi, itu cara terbaik buat buktiin cinta kita.”

Suara isak pelan terdengar di sekeliling.

Beberapa sanak keluarga menunduk, membaca doa.

Dan di tengah tangis itu, Syahnaz menggenggam tangan Uminya erat-erat — berusaha belajar ikhlas, meski hatinya remuk perlahan.

 

pemakaman yg di hadiri Kiyai kholid?

Langit sore itu berwarna jingga keemasan, seolah ikut berduka. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dari liang lahat yang baru saja digali. Suara lantunan tahlil dan istighfar menggema pelan, membalut suasana dengan kesyahduan yang menyesakkan dada.

Syahnaz berdiri di antara para pelayat, mengenakan gamis hitam dan kerudung abu-abu yang menutupi wajahnya yang sembab. Matanya bengkak, suaranya habis karena tangis yang tak berhenti sejak pagi. Ia memandang ke arah pusara yang kini menjadi tempat peristirahatan terakhir sang Abiy, lelaki yang selalu menuntunnya dengan sabar, yang kini hanya tinggal nama di batu nisan.

Namun, di antara kerumunan itu, pandangannya menangkap sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.

"Lo... kok ada Kiai Kholid?" gumamnya pelan. Ia memicingkan mata, memastikan penglihatannya tak salah. Benar — sosok Kiai Kholid, ulama sepuh yang sangat dihormati di Jawa, berdiri di sana. Jubah putihnya berkibar tertiup angin, sorot matanya teduh menatap ke arah pusara.

Bukan hanya beliau. Di samping beliau terlihat juga Kiyai Kholil dan 2 khodamnya ( 2 orang santri yg selalu ikut membantunya).

“Kenapa bisa...?” bisiknya. “Apa hubungan mereka sama Abiy?”

Ia menatap Kiai Kholid yang sesekali menunduk, bibirnya komat-kamit membaca doa.

Tante Nur yang berdiri di samping Syahnaz menepuk bahunya pelan. “Abiy kamu itu bukan orang biasa, Nak. Banyak yang nggak kamu tahu tentang beliau.”

Syahnaz menoleh, alisnya berkerut. “Maksudnya, Tan?”

Tante Nur tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap pusara dengan mata berkaca-kaca. “Nanti... kalau waktunya tiba, kamu akan tahu sendiri.”

Syahnaz menunduk, menggenggam tanah di dekat kakinya, lalu meletakkannya perlahan di atas makam Abiy. Suaranya bergetar ketika berdoa,

> “Allahummaghfirlahu warhamhu, wa ‘afihi wa’fu ‘anhu… Ya Allah, ampunilah Abiyku… kasihilah dia, lapangkan kuburnya, dan terangkan jalannya menuju surga-Mu.”

Air matanya kembali jatuh. Tapi di sela isak itu, pikirannya justru penuh tanya.

Tentang kedatangan Kiai Kholid. Dan tentang masa lalu Abiy yang tampaknya menyimpan sesuatu yang belum pernah ia dengar seumur hidupnya.

> “Siapa sebenarnya Abiy…?” bisiknya lirih, seolah bertanya pada angin sore yang membawa harum bunga kamboja dari tepi makam.

Udara malam itu terasa lembut, tapi tetap menyisakan kesedihan yang berat. Aroma dupa dan bunga kamboja masih tercium dari ruang tamu, tempat para pelayat tadi duduk berjam-jam hingga sore. Kini, rumah itu mulai sepi. Hanya tersisa keluarga dekat dan suara lembut lantunan ayat suci dari bibir Syahnaz.

“Aaah udah ah... ngapain aku mikirin ini,” gumamnya sambil menghela napas panjang. “Mungkin aja Kiai Kholid kebetulan lagi ceramah di sekitar sini, tiba-tiba ikut melayat aja mungkin.” Ia mencoba menenangkan pikirannya, menepis segala rasa penasaran yang sedari tadi menghantui kepalanya.

Setelah mengganti pakaian dan mandi, ia berwudu, lalu menunaikan salat maghrib dengan tenang. Seusai salam, tangannya langsung meraih mushaf Al-Qur’an yang terletak di rak kayu dekat sajadah. Ia membuka lembaran itu perlahan, matanya yang masih sembab menatap huruf-huruf Arab dengan penuh khusyuk.

Suara bacaan tartilnya mengalun lembut memenuhi kamar:

> “Yā ayyatuha an-nafsul muṭma’innah, irji’ī ilā rabbiki rāḍiyatan marḍiyyah…”

Setiap ayat ia hadiahkan untuk sang Abiy — sosok yang kini hanya bisa ia temui lewat doa dan kenangan. Air matanya kembali menetes di atas halaman mushaf, membuat tinta tipis di sana sedikit buram.

Tak lama kemudian, suara Kakek Toha terdengar dari ruang tamu.

> “Syahnaz... ayo, Nak. Kita sembahyang hadiah. Diniatkan buat Abiy Hanafi.”

Syahnaz segera menutup mushafnya dan berjalan ke ruang tengah. Di sana sudah berkumpul Kakek Toha, Tante Nur, Ikrimah serta sepupunya dan pamannya. Semua duduk melingkar dengan kain sarung dan mukena masing-masing.

Kakek Toha memimpin salat dua rakaat dengan suara lembut namun berwibawa. Setelah salam, mereka serentak melanjutkan dengan bacaan Yasin dan tahlil.

Suara mereka berpadu dalam lantunan yang khusyuk:

> “Laa ilaaha illaallaah

Syahnaz menunduk dalam-dalam, merasakan hatinya perlahan tenang. Setiap kalimat dzikir seolah membentuk jembatan antara dirinya dan Abiy di alam sana.

...****************...

Rumah itu kini terasa begitu sepi—menyisakan hanya Syahnaz, ibu, dan Laila, adiknya yang masih duduk di kelas satu. Tak ada lagi suara tawa lembut abinya yang biasanya mengisi pagi mereka, tak ada lagi nasihat penuh kasih setiap habis subuh.

Syahnaz duduk di tepi jendela, menatap hamparan pohon hijau yang bergoyang perlahan tertiup angin sore. Pandangannya kosong, hatinya berat.

“Yaa Allaah…” ucapnya lirih, jemarinya menggenggam ujung tirai. “Sekarang Abiy udah nggak ada. Nggak ada lagi tulang punggung keluarga.”

Ia menarik napas panjang, matanya mulai basah.

“Gimana ya, Yaa Allaah... Syahnaz kan mau kuliah ke Kairo. Tapi sekarang... jangankan kuliah ke luar negeri, balik ke pondok aja udah nggak bisa lagi. Nggak ada yang biayain.”

Angin sore masuk dari celah jendela, menyentuh wajahnya lembut seolah menenangkan. Tapi batinnya tetap gelisah.

“Apa Syahnaz harus kerja aja ya?” bisiknya pelan. “Biar bisa bantu umi, biar bisa terus belajar... walaupun bukan di Kairo. Mungkin itu terlalu mahal buat Syahnaz sekarang.”

Ia tersenyum hambar, menatap langit yang mulai berubah jingga. Dalam hatinya, hanya ada satu doa yang berulang-ulang terucap,

“Yaa Allaah, kuatkan langkah Syahnaz... tunjukkan jalan yang terbaik.”

sore pun berganti malam, dan malam pun menerbitkan matahari indah di pagi hari, udara pagi di rumah itu terasa semakin dingin. Tak ada lagi aroma kopi buatan Abiy di meja makan, hanya ada suara sendok kecil Laila yang menepuk mangkuk buburnya perlahan.

Umi duduk diam di sudut ruang, matanya sembab karena terlalu sering menangis. Syahnaz hanya bisa menatapnya dari kejauhan — hatinya remuk, tapi ia tahu harus tampak kuat di depan Laila.

Setelah selesai membereskan piring, Syahnaz berjalan ke halaman belakang. Angin membawa aroma tanah basah, tapi tak mampu menenangkan hatinya.

“Yaa Allaah…” bisiknya pelan, “kok berat banget rasanya, sepi banget tanpa abiy…”

Ia duduk di kursi kayu yang dulu sering dipakai abinya membaca kitab. Pandangannya tertuju pada kitab Riyadhus Shalihin yang masih tergeletak di atas meja kecil. Ujung halamannya sedikit melengkung, menandakan abinya terakhir kali membacanya di sana.

Air mata menetes tanpa bisa ditahan.

“Abiy…” suaranya bergetar, “Syahnaz belum sempat cerita kalau Syahnaz pengen lanjut ngaji, pengen jadi perempuan yang bisa banggakan abiy di akhirat nanti… Tapi sekarang—semuanya kayak hilang gitu aja.”

Ia memeluk kitab itu erat. Lama.

“Syahnaz janji, bi… walaupun nggak ada siapa-siapa, Syahnaz nggak akan ninggalin Qur’an dan doa.”

Tapi ketika malam datang, pikirannya kembali gelisah. Ia terbaring di kasur, menatap langit-langit.

“Bagaimana kalau Syahnaz nggak bisa lanjut mondok? Nggak bisa kuliah? Umi juga nggak mungkin kuat kerja sendiri…”

Matanya basah lagi.

“Kapan yaa, Yaa Allaah… waktu di mana Syahnaz bisa bahagia lagi tanpa harus takut miskin, takut kehilangan, takut gagal…”

Suara jangkrik malam jadi saksi, ketika Syahnaz memeluk bantalnya erat dan tertidur dalam tangis yang pelan, berusaha kuat meski hatinya hampir runtuh.

...****************...

Pagi itu, cahaya lembut menembus tirai kamar Syahnaz. Suara kokok ayam bersahutan, menandakan hari baru telah dimulai. Syahnaz bangun dengan mata sembab, tapi wajahnya tetap berusaha tenang. Ia segera berwudhu dan menunaikan sholat Subuh dengan khusyuk.

Selesai sholat, bibirnya lirih melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, suaranya lembut tapi bergetar di setiap bacaan.

“Abiy… semoga amalmu terus mengalir dari setiap huruf yang Syahnaz baca,” gumamnya dalam hati.

Setelah menutup mushaf, ia menatap laptop di meja belajarnya — laptop pemberian terakhir dari abinya setahun lalu. Dengan hembusan napas panjang, ia menyalakannya.

Cahaya layar menyala, menyorot wajah tekadnya yang lembut namun penuh beban.

“Bismillaah…” ucapnya pelan, jari-jarinya mulai mengetik di kolom pencarian: Lowongan kerja untuk lulusan pesantren.

Ia menatap hasil pencarian satu per satu, lalu menguatkan dirinya.

“Kamu harus bangkit, Syahnaz… Kamu anaknya Abiy. Kamu nggak boleh nyerah cuma karena dunia lagi berat,” bisiknya, menepuk dadanya pelan, mencoba menyemangati diri sendiri.

Tiba-tiba suara pintu berderit.

“Assalamu’alaikum…” suara lembut Ummi, Ikrimah, memecah keheningan.

Syahnaz kaget dan refleks menutup laptopnya, tapi terlambat — layar masih menampilkan daftar lowongan pekerjaan.

“Yaa Allaah, Syahnaz…” ucap Ikrimah pelan, matanya memerah, “buat apa nyari begini segala, nak?”

“E—eh…” Syahnaz tergagap, mencoba tersenyum, “nggak papa kok, Ummi. Cuma nyari aja, siapa tahu ada yang cocok buat Syahnaz.”

Ikrimah mendekat, duduk di samping anak sulungnya itu. Tangannya mengelus kepala Syahnaz penuh kasih.

“Nak… Ummi tahu kamu pengen bantu, tapi Ummi masih bisa berusaha. Kamu fokus aja dulu sama ngaji dan mimpimu.”

Syahnaz menunduk, menggigit bibir bawahnya menahan air mata.

“Tapi Ummi…” suaranya pelan, “Syahnaz nggak mau cuma diam, sementara Umi harus mikirin semuanya sendirian.”

Ikrimah terdiam sesaat, lalu tersenyum meski air matanya jatuh juga.

“Anak Ummi udah dewasa ya sekarang… tapi jangan lupa, rezeki itu bukan kamu yang nyari sendirian, nak. Allah yang ngatur semuanya.”

Syahnaz mengangguk, tapi hatinya masih berat. Dalam hati kecilnya ia tahu — apa pun yang terjadi, ia tetap akan mencari cara untuk mandiri. Mimpi ke Kairo masih hidup di dalam dadanya, meski jalan ke sana kini penuh kabut dan air mata.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!