Matahari sudah kembali ke peraduan meninggalkan bayang-bayang kegelapan yang hampir menyelimuti bumi. Indira, wanita cantik berusia 25 tahun itu sedang asyik berkutat di depan kompor untuk menyajikan makanan istimewa untuk sang suami.
Hari ini, adalah hari anniversary pernikahannya bersama Rangga yang ke-3 tahun. 3 tahun menjalani biduk rumah tangga bersama Rangga, adalah hal yang paling membahagiakan dalam hidup Indira. Meski tanpa perayaan meriah dan hanya makan malam biasa. Namun hal itu tidak mengurangi kebahagiaannya.
Bagi Indira, Rangga adalah sosok suami yang sempurna. Sosok suami yang hangat, lembut, perhatian, dan penuh cinta.
Malam ini, Indira memasak menu kesukaan sang suami. Ada soto ayam dengan aroma rempah yang menggugah selera, perkedel kentang yang lembut dan gurih, serta sambal kecap dan emping melinjo sebagai pelengkapnya.
Selesai menata makanan di atas meja, Indira mengeluarkan cake dari dalam kulkas yang di atasnya bertuliskan happy anniversary pernikahan mereka yang ketiga.
Indira menatap puas ke arah meja makan yang sudah ia tata sedemikian rupa. Sekarang, saatnya ia mandi dan bersiap untuk menyambut kepulangan sang suami.
Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul 07.00 malam. Seharusnya Rangga sudah sampai di rumah sejak 30 menit yang lalu. Namun hingga sekarang, sang suami belum menunjukkan tanda-tanda kepulangannya.
Indira menunggu dengan sabar di ruang tamu. berkali-kali ia melihat ke arah pintu, lalu menatap layar ponselnya. Karena siapa tahu, Rangga akan menghubunginya. Namun nyatanya, 2 jam sudah berlalu tapi Rangga belum juga sampai.
Indira sudah mencoba untuk menghubungi, baik melalui pesan maupun panggilan. Namum sayangnya tidak ada satupun yang mendapatkan respon. Hingga beberapa menit setelahnya, ponsel Indira berdering.
Dengan senyum lebar dan hati yang tidak sabar, Indira mengambil ponselnya. Tapi yang muncul di layar bukan nama sang suami, melainkan sahabatnya Rani.
"Assalamualaikum Dira," suara Rani terdengar terburu-buru dan tergesa-gesa diseberang sana.
"Waalaikumsalam. Apa kabarmu Rani?" setiap menerima telepon dari siapapun. Indira pasti akan menanyakan kabar mereka terlebih dahulu. Itulah kebiasaan kecil seorang Indira.
"Kabarku baik. Tapi kamu yang tidak baik!"
Kening Indira mengerut, tidak mengerti dengan maksud sahabatnya. "Apa maksud kamu Ran? Aku baik-baik aja kok."
Alih-alih menjawab pertanyaan Indira. Rani justru mengajukan pertanyaan yang lain. "Ra, Rangga mana?"
"Mas Rangga lembur di kantor. Memangnya ada apa Rani? Tumben kamu nanyain Mas Rangga?" Indira masih duduk dengan santai, senyum kecil juga masih terlihat di wajahnya. Tapi entah kenapa, Indira merasa jantungnya tiba-tiba berdetak dengan kencang.
"Kamu harus lihat ini." Rani mengubah panggilan telepon menjadi panggilan video. Indira menerimanya, tapi yang dilihatnya bukan wajah sahabatnya. Melainkan sepasang kekasih yang sedang duduk di dalam restoran dalam posisi yang sangat dekat dan mesra.
Jantung Indira tiba-tiba terasa berhenti berdetak. Walaupun posisinya dari belakang, tetapi Indira sangat mengenal baik postur tubuh pria yang sedang memeluk dan mengusap lembut rambut wanita yang ada di sampingnya.
"Mas Rangga," suara Indira pelan hampir berbisik. Kedua matanya membelalak, dengan muluta yang sedikit terbuka.
"Ra, kamu yang kuat ya?" Rani tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu, Indira pasti syok melihatnya. Jangankan Indira, dia sendiri yang melihat hal ini pertama kali langsung syok bukan lain.
"I-itu Mas Rangga kan, Ran?" Indira ingin mengkonfirmasi. Ia takut penglihatannya salah, tetapi batinnya dengan kuat mengatakan jika pria itu adalah suaminya.
"I-iya Ra, itu Rangga. Dia...!" Rani tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya. Tetapi fakta ini harus dia ungkapkan, agar sahabatnya tidak terus-terusan ditipu oleh pria brengsek seperti Rangga.
Bibir Indira bergetar. Air mata mulai mengalir perlahan. Ponselnya hampir saja terjatuh, tapi untungnya Indira masih bisa mempertahankan ponsel itu.
"Mereka ada di mana?" hati Indira teramat sakit. dadanya seperti dihujam oleh ribuan berlatih dalam satu waktu yang bersamaan.
"Oliver resto. Ra...!" Rani kembali memanggil. Fakta kedua yang akan ia beritahu kali ini, pasti akan lebih membuat sahabatnya terguncang. "ada satu lagi yang harus aku beritahu. Tapi kamu janji harus kuat ya?"
Suara Rani terdengar memohon. Andai mereka berada di kota yang sama, mungkin Rani akan langsung menghampiri Indira saat itu juga. Tapi sayangnya, saat ini Rani berada di luar kota dan dia tidak sengaja bertemu dengan Rangga disana.
Indira terisak. Dadanya teramat sesak bahkan ia sampai harus memukulnya sendiri agar masih bisa bernafas.
"Apa itu?" suara Indira terdengar pelan dan serak.
Satu pesan masuk ke ponselnya. Bukan pesan teks yang Indira dapatkan, melainkan undangan pernikahan yang semakin menghancurkan hatinya. Air mata Indira semakin deras. Dadanya seperti dihantam oleh palu Godam. Kepalanya pusing. Matanya berkunang-kunang dan hanya dalam hitungan detik, Indira sudah tidak sadarkan diri.
Rani, panik bukan kepalang. Layar ponselnya tidak lagi menampakan wajah Indira, melainkan langit-langit ruang tamu yang berwarna putih.
"Dira... Indira, kamu baik-baik aja kan?" Rani memanggil dengan panik. Ia langsung keluar dari restoran dengan terburu-buru.
Rani terus memanggil nama Indira berulang kali. Tapi sayangnya tidak ada sahutan apapun. Rani semakin panik, dia takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya. Dia memacu mobilnya dengan kencang, membelah jalanan malam untuk kambali ke Ibukota.
Tujuannya kali ini hanya satu. Pergi ke rumah Indira untuk melihat keadaan sahabatnya. Demi Indira, Rani sampai meninggalkan pekerjaannya. Padahal, tadi dia sedang menunggu seorang client yang sangat penting.
---
Indira tidak tahu sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri di atas sofa ruang tamu. Panggilan video call dengan Rani masih terhubung, tetapi indira sudah kehilangan tenaga hanya untuk sekedar mengambil ponselnya.
Indira menarik nafas panjang. Ddanya masih teramat sakit, saat mengingat undangan pernikahan yang tertulis jelas nama sang suami, serta seorang wanita yang sangat Indira kenali. Ayunda, cinta pertama Rangga. Yang Indira ketahui jika dulu, wanita itu yang meninggalkan Rangga demi cita-citanya jadi seorang model.
Air mata Indira kembali mengalir deras. Tubuhnya masih tergolek di atas sofa dengan bahu yang bergetar hebat. Nama, serta foto prewedding Rangga dengan Ayunda kembali berputar-putar di dalam otaknya.
Indira hancur, dia patah. Indira tidak pernah menduga, jika Rangga yang dia kira adalah pria setia yang paling mencintainya. Ternyata diam-diam menjalin hubungan dengan wanita lain.
Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
"Mas, apa salahku..." batin Indira berteriak. "Kenapa kamu tega nyakitin aku?"
Indira ingin memaki. Memukul. Dan menghancurkan pria yang sudah menyakitinya hingga jatuh sampai ke dasar jurang. Tapi sayangnya, untuk saat ini dia belum bisa melakukannya.
Indira, harus melakukan satu hal yang paling penting, yaitu... menjaga dirinya agar tetap sehat dan waras. Karena apa yang Rangga lakukan sudah sangat keterlaluan. Indira harus menuntut balas. Rangga harus membayar 3 tahun waktunya yang terbuang percuma. Indira akan menagih semuanya satu persatu. Karena Indira Putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa Rangga permainkan.
Deru mesin mobil Rangga baru terdengar saat jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Indira sedang menyiram tanaman di halaman depan, tetapi tidak ada niat dalam dirinya untuk menyambut kepulangan sang suami seperti biasa.
Pagi ini, keadaan Indira sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia merasa bersyukur memiliki sahabat setia seperti Rani yang selalu ada untuknya. Tadi malam, Rani bukan hanya membuka kedua matanya untuk melihat kebusukan sang suami. Tetapi Rani juga menemani dan menghiburnya, hingga pagi ini Indira masih bisa berdiri tegak seperti biasa.
Saat pintu mobil terbuka, Indira sama sekali tidak menoleh, hatinya sudah mati. Cintanya sudah musnah. Tidak ada lagi jejak-jejak cinta di dalam hatinya untuk sang suami. Ya, Indira yang selama ini dikenal sebagai wanita lembut, hangat, dan penuh senyum. Pagi ini, semua itu mendadak musnah dan menghilang.
Sebanyak apapun kesalahan yang dilakukan, Indira masih bisa maafkan nya. Tatapi tidak dengan pengkhianatan. Sekali berselingkuh, maka sebesar apapun cintanya untuk pria itu pasti akan runtuh dalam sekejap
"Sayang..." Rangga menghampiri, memeluk tubuh Indira dari belakang. "Maafkan ya sayang, aku baru pulang sekarang? Semalam mendadak harus keluar kota." Rangga memeluk erat, mencium pipi Indira yang hanya memasang wajah datar.
"Iya gak apa-apa." Indira melepaskan pelukan itu. Berjalan menuju ke rumah yang diikuti oleh Rangga.
"Sayang kamu marah? Aku sama sekali gak bermaksud untuk membohongimu? semalam aku ingin memberi kabar, tapi ponselku mendadak rusak," Rangga membujuk, meraih tangan Indira yang sontak menghentikan langkahnya.
Indira sedang tidak ingin melihat wajah munafik itu. Tetapi Rangga malah memegang kedua bahunya, memutar posisi agar mereka saling berhadapan.
"Tidak apa-apa Mas. Bukannya kamu sudah biasa seperti ini?" Indira merasa bodoh. Dia sama sekali tidak sadar, jika hal seperti itu bukan kali pertama terjadi. Setelah dipikir-pikir, dalam satu minggu, Rangga pasti 2 sampai 3 kali beralasan keluar kota dan tololnya Indira selalu percaya.
Indira tersenyum miris. Sungguh bodoh dirinya yang ternyata sudah dibohongi selama berbulan-bulan, atau mungkin bertahun-tahun.
"Sayang... kamu kenapa?" Rangga terlihat panik, saat melihat bulir air mata tiba-tiba jatuh di pipi Indira.
Indira dengan cepat menyekanya. "Tidak apa-apa Mas. Kalau begitu aku mau ke belakang dulu. Mas Rangga langsung istirahat saja, pasti capek semalaman tidak tidur!"
Indira langsung pergi, meninggalkan Rangga yang mengerutkan keningnya bingung. "Tidak biasanya Indira dingin seperti ini?"
Rangga dapat merasakan jika pagi ini istrinya sangat berbeda. Biasanya Indira selalu tersenyum dan menyambut kepulangannya dengan hangat. Tapi pagi ini, Rangga seperti melihat sosok lain dalam diri istrinya.
"Mungkin dia masih marah karena aku gak kasih kabar. Nanti tinggal beli bunga aja untuk bujuk dia," gumam Rangga tersenyum.
Rangga menuju ke dapur. Ia ingin minum segelas air karena tenggorokannya sedikit kering. Tapi saat ia melihat ke arah meja makan, Rangga baru teringat satu hal.
"Astaga..." Rangga menepuk keningnya sendiri. "Aku lupa tadi malam kan hari Anniversary pernikahan ku dengan Indira. Pantas saja pagi ini dia marah! Bodoh banget sih kamu Rangga, bisa-bisanya lupa."
Rangga memperhatikan meja makan. Di atasnya masih tertata rapi masakan Indira yang tidak tersentuh sedikitpun. Rasa bersalah semakin merayap masuk ke hatinya.
Rangga mengurungkan niatnya untuk ke kamar. Ia kembali pergi, mengendarai mobilnya menuju ke toko bunga. Ya, Rangga ingin menebus kesalahannya saat itu juga. Dia harus minta maaf, semalam istrinya sudah menyiapkan semua itu dengan susah payah. Tapi dia malah melupakannya.
Dihalaman belakang, Indira duduk di kursi santai dekat kolam renang. Kepalanya menatap langit pagi yang cerah, tapi keadaan itu sangat kontras dengan suasana hatinya yang gelap.
Malam tadi, Indira sudah bisa berdamai dengan hatinya yang teriris perih. Tapi pagi ini, saat matanya tak sengaja melihat kissmark samar yang ada di leher sang suami. Membuat luka hati yang belum sembuh, kembali di beri garam.
"Dasar laki-laki sial! Brengsek!" Indira memaki sambil memukul tepi kursi santai. Tangannya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit.
"Stop Indira! Stop nangisi pria brengsek itu. Hatimu jauh lebih berharga."
Indira menyeka air matanya. Ia sudah bertekad jika ini adalah air mata terakhir yang ia keluarkan untuk Rangga.
Tidak berselang lama, langkah kaki kembali terdengar. Mata Indira yang baru saja tertutup, kini kembali terbuka. Ia melihat suaminya, Rangga sedang berjalan ke arahnya sembari membawa satu buket bunga mawar merah dan kotak hadiah di sisi tangan yang lainnya.
Jika biasanya, ia akan langsung tersenyum lebar dan menerima semua itu dengan hati yang berbunga-bunga. Tetapi tidak dengan kali ini yang langsung membuatnya jijik bahkan hampir muntah.
"Happy anniversary sayang? Maaf ya tadi malam aku lupa? Urusan semalam sangat urgent?" Rangga tersenyum. Senyum dulu menurut Indira paling manis dan paling tampan.
Indira masih menatapnya dengan ekspresi datar. Tidak ada niatan dalam dirinya untuk menerima kedua benda itu.
"Sayang... kok diam saja? Kamu gak suka ya? Kalau gitu, bagaimana siang ini kita mall? Kamu bebas beli apa saja yang kamu mau. Satu harian ini, waktu ku hanya untuk kamu?" Rangga terus membujuk. Dia tidak suka melihat Indira yang dingin. Rangga sudah terbiasa dengan sosok Indira yang manja dan hangat.
"Oke! Nanti siang kita mall. Mas jangan ingkar janji lagi." Indira menerima kedua benda itu. Memasang senyum simpul yang sangat tipis.
Rangga mengecup kening Indira. "Ia sayang. Aku tidak mungkin mengecewakan kamu lagi. Kalau begitu, aku ke kamar dulu ya?" Rangga kembali mengecup kening istrinya. Lalu, setelah itu ia kembali ke dalam rumah.
Indira kembali memasang ekspresi datar. Ia meninggalkan kursi santai, menuju ke tempat sampah untuk membuang kedua benda itu. Oh tuhan, sudah berapa lama indira menjadi wanita bodoh yang sudah ditipu oleh suaminya. Selama ini, setiap kali Rangga memberi bunga atau hadiah, indira selalu menganggap jika sang suami sangat mencintainya.
Namun sekarang, setelah mengetahui kebenarannya. Indira baru sadar, jika bunga dan hadiah yang selama ini ia terima, bukan sebagai bukti cinta dari Rangga untuknya. Melainkan sebuah sogokan untuk menutupi kebusukan yang sudah dilakukan Rangga di belakangnya.
"Apa kali ini kamu akan benar-benar menepati janjimu Mas? Siang ini, kesempatan terakhir yang aku berikan untukmu. Jika kamu kembali melanggarnya seperti hari-hari sebelumnya. Maka tidak akan pernah ada kata maaf lagi," gumam Indira.
Indira kembali ke dalam rumah. Meski ia sangat kecewa dan marah dengan suaminya, tetapi ia tidak bisa mengabaikan tanggungjawabnya sebagai seorang istri. Indira kembali ke dapur, merapikan meja makan dan membuatkan sarapan pagi yang tertunda untuk suaminya.
Sinar matahari siang itu menyengat kulit Indira saat ia berdiri di depan cermin panjang kamar tidurnya. Jemarinya merapikan lipatan dress biru langit yang ia kenakan, dress kesukaan Rangga yang sudah lama tersimpan rapi di lemari. Sebuah senyum pahit mengembang di bibirnya. Bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum seorang wanita yang sedang memberikan kesempatan terakhir.
Kesempatan terakhir untuk suami yang berkhianat.
Indira menatap pantulan wajahnya di cermin. Mata yang dulu berbinar kini terlihat lelah, meski ia sudah berusaha menutupinya dengan riasan tipis. Tiga tahun pernikahan, dan inilah yang ia dapatkan, pengkhianatan yang dikemas rapi di balik senyuman dan janji-janji manis.
Indira menarik napas panjang. Hari ini adalah ujian terakhir. Jika Rangga benar-benar menepati janjinya, jika ia memilih Indira di atas segalanya, mungkin, hanya mungkin masih ada yang bisa diselamatkan dari reruntuhan pernikahan ini. Tapi jika tidak...
Jika tidak, Indira sudah siap dengan keputusannya.
"Dira!" suara Rangga memanggil dari lantai bawah. "Kamu sudah siap?"
Indira menatap pantulannya sekali lagi, memasang topeng wajah datar tanpa emosi. "Iya, tunggu sebentar!" sahutnya dengan nada yang terdengar terlalu tenang.
Ia menuruni tangga dengan langkah perlahan, setiap anak tangga terasa seperti menghitung mundur menuju akhir dari sesuatu yang sudah mati.
Rangga sudah menunggu di ruang tamu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans biru tua. Rambutnya yang bergelombang ditata rapi ke belakang. Tampan, pikir Indira dengan ironi. Pengkhianat pun bisa terlihat sempurna.
"Kamu cantik," puji Rangga sambil tersenyum. Senyum yang dulu bisa membuat jantung Indira berdegup kencang. Kini hanya membuat perutnya mual.
"Terima kasih," balas Indira datar, tanpa senyuman. Tanpa kehangatan.
Rangga mengernyit sedikit, merasakan sesuatu yang berbeda. "Kamu... tidak apa-apa?"
"Baik," jawab Indira singkat. "Ayo berangkat."
Mereka berjalan menuju garasi dalam keheningan yang canggung. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada tawa. Hanya suara langkah kaki mereka di lantai marmer yang menggema seperti detik jarum jam.
Rangga sesekali melirik Indira, mencoba membaca ekspresinya, tapi wajah istrinya bagai tembok beton, dingin dan tidak tertembus. Ia membukakan pintu mobil, tapi Indira tidak berterima kasih. Ia hanya berdiri di samping pintu, menunggu.
Rangga hampir masuk ke sisi pengemudi ketika...
Getaran ponsel memecah keheningan.
Indira tidak bergerak. Ia hanya menatap suaminya dengan pandangan kosong, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti menonton film yang endingnya sudah bisa ditebak.
Rangga mengeluarkan ponselnya dari saku celana, menatap layar. Kerutan muncul di dahinya. Ia melirik Indira sekilas, ragu, bersalah, tapi kemudian menjawab juga.
"Halo?" Rangga menjawab sambil berbalik, suaranya rendah.
Indira berdiri diam, lengannya terlipat di dada. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun, tapi matanya menatap tajam ke punggung suaminya. Menatap seperti hakim yang sedang mengamati terdakwa.
"Baik... ya, aku mengerti... sekarang? Tapi aku..." Rangga terdiam, mendengarkan. Bahunya menegang. "Oke, aku ke sana sekarang."
Panggilan berakhir. Rangga berbalik perlahan, dan tatapannya bertemu dengan tatapan dingin Indira.
"Dira, maaf..." Rangga memulai, suaranya terdengar seperti rekaman yang diputar ulang. "Ada urusan mendadak di kantor. Klien penting dari..."
"Kantor," potong Indira datar. Bukan pertanyaan. Pernyataan. Tuduhan.
"Iya, klien dari Singapura tiba-tiba datang dan mereka harus bertemu sekarang. Ini proyek besar, Dira. Aku tidak bisa..."
"Kamu janji," ucap Indira, masih dengan nada yang mengerikan tenangnya. "Kamu bilang hari ini waktunya hanya untuk aku."
Rangga menghela napas, mengusap wajahnya. "Aku tahu, tapi ini penting. Proyek ini nilainya miliaran. Kita bisa reschedule, kan? Besok atau..."
"Besok," ulang Indira, senyum dingin muncul di bibirnya. "Atau lusa. Atau minggu depan. Atau tidak sama sekali."
"Dira, jangan seperti itu. Kamu tahu pekerjaan ku..."
"Menghidupi kita?" Indira menyelesaikan kalimatnya, nada sarkastik pertama kali muncul. "Ya, aku tahu. Aku sudah dengar alasan itu ratusan kali, Rangga."
"Lalu kenapa kamu masih mempermasalahkannya?" Rangga mulai terdengar frustasi. "Aku bekerja keras untuk keluarga ini!"
"Keluarga ini?" Indira tertawa hambar. "Keluarga yang mana? Keluarga yang kamu abaikan setiap hari? Atau keluarga baru yang sedang kamu persiapkan?"
Hening.
Rangga membeku. Wajahnya memucat sesaat sebelum ia cepat-cepat mengontrol ekspresinya. "Apa maksudmu?"
"Tidak ada," jawab Indira tenang, tapi matanya berapi-api. "Pergi saja ke 'kantor'mu, Rangga. Jangan sampai klien pentingmu menunggu."
Rangga menatap istrinya, mencoba membaca apa yang ada di balik kata-kata itu. Tapi Indira sudah berbalik, memberikan punggungnya, simbol penolakan yang jelas.
"Sayang..."
"Pergi," ulang Indira tanpa menoleh. Suaranya terdengar lelah. "Aku sudah capek dengan percakapan ini."
Keheningan yang menyakitkan mengisi ruang di antara mereka. Rangga membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Akhirnya ia hanya mengangguk, meskipun Indira tidak melihatnya lalu berjalan menuju mobilnya.
Mesin menyala. Mobil hitam itu meluncur keluar dari halaman rumah tanpa pamit, tanpa kalimat manis, tanpa apapun.
Indira berdiri mematung, menatap mobil itu menjauh. Tidak ada air mata. Ia sudah terlalu banyak menangis sendirian. Yang tersisa hanya kekosongan dan kemarahan yang dingin.
Ini adalah jawabannya. Rangga memilih. Dan pilihannya bukan Indira.
"Dira?"
Suara familiar membuatnya menoleh. Sebuah mobil putih berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Rani, sahabatnya turun dengan wajah khawatir.
"Ran," sapa Indira datar.
Rani berjalan cepat mendekat, matanya yang tajam langsung membaca situasi. "Itu Rangga? Kok sepertinya buru-buru?"
"Dia membatalkan janji," jawab Indira singkat. "Lagi."
"Dira..." Rani menghela napas panjang. Ia menggenggam tangan sahabatnya. "Aku tahu kamu sudah berusaha. Aku tahu hari ini penting untukmu."
Indira tidak menjawab. Matanya masih menatap ujung jalan tempat mobil Rangga menghilang. Tapi kali ini, bukan kesedihan yang mengisi tatapannya. Ada sesuatu yang lain, tekad.
"Ran," ucap Indira tiba-tiba, suaranya berubah tegas. "Ayo kita ikuti dia."
Rani tersentak. "Apa?"
"Ikuti mobilnya. Sekarang." Indira sudah melangkah menuju mobil Rani.
"Dira, tunggu..." Rani mengikuti. "Kamu yakin? Maksudku, apakah kamu siap dengan apa yang mungkin kamu temukan?"
Indira berhenti, menoleh menatap sahabatnya. Matanya tidak menunjukkan keraguan. "Aku sudah cukup hidup dalam kebohongan, Ran. Aku tahu dia berselingkuh. Aku tahu dia mau menikahi wanita itu. Tapi aku tetap ingin melihat sendiri dengan mata kepalaku."
Rani menatap sahabatnya dalam diam. Ia melihat kekuatan di balik rasa sakit itu, kekuatan seorang wanita yang sudah memutuskan untuk berhenti menjadi korban.
"Oke," kata Rani akhirnya dengan tegas. "Ayo masuk. Kita akan cari tahu kemana bajingan itu pergi."
Keduanya masuk ke mobil. Rani memutar kunci kontak, mesin menderu pelan.
"Kamu masih lihat mobilnya?" tanya Rani.
"Belok kanan di ujung jalan," jawab Indira, suaranya tenang tapi matanya penuh determinasi. "Cepat, Ran. Aku harus tahu kemana sebenarnya dia pergi. Bukan ke kantor. Pasti bukan ke kantor."
Mobil putih itu meluncur keluar dari halaman, mengikuti rute yang sama dengan mobil Rangga. Indira duduk tegak di kursi penumpang, tangan terkepal di pangkuan.
Hari ini adalah kesempatan terakhir yang ia berikan. Dan Rangga sudah membuangnya.
Sekarang, waktunya Indira mengambil kendali. Waktunya ia melihat kebenaran dengan mata kepalanya sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!