Amarah Vernando meledak bagai bom saat mendapati Aprilia tengah merapikan kamarnya. Matanya memancarkan kilatan benci.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" bentaknya, suaranya menggelegar di seluruh ruangan. "Berani-beraninya kau menyentuh barang-barangku! Kau pikir kau siapa, hah?!"
Aprilia tersentak kaget, tangannya yang sedang memegang bingkai foto Vernando bergetar. "A-aku hanya ingin merapikan kamar ini, Mas," jawabnya lirih, berusaha meredam ketakutannya. "Kamar ini berantakan sekali..."
"Tidak perlu! Aku tidak butuh bantuanmu! Kau hanya akan membuat semuanya semakin kacau!" Vernando merebut bingkai foto itu dari tangan Aprilia dengan kasar, lalu melemparkannya ke lantai.
"Kau tahu apa yang pantas kau lakukan? Diam saja di dapur dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!"
Aprilia hanya bisa menunduk, air matanya mulai menetes membasahi pipinya. Hatinya hancur berkeping-keping mendengar setiap kata yang keluar dari mulut suaminya.
Ia merasa seperti sampah yang tidak berguna, tidak pantas untuk dicintai dan dihargai.
Di hadapan keluarganya, Vernando adalah perwujudan suami idaman. Senyumnya hangat, tutur katanya lembut, dan perhatiannya seolah tak terbatas pada Aprilia.
Ia menggandeng tangannya, memujinya di depan semua orang, dan menciptakan ilusi rumah tangga bahagia yang sempurna.
Namun, begitu pintu tertutup dan hanya ada mereka berdua, topeng itu luruh. Sifat Vernando berubah drastis, menjadi dingin, acuh tak acuh, bahkan kasar.
Kata-kata manisnya lenyap, digantikan oleh tatapan sinis dan komentar pedas yang menghujam hati Aprilia.
Pemandangan yang paling menyakitkan adalah ketika mereka berada di antara teman-teman Vernando.
Di sana, Aprilia bukan lagi seorang istri, melainkan bahan lelucon dan objek penghinaan. Vernando tak segan merendahkannya, mengolok-olok penampilannya, dan mempermalukannya di depan semua orang.
"Lihat penampilanmu itu," desis Vernando, matanya menyapu Aprilia dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan jijik. "Jangan kan menyentuhmu, membayangkanmu saja aku tak sudi!"
Kata-kata itu menghantam Aprilia bagai cambuk, merobek hatinya hingga berkeping-keping. Air matanya tumpah tanpa bisa dicegah, membasahi pipinya yang sudah memerah.
Tanpa sepatah kata pun, ia berbalik dan berlari keluar dari kamar Vernando, meninggalkan pria itu dengan seringai kemenangan di wajahnya.
Aprilia terus berlari, tanpa arah dan tujuan, hingga akhirnya kakinya membawanya ke kebun belakang yang luas.
Di sanalah ia menghabiskan sebagian besar waktunya, mengurus tanaman dan bunga-bunga yang tumbuh subur.
Kebun itu adalah pelariannya, tempat di mana ia bisa merasa tenang dan damai, jauh dari kebencian dan penghinaan Vernando.
Ia sudah terbiasa dengan kehidupan di desa, mengurus kebun milik keluarganya, dan merasa nyaman dengan tanah dan tanaman di sekitarnya.
Di tengah kebun yang hijau dan asri, Aprilia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan dan melupakan sejenak luka yang menganga di hatinya.
Di sana, ada Mbok Ratmi, wanita paruh baya dengan kerutan di wajahnya yang menyimpan segudang pengalaman hidup, segera menghampiri Aprilia yang tampak berantakan. Matanya yang teduh menatap Aprilia dengan penuh kasih sayang.
"Sabar ya, nduk," ucap Mbok Ratmi lembut, tangannya yang kasar mengusap punggung Aprilia dengan penuh kelembutan.
Ia tahu betul bagaimana Aprilia diperlakukan oleh suaminya, bagaimana gadis itu menahan sakit dan luka setiap harinya.
Namun, apa daya, Mbok Ratmi hanyalah seorang pembantu di rumah mewah itu. Ia tidak memiliki kekuatan untuk membela Aprilia, tidak bisa mengadu pada siapa pun tentang perlakuan buruk Vernando.
Ia hanya bisa memberikan dukungan moral, mencoba menghibur dan menguatkan Aprilia di saat-saat sulit seperti ini.
Hatinya ikut perih melihat penderitaan gadis desa yang malang itu, tetapi ia hanya bisa memendamnya dalam-dalam, berharap suatu saat keadilan akan berpihak pada Aprilia.
"Aku nggak apa-apa, Mbok," ucap Aprilia lirih, berusaha menyunggingkan senyum meski air mata masih membekas di pipinya.
"Aprilia!!" Suara teriakan Vernando yang memanggil namanya memecah kesunyian kebun. Aprilia dan Mbok Ratmi tersentak kaget, jantung mereka berdegup kencang.
"Sebentar ya, Mbok, aku ke sana dulu," ucap Aprilia, lalu bergegas berlari kecil menuju sumber suara. Ia tahu, panggilan Vernando tidak pernah membawa kabar baik.
"Apa kamu mencuri jam tanganku?!" teriak Vernando, matanya memancarkan amarah yang membara.
"Nggak, Mas... Aku cuma beres-beres kamar kamu aja tadi," jawab Aprilia dengan suara bergetar, berusaha menahan ketakutannya.
"Hanya kau yang masuk ke dalam kamarku, Aprilia!" bentak Vernando, tidak mempercayai penjelasan Aprilia.
Tanpa ampun, Vernando menyeret Aprilia dengan kasar. Langkahnya lebar dan cepat, membuat Aprilia kesulitan mengimbangi.
Ia diseret keluar dari rumah mewah itu, diperlakukan seperti seorang tahanan.
Sesampainya di depan pintu, Vernando menghempaskan Aprilia ke lantai dengan kasar. Tubuhnya terhuyung, lutut dan tangannya terasa sakit akibat benturan keras.
"Diam di situ sampai aku mengizinkanmu masuk!" ucap Vernando dengan nada dingin dan menusuk, lalu menutup pintu rapat-rapat,
meninggalkan Aprilia yang terisak di depan rumah megah yang terasa seperti penjara baginya.
Aprilia memegangi lutut dan tangannya yang sakit, air matanya semakin deras membasahi pipinya. Ia merasa begitu kecil dan tidak berdaya di hadapan Vernando.
Beberapa saat kemudian, suara lembut menyapa Aprilia yang masih terduduk di depan pintu. "Loh, Kak Lia, lagi apa di sini?" tanya Vini, adik tiri Aprilia.
Mereka memang satu bapak, namun beda ibu. Sejak kecil, Aprilia tinggal bersama neneknya di desa setelah kematian ibunya.
Meski hidup di desa, Aprilia tak pernah kekurangan apapun, karena neneknya memiliki sumber daya yang melimpah. Namun, Aprilia memang selalu hidup sederhana dan apa adanya.
Berbeda dengan Vini, yang sejak kecil sudah menikmati gemerlap kehidupan kota. Mereka hanya terpaut dua tahun. Dulu, ayah Aprilia memang memiliki dua istri, dan ibu Aprilia adalah istri pertama.
Vini terkekeh mengejek, matanya menyipit sinis melihat penampilan lusuh kakak tirinya. "Lagi dihukum sama Kak Nando ya?" ledek Vini dengan seringai jahat.
Aprilia yang malas meladeni hanya diam, menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia tidak berniat melawan atau membalas ejekan Vini.
Ia tahu betul, jika Vini sampai mengadu, ia akan dipukuli habis-habisan oleh ayahnya. Ayahnya selalu membela Vini, apapun yang terjadi.
Aprilia sudah terbiasa menjadi pihak yang selalu disalahkan dan dihukum. Ia sudah terbiasa menelan semua rasa sakit dan ketidakadilan dalam diam. Baginya, diam adalah cara terbaik untuk menghindari masalah yang lebih besar.
Malam Hari
Setelah seharian menunggu di luar, tubuh Aprilia tak lagi mampu menahan lapar dan haus. Ia limbung dan akhirnya terjatuh pingsan di depan pintu.
Mbok Ratmi yang melihat kejadian itu dari kejauhan langsung bergegas mencari Vernando, yang ternyata sedang asyik menonton televisi bersama Vini di ruang keluarga.
"Tuan, Nona Aprilia pingsan," ucap Mbok Ratmi dengan nada sedikit panik, berusaha menarik perhatian Vernando.
"Minta satpam bawa dia ke kamarnya, jangan ganggu aku lagi!" ucap Vernando ketus, tanpa sedikit pun mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Ia sama sekali tidak peduli dengan keadaan Aprilia.
Mbok Ratmi menghela napas dalam-dalam, lalu berlari keluar mencari Toni, satpam yang bertugas di rumah itu.
"Ton... Bantu Nona Aprilia, dia pingsan," ucap Mbok Ratmi dengan nada cemas.
Toni yang mendengar kabar itu langsung berlari mengikuti Mbok Ratmi menuju tempat Aprilia tergeletak.
Mereka berdua dengan hati-hati membawa Aprilia masuk ke dalam rumah, menuju sebuah kamar kecil yang terletak di bagian belakang rumah.
Kamar itu sangat sederhana dan tidak layak dihuni oleh seorang majikan, karena sebenarnya kamar itu adalah kamar pembantu.
Toni meletakkan Aprilia di ranjang usang itu dengan perlahan, sementara Mbok Ratmi segera memberikan pertolongan pertama, berusaha menyadarkan Aprilia dari pingsannya.
Mereka berdua merasa kasihan melihat Aprilia yang diperlakukan dengan tidak adil di rumah itu
"Sudah satu tahun sejak menikah dengan Tuan Nando, Nona Aprilia mengalami siksaan ini ya, Mbok," ucap Toni dengan nada prihatin, hatinya terenyuh melihat penderitaan yang dialami Aprilia.
"Iya, Ton... Aku nggak tega, membayangkan kalau cucuku yang berada di posisi Nona Aprilia, sakit banget hati ku, Ton," timpal Mbok Ratmi dengan suara bergetar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hati Aprilia setiap kali menerima perlakuan buruk dari suaminya.
Tak lama kemudian, Aprilia mulai sadar. Matanya mengerjap perlahan, lalu ia membuka mulutnya dengan lemah. "Air," gumam Aprilia dengan suara serak.
"Ton, gelas Ton," ucap Mbok Ratmi panik, menunjuk ke arah meja kecil di sudut ruangan.
Dengan sigap, Toni mengambil gelas dan menuangkan air dari teko yang ada di atas meja. Lalu, ia memberikan gelas itu kepada Mbok Ratmi.
"Diminum, Nduk," ucap Mbok Ratmi lembut, membantu Aprilia meneguk air dengan hati-hati.
"Makasih, Mbok, Pak Toni," ucap Aprilia dengan suara lirih, merasa sedikit lebih baik setelah minum air.
"Sebentar ya, Mbok bawakan makanan," ucap Mbok Ratmi, yang langsung diangguki lemah oleh Aprilia. Ia memang sangat lapar, karena sejak pagi belum makan apa pun.
"Ayo, Ton, keluar," ucap Mbok Ratmi, mengajak Toni keluar dari kamar.
Ia tidak mungkin membiarkan Toni menemani Aprilia seorang diri di dalam kamar, karena itu bisa menimbulkan fitnah.
Mbok Ratmi mengendap-endap menuju dapur, memastikan bahwa Vernando masih asyik menonton televisi dan tidak menyadari keberadaannya.
Ia tahu betul, jika Vernando sampai tahu bahwa ia mengambilkan makanan untuk Aprilia, pria itu pasti akan marah besar. Karena di rumah itu, Aprilia hanya boleh makan ketika Vernando mengizinkannya.
Setelah berhasil mengambil sepiring nasi dan lauk seadanya, Mbok Ratmi langsung berlari kecil menuju kamar Aprilia, khawatir Vernando akan memergokinya.
"Ini, Nduk, dimakan," ucap Mbok Ratmi lembut, menyodorkan piring berisi makanan kepada Aprilia.
"Terima kasih, Mbok," ucap Aprilia dengan suara bergetar, menerima piring itu dengan tangan gemetar.
Ia mulai menyuapkan makanan ke mulutnya dengan lahap, namun air mata terus mengalir membasahi pipinya.
Di rumah mewah itu, hanya Mbok Ratmi dan Toni yang bersikap baik padanya. Mereka selalu diam-diam membantunya, memberikan perhatian dan dukungan yang tidak pernah ia dapatkan dari suaminya sendiri.
Aprilia merasa terharu dan bersyukur memiliki mereka di sisinya, meski mereka hanyalah seorang pembantu dan satpam di rumah itu.
"Makasih, Mbok," ucap Aprilia dengan terisak, air matanya semakin deras membasahi pipinya.
Hancur hati Mbok Ratmi melihat Aprilia makan sambil menangis. Ia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya hati gadis itu, betapa hancurnya perasaannya.
Makan dalam keadaan menangis, itu adalah gambaran yang sangat menyayat hati. Mbok Ratmi hanya bisa memeluk Aprilia erat-erat, mencoba menyalurkan kekuatan dan ketabahan kepadanya.
Ia berharap, suatu saat nanti, Aprilia akan menemukan kebahagiaannya sendiri, jauh dari penderitaan dan kesedihan yang selama ini menghantuinya.
PRANGGGGGGGGG
Baru beberapa suapan Aprilia menelan makanannya, tiba-tiba piring itu terjatuh berantakan ke lantai, nasi dan lauk berserakan di mana-mana.
Vernando, dengan wajah merah padam karena amarah, telah melempar piring itu.
"Tuan, jangan salahkan Nona, saya yang ambilkan makan untuk Nona," ucap Mbok Ratmi dengan suara gemetar, ia langsung berlutut di hadapan Vernando, memohon ampun atas kesalahannya.
Vini, yang datang bersama Vernando, diam-diam tersenyum sinis melihat kakak tirinya itu menderita. Ia merasa puas melihat Aprilia dipermalukan dan dihukum.
"Berani sekali pembantu seperti mu, melanggar aturanku!" teriak Vernando dengan suara membahana, matanya melotot tajam ke arah Mbok Ratmi.
"Aku yang meminta makanan, jangan salahkan Mbok Ratmi," ucap Aprilia dengan suara lemah namun penuh keberanian. Ia tidak ingin Mbok Ratmi yang menanggung akibatnya.
"Oh... Sudah berani melawan sekarang ya? Ikut aku!" ucap Vernando dengan nada mengancam, lalu menyeret Aprilia dengan kasar, padahal tubuhnya masih terasa lemas dan sakit.
"Tuan... Jangan hukum Nona Aprilia," teriak Mbok Ratmi histeris, berusaha mencegah Vernando, namun sia-sia.
"Diam di sini, nenek tua!" bisik Vini dengan nada sinis, matanya melotot tajam ke arah Mbok Ratmi. Lalu, ia bergegas membuntuti Vernando yang menyeret Aprilia keluar rumah.
Vernando mendorong Aprilia dengan kasar, sama seperti kejadian pagi tadi, hingga tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh.
"Kau harus di luar sampai pagi!" ucap Vernando dengan nada dingin dan tanpa belas kasihan, lalu ia berbalik dan masuk ke dalam rumah bersama Vini, meninggalkan Aprilia yang terisak di depan pintu.
Malam semakin larut, udara semakin dingin, dan Aprilia hanya bisa pasrah dengan nasibnya.
Andai saja dulu dirinya menolak perjodohan itu, mungkin kehidupannya tidak akan seperti ini.
Namun, akting Vernando saat itu sangat meyakinkan, seolah-olah pria itu akan menjadi suami yang baik dan menyayanginya.
Karena itulah, Aprilia akhirnya menyetujui perjodohan yang sudah terjalin sejak ia masih kecil.
Neneknya pun sempat ragu, melihat perbedaan karakter antara Aprilia yang sederhana dan Vernando yang angkuh.
Namun, ketika melihat Vernando yang sangat baik dalam meyakinkan mereka, akhirnya neneknya pun ikut setuju.
Perjodohan keluarga itu memang sudah direncanakan sejak lama, bahkan sejak mereka masih kecil, sebagai bentuk persahabatan dan ikatan bisnis antara kedua keluarga. Aprilia hanya bisa menyesali keputusannya, berharap waktu bisa diputar kembali.
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya menghangatkan bumi ketika Mbok Ratmi menemukan Aprilia tergeletak di depan pintu.
Tubuhnya menggigil hebat, demam tinggi membakar kulitnya, dan wajahnya pucat.
Panik, Mbok Ratmi bergegas mencari Vernando dan Vini yang semalam menginap di rumah mewah itu.
"Tuan, Non Vini, maaf mengganggu," Mbok Ratmi tergopoh-gopoh menghampiri mereka di ruang makan. "Nona Aprilia, Demam tinggi"
Vernando, yang tengah menikmati sarapan mewahnya bersama Vini, mendengus kesal. "Mbok ini bagaimana, sih? Pagi-pagi sudah mengganggu orang sarapan saja," omelnya tanpa sedikit pun rasa khawatir.
Vini, dengan nada dibuat-buat prihatin, menimpali, "Iya, Mbok. Vernando kan jadi tidak nafsu makan. Memangnya separah apa, sih?"
"Tubuhnya panas sekali, wajahnya pucat, Non" jawab Mbok Ratmi cemas.
Vernando mengibaskan tangannya, meremehkan. "Sudah, Mbok! Tidak usah lebay. Mbok Darmi bawa dia ke rumah sakit naik taksi. Ribet kalau saya yang antar. Jijik saya sama gadis desa itu."
Mbok Ratmi terkejut mendengar ucapan majikannya. "Tapi, Tuan...."
"Tidak ada tapi-tapian! Cepat lakukan!" bentak Vernando, membuat Mbok Ratmi ciut dan bergegas pergi, meninggalkan Vernando dan Vini yang kembali menikmati sarapan mereka dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ton... Toni!" seru mbok Ratmi dengan suara bergetar, "Nona Aprilia pingsan lagi, Angkat Nona Aprilia, biar aku yang cari taksi di depan."
Toni, pria bertubuh tegap dengan rambut ikal yang selalu berantakan, langsung sigap. Tanpa banyak tanya, ia berlari menghampiri Aprilia yang tergeletak lemah di depan pintu.
Wajah gadis itu pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya.
Mbok Ratmi, dengan langkah tergesa, berlari ke jalan raya, berharap menemukan taksi yang bersedia mengantarkan mereka ke rumah sakit.
Jantung Toni berdegup kencang. Ia berlutut di samping Aprilia, merasakan denyut nadi gadis itu yang lemah.
Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh Aprilia yang ringan ke dalam gendongannya.
Tak lama kemudian, klakson taksi terdengar dari kejauhan. Mbok Ratmi melambai-lambaikan tangannya, memberi isyarat kepada Toni.
Dengan langkah lebar, Toni menggendong Aprilia menuju taksi yang sudah menunggu di tepi jalan. Ia membaringkan Aprilia di kursi belakang dengan lembut, memastikan kepala gadis itu bersandar dengan nyaman.
"Makasih, Ton..." ucap Mbok Ratmi dengan nada lega bercampur cemas. Kerutan di wajahnya semakin dalam, menggambarkan betapa khawatirnya ia terhadap kondisi Aprilia.
"Iya, Mbok," jawab Toni, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Hati-hati ya, Mbok." Ia mengamati taksi itu melaju, membawa Aprilia menjauh.
Rumah Sakit
Di bawah cahaya lampu ruang perawatan yang temaram, Aprilia mengerjap-ngerjapkan matanya.
Aroma obat-obatan menusuk hidungnya, membuatnya merasa sedikit mual. "Mbok, aku kenapa?" tanyanya lirih, suaranya serak dan lemah.
Mbok Ratmi, yang sedari tadi duduk di samping ranjang dengan setia, menggenggam erat tangan Aprilia.
Matanya berkaca-kaca, menahan air mata yang siap tumpah. "Kamu pingsan lagi, Nduk. Kamu demam tinggi," jawabnya dengan suara bergetar.
Aprilia tersenyum tipis, berusaha menenangkan wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri.
"Jangan nangis, Mbok. Aku nggak apa-apa kok," ucapnya, meski tubuhnya masih terasa lemas. "Gimana suamiku? Apa dia sudah makan?"
Mbok Ratmi menghela napas panjang, berusaha menyembunyikan kekesalannya. "Kamu ini lho, lagi sakit begini, sudah dikurung seharian di luar, masih saja bisa memikirkan orang lain," omelnya lembut.
"Tapi, Mbok," balas Aprilia dengan nada khawatir, "biasanya kan suamiku suka masakanku."
Memang betul adanya. Meski Vernando selalu bersikap dingin dan bahkan merasa jijik pada Aprilia, ia tidak bisa memungkiri satu hal: ia sangat menyukai masakan gadis desa itu.
Lidahnya sudah terbiasa dengan cita rasa masakan Aprilia yang sederhana namun menggugah selera.
Ada sentuhan kasih sayang di setiap hidangan yang disajikan Aprilia, sesuatu yang tidak bisa ia temukan di masakan restoran mewah sekalipun.
Pintu ruang perawatan terbuka dengan kasar, menampilkan sosok Vini yang langsung melenggang masuk.
Senyum sinis menghiasi bibirnya saat matanya menatap Aprilia yang masih terbaring lemah.
"Tenang aja, Kak," ucap Vini dengan nada mengejek, "Kak Nando sudah sarapan kok tadi sama aku." Seringai licik terpampang jelas di wajahnya, seolah sengaja ingin menyakiti hati Aprilia.
Mbok Ratmi, yang menyaksikan adegan itu, merasa geram bukan kepalang. Ia tidak tahan melihat kesombongan dan kelicikan gadis di hadapannya.
Dengan berani, ia mendekati Vini dan berkata, "Maaf, Nona Vini, Nona Aprilia butuh istirahat." Nada suaranya sopan, namun tegas, berusaha mengusir Vini secara halus.
Vini mendelik, merasa terhina dengan perkataan Mbok Ratmi. "Apa maksudmu?! Apa kamu mengusirku?!" teriaknya dengan suara melengking, tidak terima diperlakukan seperti itu oleh seorang pembantu.
Aprilia, yang tidak ingin masalah semakin Runyam, berusaha menengahi. "Jangan salahkan Mbok Ratmi, Vin," ucapnya lemah. "Aku memang butuh istirahat. Tolong kasih aku waktu." Ia tahu betul, Vini selalu berusaha mencari gara-gara dengannya.
Vini mendengus kesal, merasa rencananya untuk membuat Aprilia semakin menderita gagal. "Awas aja kalian!" ancamnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Aprilia dan Mbok Ratmi.
"Aku akan lapor masalah ini ke Kak Nando!" Dengan langkah dihentak-hentakkan, Vini meninggalkan ruangan, meninggalkan Aprilia dan Mbok Ratmi dengan perasaan tidak nyaman.
"Maafin Mbok ya, Non," ucap Mbok Ratmi dengan nada penuh penyesalan. "Gara-gara ucapan Mbok, Nona Vini jadi kesal dan berujung akan lapor ke Tuan." Ia merasa bersalah karena telah membuat situasi semakin Runyam bagi Aprilia.
Aprilia tersenyum tulus, berusaha menenangkan hati wanita yang sudah dianggapnya seperti ibu sendiri.
"Nggak apa-apa, Mbok," balasnya lembut. "Makasih ya, udah selalu ada buat aku." Senyum itu, meski tipis, mampu menyiratkan ketegaran hati seorang Aprilia.
Melihat senyum itu, Mbok Ratmi semakin tak kuasa menahan air matanya. Hatinya perih melihat penderitaan yang dialami Aprilia.
Entah apa yang Tuhan rencanakan untuk gadis sebaik Aprilia. Selalu ditindas oleh keluarganya sendiri, belum lagi suami yang seharusnya menjadi pelindungnya, malah menjadi musuh bebuyutannya yang selalu menindas Aprilia tanpa ampun.
Mbok Ratmi hanya bisa berdoa, semoga suatu saat nanti, kebahagiaan akan berpihak pada Aprilia.
"Aku yakin Mas Nando bakal luluh kalau aku terus berusaha, Mbok," ucap Aprilia dengan nada penuh keyakinan, meski hatinya sendiri dipenuhi keraguan.
"Kata Ibu dulu, awetnya pernikahan itu karena seorang istri yang sabar." Senyum getir terukir di bibirnya, mencoba menyembunyikan luka yang menganga di dalam hatinya.
Mbok Ratmi menghela napas panjang, merasa iba dengan keyakinan Aprilia yang begitu besar. Ia tahu betul, Vernando adalah pria yang keras kepala dan sulit untuk diluluhkan.
Namun, ia tidak ingin mematahkan semangat gadis itu. "Semoga berhasil ya, Non," ucap Mbok Ratmi tulus, berharap keajaiban akan datang menghampiri Aprilia.
Dalam hati, ia berdoa agar Aprilia diberikan kekuatan untuk menghadapi segala cobaan yang menimpanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!