NovelToon NovelToon

Dibuang Mokondo Diambil Pria Kaya

Rayuan Maut

Aroma parfum mahal beradu dengan suara kartu kredit yang digesek, menciptakan melodi yang terasa mewah di sebuah butik di pusat kota Jakarta. Sella tersenyum penuh kesenangan, matanya memuja Andra yang berdiri tegak di hadap cermin, mengenakan setelan jas abu-abu arang. Di tangan Sella, tergeletak tiga tas belanja dengan logo merek ternama, semuanya dibeli hari ini atas nama “investasi penampilan” Andra.

“Sayang, ini gila! Lihat dirimu. Benar-benar seperti CEO yang sesungguhnya,” puji Sella, menyuarakan apa yang sudah menjadi mantra harian mereka. Sella selalu merasa beruntung bisa bersanding dengan pria tampan dan memesona seperti Andra, meskipun dalam dua bulan terakhir, Andra selalu menemukan alasan baru mengapa kartu Sella yang harus berbicara.

Andra memutar tubuh, memamerkan dasi sutra barunya. Senyumnya begitu menawan dan ramah, seolah-olah ia dilahirkan untuk memancarkan aura kemakmuran. Hanya matanya yang terkadang menampilkan kilatan tajam yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memperhatikan detail.

“Tentu saja, Sayang. Calon suamimu ini tidak boleh terlihat lusuh di hadapan klien miliaran,” ujar Andra sambil mengecup kening Sella lembut. Sentuhan itu membuat Sella kembali melupakan tumpukan tagihan yang baru saja ia selesaikan.

“Aku cuma takut… kartu kreditku sudah di batas maksimal, Ndra. Dan transferan dari kantor baru cair lusa. Bagaimana dengan makan malam kita malam ini?” tanya Sella sedikit khawatir, menyinggung masalah kecil di tengah lautan kemewahan yang mereka ciptakan.

Andra memajukan tubuh, memegang kedua tangan Sella dengan kehangatan yang dibuat-buat.

“Oh, Sayang, kamu ini bicara apa? Tentu saja kita makan malam. Soal kartu, itu hal sepele. Bukankah sudah kubilang? Sebentar lagi kontrakku dengan Tuan Richard selesai. Saat itu terjadi, aku akan mengembalikan semua yang kamu keluarkan, plus bonus tiga kali lipat. Kita akan beli vila di Bali, Sella. Ingat impian kita?”

Sella mengangguk cepat. Ia selalu mencintai bagaimana Andra membingkai masa depan mereka. Penuh harapan dan kemewahan. Itu membuatnya merasa layak untuk pengorbanan finansialnya.

“Oke, tapi janji ya, kamu harus segera transfer ganti uang yang tadi kubelikan jam tangan itu. Jam tangan itu harganya setengah gajiku, Ndra,” desak Sella, mencoba menunjukkan sedikit ketegasan.

Andra terkekeh. “Tenang, Sella. Kenapa kamu khawatir sekali? Kamu meragukan calon suamimu sendiri, hah? Sudahlah, ayo kita keluar dari sini. Kita rayakan ‘investasi’ hari ini di restoran Italia langgananku. Pesan semua yang kamu mau.”

Malam harinya, di restoran mewah, alih-alih merayakan, suasana hati Sella justru perlahan menciut. Setelah menghabiskan sepiring pasta dengan saus truffle yang fantastis, Andra mulai menggeser pembicaraan dari rencana masa depan ke masalah keuangan saat ini.

Andra memegang segelas wine merah, matanya tampak sedikit muram, sebuah ekspresi yang sangat jarang Sella lihat, dan karenanya, langsung memicu alarm dalam dirinya.

“Sella, kamu percaya aku, kan?” tanya Andra tiba-tiba, suaranya dipenuhi beban yang dramatis.

“Tentu saja, Ndra. Kenapa kamu bertanya begitu?”

“Begini. Ada masalah besar, Sayang. Sangat besar. Tapi ini bisa menjadi terobosan luar biasa untuk kita, untuk masa depan vila di Bali itu. Klien utamaku, yang janji investasi miliaran, ternyata menarik dananya di menit terakhir. Sialan!” Andra memukul meja pelan, tetapi efeknya cukup kuat untuk menarik perhatian Sella sepenuhnya.

Sella menahan napas. “Menarik dananya? Kenapa?”

“Katanya dia butuh jaminan dana operasional cepat. Dana jaminan! Lima ratus juta, Sayang. Kalau aku tidak bisa menunjukkan dana tunai itu besok pagi, seluruh proyek ambisius kita batal. Miliaran rupiah melayang sia-sia.” Andra menundukkan kepala, memegang dahinya dengan pose frustrasi yang sempurna.

Sella merasakan darahnya berdesir dingin. Lima ratus juta. Itu jumlah uang yang bahkan ia belum pernah sentuh seumur hidupnya. Sella sadar bahwa Andra selalu menggunakan kartu Sella untuk pengeluaran sehari-hari, tapi ini adalah level yang berbeda.

“Lima ratus juta? Ndra, aku… aku tidak punya uang sebanyak itu. Aku bahkan baru saja menguras tabunganku untuk bayar tagihan hotel dan event bisnismu bulan lalu,” ucap Sella, berusaha tetap tenang meskipun tenggorokannya tercekat.

Andra mendongak, matanya kembali menunjukkan kilatan bujukan maut yang selalu meluluhkan hati Sella. Ia mengambil tangan Sella, menggenggamnya erat, dan menatap jauh ke mata wanita itu.

“Aku tahu, Sayang. Aku tahu kamu sudah berkorban banyak. Tapi ini terakhir kalinya, aku janji! Hanya butuh dana darurat ini. Setelah kontrak ini berhasil, semua kerugianmu akan kututup seribu persen. Aku bahkan akan belikan kamu mobil baru! Apa yang kamu punya yang bisa kita cairkan sekarang?”

“Aku… aku hanya punya tabungan sisa tiga puluh juta. Sisanya, aset… aset pribadiku yang ditinggalkan orang tuaku,” Sella mengakui dengan suara hampir berbisik. Itu adalah warisan berharga yang harus ia jaga mati-matian, aset berupa sebuah ruko kecil di kawasan strategis yang menghasilkan pendapatan pasif.

Andra menyeringai, senyum kesenangan yang halus namun tajam terlihat sekilas sebelum ia kembali memasang wajah memohon.

“Ruko? Ya Tuhan, Sella! Itu ide cemerlang! Cepat, Sayang. Jual saja rukonya! Nilainya pasti lebih dari lima ratus juta. Sisanya bisa kamu pegang, atau kita gunakan sebagai modal nikah kita! Kamu relakan sebentar ya? Hanya formalitas, kita akan beli lagi ruko yang lebih besar setelah ini. Ini semua demi kita, demi masa depan kita berdua.”

Kepala Sella mulai berdenyut. Andra meminta Sella untuk menghancurkan satu-satunya jaminan hidupnya. Tiba-tiba, ia tidak lagi melihat Andra sebagai CEO tampan yang dicintai. Sella melihat seorang pria yang tersenyum terlalu lebar, memaksanya melepaskan segalanya demi ilusi.

“Ndra, itu warisan. Itu jaminanku, satu-satunya jaminanku… Aku tidak bisa,” tolak Sella, nada suaranya kini bergetar penuh keraguan.

Andra langsung menarik tangannya, ekspresi sedihnya seketika hilang digantikan kekecewaan yang nyata, atau setidaknya, sangat meyakinkan.

“Jadi kamu lebih mementingkan sebidang bangunan kotor daripada masa depan hubungan kita? Daripada kesempatan emas untuk melihatku sukses dan hidup dalam kemewahan yang kubayangkan untuk kita?” Andra meninggikan suaranya, memojokkan Sella, menciptakan ketegangan yang menyesakkan di antara meja makan yang penuh sesak.

“Sella, kamu bilang kamu bucin, kamu bilang kamu mencintaiku. Tapi kalau begini saja kamu ragu, lantas bagaimana kamu akan percaya bahwa aku adalah calon suami terbaikmu?”

Mendengar tuduhan itu, Sella merasakan hantaman emosi yang hebat. Ia takut dituduh tidak mencintai, takut kehilangan Andra yang selama ini menjadi pusat dunianya, meski ia sadar bahwa ia telah terkuras habis.

“Baik, Ndra. Baik. Aku akan urus surat-suratnya besok,” jawab Sella akhirnya, menyerah pada tekanan dan rayuan maut yang membuat akal sehatnya teredam.

Senyum kemenangan Andra kembali mekar, begitu cepat, begitu lega. Ia mengecup tangan Sella, tampak seolah-olah dunia telah kembali ke tempatnya. Ia tidak menyadari bahwa di sudut ruangan, Sella menatapnya, air mata mulai menggenang. Malam ini, ia telah memilih untuk mengorbankan segalanya, dan jauh di lubuk hatinya, ia merasa, sepotong demi sepotong, ia mulai menyadari bahwa ia bukan mencintai, melainkan ditipu.

“Bagus, Sayang. Aku tahu kamu akan mendukungku. Setelah ini, kamu tidak perlu bekerja lagi. Sekarang, telepon makelar rukomu sekarang juga,” perintah Andra, tanpa memberi jeda, memastikan Sella tidak punya waktu untuk berubah pikiran. Ia meraih ponsel Sella dan menyodorkannya ke tangan wanita itu, senyum palsunya bertepuk tangan atas kehancuran yang sebentar lagi akan sempurna.

Saat Sella menekan tombol panggilan, ponsel Andra berdering nyaring, notifikasi pesan masuk dari nomor asing yang terpampang jelas di layar yang ia letakkan di meja.

Andra segera meraihnya, tetapi gerakan cepatnya membuat Sella sempat menangkap sepotong isi pesan tersebut, meskipun hanya sekilas. Sebuah foto… dan di bawahnya tertulis:

“Selamat ya, Mokondo! Targetmu kali ini benar-benar mudah. Jangan sampai tertangkap lagi. Salam dari istrimu di Bogor.”

Jantung Sella seolah berhenti berdetak. Ia bukan hanya dibohongi tentang kekayaan, tetapi tentang status hubungan Andra. Andra bukan hanya mokondo, dia juga… beristri? Dan panggilan telepon ke makelar di tangan Sella, terasa semakin berat, memegang janji akan kehancuran finansial yang sebentar lagi akan terjadi.

Sella menatap Andra yang sedang sibuk membalas pesan itu dengan wajah panik, seolah-olah ada lubang hitam besar yang baru saja terbuka di hadapannya.

Kamu Membuangku?

Gerakan Andra terlalu cepat, tetapi sudah terlambat. Meskipun ponselnya kini tertutup rapi dalam genggaman, kata ‘Mokondo’ dan kalimat 'Salam dari istrimu di Bogor' telah tertanam di retina Sella, seperti stempel kehancuran yang tak terhapuskan.

Sella menurunkan ponselnya yang masih terhubung dengan saluran telepon makelar, menatap Andra dengan mata melebar yang kini diselimuti kabut pengkhianatan.

“Siapa?” tanya Sella, suaranya pelan dan tajam, jauh dari nada bucin yang selama ini Andra dengar.

Andra membalas tatapan itu dengan wajah tertegun sesaat, namun hanya sepersekian detik sebelum topeng keramahannya kembali terpasang. Ia meletakkan ponselnya, kali ini ia memilih untuk tertawa kecil, tawa yang tidak sampai ke matanya.

“Kamu ini bicara apa, Sayang? Siapa? Tidak ada apa-apa,” jawab Andra, nada bicaranya ringan, mencoba menguapkan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi restoran Italia itu.

“Jangan coba-coba membohongiku lagi, Ndra!” desak Sella, kini ia merasa jantungnya berdenyut keras menuntut kejujuran. “Aku lihat! Aku lihat pesan itu! Istri? Di Bogor? Dan… ‘Mokondo’?”

Wajah Andra mengeras. Ia melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan perdebatan kecil mereka, lalu ia membungkuk ke depan, mengurangi jarak. Matanya kini tidak lagi ramah, melainkan dingin dan mendominasi.

“Oke, kamu lihat. Sekarang dengarkan aku baik-baik, Sella,” kata Andra dengan nada merendahkan, seperti guru yang berbicara pada murid yang lambat. “Itu namanya teror. Teror dari saingan bisnis gila!”

Sella mengerutkan kening, bingung. “Saingan bisnis? Yang bilang kamu punya istri?”

“Tentu saja!” Andra menaikkan suaranya, membiarkan kemarahan palsunya meluap. Ini adalah jurus andalannya: menyerang balik. “Mereka tahu kita sedang akan mengurus kontrak miliaran, Sella! Mereka berusaha menghancurkan citraku, mencoreng nama baikku! Mereka mengirim teror ke nomor pribadiku dengan kata-kata paling menjijikkan, bahkan menggunakan identitas palsu ‘istri’ segala!”

“Tapi kenapa ada fotonya juga? Aku sempat melihat ada foto… dan kenapa mereka menyebutmu ‘Mokondo’?” Sella tidak bisa berhenti bertanya. Logika Sella memberontak, meskipun sebagian besar hatinya masih ingin percaya pada ilusi Andra.

“Foto itu… itu foto lama dari mantanku yang tidak terima aku putuskan! Dia berusaha balas dendam! Ya ampun, Sella! Kamu lebih percaya pesan anonim daripada calon suamimu sendiri yang sudah dua bulan ini hidup mati bersamamu?” Andra menarik napas panjang, memasang wajah sangat kecewa yang terasa seperti tamparan bagi Sella.

“Aku sudah mengorbankan segalanya untukmu, Sayang. Malam ini aku berjuang untuk mendapatkan investasi besar, demi vila kita, demi masa depan kita, tapi kamu malah menuduhku penipu hanya karena sebaris pesan murahan dari musuh-musuh bisnisku!” tuduh Andra, berhasil memutar balikkan fakta dan menjadikan dirinya korban dalam sekejap.

Perasaan bersalah mulai menyergap Sella. Benarkah ia sudah terlalu sensitif dan cemburu? Bukankah memang Andra sangat memesona, wajar jika ia punya musuh atau mantan yang posesif? Namun, bagian yang melihat tulisan 'Mokondo' masih berteriak kencang di benaknya.

“Lalu, kenapa kamu panik sekali tadi?” tanya Sella lagi, mencoba bertahan di benteng logika terakhirnya.

“Panik? Tentu saja panik! Kalau klienku tahu aku di teror seperti ini, mereka akan ragu dengan pribadiku! Mereka akan membatalkan dana jaminan lima ratus juta itu! Kamu tahu apa artinya, Sella? Itu artinya semua rencana kita hancur! Semua uang yang sudah kamu pinjamkan untuk beli jas, untuk biaya hotel, untuk jam tangan ini,” Andra menunjuk jam di pergelangannya dengan dramatis, “Semuanya hangus sia-sia!”

Andra memanfaatkan rasa takut terbesar Sella, ketakutan bahwa semua pengorbanannya selama ini hanyalah kesia-siaan. Jika Andra gagal, Sella benar-benar tidak punya apa-apa.

“Kamu harusnya membantuku fokus, Sayang. Bukan malah menginterogasiku seperti polisi! Sekarang lupakan pesan itu, anggap saja itu debu! Prioritas kita adalah dana jaminan! Kita harus jual ruko itu, SEKARANG,” tekan Andra, nada perintahnya kini mutlak.

Sella menelan ludah. Kepalanya sakit. Dalam situasi ini, jika ia menolak menjual ruko, ia bukan hanya kehilangan uangnya, tetapi ia juga akan kehilangan Andra, pria yang sudah ia cintai sampai di ambang kebodohan total. Kehilangan Andra terasa seperti kematian emosional baginya.

“B-baik. Aku minta maaf, Ndra. Aku cuma… cuma terkejut,” Sella menyerah, membiarkan dirinya ditarik kembali ke dalam perangkap. Ia merasa konyol telah meragukan Andra. Lagipula, jika Andra adalah penipu, tidak mungkin dia sesukses dan setampan ini, kan?

“Bagus. Begitu baru calon istriku,” puji Andra, senyum kemenangannya begitu cepat dan menular hingga membuat Sella merasa lega, seolah masalah besar baru saja teratasi. “Sekarang telepon makelarmu. Pastikan mereka memproses penjualannya paling lambat besok siang. Aku butuh uangnya besok pagi, jadi kamu harus pakai jurus wanita cantikmu itu untuk menekan mereka.”

Sella kembali meraih ponselnya. Kali ini, tanpa keraguan. Tekanan emosional yang diciptakan Andra lebih kuat daripada peringatan keras dari akal sehatnya.

Dua hari berlalu seperti mimpi buruk yang dingin. Di bawah tekanan dan arahan tegas Andra, Sella menjual ruko warisan satu-satunya itu dengan harga cepat yang jelas di bawah harga pasar, demi mendapatkan uang tunai lima ratus juta dalam waktu dua puluh empat jam.

Rasa kosong melanda Sella ketika uang itu mendarat di rekeningnya, dan dengan cepat, langsung ia transfer ke rekening Andra yang beralasan akan digunakan untuk dana jaminan kontrak miliaran.

Sella merasa ringan, bukan karena bahagia, melainkan karena ia benar-benar tidak memiliki beban finansial apa-apa lagi—tidak ada aset, tidak ada tabungan. Ia sudah mengosongkan diri seutuhnya untuk pria ini. Ia kini hanya menunggu hasil dari pengorbanan itu, kembalinya modal, bonus vila di Bali, dan pernikahan mewah.

Pagi itu, Sella menyiapkan sarapan di apartemen sewaan Andra, hatinya dipenuhi harapan. Hari ini adalah hari penting. Andra seharusnya membawa kabar baik tentang keberhasilan kontrak tersebut. Sella sudah membayangkan betapa bahagianya Andra saat mengucapkan terima kasih atas pengorbanan terakhirnya.

Ketika Andra keluar dari kamar, ia tidak mengenakan setelan jas mewah, melainkan kaus polo santai dan celana jeans. Wajahnya tampak aneh, ekspresinya tidak seperti orang yang akan merayakan kemenangan miliaran.

“Ndra! Kamu tidak ke kantor?” tanya Sella riang, menyodorkan piring berisi telur dan bacon.

Andra duduk, menyeruput kopi tanpa memandang Sella. Sikapnya dingin dan acuh tak acuh. Jauh dari pria bucin yang biasa mengecup kening Sella setiap pagi.

“Kenapa kamu memasak?” tanya Andra, alih-alih menjawab, nada suaranya terdengar jengkel.

“Tentu saja aku masak! Bukankah hari ini kita merayakan keberhasilanmu? Aku mau dengar kabar gembiranya. Bagaimana, Ndra? Dana jaminannya berhasil membuat klienmu menandatangani kontrak?” tanya Sella antusias.

Andra meletakkan cangkir kopinya dengan bunyi ‘kletak’ yang mengganggu. Ia mendongak, matanya yang selama ini penuh janji kini tampak kosong dan hampa.

“Berhasil, Sella. Berhasil,” jawabnya, tetapi suaranya datar, tanpa kebahagiaan.

Sella tersenyum lega. “Ya ampun, syukur! Aku tahu itu akan berhasil! Jadi, kapan kita beli vila di Bali, Ndra? Dan kapan kamu mengembalikan semua uang yang sudah kukeluarkan?”

Andra akhirnya menatap Sella lurus. Dan di mata pria itu, Sella tidak menemukan kekasih, tidak menemukan calon suami, hanya menemukan seorang predator yang baru saja selesai menghabisi mangsanya.

“Tidak ada vila di Bali, Sella,” kata Andra santai, meraih serbet untuk menyeka sudut bibirnya.

Jantung Sella mencelos. Senyum di wajahnya memudar perlahan. “Maksudmu?”

“Maksudku, selesai. Sudah cukup.” Andra bangkit berdiri, tangannya kini dimasukkan ke saku celana. “Lima ratus juta itu cukup untuk tiket dan deposit apartemen di luar negeri. Dan juga cukup untuk ganti ponsel, agar istriku di Bogor tidak bisa menerorku lagi.”

Kepala Sella berputar. Lima ratus juta itu… hanya untuk kabur? Dan ia akhirnya mengakui tentang istrinya?

“Kamu bilang apa? Tiket? Kamu mau kemana? Ndra, apa-apaan ini?! Ini uangku! Warisanku!” Sella berdiri, tubuhnya gemetar, mencoba meraih lengan Andra, tetapi pria itu mundur selangkah.

“Bukan uangmu lagi, Sayang. Sekarang ini uangku. Dan terima kasih untuk kerja sama yang baik, ya. Kamu benar-benar target paling bucin yang pernah aku temui.” Andra tersenyum mengejek, senyum yang Sella benci, yang membuat Sella tiba-tiba menyadari betapa jahatnya ia selama ini.

“Aku… kamu membuangku? Setelah semua yang kuberikan? Semua uangku?!” jerit Sella, air mata menggenang. Kenyataan pahit menamparnya. Ia benar-benar dibuang.

Andra menggelengkan kepala. “Kamu memberikannya, Sella. Aku tidak memaksa. Kamu bilang kamu cinta, kan? Sekarang pergilah. Apartemen ini masa sewanya habis hari ini. Aku tidak akan mengurus perpanjangan kontrak. Dan jangan coba-coba menghubungiku. Karena ponsel baruku, tidak akan menerima panggilan dari mantan korban.”

Andra berjalan menuju pintu. Ia sempat berhenti di ambang pintu, melihat sekilas ke belakang, ke arah Sella yang kini menangis tersedu-sedu, meratapi kebodohan dan kemiskinan total yang baru saja ia ciptakan.

“Oh, dan jangan cari aku. Karena sekarang aku bukan ‘Mokondo’ lagi. Aku pria kaya. Terima kasih padamu.” Andra menyeringai, lalu menghilang, meninggalkan Sella sendirian di apartemen yang hanya menyisakan masa sewa beberapa jam, tanpa uang sepeser pun, tanpa warisan, dan tanpa cinta.

Sella tersungkur ke lantai, menatap piring sarapan yang tak tersentuh. Ia kini resmi menjadi wanita yang terbuang. Air mata bercampur dengan rasa sakit yang pedih, rasa sakit akibat pengkhianatan paling telak yang ia alami. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Tidak punya rumah, tidak punya uang, tidak punya masa depan.

Dalam keputusasaan yang tak terperi, Sella berusaha bangkit, matanya sembab menatap kosong. Ia harus pergi dari sini sebelum diusir pemilik apartemen. Saat Sella mengumpulkan tenaga untuk meraih tasnya, ia mendengar suara kunci berputar di pintu masuk apartemen.

Sella menoleh panik. Siapa lagi yang datang? Andra sudah pergi.

Pintu terbuka, memperlihatkan siluet seorang pria tinggi dan tegap, mengenakan setelan kantor yang terlihat lebih mahal dan berkelas daripada semua jas Andra digabungkan. Pria itu tampak sangat rapi dan berwibawa, namun ekspresi wajahnya terlihat dingin.

“Anda… siapa?” tanya Sella gemetar, mengira ia adalah pemilik apartemen.

Pria itu menatap Sella, matanya yang tajam menelusuri Sella dari ujung rambut hingga kaki. Pria itu mengangkat alisnya sedikit, mengeluarkan selembar kertas tebal yang dicap perusahaan properti. Suaranya terdengar dalam dan profesional.

“Selamat pagi. Nama saya Edo, dan saya adalah CEO dari perusahaan yang baru saja membeli properti ini untuk dijadikan mess sementara,” ujar pria itu, bernama Edo, dengan senyum tipis yang tak mencapai mata. “Sepertinya Anda perlu segera keluar dari sini. Atau apakah Anda… yang dicari?”

“Dicari?” ulang Sella, kebingungan dan ketakutan menyelimutinya.

Edo melipat tangan, tatapannya kini berubah lebih intens, penuh analisis. “Ya. Kami sedang mencari seorang wanita bernama Sella. Ada seseorang yang meminta saya mencari Anda setelah saya mengakuisisi ruko kecil di kawasan X. Rupanya, Andra lupa menyelesaikan pembayaran atas perantara yang menjual ruko itu, dan dia meninggalkan alamat ini.”

Edo mencondongkan tubuh sedikit, memicingkan mata ke arah Sella yang kini berlumuran air mata dan trauma.

“Ruko yang baru Anda jual. Sekarang properti itu milik perusahaan saya,” lanjut Edo. “Jadi, mari kita bicara. Tentang aset Anda yang terbuang itu.”

Kenapa Kamu Meninggalkannya?

Sella masih terperangkap di lantai apartemen, basah oleh air mata, sementara di ambang pintu, Edo berdiri tegak seperti pahatan es. Pengkhianatan Andra belum selesai dicerna, kini ia sudah dihadapkan pada sosok asing yang berwibawa, yang mengklaim aset terakhirnya.

“Ruko saya… milik perusahaan Anda?” Sella mengulang, suaranya parau. Kepalanya terasa kosong. Bukankah uang itu sudah ia transfer ke Andra? Bagaimana bisa ada masalah dengan penjualan?

Edo melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dengan gerakan mantap. Apartemen itu, yang baru saja dikuasai Edo, terasa semakin kecil dan menindas bagi Sella.

“Mari kita perjelas situasinya, Nyonya Sella,” ujar Edo, nadanya tenang, tetapi setiap kata terasa seperti pernyataan yang tidak bisa dibantah. “Perusahaan properti kami membeli ruko tersebut, melalui makelar yang Anda tunjuk, dengan harga cepat yang sangat rendah. Masalahnya, Andra, atau siapapun nama yang dia gunakan saat berinteraksi dengan makelar, tidak pernah menyelesaikan pembayaran komisi penuh. Itu sebabnya mereka datang mencari Anda, di alamat yang diberikan Andra. Alamat yang sebentar lagi akan saya pakai sebagai mess pribadi.”

Sella menepis air matanya, bangkit berdiri dengan susah payah. Rasa malu yang mendalam karena keadaannya yang kacau kini harus dilihat oleh pria berkelas seperti Edo, bercampur dengan kemarahan.

“Ini bukan urusan Anda! Urusan properti sudah selesai!” Sella membentak, menggunakan nada mengalun yang justru menunjukkan betapa rapuhnya dia. “Uang sudah saya transfer ke rekening Andra, untuk keperluan investasi bisnisnya! Dan dia sudah pergi! Selesai!”

Edo mendengus, gerakan bibirnya tipis. “Investasi bisnis? Saya ragu pria yang meninggalkan jejak utang komisi sekecil itu punya urusan bisnis miliaran. Mari kita sebut sesuai namanya, Nyonya Sella. Ini bukan transaksi bisnis, ini penipuan. Dan properti yang Anda jual sangat merugikan.”

“Tutup mulutmu! Kamu tidak tahu apa-apa tentang hubungan kami!” seru Sella, dadanya naik turun menahan amarah dan histeria.

Edo justru melipat tangan di dada, posturnya tetap tenang. Ia melihat sarapan dingin di meja, melihat raut wajah Sella yang sembab dan pakaian yang acak-acakan. Otaknya berpikir cepat.

“Saya tahu lebih banyak daripada yang Anda bayangkan. Kami bergerak di bidang akuisisi aset, dan kami ahli mendeteksi adanya kebohongan atau manipulasi di balik penjualan aset secara tergesa-gesa. Ruko Anda itu dijual lima ratus juta. Tahukah Anda harga pasar minimum ruko di kawasan X adalah delapan ratus juta?” Edo bertanya tajam.

Sella terdiam. Rasa bersalah menghantamnya karena ia tahu Andra memang menekannya untuk menjual dengan cepat.

“Kamu menjualnya dengan kerugian hampir tiga ratus juta Rupiah, Nyonya. Semua ini terjadi dalam dua hari. Apakah Andra memberi tahu Anda bahwa dia baru saja membuang sisa warisan Anda untuk membiayai tiketnya kabur? Saya rasa iya, dari air mata Anda,” tambah Edo, menusuk langsung ke titik terlemah Sella.

Sella merasa harga dirinya terenggut habis. Ia tidak ingin pria ini mengasihaninya, apalagi menghakiminya.

“Pergi! Saya tidak butuh bantuan atau komentar dari Anda, Tuan Edo! Saya tahu saya bodoh! Saya tahu saya mudah dirayu! Tapi itu adalah kebodohan saya, dan saya akan menanggungnya sendiri!”

Edo mengangguk pelan, tatapannya tidak berubah, masih penuh analisis yang tajam.

“Saya tidak berminat membantu korban bucin yang histeris, Nyonya Sella. Tujuan saya bukan mengasihanimu. Tujuan saya profesional: Saya tidak suka membeli properti yang mengandung cacat hukum atau risiko gugatan di masa depan. Jika penjualan ini terbukti terjadi di bawah tekanan, maka seluruh transaksi dapat dibatalkan, dan itu merepotkan perusahaan saya.”

Sella mendongak. Matanya bertemu dengan mata Edo yang seolah bisa membaca setiap kegelisahan dan ketakutan dalam dirinya.

“Maksudmu…?”

“Maksud saya,” sela Edo, “saya perlu mengetahui seluruh kebenaran tentang bagaimana Andra menipu Anda. Setiap detail. Semua janji palsu, semua kerugian, semua penekanan yang dia lakukan, termasuk pemaksaan Anda untuk menjual ruko dengan harga terbuang.”

Edo mengeluarkan sebuah kartu nama hitam metalik yang terlihat sangat mahal, meletakkannya di atas piring sarapan Andra yang tak tersentuh.

“Jika Anda bersedia menceritakan semuanya, secara terperinci dan di hadapan notaris, bahwa penjualan aset ini didasari manipulasi finansial oleh Andra, mantan kekasih Anda, maka itu bisa menjadi bukti kuat. Dengan begitu, perusahaan saya bisa menggunakan celah hukum itu untuk memastikan aset properti kami bersih. Tidak ada pihak yang akan menggugat Anda di masa depan.”

Sella mencengkeram tas kecilnya. Dia kini tidak hanya miskin, dia juga dihadapkan pada ancaman hukum jika tidak bekerja sama.

“Lalu, apa untungnya untukku? Kenapa aku harus bekerja sama dengan orang asing yang tiba-tiba muncul dan malah mengambil asetku yang tersisa?” Sella menuntut, meskipun nada suaranya sudah jauh lebih pelan.

Edo tersenyum, senyum tipis yang pertama kali terlihat oleh Sella. Itu bukan senyum keramahan seperti Andra, melainkan senyum percaya diri dan kontrol.

“Anda salah. Saya bukan mengambil aset Anda, Nyonya Sella. Saya membeli aset Anda, meskipun dengan harga konyol. Namun, sebagai kompensasi atas waktu dan keterangan Anda, saya menawarkan dua hal,” jeda Edo, mencondongkan tubuh sedikit, memancarkan aura dominasi total.

“Pertama, saya akan memastikan Anda aman dari tuntutan apa pun terkait penjualan properti dan utang komisi yang ditinggalkan Andra. Kedua,” Edo berhenti sejenak, mengarahkan pandangannya ke luar jendela, ke arah kota metropolitan yang ramai, seolah-olah seluruh kota itu adalah miliknya, “saya akan mengganti selisih harga jual yang seharusnya. Delapan ratus juta dikurangi lima ratus juta. Itu berarti Anda mendapatkan tiga ratus juta rupiah tunai. Asalkan Anda memberi saya detail akurat dan lengkap mengenai modus penipuan Andra.”

Mata Sella terbelalak. Tiga ratus juta? Uang yang baru saja ia sadari hilang, kini ditawarkan kembali oleh pria yang bahkan belum dikenalnya selama sepuluh menit?

“K-kamu mau memberiku tiga ratus juta? Kenapa? Untuk apa?” tanyanya curiga. Bukankah semua orang ingin mengambil keuntungan darinya?

“Saya hanya memastikan investasi properti saya bersih dari masalah. Saya anggap tiga ratus juta itu sebagai biaya kejelasan, Nyonya. Dan juga, karena saya benci penipu seperti Andra yang menggunakan status palsu untuk menghancurkan wanita.” Edo menarik napas. “Jadi, mari kita hentikan tangisan dan drama. Saya akan memberikan Anda kesempatan. Anda bercerita, dan Anda mendapatkan uang yang bisa Anda gunakan untuk memulai hidup baru, jauh dari apartemen ini.”

Edo mengeluarkan ponselnya, menggesek layarnya dengan ibu jari.

“Apartemen ini harus kosong dalam waktu satu jam, sesuai perjanjian sewa lama. Sekarang, Anda punya dua pilihan. Pilihan pertama: Anda tetap di sini, menangis, dan tidak punya uang sepeser pun, lalu pemilik lama akan datang mengusir Anda dalam hitungan menit, dan Anda tidak akan pernah melihat ruko Anda atau uangnya lagi. Pilihan kedua: Anda ikut dengan saya. Saya akan membawamu ke kantor pengacara dan Anda menceritakan seluruh kebenaran.”

Sella menatap kartu nama Edo yang berkilauan. Edo tampak serius, tidak ada senyum licik seperti Andra, hanya ketegasan yang mutlak.

Dia sudah kehilangan segalanya. Warisan, cinta, dan harga diri. Dia tidak punya apa-apa lagi untuk dipertaruhkan. Andra sudah mengambil semuanya. Sekarang, setidaknya ada pria ini, CEO yang benar-benar kaya dan memiliki kekuasaan, menawarkan kompensasi untuk kebodohannya.

Sella mengangguk perlahan, suaranya tercekat. “Aku ikut. Aku akan ceritakan semuanya.”

Edo mengamati Sella dengan seksama, menghela napas, seolah puas dengan keputusan itu. Ia meraih cangkir kopi dingin di meja, mencicipinya sedikit, lalu mengerutkan kening karena rasanya yang pahit.

“Bagus. Sekarang, ambil tas Anda. Dan jangan bawa apa pun dari tempat ini. Saya akan mengurus properti yang tersisa,” kata Edo. “Tapi ada satu hal lagi yang harus kita luruskan, Sella. Jika kamu mau memulai hidup baru, kamu harus membersihkan trauma masa lalu, dan aku tidak suka drama di kantor. Begitu kita meninggalkan apartemen ini, aku tidak mau mendengar tangisan, tidak mau melihat keraguan, dan jangan pernah mengucapkan nama ‘Andra’ di hadapanku, kecuali saat di depan pengacara.”

Edo lalu tersenyum, tetapi senyum itu dingin, hanya berfungsi sebagai peringatan.

“Dan selamat datang kembali, Nyonya Sella. Di dunia nyata.”

Sella bangkit, merasakan seluruh dunianya baru saja berputar 180 derajat. Dalam satu jam, dia dihempaskan dari puncak bucin ke jurang kemiskinan, dan sekarang, diangkat oleh seorang konglomerat ke tempat yang belum dia ketahui. Edo berjalan ke pintu, membukanya dan menunggu. Sella meraih tasnya, lalu berjalan melewati Andra, melewati masa lalunya yang hancur. Saat Sella mencapai ambang pintu, Edo memandangnya sekali lagi.

“Ah, tunggu sebentar,” kata Edo, langkahnya berhenti.

Edo kembali masuk ke apartemen, mengambil jam tangan mewah yang Andra tinggalkan di atas meja kopi, jam tangan yang Sella beli dengan uangnya sendiri.

“Aku mengenali model jam ini,” ujar Edo sambil membolak-balik jam itu. “Replika yang bagus, tapi pasti bukan barang mahal yang Andra klaim. Kenapa kamu meninggalkannya?”

“Ambil saja. Aku tidak mau melihat barang-barang peninggalan penipu itu lagi,” jawab Sella, nada bicaranya kini keras, mengeras karena harga diri yang terhina.

Edo menyeringai. “Tentu. Aku juga benci penipu. Aku akan simpan jam ini sebagai barang bukti kejahatan dan manipulasi. Mungkin akan berguna saat polisi mencari Andra.”

Sella memandangnya dengan terkejut. “Polisi? Apa kamu serius akan melaporkannya?”

“Tentu saja,” jawab Edo sambil menyimpan jam itu ke saku jasnya, tatapannya kini berubah, tampak sangat fokus. “Menghancurkan bisnis adalah hal pribadi bagiku. Dan setelah kita selesaikan urusan pengacara, kamu akan mulai menceritakan segalanya padaku. Detail demi detail, agar aku bisa memahami mentalitas korban penipu. Ini bukan hanya tentang tiga ratus juta, Sella. Ini tentang apa yang harus kita lakukan pada ‘mokondo’ itu.”

Sella mengangguk. Dia mengikuti Edo keluar, melangkah ke lorong yang cerah, meninggalkan bau pengkhianatan di apartemen lama. Begitu mereka tiba di luar, Sella melihat sebuah mobil sedan hitam berkilau menunggu di tepi jalan, jauh lebih mewah daripada mobil pinjaman yang pernah digunakan Andra untuk pamer. Sopir berseragam sudah membukakan pintu belakang.

Sella masuk, duduk di samping Edo. Baru kali ini ia merasakan kemewahan yang sebenarnya, bukan imitasi murahan Andra. Dalam mobil, ia merasa terisolasi, sekaligus dilindungi oleh kekuasaan Edo yang nyata. Ia menatap Edo yang sudah fokus pada tabletnya.

“Sebelum kita tiba di kantor, ada satu hal lagi yang harus Anda lakukan, Sella,” kata Edo tanpa mengalihkan pandangan dari layar.

“Apa?” tanya Sella.

Edo akhirnya mengangkat wajah, menatap Sella dengan sorot mata yang penuh janji.

“Lupakan bahwa kamu pernah menjadi wanita yang bodoh dan mudah dirayu. Mulai sekarang, kamu berada di bawah pengawasanku. Dan saya tidak menerima kegagalan.”

“Maksudmu?”

“Saya akan mengembalikan kerugian finansial Anda. Tapi kamu harus bersiap, Sella,” Edo menarik sudut bibirnya sedikit. “Karena ‘mokondo’ itu tidak hanya mencuri uangmu. Dia juga merusak mentalmu. Aku akan memberimu pekerjaan di perusahaanku, di divisi yang berhubungan langsung denganku. Dengan satu syarat.”

“Syarat apa?” Sella menelan ludah, firasatnya mengatakan bahwa tawaran ini tidak semudah mendapatkan gaji biasa.

Edo mematikan tabletnya, seluruh perhatiannya kini terpusat pada Sella.

“Aku perlu memastikan kamu tidak jatuh ke lubang yang sama. Aku perlu wanita cerdas di sisiku, bukan korban yang mudah menangis. Jadi, selama beberapa bulan ke depan, aku ingin kamu bertindak sebagai tunanganku. Untuk alasan bisnis dan juga untuk melindungimu dari jangkauan Andra. Ini akan membuktikan pada dunia, bahwa kamu sudah ‘diambil’ dan tidak tersedia lagi.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!