NovelToon NovelToon

Mahar Pengganti Hati

Bab 1

Mentari pagi sudah bersinar terang dan menembus celah gorden kamar Husna

Di depan cermin, Husna dengan telaten memulaskan blush on tipis di pipinya, senyum kecil tersungging saat ia memandangi pantulan dirinya.

Hari ini adalah hari yang spesial, ia akan bertemu dengan Arkan, kekasih hatinya.

Debaran di dada selalu sama, campuran antara excited dan sedikit rasa bersalah.

Tepat saat Husna hendak memakai lipstik, pintu kamarnya terbuka perlahan.

Ibunya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan pandangan menyelidik.

"Mau ke mana pagi-pagi sudah dandan cantik begini, Sayang?" tanya ibu Mariam.

Husna tersenyum tipis sambil mencoba menyembunyikan kegugupannya.

"Ke toko buku, Bu. Ada buku baru yang mau Husna cari."

"Oh, begitu," sahut ibunya, masih dengan tatapan yang sulit diartikan.

Husna tahu persis apa yang ada di benak ibunya. Ia juga tahu, kedua orang tuanya tidak pernah menyukai Arkan.

Alasan utamanya sederhana karena Arkan belum stabil, baik dalam karier maupun masa depannya.

Oleh karena itu hubungan mereka harus tetap menjadi rahasia, sebuah rahasia yang ia pikul sendiri dalam diam.

Setelah selesai berdandan, Husna berpamitan kepada ibunya.

"Ibu, Husna pergi berangkat dulu." ucap Hasna sambil mencium punggung tangan Ibu Maria.

Ibu Maria meminta Husna untuk hati-hati dan lekas pulang karena ayahnya yang dari London akan pulang.

Husna menganggukkan kepalanya dan ia lekas pergi menuju ke cafe dimana Arkan sudah menunggunya disana.

Di sepanjang perjalanan, Husna menyanyikannya lagu kesukaannya.

Jantungnya berdegup kencang dan tidak sabar untuk bertemu dengan Arkan.

Perjalanan yang lumayan sepi membuat Husna lekas sampai.

Dari balik kaca mobilnya, ia melihat kekasihnya yang sudah menunggunya.

Husna lekas turun dari mobil dan menghampiri Arkan.

Arkan bangkit dari duduknya dan langsung memeluknya.

"Aku kira kamu tidak datang, Na. Aku merindukanmu." ucap Arkan.

Husna membalas pelukan hangat dari Arkan sambil tersenyum tipis.

"Aku pasti datang, Ar. Aku juga merindukanmu." ujar Husna.

Arkan menarik kursi dan mempersilahkan Husna untuk duduk.

Setelah itu Arkan memanggil pelayan untuk menyiapkan dua kopi, dua kentang dan roti manis.

Sambil menunggu pesanan mereka datang, Arkan membuka tasnya dan menunjukkan karyanya.

"Aku baru saja buat lagu baru, Na. Apakah kamu mau mendengarnya?" tanya Arkan.

Husna menganggukkan kepalanya dan meminta Arkan untuk menyanyikannya.

Arkan mengambil gitar yang selalu ia bawa untuk menyanyi di jalanan.

Arkan mulai memetik senar gitarnya perlahan, menghasilkan melodi yang lembut dan sedikit melankolis.

"Ini tentang kita, Na," bisiknya sebelum mulai bernyanyi.

Suara Arkan terdengar merdu, liriknya bercerita tentang sebuah penantian, harapan yang tersembunyi, dan janji untuk masa depan yang belum pasti.

“Bintang di langit jadi saksi bisu

Cinta yang tersembunyi, tak terjamah restu

Mungkin sekarang, kita di persimpangan

Tapi percayalah, ini hanya penantian...”

Husna mendengarkan dengan hati yang hangat dan sedikit nyeri. Setiap kata seolah menggambarkan beban rahasia yang ia pikul.

Ia mengerti, perjuangan Arkan untuk stabil adalah perjuangan untuk mendapatkan restu orang tuanya.

Saat lagu berakhir, keheningan melingkupi mereka sejenak.

Arkan meletakkan gitarnya dan meraih tangan Husna di atas meja.

"Bagaimana? Bagus, kan?" tanyanya, matanya penuh harap.

"Sangat bagus, Ar. Aku suka liriknya. Semoga sebentar lagi, penantian kita berakhir."

Arkan tersenyum, senyum yang selalu meluluhkan hati Husna.

"Pasti, Sayang. Aku sedang berjuang mati-matian. Dua hari lalu, aku mengikuti audisi untuk mengisi acara di sebuah event besar. Jika aku lolos, ini bisa menjadi batu loncatan yang besar."

"Benarkah? Semoga berhasil, Arkan!" Husna menggenggam tangannya erat, memberikan dukungan penuh.

Pelayan datang membawa pesanan mereka. Aroma kopi yang kuat dan roti manis yang baru dipanggang memenuhi udara.

"Nah, sekarang kita nikmati sarapan ini sambil bicara yang menyenangkan," ujar Arkan, melepaskan tangan Husna untuk menuangkan kopi ke cangkirnya.

Mereka pun larut dalam pembicaraan ringan, tertawa tentang hal-hal kecil, dan merencanakan kencan berikutnya.

Bagi Husna, momen bersama Arkan ini adalah oksigen, pelarian singkat dari tekanan ekspektasi keluarganya.

Tanpa mereka sadari, waktu berjalan begitu cepat.

Husna melihat jam di pergelangan tangannya dan wajahnya langsung berubah cemas.

"Ya ampun, Ar, aku harus pulang sekarang," katanya cepat sambil menghabiskan sisa kopinya.

Arkan menggenggam tangan Husna dan memintanya untuk tinggal sebentar.

"Ayah akan pulang hari ini dari London. Aku harus ada di rumah sebelum beliau sampai."

"Ayahmu pulang? Kenapa mendadak?"

"Tidak mendadak, hanya saja beliau meminta Ibu untuk tidak memberi tahu agar menjadi kejutan," jelas Husna sambil berdiri.

Arkan ikut berdiri, wajahnya terlihat sedikit muram.

"Baiklah. Hati-hati di jalan, Sayang. Kabari aku kalau sudah sampai."

Husna mencium pipi Arkan sekilas sebelum bergegas meninggalkan kafe.

Ia segera melajukan mobilnya menuju ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, ia melihat mobil Ayahnya yang sudah terparkir disana.

Ia juga melihat mobil lainnya yang tidak pernah ia lihat sama sekali.

Husna langsung turun dari mobilnya dan masuk kedalam rumah.

"Ayah... Ayah.." panggil Husna yang berlari mencari Ayah Yudha.

Ayah Yudha langsung bersembunyi saat mendengar suara putrinya.

Ibu Maria menahan tawanya saat melihat tingkah suaminya.

Husna masuk dan tidak melihat keberadaan ayahnya.

"Ibu, dimana Ayah? Husna melihat mobil ayah, tapi Ayah tidak ada." tanya Husna.

Yudha keluar dari balik pintu dan langsung mengagetkan putrinya.

"BA!"

Husna meloncat kecil saat Yudha keluar dari balik pintu.

"Ayah, kenapa selalu membuat aku terkejut saja." ucap Husna sambil merengek kecil.

Yudha tertawa kecil melihat raut wajah putrinya yang terkejut.

"Sini, sini. Peluk ayah. Ayah sangat merindukanmu." ucap Yudha yang kemudian langsung memeluk tubuh putrinya.

Kemudian Yudha menggandeng tangan putrinya dan mengajaknya ke ruang tamu.

Di ruang tamu Husna melihat seorang lelaki yang sebaya dengan Ayahnya.

"Husna, perkenalkan ini Om Burak. Dia sahabat ayah."

Husna menganggukkan kepalanya dan mencium punggung tangan Burak.

"Duduklah disini, sayang. Ayah ingin bicara serius dengan kamu." ucap Yudha.

Husna duduk disamping Ayah Yudha dan Ibu Maria.

Tiba-tiba suasana menjadi kaku dan tidak seperti tadi.

"Ada apa, Yah?" tanya Husna yang takut jika hubungannya dengan Arkan diketahui

Yudha menghela nafas panjang sambil menatap wajah Husna.

"Ayah meminta kamu untuk menikah dengan Jovan, putra Burak. Dia mempunyai seorang putri yang masih hitungan hari. Ayah mohon kepada kamu, Husna." jawab Yudha.

Husna yang mendengarnya langsung terdiam seketika dan air matanya jatuh.

"Ayah, maaf. Aku tidak bisa menikah dengan Jovan." ucap Husna.

Yudha yang mendengarnya sedikit kecewa dengan putrinya.

"Yudha, kalau putrimu tidak mau. A-aku..."

Yudha meminta Burak untuk menunggu sebentar.

Kemudian Yudha mengajak putrinya untuk masuk ke kamar.

Bab 2

Di dalam kamar, Ayah Yudha meminta putrinya untuk duduk.

Husna menundukkan kepalanya saat melihat Ayahnya yang sedikit kecewa.

Ayah Yudha membuka laci mejanya dan mengambil senjata api miliknya.

"A-ayah, jangan lakukan itu." ucap Ibu Maria.

Ayah Yudha memberikannya kepada Husna agar menembak nya.

"Tembak Ayahmu sekarang juga, Husna. Bukankan kamu menolak untuk menikah dengan Jovan? Tembak Ayahmu sekarang!"

Husna membuang pistol itu sambil menangis sesenggukan.

"Ayah, aku tidak bisa menikah dengan Jovan. Aku mencintai Arkan. D-dia sangat mencintai aku, Ayah." ucap Husna.

Ayah Yudha yang mendengarnya langsung meminta Husna untuk menatap wajahnya.

"Kamu masih berhubungan dengan lelaki yang tidak punya masa depan? Iya?!"

Husna mengangguk kecil dan mengatakan kalau Arkan pasti bisa membahagiakannya.

Yudha yang mendengarnya langsung tertawa terbahak-bahak.

"Husna, apakah Ayah pernah memarahimu? Apakah Ayah pernah memaksamu untuk melakukan hal yang tidak kamu sukai? Apakah Ayah pernah memukulmu?" tanya Yudha dengan air matanya yang mengalir.

Husna menggelengkan kepalanya karena dari kecil Yudha sangat menyayanginya.

"Tolong jangan kecewakan Ayah, Husna. Ayah dan Ibu sangat menyayangi kamu, Nak. Ayah tidak mau kamu hidup susah dengan Arkan yang tidak punya masa depan." ucap Yudha.

Ibu Maria menggenggam tangan putrinya yang sedang menangis.

"Nak, apakah kamu mau menikah dengan Jovan? Ibu yakin kamu bisa bahagia dengan Jovan."

Husna menangis dan ia menganggukkan kepalanya.

"Ayah, Ibu. Apakah aku boleh menghubungi Arkan untuk yang terakhir kalinya?" tanya Husna.

Ayah Yudha menggelengkan kepalanya dan melarang putrinya untuk bertemu lagi dengan Arkan.

Ibu Maria tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menuruti suaminya.

"Hapus air matamu dan ayo kita turun ke bawah untuk menemui Om Barak."

Yudha kembali menggandeng tangan putrinya untuk turun ke bawah.

"Burak,putriku mau menikah dengan putramu." ucap Yudha.

Burak yang mendengarnya langsung bangkit dari duduknya dan memeluk tubuh sahabatnya.

"Terima kasih, Husna. Terima kasih." ucap Burak yang

Burak berlari keluar dan memanggil putranya yang dari tadi menunggunya di luar.

Jovan masuk kedalam dan melihat Husna yang menundukkan kepalanya.

"Husna, perkenalkan dia Jovan. Calon suami kamu." ucap Yudha.

Husna mendongakkan kepalanya dan melindungi wajah calon suaminya yang sangat dingin.

Tidak ada ekspresi tersenyum atau yang lainnya di wajah Jovan.

"Langsung ke intinya saja, Om. Aku ingin menikahinya sekarang dan setelah itu aku akan membawa Husna ke Kanada." ucap Jovan.

Husna terkejut mendengar pernyataan Jovan yang dingin dan mendesak.

Ia mendongakkan kepala dan menatap lelaki di hadapannya.

Wajah Jovan memang tampan, dengan garis rahang tegas dan mata kelam yang menyimpan kesedihan mendalam, namun sama sekali tanpa kehangatan.

Ia berdiri tegak, memancarkan aura dingin yang terasa menusuk.

Ayah Yudha dan Ibu Mariam saling pandang, terkejut dengan permintaan Jovan yang terburu-buru, tetapi Burak, sang ayah, segera angkat bicara.

"Jovan! Tidak sopan bicara seperti itu! Kami perlu membahas tanggal dan persiapan pernikahan, Nak," tegur Burak sambil berusaha menenangkan suasana.

Jovan menoleh sedikit ke arah ayahnya, tatapan matanya tetap datar.

"Aku tidak butuh pesta, Ayah. Istriku baru saja meninggal dunia dan aku hanya ingin Husna segera menjadi ibu bagi putriku dan istri yang sah. Secepatnya lebih baik. Aku akan mengurus semuanya di Kanada."

Perkataan Jovan yang mengatakan 'hanya ingin Husna segera menjadi ibu bagi putriku,' menghantam hati Husna.

Ia merasa seperti sebuah objek, bukan seorang calon istri.

Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata dan menelan rasa sakitnya.

Yudha menghela napas panjang dan mengerti posisi Jovan.

"Baiklah, Nak. Kami mengerti. Bagaimana kalau pernikahan dilakukan lusa? Kami akan menyelenggarakan akad nikah sederhana di rumah ini, dan kalian bisa langsung terbang ke Kanada setelahnya. Bagaimana, Burak?"

"Terima kasih, Yudha. Itu akan sangat bagus. Jovan, lusa. Kamu harus berterima kasih pada Pamanmu."

Jovan hanya mengangguk singkat, matanya kembali tertuju pada Husna yang menunduk.

"Husna, naiklah ke kamarmu. Persiapkan diri. Lusa, kamu akan menjadi Nyonya Jovan," perintah Ayah Yudha.

Husna bangkit tanpa suara dengan langkahnya yang terasa berat menaiki tangga.

Ia mendengar tawa ringan Ayah Yudha dan Om Burak dari bawah, tawa kelegaan karena kesepakatan itu tercapai.

Setibanya di kamar, ia mengunci pintunya. Ia berjalan ke ranjang dan ambruk di sana, menangis tanpa suara.

Air matanya membasahi bantal, membawa serta semua harapan dan impian yang ia rajut bersama Arkan.

Ia mengeluarkan ponselnya dengan jari-jarinya yang gemetar saat membuka kontak Arkan.

Husna ingin sekali mengirim pesan perpisahan, menjelaskan segalanya.

Tapi ia ingat larangan keras Ayahnya kalau ia tidak boleh lagi menghubungi Arkan.

Disaat yang bersamaan, Arkan menghubungi Husan untuk bertanya apakah Husna sudah sampai rumah atau belum.

Setelah mereka bertemu di cafe, Arkan selalu menunggu telepon dari Husna.

"Halo, Ar?" ucap Husna dengan suara yang bergetar.

"Husna, ada apa? Kenapa suaramu seperti itu? Kamu baik-baik saja?" tanya Arkan terdengar cemas.

Husna kembali meneteskan air matanya saat mendengar pertanyaan dari Arkan.

"Aku, tidak baik-baik saja, Ar."

"Katakan padaku, Sayang. Ada apa? Apa ada hubungannya dengan kepulangan Ayahmu?"

Husna menghela nafas panjang dan akhirnya ia mengatakan kepada Arkan tentang perjodohannya.

"Arkan, mereka menjodohkan aku. Ayah dan Ibu memaksaku menikah dengan putra sahabat Ayah, namanya Jovan. Lusa aku akan menikah, Ar."

Keheningan panjang melingkupi sambungan telepon dan hanya terdengar napas berat Arkan.

"Jangan bercanda, Husna. Ini tidak lucu," suara Arkan terdengar bergetar, bukan karena marah, tapi karena terluka.

"Aku tidak bercanda, Ar. Aku tidak punya pilihan. Ayah kecewa dan dia melarangku untuk menghubungimu lagi. Aku terpaksa setuju. Maafkan aku."

"Tidak! Husna, kamu tidak boleh melakukan ini! Aku baru saja mendapat kabar baik! Aku lolos audisi itu, Sayang! Aku lolos! Ini batu loncatan yang kita tunggu-tunggu! Aku akan mendapatkan uang dan aku akan segera datang untuk melamarmu!" Arkan berteriak, suaranya dipenuhi keputusasaan.

Kabar baik itu justru membuat hati Husna semakin hancur.

"Terlambat, Ar. Semuanya sudah terlambat. Aku minta maaf. Kamu harus melupakanku. Hiduplah bahagia, dan kejar impianmu."

"Husna, jangan matikan! Aku akan datang ke rumahmu sekarang! Aku akan bicara pada Ayahmu!"

"Jangan, Arkan! Jangan datang! Itu hanya akan memperburuk keadaan! Aku mohon! Selamat tinggal, Arkan. Aku mencintaimu."

Husna menutup panggilan itu sepihak, mematikan ponselnya, dan melemparkannya ke sudut kamar.

Ia tidak ingin mendengar apa-apa lagi dan hanya ingin tidur dan bangun dari mimpi buruk yang tiba-tiba menjadi kenyataan ini.

"Maafkan aku, Arkan. Semoga kamu mendapatkan jodoh yang lebih baik dari pada aku." gumam Husna.

Bab 3

Setelah mendapatkan telepon dari Husna, Arkan langsung mengambil motornya dan menuju ke rumah Husna.

Ia sangat mencintai Husna dan tidak akan membiarkan Husna menikah dengan lelaki lain.

Tak butuh waktu lama untuk Arkan sampai di rumah Husna.

"HUSNA!!" teriak Arkan.

Husna yang masih di atas tempat tidur langsung bangkit dan berlari keluar kamar.

Ia melihat orang tuanya yang juga ikut keluar dari kamarnya.

"Kalau kamu keluar dari rumah, Ayah tidak akan menganggap kamu lagi sebagai anak." ancam Ayah Yudha.

Husna menangis sesenggukan dan memohon agar Ayah Yudha mengijinkannya untuk bertemu dengan Arkan.

"A-aku janji, setelah ini aku tidak akan menemui Arkan lagi, Yah."

Mama Maria meminta suaminya untuk memberikan ijin kepada Husna.

"Baiklah, Ayah berikan ijin untuk bertemu dengan Arkan. Tapi, jangan lama-lama."

Husna menganggukkan kepalanya dan ia langsung berlari keluar.

"Arkan!" panggil Husna.

Arkan berbalik, matanya yang biasa hangat kini berkobar api.

Ia melangkah cepat mendekati Husna, mencengkeram lengan Husna cukup keras.

"Apa maksud kamu, Na?! Apa maksud kamu dengan 'selamat tinggal'?! Kamu pikir ini lelucon?! Setelah semua yang kita lewati? Semua janji yang kita buat?" tanya Arkan dengan suaranya terdengar frustasi dan menyakitkan.

Husna meringis kesakitan saat Arkan mencengkram lengannya.

"Aku minta maaf, Ar. Aku sudah mengecewakan kamu.".

Arkan menarik napas kasar, melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Husna hingga meninggalkan bekas merah.

Rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.

"Mengecewakan? Kamu tidak mengecewakanku, Husna. Kamu membunuhku! Kamu menghancurkan semua harapan yang kamu berikan padaku!"

Ia memajukan langkahnya, menatap Husna dengan pandangan terluka yang berubah menjadi amarah.

"Aku tahu sekarang! Aku tahu alasanmu! Aku kira kamu sungguh mencintaiku apa adanya, tapi ternyata kamu sama saja dengan yang lain! Kamu takut, 'kan? Kamu takut hidup miskin! Kamu takut menderita karena harus menunggu sampai aku sukses!" Suara Arkan meninggi, menusuk telinga Husna.

"Tidak, Ar! Bukan begitu—"

Husna mencoba membela diri, air mata mengalir deras.

"Jangan bohong! Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu akan berjuang! Kamu akan menentang orang tuamu! Tapi tidak, kamu lebih memilih kenyamanan, memilih pria mapan yang disodorkan padamu! Betapa dangkalnya kamu!" Arkan menggelengkan kepalanya, seolah jijik dengan Husna.

Setiap perkataan Arkan seperti belati yang menghujam jantung Husna.

Perkataan itu jauh lebih menyakitkan daripada paksaan Ayahnya.

"Aku membencimu, Husna. Aku membenci janji palsumu, rahasia yang kamu ciptakan, dan pengkhianatanmu yang pengecut!" Arkan mengucapkannya dengan nada tinggi.

Kemudian Arkan naik ke atas motornya dan melakukannya sekencang mungkin meninggalkan rumah Husna.

Husna melihat amarah Arkan yang begitu membencinya.

"A-arkan..." bisik Husna sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.

Dari ambang pintu, Ayah Yudha, yang menyaksikan seluruh pertengkaran itu, bergegas menghampiri putrinya yang sudah ambruk di halaman.

"Husna! Sayang!" teriak Ayah Yudha panik.

Ibu Maria menutup mulutnya dan menangis histeris.

Ayah Yudha dengan sigap membopong tubuh Husna yang lemah.

Ia membawa putrinya masuk dan melangkah cepat menaiki tangga.

Ibu Maria melihat putrinya yang masih belum sadarkan diri.

"Biarkan dia istirahat, agar pernikahannya besok berjalan lancar." ucap Ayah Yudha.

Ibu Maria menyelimuti tubuh putrinya dan setelah itu mereka meninggalkan kamar Husna.

Ayah Yudha masuk ke ruangan kerjanya dan disana ia menatap foto Husna yang saat itu berusia lima tahun.

"Maafkan Ayah, Husna. Semua ini Ayah lakukan demi masa depan kamu." ucap Ayah Yudha.

Sementara itu di kamar hotel dimana Jovan sedang menimang putrinya yang sedang menangis.

"Putri Ayah kenapa rewel sekali, hmm?" bisik Jovan sambil mengayun-ayunkan putrinya yang baru berusia beberapa minggu, Ava, dengan lembut.

Jovan duduk di sofa, memeluk Ava dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang bingkai foto mendiang istrinya, Aisyah.

Senyumnya pudar setiap kali melihat foto itu, digantikan oleh kerutan rasa sakit di matanya.

"Lihat, Sayang. Sebentar lagi kamu akan punya ibu baru,"

"Maafkan aku, Sayang. Aku harus melakukan ini demi Ava. Aku tidak mau sembarang wanita yang mengurus putri kita. Yudha meyakinkan Ayahku bahwa Husna adalah wanita yang baik dan berasal dari keluarga terhormat."

Disaat sedang menimang-nimang Ava, tiba-tiba ponsel Jovan berdering.

Jovan langsung mengangkatnya saat melihat orang suruhannya yang sedang menghubunginya.

Ia segera mengangkat panggilan dari anak buahnya yang ia tugaskan untuk mencari tahu tentang Husna.

Selama ini, Jovan adalah sosok yang sangat berhati-hati dan tidak akan pernah mengambil keputusan penting tanpa penyelidikan menyeluruh, apalagi menyangkut calon ibu bagi

putrinya.

"Ya?" sahut Jovan dingin.

Miko yang merupakan orang suruhan Jovan langsung menghela nafas panjang.

"Tuan, saya tadi tidak sengaja melihat pertengkaran antara Nona Husna dan seorang lelaki. Dan setelah pertengkaran itu, Nona Husna pingsan." ucap Miko.

Jovan yang mendengarnya langsung mencengkeram bingkai foto yang masih ia genggam.

"Kenapa hatiku sakit sekali saat mendengar ada lelaki yang membuat Husna pingsan?" ucap Jovan dalam hati.

Jovan meminta Miko untuk tetap mengawasi Husna.

Ia pun langsung menutup ponselnya sambil menaruh Ava yang sudah tertidur pulas.

Rasa cemburu yang asing dan tajam menyayat hatinya.

Ia sangat mengerti jika dirinya menikahi Husna bukan karena cinta, melainkan karena keharusan, demi Ava.

Ia memilih Husna karena silsilahnya yang bersih dan karena ia tidak ingin sembarang wanita.

Tapi jika wanita ini sudah memiliki hati yang tertambat pada orang lain, itu akan mengganggu rencananya.

"Aku tidak peduli siapa dia! Husna akan menjadi istriku! Dan aku tidak akan membiarkan ada bayangan laki-laki lain di rumahku, di dekat putriku!" ucap Jovan.

Jovan naik ke atas tempat tidur sambil menatap Ava yang tertidur pulas.

"Tidurlah yang nyenyak, sayang. Besok kamu mempunyai ibu baru." gumam Jovan yang kemudian tertidur pulas.

*

*

Keesokan paginya Husna membuka matanya dan melihat langit-langit kamarnya.

"Selamat pagi, sayang." sapa ayah Yudha yang baru saja masuk ke kamar Husna.

Husna masih merasakan kepalanya yang sangat pusing sekali.

Ia mengingat saat semalam Arkan mengeluh kata-kata yang membuat hatinya sakit.

"Husna, apakah kamu marah sama Ayah karena memaksamu menikah dengan Jovan?" tanya Ayah Yudha.

Husna yang tidak ingin menangis lagi, langsung menggelengkan kepalanya.

"Husna tidak marah dengan Ayah." jawab Husna.

Yudha langsung memeluk tubuh putrinya dan memintanya untuk segera bersiap-siap.

Ibu Maria masuk ke kamar Husna sambil membawa gaun pengantin.

"Lekas mandi karena Burak dan Jovan agar segera datang." ucap Ibu Maria.

Husna bangkit dari tempat tidurnya dan masuk ke kamar mandi.

Ia segera mengambil Air hangat dan mengguyur nya ke tubuhnya.

Setiap air mata yang jatuh bercampur dengan air shower seolah mencuci bersih sisa-sisa mimpinya bersama Arkan.

Husna tidak mau lama-lama di dalam kamar mandi.

Setelah selesai, ia keluar dan mendapati Ibu Mariam sudah menunggu bersama dua orang penata rias (MUA) yang tampak profesional, membawa koper besar berisi peralatan makeup.

"Nah, Sayang, duduk di sini. Kamu harus tampil sempurna hari ini," ucap Ibu Mariam lembut, sambil menuntun Husna ke kursi rias di depan meja cermin yang dipenuhi lampu.

Husna duduk dengan patuh dan menatap pantulan dirinya yang menunjukkan wajahnya yang pucat dan matanya yang sembab

"Selamat pagi, Mbak Husna. Jangan khawatir, kami akan membuat Anda bersinar hari ini," sapa salah satu MUA dengan ramah, memaksakan senyum di wajah Husna.

Husna menganggukkan kepalanya dan ia melihat para MUA yang mulai meriasnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!