NovelToon NovelToon

JERAT CINTA LINGGARJATI

Kamu hamil, Ayudia?

Hueeek!

"Haah, Dia? Kamu kenapa lagi, sih, nduk?"

Ayudia, wanita yang sedang mengusap bibirnya didepan cermin kamar mandi itu menggeleng lemah. Dia tidak tau keanehan apa yang membuatnya jadi kesulitan tidur dan mual-mual setiap bangun tidur.

Sudah lima hari ini Ayudia mengalami kejadian serupa, tepat setelah sidang putusan perceraiannya di setujui dan Ayudia resmi menjadi janda. Bu Ratna —Ibunya, bahkan sampai rela menemani Ayudia yang keadaanya sangat memprihatikan.

"Jangan-jangan kamu hamil, Nduk? Apa nggak coba di periksa aja?" tanya Bu Ratna cemas. Sebenarnya pikiran itu tercetus begitu saja.

Mendengar ucapan Ibunya, Ayudia mematung. Sebulan sebelum dia dan Haris memutuskan bercerai, mereka memang tidak lagi melakukan hubungan suami istri. Tapi, beberapa hari sebelum keputusan, mereka memang sengaja melakukan 'itu' untuk terakhir kalinya sebelum benar-benar berpisah.

Ide konyol itu di buat oleh Haris, dan Ayudia dengan konyolnya malah mengiyakan. Mau bagaimana pun dulunya mereka sepasang kekasih yang romantis, hanya saja untuk disatukan dalam ikatan pernikahan, mereka sepertinya kurang beruntung.

Dan terjadilah malam itu. Tapi, Ayudia merasa dia sudah meminum pil kontrasepsinya dengan teratur, tidak mungkin bobol, kan?

"DIA! Kenapa kamu diam aja? Jangan-jangan ucapan Ibu memang bener?!" Suara Bu Ratna membuyarkan lamunan Ayudia. Wanita yang tampak pucat pasi itu menggeleng dengan air mata bercucuran.

"A-aku nggak tau, Bu." Cicitnya pelan.

Bu Ratna yang merasa iba, berjalan mendekati anak Perempuan pertamanya. Wanita paruh baya itu segera memeluk tubuh ringkih anaknya yang terlihat begitu shock.

Bagimana tidak? Baru seminggu lalu mereka bercerai berai, kini Ayudia malah dinyatakan hamil?

"Kita harus datangi Haris, Bu, sebelum dia menikahi wanita lain!" Pak Jaya menekan.

Ayudia menggeleng tak setuju, "Nggak, Yah. Mas Haris sudah mengkhianati Aku, kalaupun kami rujuk, memang Ayah mau punya menantu yang main gelap sama sekertarisnya?"

"Ya terus kamu mau jadi singel parent? HAH?!" Pak Jaya sedikit membentak. Lelaki paruh baya itu tak terima jika cucunya nanti hidup tanpa seorang Ayah, tidak akan rela.

"Iya, itu lebih baik, Yah. Lebih baik aku jadi orangtua tunggal dari pada harus rujuk dengan suami yang sudah sering berselingkuh, dan menikahi wanita lain dibelakang ku!"

Pak Jaya mengusak rambutnya kasar. Lelaki paruh baya itu menatap tajam anak perempuannya yang keras kepala. "Kamu jangan egois, Dia! Anak kamu juga butuh Bapaknya, memangnya kamu tega Anak kamu nggak punya Ayah?"

Bukannya menjawab, Ayudia malah menangis sesenggukan. Bagaimana lagi, meskipun dia masih mencintai Haris, tetapi mantan suaminya sudah berkali-kali menyelingkuhi dirinya.

Ayudia mana mau berhubungan lagi dengan lelaki yang sudah main ranjang dengan perempuan lain? Dia mana mau.

"Nggak! Lebih baik anak aku tumbuh tanpa Ayahnya dari pada dia harus tumbuh bersama Ayah tukang selingkuh, Aku nggak mau!" Ayudia keras kepala.

Bu Ratna yang duduk di sebelah Ayudia mengusap keningnya, kepalanya terasa pusing. Sisi lain dia setuju dengan ucapan Ayudia, tapi sisi lain Bu Ratna juga tak tega jika cucunya nanti tumbuh tanpa sosok Ayahnya.

"Jadi orangtua tunggal itu sudah, Dia. Kamu memangnya sanggup?" Bu Ratna akhirnya buka suara. Wanita paruh baya itu menatap nanar putrinya.

"Lebih dari sanggup, dari pada Aku harus tekanan batin satu rumah bersama lelaki seperti Mas Haris, Bu." Jawab Ayudia tanpa berpikir panjang.

Bu Ratna dan Pak Jaya saling pandang sebelum menghela nafas pendek. Mereka akui, Ayudia memang bukan perempuan pengangguran yang tak punya penghasilan.

Gajinya setiap bulan bahkan bisa lebih besar dari mantan suaminya, Haris. Sebab, Ayudia memang punya beberapa toko pakaian, serta hasil pekerjaan lainnya.

Tapi, poin utama dari masalah ini bukan hanya finansial, tapi juga kasih sayang. Mau bagaimana pun, Cucu mereka butuh sosok Ayah. Kalau seorang ibu adalah tempat ternyaman bagi anak-anak berlindung, maka seorang ayah adalah sosok yang akan menjadi contoh, juga penggerak agar anak-anaknya mampu berdiri di kakinya sendiri.

Kasih sayang ayah dan ibu memang tidak bisa di bandingkan, keduanya punya peran penting di masing-masing sudut pandang.

"Baiklah, kalau begitu setelah keadaan kamu membaik nanti, pulanglah ke desa," Putus Pak Jaya. Ayudia dan Bu Ratna kontan membelakkan matanya.

"Yah??" Ayudia pias, suaranya melirih. Dia pikir dia sudah di usir dari rumah sang Ayah.

"Pulanglah ke desa, Dia. Kamu bisa memulai kehidupan baru kamu di desa sembari menemani Uti,"

Ayudia ingin protes, dia memang tidak pernah tinggal di desa, tapi keadaan masyarakat di sana yang suka ikut campur masalah tetangganya membuat Ayudia takut.

"Ayah mau aku jadi omongan-omongan tetangga kalau aku hamil nggak punya suami?" Ayudia menatap nanar Pak Jaya. Tapi Ayahnya sama sekali tidak perduli.

"Kamu tau apa tentang kehidupan di desa, Dia? Memangnya kamu pernah tinggal di sana?"

"Mas! Tapi bener apa kata Dia, tetangga-tetangga Ibu di desa pasti menggoreng habis Dia kalau tau Dia pulang dalam keadaan hamil, di tambah Dia juga baru bercerai dengan suaminya." Bu Ratna membela anaknya.

Tetapi, Pak Jaya seolah tuli. Lelaki paruh baya itu tetap ngotot dengan keputusannya sendiri. "Pilih, tinggal di desa dan jadi ibu tunggal, atau tinggal di sini tetapi Ayah akan minta Haris untuk rujuk!"

"AYAH!"

Lagi-lagi tangis Ayudia semakin deras. Bagaimana bisa Ayahnya setega itu?

"Ayah kalau nggak suka Aku di sini bilang aja, Yah. Aku bisa keluar dari rumah ini, aku bisa tinggal di kos, apartemen atau di kontrakan." Tekan Ayudia, kecewa dengan keputusan Pak Jaya.

"Nah itu! Bagaimana mungkin kamu mau jadi ibu tunggal tapi pikiran kamu aja masih begitu, emosian nggak bisa di tahan. Kamu pikir Ayah asal memutuskan sesuatu?!" Pak Jaya membentak Ayudia.

Bu Ratna yang melihatnya seketika berdiri, "Mas, sabar! Ayudia sedang mengandung, Dia masih sensitif!" Bela Bu Ratna semakin membuat Pak Jaya mendengus.

"Pokoknya, kalau kamu nggak mau rujuk dengan Haris. Kamu harus pulang ke desa dan temani Uti di sana. Nggak untuk sementara, kalau bisa selamanya kamu tinggal di sana." putus Pak Jaya tanpa ingin di bantah.

Detik itu juga bahu Ayudia melemas. Dia benar-benar merasa dibuang oleh ayahnya sendiri. Dia merasa tidak di support sama sekali, padahal Ayahnya sedang berkoar-koar masalah kasih sayang. Tapi di titik terendah Ayudia, Ayahnya sama sekali tidak memberinya kekuatan, justru membuatnya semakin hancur lebur.

Ayudia harus bagaimana? Dia tidak mau rujuk dengan Haris yang pastinya sekarang pun sedang menikmati malam panas dengan perempuan lain. Bagaimana mungkin Ayudia kuat?

Lelaki yang dia cintai mati- matian, malah memberinya luka sampai dia mau mati beneran rasanya. Di tambah sekarang Ayudia membawa beban baru, yang kehadirannya sangat tidak di inginkan dalam situasi seperti ini, dia adalah janinnya.

###

Sugeng rawuh teman-teman, terimakasih sudah mengklik novel ini.

Kalau teman-teman suka bisa kasih author dukungan apapun itu bentuknya. Kalau masih belum tertarik, coba baca novel ini sampai episode lima, siapa tau teman-teman bisa berubah pikiran, haha ...

Sekian, dadah sampai jumpa di episode berikutnya.

Salam sayang, author.

Kota Ayu

Sejak kejadian beberapa hari lalu, Pak Jaya sama sekali tidak tenang. Lelaki paruh baya itu terus saja memikirkan nasib anak dan cucunya. Mau bagaimana pun juga dia hanya seorang Ayah yang tak tega membiarkan anak gadisnya kesulitan. Apalagi usia kehamilan Ayudia juga masih bisa di hitung Minggu.

Sebenarnya, pak Jaya sangat ingin menghampiri Haris dan memberi tau kebenarannya, tapi mantan menantunya itu sangat sulit di temui dimana pun. Ketika Pak Jaya menghampiri kantor tempat Haris bekerja, pegawainya mengatakan jika Haris sedang pergi dinas dan baru bisa pulang seminggu kemudian.

Jelas waktunya sangat tidak tepat, sebab Ayudia akan dia kirim secepatnya ke desa. Pak Jaya juga sudah menghubungi Ibunya di desa sana dan mengatakan yang sejujur-jujurnya.

Ibunya itu menangisi kenyataan yang menimpa cucu pertamanya, dan beliau juga menyuruh Pak Jaya untuk cepat-cepat mengirim Ayudia pulang ke sana.

Dan, tibalah hari itu. Hari dimana Ayudia harus pindah ke desa yang namanya cukup unik, yakni 'Kota Ayu' (nama desa cuma imajinasi author yaa) Pak Jaya memang tak bisa menemani karena dia punya pekerjaan yang tak bisa di tinggalkan.

Hanya Ratna dan Jenggala —Anak keduanya, yang akan menemani Ayudia pergi. Sedangkan anak terakhirnya —Julian, tak bisa menemani sebab memiliki jadwal mata kuliah wajib.

Perjalanan dari ibu kota menuju rumah Uti di desa menempuh jarak berkilo-kilo meter, dan menghabiskan waktu selama sembilan jam. Perjalanan itu sangat lancar, karena bukan hari besar —seperti hari mudik yang tentunya akan macet.

Selama perjalanan, Ayudia juga tidak merasakan mual atau apapun. Benar-benar berbeda dengan kondisinya beberapa hari lalu yang mual muntah parah. Kini Ayudia malah terlihat segar seolah tak terjadi apa-apa.

Jemari lentik wanita itu turun menuju perutnya yang masih rata, mengelus di sana dan membisikkan sebuah kalimat sayang. Dia sangat berterimakasih karena selama perjalanan ini Anaknya tidak rewel.

Mungkin anaknya pengertian dengan situasi yang di hadapi Ayudia.

"Kenapa, nduk? Mual?" Bu Ratna melirik Ayudia yang sedang mengusap-usap perutnya lembut. Wanita paruh baya itu kira anaknya mual atau apa, ternyata Ayudia menggeleng.

"Nggak, Bu." Balas wanita hamil Itu.

"Mbak Dia bener-bener nggak mau kasih tau ke Mas Haris?" Lewat kaca yang berada di dalam mobil, Jenggala atau yang biasa di singkat dengen Gala, melirik kebelakang, dimana kakak dan Ibunya duduk nyaman.

Bisa di lihat kalau Ayudia menggeleng dengan senyuman tipis, raut wajahnya yang tadi ceria berubah muram. "Nggak, kalau sudah waktunya dia tau, nanti juga tau, kok."

Jenggala menggeleng tak mengerti dengan jalan pikiran kakaknya. "Padahal belum tiga bulan, masih bisa rujuk tanpa akad loh, Mbak."

"Sekali nggak, nggak, Gala! Udah deh, kamu mana tau urusan rumah tangga!" Ayudia menggeram kesal. Moodnya seketika turun.

Ketika Jenggala hendak membuka mulut untuk protes, Ayudia segera menyelanya. "Nggak usah bahas lelaki itu lagi, lah!" lalu Jenggala pun memutuskan menutup rapat bibirnya. Dia juga tidak mau membuat suasana hati kakaknya semakin buruk.

Suasana mobil seketika hening.

Ketika subuh menyapa, Mobil yang di kendarai Jenggala akhirnya berhenti di sebuah halaman rumah yang tampak hijau terawat. Rumah Uti Nur item di kelilingi tumbuhan te-tean sebagai pagar alami. Banyak juga tumbuhan hijau lainya yang Ayudia tidak tau namanya.

Udara segar langsung menyapa indra penciuman Ayudia, rasanya masih asri dan khas pedesaan yang di kelilingi hutan dan bukit.

"Cucukuu ..."

Ketika Ayudia melangkahkan kakinya kedalam rumah, Uti yang masih mengenakan mukenanya langsung memeluk Ayudia dan menangis keras.

Mau tak mau Ayudia balik memeluk Uti-nya dan menenangkan wanita sepuh itu. Mungkin masih terbawa suasana dengan nasib tragis yang menimpa cucu perempuan pertamanya.

Di rumah Uti juga sudah ada Bulik dan paklik beserta saudara-saudara Ayudia yang lainnya. Kalau kalian ingin tau, Uti memiliki enam anak tetapi hanya tersisa tiga di dunia, dan Pak Jaya adalah anak pertama Uti.

"Ya Allah, Nduk. Kasihan sekali kamu nduk," Bulik Yati —Anak ketiga Uti, gantian memeluk Ayudia dengan Isak tangis.

Sepertinya semua perempuan di dalam sana menangis, sementara para lelaki hanya diam seperti patung.

Lalu, Ayudia gantian di peluk oleh Bulik Hartini, Anak terakhir Uti. Tak banyak perbedaan dari ucapan-ucapan kedua buliknya, keduanya sama-sama menyayangkan nasib Ayudia yang harus hamil di saat baru bercerai dengan suaminya.

Tak lupa, Uti juga menceritakan pasal mantan suami Ayudia yang bejat, suka meniduri wanita lain dan ternyata sudah selingkuh sejak dua bulan menikahi Ayudia. Semuanya di bongkar oleh Uti dan Bu Ratna, sedangkan Ayudia hanya bisa tersenyum lirih dan pamit istirahat.

Badannya baru terasa pegal saat sampai di rumah Uti.

"Utii ... Kamar mandinya?" Ayudia meneguk ludah kasar. Dia baru ingat kalau kamar mandi di rumah Uti-nya itu terpisah dari rumah. Letaknya berada beberapa meter dari dapur kotor.

"Udah pagi juga, mana ada setan, Mbak." Jenggala tiba-tiba muncul di belakang Ayudia yang mematung menatap kamar mandi.

"Ish! Ngagetin aja!" desis Ayudia kesal.

Jenggala yang melihat ancang-ancang Ayudia, segera menghindar sebelum kakaknya menabok nya. Lelaki dua puluh Tujuh itu segera berlari kecil menuju kamar mandi.

Meskipun kesal, Ayudia tetap berjalan mengikuti Jenggala. Adik lelakinya itu walaupun menyebalkan, tapi dia tetap manis kok. Buktinya sekarang dia mau menemani Ayudia yang ingin bersih-bersih, lelaki itu juga membantu Ayudia mengerek air dari dalam sumur.

Manis, kan?

Bahkan Jenggala juga memastikan lantai kamar mandi yang masih asli tanah itu tidak licin dipijaki kakaknya. Benar-benar romantis, andai saja Ayudia menikahi laki-laki seperhatian Jenggala, dia tidak mungkin hamil dalam keadaaan janda, kan?

...********...

Sementara itu, lelaki yang sedang di cari-cari keberadaanya oleh Pak Jaya itu tengah asik memadu kasih dengan seorang wanita bertubuh molek. Perjalanan dinas Haris hanya berlaku empat hari, dan dua hari lainnya dia gunakan untuk bersenang-senang dengan sang sekertaris yang sudah setahun ini menjadi istri gelapnya.

"Kamu udah nggak cinta istrimu itu, ya?" Di tengah aktivitas panas keduanya, Renata bertanya pada Haris.

Lelaki yang sedang menggerayangi tubuh bagian belakangnya itu hanya menggeram rendah, sibuk mencapai kenikmatannya sendiri. "Cinta, tapi dia ... Akhh!" ucapan lelaki itu terpotong ketika pelepasannya datang.

Tubuh Renata langsung terasa berat ketika Haris menindihnya. "Dia kenapa?" tanya Renata penasaran. Padahal keduanya sudah terengah-engah, tapi masih mau melanjutkan percakapan meskipun sudah larut malam.

"Dia nggak mau dimadu," jawab Haris dengan nafas berat. Renata di bawahnya tersenyum miring.

"Jadi itu alasan kamu menceraikan dia?" tanya Renata lagi. Kali ini Haris menggeleng pelan, bergeser di sebelah Renata dan menarik selimut menutupi tubuhnya.

"Dia yang menceraikan aku setelah tau aku menikahi wanita lain tanpa seizinnya, haah, sudah lah. Untuk apa kamu tanya-tanya tentang Ayudia kalau ujung-ujungnya kamu juga yang ngambek." Haris mendengus, sebelum terlelap dalam mimpi.

Renata cemberut, lagi-lagi dia ditinggal tidur sendiri.

"Nggak perduli apapun alasan kamu menceraikan Ayudia, asalkan sekarang hanya aku satu-satunya istrimu, Kak Haris."

Cowok prik

Masih ada di hari yang sama, setelah merasa cukup beristirahat, Ayudia memutuskan keluar dari kamarnya. Dia mancari siapapun yang bisa dia lihat, bosan juga lama-lama di kamar.

Terlebih cuaca panas begini, rumah Uti tidak ada AC maupun kipas angin. Padahal jendela sudah di buka lebar-lebar, tapi anginnya sama sekali tidak mau mampir ke dalam kamar.

Di halaman belakang, Ayudia mendengar suara grasak-grusuk seseorang. Penasaran, wanita hamil itu segera menghampirinya dan ternyata Uti yang sedang meraih topi bulat anyaman khas para petani.

"Maturnuwun, nduk." Uti melempar senyuman khasnya. Ayudia balas tersenyum tipis, dia penasaran dengan kostum Uti-nya yang seperti orang mau berkebun di siang bolong begini.

"Uti mau kemana?"

"Uti mau kerja, nduk. Kamu istirahat lagi saja di rumah," Balas Uti sembari memasang topi berbentuk kerucut itu di kepalanya.

Sejenak Ayudia terkejut, Uti-nya kerja? Bukankah Ayahnya selama ini mengirim uang ke Bulik untuk biaya hidup Uti di Desa kota ayu ini?

"Kok Uti kerja, sih? Uti lagi butuh uang?" Ayudia penasaran.

Uti yang mendengar pertanyaan polos cucunya malah tertawa, "Uti kerja cuma buat ngisi waktu luang, nduk. Kalau masalah uang Ayah sama Bulik Paklikmu itu selalu ngasih Uti uang, padahal Uti sudah tua begini, nggak butuh uang banyak-banyak." balas beliau.

Ayudia menyetujui. Memang apa yang dibutuhkan wanita tua seperti Uti-nya itu, ya? Di masa tuanya begini, Uti memang mau membiayai siapa lagi? Anak-anak sudah pada menikah, biaya hidupnya pun di tanggung anak-anaknya.

"Emang Uti kerja apaan?" Tanya Ayudia penasaran. Kira-kira dia boleh ikut tidak, ya? soalnya dia bosan banget di rumah.

"Kerja santai aja, nduk. Di perkebunannya juragan Norman,"

Ayudia angguk-angguk, tapi bukan itu jawaban yang dia mau. "Maksud Ayudia, Uti kerjanya ngapain? Masa cuma santai-santai aja di gaji?"

Uti terkekeh hingga tampaklah giginya yang sudah hilang di beberapa sisi, tapi anehnya beliau masih fasih berbicara.

"Uti kerja petik-petik buah, nduk. Kadang juga petik sayuran, cabai, tomat, timun. Banyak lah," Mata Ayudia seketika berbinar. Wah, sepertinya pekerjaan yang menyenangkan.

"Ayudia boleh ikut?" wanita hamil itu berharap Uti-nya mengizinkan.

Untuk sesaat, Uti melirih cucunya kemudian melirik perut rata cucunya. Wanita sepuh itu tampak menimang-nimang baiknya bagaimana. Mau di ajak juga cuaca sedang panas-panasnya, dan Uti takut cucunya yang dari kota itu tidak biasa panas-panasan di kebun. Meskipun kebun buah yang rindang sekalipun, tapi kan cape.

Lalu, kalau tidak di perbolehkan juga Uti sedikit tak tega. Ayudia terlihat sangat berharap di ajak, terlebih dia sedang hamil muda. Mungkin saja dia mengidam.

"Boleh," Akhirnya keputusan itu dibuat. "Tapi nanti ikut-ikutan aja, kalau cape duduk di pondok." petuah Uti. Bahkan mereka belum sampai di tempat perkebunan, tetapi Uti sudah mewanti-wanti Ayudia.

"Iyaaa utikuu sayang! Lagian Ayudia juga tau ini lagi panas, kalo capek istirahat, kalo haus atau laper ya tinggal minta aja buahnya,"

"Memang kamu tau kebun buah apa?" Uti melirik Ayudia sekilas, kini dua wanita berbeda generasi itu sedang berjalan di galengan sawah yang hanya bisa di lewati satu orang. Ayudia di belakang, sementara Uti didepannya memimpin.

"Nggak tau, emangnya buah apa?" Ayudia menyengir lebar, meskipun Uti tak akan tau.

"Kalau yang sekarang mau di panen itu kebun jeruk, Juragan Norman juga punya kebun apel sama alpukat, tapi baru berbunga," Uti menjelaskan tanpa di minta.

Ngomong-ngomong, dari tadi Uti-nya selalu berbicara tentang juragan Norman. Di dengar dari julukannya juga sepertinya Juragan Norman itu orang kaya, terlebih punya banyak kebun buah dan sayuran. Hmm.

"Uti Nur bawa siapa itu,"

Saat memasuki sebuah gerbang perkebunan, atensi Ayudia teralihkan pada seorang wanita yang sedang menggendong seorang anak perempuan yang mungkin berusia lima tahun. Terlihat lucu, hingga tanpa sadar Ayudia mengusap perutnya refleks.

"Cucuku dari kota, dia itu ..." bla bla bla.

Ayudia sangat tidak suka dengan kebiasaan orang desa yang selalu menyebarkan berita dari mulut ke mulut. Seperti Uti-nya sekarang ini, beliau dengan lugasnya menceritakan Ayudia yang baru saja bercerai dan harus menanggung kehamilan. Bahkan Uti juga mengaku terpaksa membawa Ayudia karena cucunya yang sedang hamil itu mengidam ingin ikut.

Haaah! Bagaimana lagi? Mau marah juga itu Uti-nya sendiri.

Alhasil, Ayudia sedikit memberi jarak dengan Uti-nya dan seorang wanita yang dia ketahui bernama Raisa. Mereka berdua tampak asik mengobrol sembari memetik jeruk yang warnanya masih begitu hijau, tapi katanya sih manis, mungkin memang jenisnya begitu kali.

Yang paling Ayudia tidak suka, tatapan Raisa beberapa kali mengarah padanya seolah bersimpati. Haah, ternyata bukan tetangga yang harus Ayudia khawatirkan, melainkan Uti-nya sendiri.

Saking kesalnya Ayudia, dia bahkan tanpa sadar mencabut-cabut rumput di sekitar pohon jeruk yang meneduhi tubuh kurusnya sampai tanahnya yang semula hijau, kini berubah merah khas tanah pedesaan.

"Alhamdulillah, akhirnya Bapak merekrut tukang cabut rumput juga. Eh, mbak, yang di situ sudah bersih giliran sebelah sini mbak!"

Mendengar celetukan lancang seseorang, Ayudia sontak mendongak. Gila, bisa-bisanya dia di anggap tukang cabut rumput? Yang benar saja!

"Apa sih, nggak jelas!"

Lelaki dengan topi sedikit kerucut seperti milik Uti itu terbahak-bahak, wajahnya yang hitam manis terlihat sangat menyebalkan di mata Ayudia. Apalagi ketika dengan tengilnya dia berucap.

"Oh, bukan toh? Kirain tukang cabut rumput, soalnya bersih tuh rumput-rumput mbaknya cabuti."

HAASH!

"Apasih, nggak jelas. Sana deh, ganggu pemandangan aja!" usir Ayudia dengan ketus. Wanita hamil itu tanpa sadar cemberut sebal.

"Eh, Jangan cemberut dong, mbak. Jadi tambah cantik soalnya," ucap lelaki itu meledek.

Bukannya salah tingkah, Ayudia malah kesal. "Stres!"

lelaki itu cengar-cengir, meraih satu buah jeruk dan membukanya di tempat, setelah itu langsung melahapnya dalam satu suapan besar. Gila kan, itu mulut atau sarang babon?

"Ngemeng-ngemeng, mbak ini cucu-nya Uti Nur, kah? Yang dari kota?" lelaki itu bertanya. "Mau kenalan dong, Mbak. Nama saya Linggarjati Putra Sena, boleh panggil Linggar, Jati atau kalau mau panggil Sayang juga boleh."

PUK!

Sebal dengan ocehan gila lelaki itu, Ayudia melemparinya dengan kulit jeruk yang baru saja dia buka, hasil petikan asalnya.

"Eh, mbak nyolong jeruk punya bapak saya itu, haram loh mbak." Linggar menunjuk-nunjuk buah jeruk dalam genggaman Ayudia dengan mulutnya yang di monyong-monyongkan.

Ayudia bertambah kesal saja, kenapa di hari pertamanya di kota ayu ini harus bertemu dengan sosok Linggarjati? Lelaki prik yang sangat cerewet.

"Pelit!" Tanpa kata-kata lanjutan, Ayudia berdiri dari jongkoknya dan memberikan jeruk yang sudah dia kupas di tangan besar Linggar. Lelaki hitam manis itu kebingungan, lalu setelah Ayudia semakin menjauh dia baru sadar.

"Lah, marah?" Cicitnya sembari menatap buah jeruk yang berada di genggamannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!