Suara detik jam di ruang makan terasa lebih nyaring daripada kata-kata.
Alena duduk di kursi ujung meja, menatap suaminya yang sibuk memandangi layar ponsel sambil menyeruput kopi tanpa ekspresi. Udara pagi di rumah itu sebenarnya hangat, tapi keheningan di antara mereka membuat segalanya terasa dingin.
Dulu, pagi-pagi seperti ini adalah momen yang ia tunggu.
Ia biasa bangun lebih awal, menyiapkan kopi kesukaan Arga. Kopi hitam tanpa gula, diseduh dengan takaran yang hanya dia yang tahu. Mereka akan sarapan sambil bercanda hal-hal kecil, siapa yang lupa menaruh handuk di kamar mandi, siapa yang salah beli detergen, atau bahkan tentang tetangga sebelah yang sering memelihara burung tapi lupa memberi makan.
Kini, semua itu lenyap.
Tinggal sisa formalitas seperti dua orang asing yang dipaksa tinggal di rumah yang sama.
“Mas,” suara Alena pelan, hampir berbisik.
Ia menatap wajah pria itu. Tegas, dingin dengan tatapan mata yang sulit ditebak.
“Kamu mau aku masakin apa hari ini? Aku beli salmon kemarin, mungkin bisa aku bakar pakai bumbu lemon yang kamu suka.”
Arga tidak menjawab seketika.
Ia menatap ponselnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya meletakkannya di meja, lalu berdiri.
“Enggak usah repot. Aku makan di luar aja, kayak biasa.”
Nada suaranya tidak marah, tidak kasar tapi juga tidak ada kehangatan.
Biasa saja, dan justru itu yang membuat dada Alena terasa sesak.
“Oh, baik…”
Hanya itu yang bisa ia jawab, meski dalam hati ia ingin berkata banyak hal.
Kenapa kamu tak mau makan di rumah?
Apa masakanku sudah tidak enak lagi?
Atau… apa kamu sudah punya teman makan lain di luar sana?
Tapi semua pertanyaan itu tertelan bersama senyum yang ia paksakan.
Arga merapikan dasinya di depan kaca. Ia tampak rapi, wangi, seperti biasa. Seorang arsitek muda yang sukses, berpenampilan tenang, dan nyaris tanpa cela.
Hanya saja dalam beberapa bulan terakhir, keanggunan itu terasa seperti tembok batu. Tak bisa ditembus, tak bisa disentuh.
“Jangan lupa meeting jam sembilan,” ucap Alena sekadar mengingatkan.
Arga hanya mengangguk, lalu menatap jam tangannya. “Aku berangkat dulu.”
Ia mengambil jas, memakainya dengan gerakan kaku lalu berjalan menuju pintu.
Alena mengikutinya sampai ke depan. “Jaga diri, ya.”
Kata-kata yang sederhana, tapi hanya dibalas dengan helaan napas panjang.
Mobil hitam itu melaju perlahan keluar gerbang, meninggalkan aroma parfum mahal dan sisa keheningan yang menggantung di udara.
Alena berdiri cukup lama di depan pintu.
Sesekali angin pagi menyibakkan helai rambutnya. Ia mengembuskan napas panjang, lalu berbalik masuk ke dalam rumah yang kini kembali sepi.
Rumah besar itu tampak rapi, terlalu rapi bahkan.
Sofa abu-abu disusun simetris, vas bunga di meja masih segar, dan tirai putih berayun lembut diterpa angin.
Tapi tak ada kehangatan di sana.
Hanya keindahan yang hampa.
Ia duduk di kursi ruang makan, menatap cangkir kopi milik Arga yang masih setengah penuh. Uapnya perlahan hilang, sama seperti hangatnya hubungan mereka.
Dulu... setiap kali Arga sibuk, ia selalu mencari cara agar suaminya tak merasa sendirian.
Ia menulis pesan singkat, menyiapkan bekal kecil, atau sekadar menelepon menanyakan kabar.
Namun lama-lama, setiap upayanya dibalas dengan satu kalimat: “Aku sibuk, Len.”
Sekarang, Alena tak lagi mencoba.
Ia sudah lelah berjuang sendirian untuk pernikahan yang bahkan tidak lagi punya arah.
Telepon di meja berdering, memecah lamunannya. Dari layar, tertulis nama Mama.
Alena tersenyum tipis lalu mengangkatnya.
“Halo, Ma.”
“Len, kamu udah bangun? Gimana kabar kalian? Arga baik-baik aja?”
Pertanyaan yang sederhana, tapi menggigit.
Setiap kali ibunya menyinggung nama Arga, selalu ada tekanan halus di dada Alena.
“Iya, Ma. Kami baik.” Ia berbohong lembut. “Arga lagi berangkat kerja.”
“Syukurlah... kamu jangan terlalu sibuk kerja terus ya, kasihan Arga kalau pulang nggak ada yang temenin ngobrol.”
Alena menahan napas sejenak sebelum menjawab, “Iya, Ma. Aku ngerti.”
Setelah beberapa menit, panggilan berakhir.
Alena mematikan telepon, menatap layar yang kini gelap.
Semuanya tampak baik-baik saja dari luar. Tapi hanya dia yang tahu bagaimana rasanya menjadi istri yang selalu terlihat bahagia, padahal setiap malam menangis tanpa suara.
Sore hari, Alena menyalakan laptop di meja kerja kecil di ruang tamu. Ia sedang mengerjakan desain interior untuk klien kafe kecil di Menteng.
Warna-warna pastel, nuansa kayu, dan pencahayaan hangat, semuanya ia pilih dengan hati-hati. Ia memang menyukai pekerjaannya, setidaknya desain memberinya kendali atas sesuatu. Dalam pekerjaannya, ia bisa mengatur setiap detail hingga sempurna. Tidak seperti hidupnya, yang perlahan-lahan berantakan tanpa arah.
Ketika matahari mulai tenggelam, suara mesin mobil terdengar di luar.
Alena menoleh ke jendela... Arga pulang.
Ia cepat-cepat menutup laptop, menegakkan duduk, dan mencoba tersenyum.
Tapi Arga masuk rumah tanpa menatapnya. Langsung melepas sepatu, menaruh tas kerja di sofa lalu menyalakan televisi.
“Capek?” tanya Alena lembut.
“Lumayan.”
“Udah makan?”
“Udah.”
Jawaban yang pendek, kering, dan membuat seluruh percakapan terasa seperti formalitas.
Alena menatap punggung suaminya.
Punggung yang dulu jadi tempat bersandar saat lelah.
Sekarang, bahkan jarak dua meter terasa seperti jurang yang tak bisa dijembatani.
Alena berdiri, menatap layar televisi yang menampilkan berita malam. “Mau teh hangat?”
“Enggak usah repot,” jawabnya tanpa menoleh.
Seketika, dada Alena terasa berat.
Ia duduk kembali, memeluk lututnya diam-diam. Mungkin begini rasanya kehilangan seseorang yang masih hidup di sampingmu.
Malam semakin larut. Arga sudah masuk kamar, sibuk mengetik di laptop.
Alena berbaring di sisi tempat tidur, menghadap ke arah berlawanan.
Ia bisa mendengar bunyi klik dari keyboard, lampu meja menyala terang.
Matanya terbuka, tapi pikirannya melayang jauh.
Ia mengingat masa-masa awal pernikahan dulu, bagaimana Arga menatapnya dengan lembut saat mengucap janji di pelaminan, bagaimana mereka saling berjanji untuk saling mendengar dan tidak menyerah.
Tapi janji ternyata bisa memudar, sama seperti cinta yang tak dirawat.
“Mas,” panggil Alena pelan.
“Hmm?”
“Besok kamu pulang jam berapa?”
“Nggak tahu, tergantung meeting.”
Hening lagi.
Hanya bunyi jam dinding yang terus berdetak tanpa henti.
Alena akhirnya memejamkan mata.
Dalam hatinya, ia bertanya-tanya.
Apakah semua pernikahan memang begini setelah beberapa tahun?
Atau hanya pernikahan mereka yang kehilangan arah?
Sebelum tidur, ia berjanji pada diri sendiri satu hal kecil. Kalau besok masih begini, ia akan mulai mencari jawabannya meski mungkin itu berarti harus siap terluka.
Keesokan paginya, Alena menatap wajahnya di cermin kamar mandi.
Ada lingkaran hitam di bawah mata, tapi senyumnya tetap lembut. Ia masih ingin terlihat baik, masih ingin berusaha.
Ia memilih gaun sederhana berwarna biru muda, mengikat rambutnya lalu turun menyiapkan sarapan.
Saat aroma roti panggang dan kopi memenuhi udara, pintu kamar terbuka.
Arga turun dengan pakaian kerja yang sempurna, dasi abu-abu dan jas hitamnya membuatnya tampak seperti lelaki dari majalah bisnis.
“Selamat pagi,” sapa Alena pelan.
“Pagi.”
Jawaban itu singkat lagi.
Ia menaruh secangkir kopi di depan Arga. “Aku coba resep baru, kopi dengan sedikit vanilla. Katanya bisa bikin suasana hati lebih baik.”
Arga hanya menatap sekilas.
Lalu meminumnya tanpa komentar.
Setelah beberapa detik, ia berdiri merapikan dasinya lagi.
“Len, nanti sore aku mungkin nggak pulang. Ada lembur.”
“Oh… iya,” suaranya menurun sedikit. “Aku simpen makanan kamu di kulkas aja ya.”
“Enggak usah, aku makan di luar.”
Lalu pria itu pergi begitu saja.
Pintu tertutup lagi.
Dan kali ini, Alena tidak menatap kepergian suaminya terlalu lama. Ia hanya menarik napas panjang, menatap jendela, dan membiarkan dirinya menerima kenyataan.
Mereka masih tinggal di rumah yang sama, tapi hati suaminya sudah tidak di sana.
*
*
*
Ini... kisah perjalanan seorang wanita yang memilih mengakhiri pernikahan dan berusaha melupakan masa lalu.
Hujan turun sejak pagi, membasahi kaca jendela rumah mereka yang besar namun terasa dingin.
Alena duduk di ruang tamu, menatap layar laptop yang memantulkan wajahnya sendiri.
Ia sedang memeriksa revisi desain untuk kliennya sebuah restoran kecil yang ingin punya suasana “hangat tapi elegan”. Ironis, pikirnya. Ia bisa menciptakan kehangatan di ruang orang lain, tapi tidak di rumah sendiri.
Pintu depan terbuka. Arga baru pulang lebih cepat dari biasanya, jasnya sedikit basah dan rambutnya kusut oleh hujan.
Alena spontan berdiri. “Kamu kehujanan? Aku ambilin handuk, ya.”
Tanpa menjawab, Arga hanya berjalan melewatinya.
Ia duduk di sofa, menyalakan televisi lalu menghela napas berat.
Alena menatapnya sebentar sebelum akhirnya masuk ke kamar, mengambil handuk bersih lalu kembali ke ruang tamu.
“Ini, kamu lap dulu.”
Ia sodorkan handuk itu, tapi Arga hanya menatap sekilas.
“Gak usah, aku bentar lagi mandi.”
Nada suaranya datar, tidak bermaksud kasar tapi cukup membuat hati Alena menciut.
Ia menurunkan tangannya perlahan, menatap handuk yang tetap ia pegang, lalu tersenyum tipis.
“Oke.”
Ia tahu, ini bukan tentang handuk.
Ini tentang jarak... jarak yang semakin panjang dan ia tak tahu di mana ujungnya.
Beberapa menit kemudian, suara shower terdengar dari kamar mandi.
Alena berjalan ke dapur, menyiapkan teh hangat dan sepiring roti isi keju kesukaan Arga dulu, sebelum ia berubah menjadi versi dingin yang sekarang.
Ia masih ingat betul, dulu Arga selalu memuji masakannya, bahkan untuk hal sederhana seperti telur dadar. Sekarang, setiap makanan yang ia buat terasa sia-sia.
Ketika Arga keluar dari kamar mandi, Alena sudah menunggu di meja makan.
“Aku bikin teh dan roti, siapa tahu Mas belum makan siang.”
Ia tersenyum, berharap ada percakapan kecil.
Arga menatap piring itu sekilas.
“Aku udah makan bareng tim, Len. Gak usah repot masak terus buat aku, aku gak enak.”
Alena menahan napas.
Gak enak?
Kata itu terdengar seperti ironi. Selama ini ia memasak bukan karena kewajiban, tapi karena ingin menjaga kedekatan yang tersisa.
Namun sekarang, bahkan niat baiknya dianggap repot.
“Oh, gitu… ya udah gak apa-apa. Aku makan sendiri aja.”
Ia menarik kursi, duduk diam-diam lalu meneguk teh yang mulai dingin.
Arga membuka laptop, mulai bekerja dari ruang tamu.
Suara ketikan memenuhi ruangan, diselingi deru hujan di luar.
Sesekali Alena mencoba membuka topik, tapi selalu dijawab singkat.
“Kamu tadi meeting sama siapa aja?”
“Tim proyek.”
“Proyek yang di BSD itu ya?”
“Iya.”
“Masih progress awal?”
“Hm.”
Jawaban pendek, dingin, seperti garis putus di antara percakapan yang tak pernah selesai.
Akhirnya, Alena memilih diam.
Sore menjelang malam, hujan berhenti.
Arga masih di depan laptop.
Alena berjalan mendekat, membawa minuman hangat lagi.
“Mas, boleh aku ngomong sesuatu?” suaranya lembut.
Arga mengangkat wajah, setengah malas. “Tentang apa?”
Alena menatapnya dengan ragu. “Tentang kita.”
Arga diam, tangannya berhenti mengetik.
Wajahnya tak berubah, tapi matanya sedikit menegang.
“Kita kenapa?” tanyanya datar.
“Aku cuma… merasa akhir-akhir ini kita jarang ngobrol. Kamu pulang malam terus, makan bareng aja hampir gak pernah. Aku cuma pengen tahu, kamu baik-baik aja... atau ada yang salah sama aku?”
Hening.
Hanya bunyi kipas angin di langit-langit yang berputar.
Arga menatap layar laptopnya lagi. “Len... aku capek. Aku kerja, dari pagi sampe malam. Kadang aku cuma pengen pulang, istirahat tanpa harus mikirin hal berat. Bisa gak kamu ngerti itu?”
Alena menggigit bibir.
“Ngerti… aku ngerti. Aku cuma pengen kita bicara aja, biar gak makin jauh.”
“Jauh gimana? Kita baik-baik aja, kan?”
Nada itu tenang, tapi mengandung penolakan halus.
Seolah masalah mereka tidak pernah ada.
Arga berdiri, menutup laptop.
“Udah malem, aku mau tidur. Kamu juga istirahat.”
Ia berjalan ke kamar, meninggalkan Alena di ruang tamu dengan teh yang sudah dingin di tangan.
Malam itu, Alena tidak langsung tidur.
Ia duduk di teras belakang, menatap langit gelap tanpa bintang.
Ia merasa seperti berbicara ke dinding, berusaha keras agar seseorang mendengar, tapi hanya mendapat gema dari suaranya sendiri.
Ia tak minta banyak. Ia tidak minta berlian, tidak minta perjalanan mewah.
Ia hanya ingin didengarkan.
Didengarkan, bukan sekadar ditanggapi.
Kadang, cinta memang tidak hilang karena pertengkaran besar. Cinta hilang perlahan, oleh kebisuan yang terlalu sering diabaikan.
Pagi berikutnya, suasana tak banyak berubah.
Arga berangkat lebih pagi dari biasanya.
Alena hanya bisa melihat dari balkon, saat mobil hitam itu keluar dari garasi tanpa sempat mengucap selamat pagi.
Ia menatap punggung mobil itu hingga menghilang di tikungan, lalu masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan.
Hari itu, Alena mencoba sibuk..
Sebenarnya ia ingin keluar dari zona nyaman, dari rumah yang terlalu hening. Dari rutinitas yang tak lagi hidup.
Ia menatap cincin di jarinya, cincin yang kini hanya simbol.
Apakah ia bisa meninggalkan semuanya begitu saja?
Atau setidaknya, pergi sementara waktu?
Belum sempat ia menjawab pertanyaan itu, ponselnya berbunyi. Nama Rika muncul di layar, sahabatnya sejak kuliah.
“Len! Kamu masih hidup gak sih? Susah banget dihubungin!” suara Rika nyaring seperti biasa.
Alena tertawa kecil. “Masih, kok. Cuma lagi sibuk.”
“Sibuk kerja atau sibuk mikirin suami yang dingin itu?”
Nada Rika setengah menggoda, setengah khawatir.
Alena terdiam beberapa detik.
“Mungkin dua-duanya.”
“Hah, aku tahu! Makanya, ayo ikut aku akhir pekan ini, refreshing dikit. Jangan di rumah terus, kamu bisa gila... Len.”
Alena menghela napas. “Aku gak bisa, Ka. Arga pasti gak suka kalau aku pergi-pergi sendiri.”
“Arga udah nggak peduli sama kamu.” Ucap Rika blak-blakan.
Kata-kata itu menancap seperti pisau kecil.
Namun bukannya marah, Alena malah tersenyum pahit.
“Dia sibuk, Ka.”
“Len, sibuk itu beda sama cuek. Aku gak mau... kamu terus bertahan sendirian, di hubungan yang udah gak hidup. Kamu pantas didengar, bukan dibungkam diam-diam.”
Alena menatap meja, bibirnya bergetar kecil.
Kata-kata sahabatnya itu sederhana, tapi menampar keras.
Setelah panggilan berakhir, ia duduk diam cukup lama. Hujan mulai turun lagi, menimbulkan suara gemericik lembut di atap rumah.
Suara yang entah kenapa membuat dadanya semakin kosong.
Sore hari, Arga pulang lebih awal.
Ia tampak letih, tapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Alena menyapanya pelan, menanyakan apakah ia sudah makan tapi hanya dijawab anggukan kecil.
Ia ingin sekali bicara lagi malam itu.
Mungkin tentang perasaannya. Mungkin tentang keinginannya untuk ikut proyek di luar negeri.
Tapi saat melihat wajah Arga yang dingin dan mata yang nyaris tak memandangnya, keberaniannya hilang.
Ia menelan semua kata yang sudah disusun di kepalanya. Ia hanya berkata. “Aku taruh makan malam di meja, ya.”
Dan kembali diam.
Keesokan paginya, Alena menyiapkan sarapan seperti biasa.
Arga turun tanpa banyak bicara, mengambil kunci mobil, dan beranjak pergi.
Tapi sebelum keluar pintu, Alena memanggilnya pelan.
“Mas,” suaranya hampir tak terdengar.
Pria itu berhenti, menoleh singkat.
“Aku pengen ngobrol nanti malam, bisa?”
“Ngobrol apa?”
“Ada hal penting.”
Arga menatapnya datar, lalu menghela napas. “Lihat nanti, kalau aku gak terlalu capek.”
Pria itu lalu pergi begitu saja.
Dan Alena tahu, seperti biasanya suaminya mungkin tidak akan pernah benar-benar punya waktu.
Ia menatap pintu yang tertutup itu lama sekali.
Lalu tersenyum kecil, begitu getir.
Hari itu matahari menyelinap lembut dari sela tirai, menandai pagi yang tampak biasa.
Namun bagi Alena, tidak ada pagi yang benar-benar biasa lagi sejak rumahnya dipenuhi keheningan yang semakin pekat.
Ia menyiapkan sarapan seperti rutinitas, roti panggang, telur setengah matang, dan kopi hitam tanpa gula kesukaan Arga.
Tapi bukan rasa asin atau manis yang memenuhi mulutnya, melainkan getir yang tak berwujud.
“Mas... kamu nggak lupa rapat jam sepuluh, kan?”
Alena mencoba berbicara sambil menuang kopi.
Arga yang tengah mengetik sesuatu di ponselnya hanya bergumam, “Iya. Tenang aja, aku tahu.”
Alena mengangguk, tapi matanya tertuju pada ponsel suaminya. Cahaya layar menampilkan nama yang membuat jantungnya bergetar pelan.
Nadine HR – Project Ares.
Ia tak pernah dengar nama itu sebelumnya, tapi entah kenapa setiap kali ponsel Arga bergetar, nama itu selalu muncul.
Dan setiap kali pula Arga buru-buru menunduk, menulis balasan singkat sambil tersenyum samar... senyum yang sudah lama hilang untuk Alena.
“Teman kantor?” tanya Alena pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap datar.
Arga menatap sekilas, seolah heran kenapa Alena bertanya.
“Iya, bawahan baru. Masih adaptasi, banyak tanya ini-itu.”
“Oh.”
Hanya itu yang keluar dari bibir Alena.
Ia ingin percaya, tapi ada sesuatu di cara Arga menjawab. Terlalu cepat, terlalu siap.
Dan perempuan, tanpa diberi tahu sekalipun tahu kapan hatinya sedang dipermainkan.
Siang hari, Alena mencoba mengalihkan pikiran dengan bekerja. Namun, pikirannya berkelana ke arah yang tak ia kehendaki.
“Kenapa aku jadi kayak gini, sih?” gumamnya sambil menatap layar yang sudah buram oleh air mata yang tak jadi jatuh.
Ia menegakkan tubuh, menghela napas panjang lalu mencoba fokus kembali.
Namun bahkan di sela-sela kerja, bayangan Nadine terus menari di pikirannya. Perempuan yang entah seperti apa, tapi terasa begitu nyata di antara jarak dirinya dan Arga.
Sore itu, ia membuka media sosial perusahaan tempat Arga bekerja.
Dan benar... di antara foto kegiatan tim, ada seorang perempuan berambut hitam panjang, mengenakan blazer abu dan tersenyum profesional.
Nadine.
Bukan hanya cantik, tapi juga memiliki tatapan tajam dan percaya diri. Jenis wanita yang mampu membuat ruangan berhenti bernafas hanya dengan kehadirannya.
Alena menatap layar agak lama, sebelum akhirnya menutup laptop dengan pelan.
Ia bukan iri, bukan takut. Namun lebih ke rasa sadar, bahwa ia kini kalah di tempat yang tak bisa dilihat orang lain... perhatian suaminya.
Malam menjelang.
Arga pulang dengan langkah cepat, jasnya wangi parfum yang asing. Bukan aroma yang biasa ia pakai.
Alena tahu, karena selama tiga tahun ia yang selalu memilihkan parfum untuk suaminya. Aroma citrus lembut yang sederhana, bukan wangi bunga putih yang kini tercium.
“Kamu habis lembur?” tanya Alena, mencoba terdengar biasa saja.
“Hmm, iya. Banyak laporan yang harus direvisi.”
Arga menaruh tasnya di sofa, melepas dasi lalu mengambil air minum.
“Lembur sama siapa?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja, tanpa sempat disaring.
Arga berhenti sejenak, menatapnya. “Ya sama tim lah, kenapa?”
“Enggak, cuma nanya.”
Alena tersenyum kecil, berusaha menutup celah antara canggung dan curiga.
Tapi saat Arga berbalik menuju kamar, ia memperhatikan sesuatu di jas suaminya. Ada sehelai rambut panjang, hitam legam, melengkung indah di bahu kain.
Dan Alena tak punya rambut sepanjang itu.
Ia terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menarik napas dalam-dalam.
Ia mengambil jas itu perlahan, menggantungnya di rak lalu menatapnya lama-lama.
“Sehelai rambut pun bisa jadi bukti kecil dari kejujuran yang besar,” gumamnya pelan.
Beberapa hari berlalu, dan rasa curiga yang dulu samar kini menjadi bayangan yang selalu menemaninya.
Setiap kali ponsel Arga bergetar, setiap kali ia tersenyum kecil tanpa alasan, Alena tahu ada seseorang di balik layar yang membuat suaminya berubah.
Namun ia tak ingin menuduh.
Ia masih ingin percaya, bahwa mungkin semuanya hanya salah paham.
Sampai suatu sore saat ia hendak mencuci pakaian kerja Arga, ia menemukan sesuatu di saku jas. Sebuah nota restoran hotel bintang lima, atas nama “Nadine HR – Reservasi untuk dua orang”.
Alena terdiam lama di tepi tempat tidur, tangannya gemetar memegang kertas kecil itu.
Tanggal yang tertera persis dua malam lalu, malam ketika Arga bilang ia rapat lembur dengan tim.
Hatinya menjerit, tapi wajahnya tetap datar.
Ia tidak ingin menangis, ia sudah terlalu sering diam.
Kini... diamnya bukan karena tak berani, melainkan karena sedang belajar menerima kenyataan pahit tanpa harus berteriak.
Malam itu saat Arga tertidur, Alena memandang wajah suaminya.
Ada garis lelah, tapi juga ketenangan palsu di sana.
Dan di antara napas teratur pria itu, Alena berjanji dalam hati.
'Mas, jika memang cintamu sudah berpindah arah... aku tidak akan memaksakan diri menjadi rumah bagi hati yang ingin pergi.'
Keesokan harinya Alena berdiri di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya.
Perempuan itu terlihat tenang, tapi matanya bercerita banyak.
Ia tidak akan bertanya lagi, tidak akan menuntut, tidak akan menangis di depan siapa pun.
Ia hanya ingin menemukan kembali dirinya. Dia yang pernah berani, yang dulu penuh mimpi sebelum pernikahan ini mematikan jiwanya perlahan.
“Kalau cinta itu perjuangan, kenapa aku harus berjuang sendirian?” ucapnya pada bayangan di cermin.
Dan saat itu juga, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alena memutuskan untuk mulai menyimpan luka di tempat yang tak bisa dijangkau siapa pun.
Ia akan tetap tersenyum, tetap lembut... tapi tidak lagi buta.
Karena kadang, cinta paling kuat bukan yang memaksa tetap bersama, melainkan yang berani pergi sebelum kehilangan seluruh diri sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!