NovelToon NovelToon

Miranda "Cinta Perempuan Gila"

Chapter 1

Mati..

Mati...

Mati...

Mati...

Mati...

Mati...

Berulang kali dia mengatakan itu. Hanya itu yang selalu ia katakan.

Seorang perempuan cantik berambut pirang terlihat sedang mencoret coret sebuah gambar. Gambar seorang laki laki yang entah siapa . Terlihat sorot matanya penuh kebencian. Namun ada bulir bening yang keluar di pelupuk matanya yang berwarna coklat, menyiratkan ada kesedihan yang mendalam, benci dan sedih bercampur jadi satu .

Apa yang salah dengan diriku, hingga kesedihan selalu datang padaku.

Seolah kemalangan adalah sahabat terbaikku.

Aku pernah membaca sebuah tulisan yang isinya "Menderita lah sampai sembuh. Tak apa terluka nikmati semua luka yang ada di hatimu saat ini. Kamu tak perlu berlari demi menenangkan diri sesaat. Tak perlu membunuh dirimu sendiri, tak perlu memukuli dirimu sendiri, tak perlu melabeli betapa bodohnya dirimu saat ini.

Jika kamu butuh waktu satu bulan berteman dengan kesedihan, tak apa, lakukan. Kamu mau apa? Menangis? Menangislah sepuasmu. Bahkan jika kamu butuh waktu bertahun tahun pun untuk sebuah kesedihan, tak apa."

Lantas bagaimana jika tak ada lagi kebahagiaan untukku.. Haruskah aku bertahan di dunia yang kejam ini.

Sepuluh tahun aku disini, di rumah sakit jiwa, mereka bilang aku gila.

Tidak ... Aku tidak gila. Aku hanya sedang berusaha bersembunyi dari orang orang waras, yang selalu menyakiti ku.

"Mira!!"

Panggil seseorang yang memanggil nama ku. Seketika aku menoleh menatap pria yang kini tengah berdiri di sampingku. Dia adalah Jodi, ah maksudku dokter Jodi. Dokter yang selama ini merawat ku.

Aku heran padanya, di usianya yang sudah mau menginjak kepala empat tapi dia belum juga menikah, iya dia masih singgel. Kalian penasaran kenapa aku bisa tahu. Ya karena aku dekat dengannya. Hanya dia satu satunya orang yang dekat dengan ku disini. Yang tidak menganggap ku gila. Itu menurutku ya... Heheee

Setelah sebelumnya ada suster Linda yang begitu baik padaku. Namun sayang dua tahun yang lalu dia sudah pensiun dari sini. Dia tidak lagi menjadi perawat di rumah sakit jiwa ini.

"Apa yang sedang kamu gambar? Wajah siapa itu? Kenapa di coret? Bagus loh itu, rupanya selain menulis kamu juga pandai melukis ya?" Ucap Dokter Jodi yang kini malah duduk di sampingku. Dan mengambil lukisanku.

Sungguh aroma parfum nya itu begitu wangi. Tanpa sadar aku memejamkan mataku menghirup wangi aroma tubuhnya yang begitu memabukkan, eh salah maksudku menenangkan.

"Mira .." panggil nya lagi.

Aku tersadar, buru buru aku mengambil lagi lukisan ku yang sedang dilihat oleh dokter Jodi.

"Aku benci wajah ini. Makanya aku mencoretnya!" Jawabku, kembali aku mencoret coret lukisanku sendiri sampai wajah dalam lukisanku itu tidak terlihat.

"Kalau kamu membenci wajah itu, kenapa kamu melukis nya?"

"CK. Dokter banyak tanya deh." Cebik ku kesal. Jujur saja aku tidak suka dokter Jodi kalau dia banyak tanya begini. Cerewet!

Aku menatap lukisan ku itu, wajah itu adalah wajah orang yang paling aku benci sekaligus aku cintai. Dia Akhsa Gala Baldwin. Suamiku. Mungkin lebih tepatnya mantan suamiku sih. Karena sehari setelah menikah dengannya aku langsung bercerai darinya. Hebat gak tuh.

Aku ditipu mentah mentah olehnya. Aku pikir dia laki laki yang baik. Tapi ternyata dia laki laki paling brengsek yang pernah aku kenal. Dia penipu.

Dan aku Miranda Graciella Yumna dengan bodohnya jatuh cinta padanya. Aku tidak ingin bertemu dengan nya. Namun setiap hari aku malah selalu berharap dia datang mencari ku. Meminta maaf padaku. Aneh ya!

Dan pada kenyataannya dia sama sekali tidak pernah mencari ku.

Apa hanya aku yang menderita disini. Sementara orang orang yang telah menyakiti ku bisa menjalani hidupnya dengan baik baik saja. Bahkan mereka bahagia.

Apakah itu adil untukku. Rasanya tidak.

Aku menatap dokter Jodi, ia selalu tersenyum manis padaku, aku jadi semakin penasaran kenapa laki laki setampan dokter Jodi belum menikah. Tentunya diluar sana pasti banyak wanita yang suka padanya kan?

Apa karena dia terlalu sibuk mengurus pasien gila seperti ku, sampai sampai dia tidak ada waktu untuk berkencan? Kasihan..

"Mira, Apa kamu sudah memikirkan perkataan ku waktu itu? Kamu sudah boleh keluar dari sini. Hasil pemeriksaan kamu sudah dinyatakan sembuh Mir." Tanya nya padaku tiba tiba.

Kembali aku menatap dokter Jodi dengan mata yang berkaca kaca. "Kalau aku keluar dari sini, kemana aku harus pergi dok? Aku tidak punya tempat tinggal, keluarga pun tak ada. Mereka sudah melupakanku. Nyatanya sampai sekarang dokter tahu sendiri tidak ada seorang pun yang datang mencari ku. Lalu kemana aku harus pergi dok.?" Ucapku dengan suara bergetar. Tanpa sadar aku menitikkan air mata ku.

Dan tanpa diduga, dokter Jodi mengusap air mataku. Perasaan apa ini? Heiiii....Kenapa hatiku tiba tiba berdegup dengan kencang. Aku bisa melihat dengan jelas wajah tampannya dari dekat. Wajah yang simetris dengan fitur maskulin yang tegas, rahang yang kuat, hidung yang proporsional, dan mata yang tajam. Sungguh sempurna mahkluk Tuhan yang satu ini. Ekspresi nya penuh kepercayaan diri dan kecerdasan menunjukan daya tarik dan pesona yang tak terbantahkan. Itulah dokter Jodi. Dokter Jodi Alvin Narendra. SpKJ.

Apa aku menyukai dokter Jodi?

Sejenak pandangan kami bertatapan, buru buru aku memalingkan wajahku, jantungku kini bahkan berpacu begitu cepatnya. Deg.. deg.. deg ser ..

"Maaf. Sa-saya tidak bermaksud .." Ujarnya sambil memegangi belakang leher nya, sepertinya dokter Jodi sedang salah tingkah. Apa ini cuma perasaanku saja. Aku juga melihat wajah dokter Jodi yang memerah.

"Ah, ti-tidak dok. dokter tidak perlu meminta maaf." Cicitku pelan.

Dan dengan suara yang bergetar, aku mencoba menenangkan detak jantungku yang kacau. "Saya... saya hanya terkejut, itu saja, Dok."

Dokter Jodi menatapku dengan pandangan yang lembut, berbeda dari tadi. "Saya mengerti. Situasi seperti ini memang bisa membuat emosi kita tidak stabil," katanya dengan suara yang menenangkan.

Aku mengangguk, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara lagi. "Terima kasih, Dok. Untuk semuanya. Dokter selalu tahu cara membuat pasiennya merasa lebih baik."

Sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya. "Itu tugas saya," jawabnya singkat. "Dan, jika ada yang mengganggu pikiran kamu, saya di sini untuk mendengarkan."

"Sekali lagi, terimakasih Dok."

Dokter Jodi mendekat, matanya tidak lagi menunjukkan kecerdasan dan ketegasan seorang dokter, tapi kelembutan dan kehangatan. "Kamu tahu," katanya dengan suara yang rendah, "kadang-kadang, kita menemukan kenyamanan di tempat yang paling tidak kita duga."

Aku menatapnya, terpaku. Ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku ingin mengenalnya lebih dalam, lebih dari sekadar dokter dan pasien.

"Dan terkadang," lanjutnya, "orang yang kita bantu sebagai dokter, membantu kita kembali tanpa mereka sadari." Dia semakin dekat, dan aku kembali bisa mencium aroma parfumnya yang lembut.

Jantungku berdegup kencang, tapi kali ini bukan karena kecemasan, melainkan karena debaran yang lain. "Dok," kataku dengan suara yang hampir tidak terdengar, "saya..."

Dia tersenyum, memotong kata-kataku. "Tidak perlu kata apa-apa. Kadang-kadang, keheningan lebih berbicara daripada seribu kata."

Jujur aku tidak mengerti dengan apa yang dikatakan nya. Aku menatapnya, mencari arti di balik kata-katanya.

Nampak dokter Jodi mengambil nafas dalam, seolah mempersiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang penting. "Kadang-kadang, kita merasakan sesuatu yang begitu kuat sehingga kata-kata tidak cukup untuk mengungkapkannya," katanya dengan lembut. "Perasaan itu bisa lebih jujur daripada apa pun yang bisa kita ucapkan."

Aku mengangguk, merenungkan kata-katanya. Jujur saja sebenarnya aku masih tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan. Apa maksudnya?

Dia semakin dekat lagi, hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya. "Apa yang kamu rasakan sekarang, itulah yang penting," lanjutnya, matanya tidak pernah lepas dari pandanganku. Aku jadi malu loh ini. Beneran.

"A-apa yang aku rasakan?" Aku terus bertanya tanya dalam hatiku. Jujur aku begitu gugup berada begitu dekat dengan Dokter Jodi..

Rasanya jantung ku mau meledak. Duaaaaaar..

Siapapun tolong aku! Aku tidak ingin berada di situasi seperti ini..

...----------------...

Chapter 2

“Dokter!” panggil seorang perawat datang menghampiri kami. Dan seketika dokter Jodi menoleh.

“Iya kenapa sus?” tanyanya, ia langsung berdiri dari duduknya, menatap pada suster yang memanggilnya barusan.

“Ada pasien mengamuk dok, di kamar 033” Jawab suster itu sambil menyerahkan beberapa lembar kertas pada dokter Jodi.

Terlihat dokter Jodi menerimanya dan langsung memeriksanya seraya bergegas pergi begitu saja, dan di ikuti oleh suster di belakangnya.

Huft!!

“Akhirnya.. dokter Jodi pergi juga.” ucapku merasa lega. Jujur saja dari tadi aku berusaha menyembunyikan kegugupanku pada dokter Jodi. Kenapa juga sekarang setiap kali aku bersamanya hatiku seakan berdetak lebih cepat gak karuan. Apa aku harus keluar dari sini? Dan memulai hidup baru? Gumamku pelan.

“Hmm... Baiklah! Mungkin ini saatnya untuku memulai kembali hidupku setelah sepuluh tahun lamanya aku disini. Aku kan udah gak gila..”

Aku bergegas masuk kedalam, berjalan melewati lorong rumah sakit. Bagi sebagian orang mungkin rumah sakit jiwa itu tempat yang menyeramkan, yang di penuhi oleh orang orang gila. Namun bagiku disini aku bisa menjadi apa yang aku inginkan, tanpa perlu takut akan penilaian orang orang.

Langkahku terasa ringan namun pasti, menembus kesunyian yang hanya sesekali dipecah oleh suara langkah kaki perawat dan bisikan pasien yang berbicara dengan teman khayalan mereka. Aku tahu, di luar sana, dunia telah berubah. Teknologi telah maju, masyarakat telah berubah, dan aku... aku telah tertinggal, tertinggal sangat jauh.

Namun, ada sesuatu yang menghangatkan hatiku. Di sini, di antara dinding-dinding yang telah menjadi saksi bisu, aku telah menemukan kekuatan untuk berdiri sendiri. Aku telah belajar untuk mencintai diriku sendiri, dengan segala kekurangan dan kelebihanku.

“Oke, aku akan keluar dari sini.. maaf kan aku ya dok. Aku tidak berpamitan dulu dengan mu. Jujur aku takut, takut perasaan ini terus tumbuh, karena aku menyadari satu hal, aku mencintaimu dokter Jodi.” Gumamku pelan.

Perlahan, aku mulai membereskan barang barangku, memasukan nya kedalam ransel. Sudah sejak satu bulan yang lalu aku sudah diperbolehkan untuk pulang, karena kondisiku yang memang sudah sangat baik. Namun aku selalu menolak dengan alasan aku tidak punya keluarga dan tempat tinggal. Namun hari ini aku memutuskan untuk pergi.. keluar dari sini. Aku tidak ingin bertemu lagi dengan dokter Jodi. Aku tidak ingin merasakan jatuh cinta lagi. Jujur, aku benci perasaan ini. Kenapa aku harus jatuh cinta?

Dengan setiap lipatan pakaian yang kumasukkan ke dalam ransel, kenangan tentang dokter Jodi ikut terlipat. Setiap senyum, setiap kata semangat, dan setiap tatapan yang pernah membuat hatiku berdebar, kini harus kutinggalkan. Aku tahu, perasaan ini tidak boleh tumbuh lebih dalam. Aku tidak boleh terikat pada seseorang yang hanya seharusnya menjadi penolong dalam kesembuhanku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan hati. Aku harus melangkah maju, meninggalkan masa lalu dan segala keterikatanku di sini. Aku harus menemukan kehidupan baru, sebuah tempat di mana aku bisa memulai segalanya dari nol.

Saat aku melangkah keluar dari kamar itu, aku tidak menoleh lagi. Aku tidak ingin melihat kembali ruangan yang telah menjadi rumahku selama sepuluh tahun. Aku tidak ingin melihat dokter Jodi, yang mungkin sedang sibuk menolong pasien lain, yang mungkin tidak pernah menyadari betapa dalamnya perasaanku padanya.

Saat aku melangkah keluar dari pintu rumah sakit jiwa itu, sungguh rasanya.... Luar biasa!!

Aku menatap ke sekeliling, banyak orang berlalu lalang, mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

"Rumahku... Mmm.. dimana ya? Ko aku jadi bingung!" ucapku sambil celingukan ke kanan dan ke kiri. Tanpa sadar aku terus melangkah pergi tanpa tau arah tujuan, sepanjang jalan orang-orang menatapku heran. "Kenapa orang-orang menatapku seperti itu? Apa aku aneh? Kenapa mereka menertawakan ku?" gumamku heran.

......................

Sementara itu, di rumah sakit jiwa, suasana mendadak ricuh. Beberapa perawat berlari kecil di sepanjang koridor, wajah mereka pucat dan panik. Seseorang baru saja menyadari, salah satu pasien hilang dari kamarnya.

“Dok! Dokter Jodi! Gawat, Dok!” seru seorang perawat sambil berlari tergesa menyusuri koridor. Nafasnya tersengal saat tiba di depan dokter Jodi yang baru saja menutup catatan medis pasiennya.

Dokter Jodi menatap heran, alisnya terangkat. “Gawat kenapa, Sus?” tanyanya dengan nada tenang, meski matanya mulai tajam.

Perawat itu menelan ludah, wajahnya pucat. “Itu, Dok… pasien kesayangan Dokter Jodi… kabur lagi!”

“Hah? Maksud kamu… Miranda?” suara Dokter Jodi meninggi, matanya langsung menatap tajam ke arah perawat.

Perawat itu mengangguk cepat, wajahnya tegang. “Iya, Dok… Miranda. Siapa lagi yang bisa bikin kita segaduh ini, kalau bukan dia?”

Dokter Jodi menghela napas panjang. Ini sudah kali ketiga Miranda kabur dari rumah sakit. Ia memijat pelipisnya, menahan rasa lelah yang mulai menumpuk.

Perawat di depannya ikut geleng-geleng kepala. “Saya heran, Dok. Pasien satu itu aneh banget. Kelihatannya waras, ngomongnya juga nyambung, tapi tiba-tiba… bisa berubah. Kalau dibilang gila, rasanya juga nggak pas. Dia terlalu sadar untuk disebut orang gila.”

“Makanya dia dirawat di sini, Sus,” balas Dokter Jodi sambil menyilangkan tangan di dada, nada suaranya setengah pasrah.

Perawat itu terkekeh pelan. “Iya juga ya, Dok. Tapi tetap aja aneh. Dia udah di sini sepuluh tahun, tapi rasanya… nggak pernah benar-benar sembuh.”

“Terus sekarang gimana, Dok?” tanya sang perawat, suaranya cemas tapi bingung.

Dokter Jodi menghela napas, lalu menjawab datar, “Ya dicari, Sus. Masa mau nunggu dia balik sendiri?

“Oh iya… siap, Dok! Laksanakan!” ucap sang perawat, berusaha menutupi kepanikannya dengan nada bercanda. Ia segera berbalik, melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit yang panjang dan remang.

Suara langkah kakinya bergema di antara dinding dingin berwarna pucat. Lampu neon di langit-langit berkelap-kelip, sesekali memantulkan bayangan yang tampak bergerak sendiri.

Dokter Jodi menatap punggung perawat itu hingga menghilang di tikungan, lalu menatap sekilas ke arah papan nama di pintu kamar pasien. “Miranda. Ruang 17B.”

Ia bergumam pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Kamu kabur lagi, Mira… tapi sampai kapan kamu bisa bersembunyi?”

Senyum samar muncul di sudut bibirnya, entah antara kesal atau penasaran. Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan koridor yang kini terasa lebih sunyi dari sebelumnya.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Kadang, yang dianggap gila hanyalah mereka yang terlalu lama berjuang untuk tetap waras di dunia yang tak pernah memahaminya.”

Chapter 3

Kruyuk...

Suara lapar itu terdengar begitu nyaring dari perutku, sampai membuatku ingin pura-pura tidak dengar. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berjalan. Kaki terasa berat, perut kosong, dan kepala mulai berkunang.

Sambil menekan perut yang keroncongan, aku menatap jalan yang sepi.

“Duh, begini amat nasib,” gumamku pelan. “Ayo, Mir… pikir! Pasti ada cara buat dapet makanan?”

Angin sore berembus, membawa aroma kopi dan gorengan dari kejauhan, menyiksa. Tapi yang lebih menyiksa adalah kenyataan, aku tidak punya uang..

Sementara itu, dari balkon rumah besar di seberang jalan, seorang pria berdiri sambil menatap ke arahku.

Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, entah karena iba… atau karena sesuatu yang lain.

“Dasar orang aneh.”

“Tuan, ini kopinya!” suara seorang asisten rumah tangga memecah lamunannya, sambil meletakkan secangkir kopi di meja.

“Oh, iya. Terima kasih, Bi.”

“Sama-sama, Tuan. Tapi… Tuan lihat apa, sih? Dari tadi senyum-senyum sendiri.”

Pria itu menoleh sekilas ke bawah, matanya kembali tertuju gadis itu.

“Enggak, cuma… ada cewek aneh di bawah sana.”

Bi Jumi, asisten rumah tangga itu ikut melongok ke bawah, mengikuti arah pandang sang tuan.

“Oh... itu toh yang Tuan lihat dari tadi,” ujarnya, menatap lekat sosok gadis di tepi jalan.

“Wong gendeng itu, Tuan. Orang gila. Lihat aja penampilannya, kumel, rambutnya acak-acakan.”

Ia berdecak pelan sambil menegakkan badan.

“Mau saya usir, Tuan? Soalnya dari pagi dia di situ terus, nggak gerak-gerak. Kayak lagi nunggu sesuatu.”

Sang tuan hanya tersenyum samar, matanya tak lepas dari sosok Miranda yang berdiri di bawah terik matahari, memegangi perutnya yang kelaparan. Ada sesuatu di wajah gadis itu. Satu kata. Cantik.

“Nggak usah, Bi,” ucapnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. “Kasih aja makanan ke dia. Kasihan, kelihatannya belum makan dari pagi.”

Bi Jumi menatap tuannya, setengah tak percaya.

“Beneran mau dikasih makan, Tuan? orang gila loh itu?”

Pria itu menghela napas, pandangannya tetap tertuju ke bawah.

“Memang kenapa kalau dia gila bi, kasih makan aja. Habis itu, tolong lapor polisi. Siapa tahu ada keluarga yang lagi nyari. Dunia ini terlalu kejam buat orang lapar sendirian.”

“Baiklah kalau begitu, Tuan. Saya permisi,” ujar Bi Jumi sambil menunduk sopan. Ia lalu berbalik, menuruni tangga dengan langkah tergesa. Suara sendalnya beradu dengan lantai marmer, memantul di sepanjang koridor rumah besar itu.

Di balkon, sang tuan masih berdiri diam, jemarinya mengetuk perlahan pagar besi. Tatapannya mengikuti Bi Jumi yang kini melangkah keluar membawa sebungkus roti dan sebotol air mineral.

Dari bawah, Miranda menatap curiga saat wanita paruh baya itu mendekat. Matanya menyipit, tubuhnya sedikit mundur.

“Hei, kamu… makan dulu, ya. Ini buat kamu,” ujar Bi Jumi, suaranya lembut tapi hati-hati, seolah bicara pada anak kecil yang takut.

Miranda hanya memandang, ragu. Tangannya gemetar, antara ingin mengambil atau tetap menjaga jarak.

“Saya nggak minta dikasihani,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

Dari atas balkon, sang tuan menatap dengan ekspresi sulit terbaca. Ia tidak tahu mengapa gadis itu menarik perhatiannya begitu dalam, tapi ada sesuatu di sorot mata Miranda yang terasa... tidak asing.

“Eh… ini, ambil aja, ya.”

Bi Jumi menyodorkan sebungkus roti dan sebotol air mineral, suaranya bergetar lembut tapi tegas. “Ayo, nggak apa-apa. Makan dulu, nanti pingsan kamu.”

Namun Miranda hanya menatapnya dengan tatapan curiga. Tubuhnya menegang, matanya bergerak cepat antara roti dan wajah Bi Jumi.

“Enggak,” ujarnya singkat sambil menggeleng keras. “Aku nggak mau ih. Kamu pasti mau racunin aku, kan?”

Bi Jumi terperanjat, hampir menjatuhkan roti yang dipegangnya.

“Hah? Racunin kamu? Astaga, saya cuma mau nolong!” katanya panik.

Tapi Miranda mundur selangkah, wajahnya memucat, tangan terangkat seolah siap melindungi diri.

“Jangan mendekat! Aku tahu permainan kamu… kamu mau dasar wanita jahat!"

Dari atas balkon, sang tuan memperhatikan situasi itu dengan alis berkerut. Gadis itu jelas ketakutan, tapi di balik tatapannya yang liar, ada sesuatu yang lain, seperti luka lama yang belum sembuh.

Ia menaruh cangkir kopinya di meja, lalu berbalik.

“Bi, udah, biarin dulu. Saya turun.”

“Lho, Tuan? Mau ke mana?” seru Bi Jumi, setengah panik. Tapi sang tuan sudah melangkah pergi, menuruni tangga spiral rumahnya tanpa menjawab.

Langkah sepatunya terdengar mantap menuruni anak tangga, bergema di antara dinding marmer. Sesampainya di depan rumah, ia membuka pagar pelan, menatap Miranda yang kini berdiri kaku di tepi jalan.

Angin sore berembus, membawa aroma tanah dan debu.

Miranda menatapnya waspada, seperti seekor kucing liar yang siap lari kapan saja.

“Hei, kamu,” katanya lembut, berhenti beberapa langkah darinya. “Jangan takut, saya nggak akan nyakitin kamu. Nama kamu siapa?”

Miranda menggigit bibirnya, diam. Matanya bergetar menatap roti di tangan Bi Jumi, lalu kembali ke wajah pria itu.

“Mira… Miranda.” suaranya serak, nyaris seperti bisikan yang pecah.

Pria itu tersenyum tipis, menatap gadis di depannya dengan pandangan yang sulit ditebak.

“Nama yang bagus,” ujarnya pelan. “Miranda... cocok sama matamu. Tenang, tapi kelihatan nyimpen banyak cerita.”

Miranda hanya menunduk. Kakinya bergeser gelisah, seperti ingin pergi tapi tubuhnya terlalu lelah untuk benar-benar melangkah.

“Kamu tinggal di mana?” tanya pria itu hati-hati.

Miranda menggeleng pelan. “Nggak tahu. Aku… lupa.”

Jawaban itu membuatnya terdiam sejenak. Ada jeda hening yang terasa panjang, diisi hanya oleh suara angin dan detak waktu yang entah kenapa terasa berat.

“Lupa?” ulangnya perlahan, seolah memastikan ia tak salah dengar.

Miranda menatapnya sekilas, lalu memalingkan wajah. “Aku cuma ingat namaku.- Sisanya… gelap.”

Bi Jumi menatap sang tuan dengan raut khawatir. “Tuan, mungkin lebih baik kita panggil polisi aja, siapa tahu—”

“Nggak, Bi, nanti aja.” potongnya cepat, tapi lembut. “Biar dia makan dulu. Setelah itu baru kita cari tahu siapa dia.”

Ia lalu menatap Miranda lagi, kali ini dengan nada yang lebih hangat.

“Masuk dulu, ya. Kamu bisa makan di dalam. Nggak usah takut, cuma saya sama Bi Jumi di rumah ini.”

Miranda menatapnya lama, ragu yang kental tergambar di matanya. Tapi perutnya kembali berbunyi, keras, menyedihkan. Ia menunduk, lalu mengangguk malu.

Sang tuan tersenyum, memberi isyarat pada Bi Jumi untuk membuka gerbang.

“Ayo masuk, Miranda!”

Dan untuk pertama kalinya, Miranda melangkah masuk melewati pagar rumah itu.

Lama pria itu memandangi Miranda yang tampak lahap memakan roti.

Setiap suapan seperti pertarungan antara rasa lapar dan gengsi. Sesekali ia berhenti, menatap roti di tangannya, lalu kembali melahapnya dengan cepat seolah takut makanan itu akan menghilang.

Sang tuan bersandar di kursinya, matanya tak lepas dari wajah gadis itu. Di balik wajah kusut dan rambut acak-acakan, ada sesuatu yang lembut, seperti bayangan masa lalu yang samar-samar ia kenal.

“Pelan-pelan aja, nanti keselek,” ucapnya lembut, mencoba mencairkan suasana.

Miranda berhenti sejenak, menatapnya sekilas. Ada keraguan di matanya, tapi juga rasa malu yang samar.

“Maaf...,” katanya pelan.

“Nggak apa-apa,” jawab pria itu singkat, masih dengan senyum tipis di sudut bibirnya.

Sementara itu, Bi Jumi datang menghampiri dengan langkah pelan. Wajahnya tampak canggung, seperti menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya membungkuk sedikit mendekati sang tuan.

“Tuan...” bisik Bi Jumi lirih, hampir tak terdengar di antara suara sendok dan napas pelan Miranda.

Sang tuan menoleh perlahan, menatapnya dengan alis terangkat.

“Kenapa, Bi?”

Bi Jumi menelan ludah, pandangannya sekilas mengarah pada Miranda yang masih sibuk menghabiskan sisa roti, lalu kembali menunduk dekat ke telinga tuannya.

“Saya... saya sudah menghubungi polisi, Tuan.”

Wajah pria itu berubah sedikit tegang. “Polisi? Lalu bagaimana?”

“Saya juga sempat nelpon rumah sakit jiwa di pusat,” lanjut Bi Jumi dengan suara nyaris bergetar. “Dan mereka bilang... ada seorang pasien perempuan yang kabur tiga hari lalu. Namanya... Miranda.”

Seketika napas sang tuan tertahan. Tatapannya beralih cepat ke arah gadis yang kini tengah meneguk air dengan polosnya.

“Mereka yakin itu dia, Tuan. Katanya sebentar lagi petugas dari rumah sakit bakal ke sini buat jemput.”

Keheningan turun perlahan seperti kabut.

Pria itu menatap Miranda lama, sangat lama, dengan mata yang kini tak lagi sekadar iba, tapi penuh tanda tanya.

“Pasien rumah sakit jiwa…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Tak lama kemudian, suara kendaraan berhenti di depan rumah besar itu. Dari balik jendela, tampak dua petugas berseragam putih turun bersama seorang wanita berjas krem yang membawa map dan menatap rumah itu penuh kehati-hatian.

Bel rumah berbunyi.

Ting... tong...

Bi Jumi segera berjalan ke pintu, sementara sang tuan masih duduk diam, memandangi Miranda yang kini memainkan gelas kosong di tangannya.

“Selamat sore, kami dari Rumah Sakit Jiwa Harapan Insani,” ujar salah satu petugas sopan. “Kami dapat laporan, ada seorang pasien kami bernama Miranda di sini.”

Bi Jumi menatap tuannya sejenak, lalu mengangguk. “Iya, betul, Pak. Dia di dalam.”

Tanpa banyak kata, para petugas rumah sakit dengan hati-hati menggandeng Miranda. Gadis itu tidak melawan, tidak juga menolak, hanya menurut, seperti anak kecil yang tahu ke mana harus pulang.

Langkahnya pelan, matanya menatap lantai seolah sedang berpikir tentang sesuatu yang jauh.

Sebelum benar-benar melewati ambang pintu, ia menoleh.

Di sana, pria itu masih berdiri di ruang tamu, memandangi kepergiannya dalam diam.

Dan saat pandangan mereka bertemu, Miranda tersenyum, senyum tipis yang singkat, tapi cukup untuk meninggalkan kesan aneh di dada pria itu.

Ada ketenangan di sana, tapi juga sesuatu yang sulit dijelaskan…

Lalu pintu tertutup pelan.

“Kasihan gadis itu ya tuan, cantik cantik gila.”

Apa benar dia gila?

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

“Ada luka yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata karena ia bukan di kepala, tapi di jiwa yang lelah bertahan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!