Langit sore itu berwarna oranye keemasan, menyinari bangunan megah Universitas Harapan Bangsa. Di antara keramaian mahasiswa yang baru saja menyelesaikan kelas, seorang pemuda sederhana dengan ransel lusuh di punggungnya berjalan tergesa. Stefanus namanya. Wajahnya tegas, sorot matanya jernih meski pakaian yang ia kenakan jauh dari kesan mewah seperti kebanyakan mahasiswa di kampus itu.
Stefanus bukan dari keluarga kaya. Sejak orang tuanya meninggal beberapa tahun lalu, ia tinggal bersama pamannya, seorang pria sederhana yang berprofesi sebagai sopir angkutan kota. Meski hidup pas-pasan, pamannya selalu mendukung Stefanus menuntut ilmu. Berkat kecerdasannya, Stefanus berhasil mendapatkan beasiswa penuh di universitas ternama itu sesuatu yang menjadi kebanggaan besar bagi keluarganya, terutama sang paman.
Hari itu, Stefanus baru saja keluar dari ruang kuliah ekonomi saat matanya menangkap pemandangan yang membuat langkahnya terhenti sejenak. Di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga, seorang gadis duduk membaca buku. Rambut panjang hitamnya tertiup angin sore, wajahnya begitu tenang tapi ada kesedihan samar di balik tatapannya.
Itu adalah Stefany.
Stefanus pernah mendengar namanya dari teman-teman sekelas. Dia dikenal sebagai mahasiswi cantik, pintar, tapi juga misterius. Tidak banyak yang berani mendekatinya, mungkin karena semua orang tahu bahwa Stefany adalah putri dari Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang disegani atau lebih tepatnya, ditakuti.
Tanpa sengaja, sebuah bola basket yang dipantulkan mahasiswa lain melesat ke arah Stefany. Refleks, Stefanus berlari cepat dan menahan bola itu sebelum mengenai gadis tersebut.
“Maaf, bola kami nyasar!” teriak seorang mahasiswa dari kejauhan.
Stefanus hanya melambaikan tangan, lalu menoleh ke arah Stefany.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya sambil tersenyum.
Stefany menggeleng pelan, sedikit terkejut tapi matanya menatap pemuda di hadapannya dengan rasa ingin tahu. Ada sesuatu pada Stefanus yang berbeda. Bukan soal penampilannya yang sederhana, tapi cara ia memandang tulus dan hangat.
“Terima kasih,” ucap Stefany pelan, hampir berbisik.
Stefanus mengangguk. “Sama-sama. Eh… kamu Stefany, kan? Kita satu kelas ekonomi.”
Gadis itu mengangguk, lalu kembali menutup bukunya. Tapi Stefanus tak bisa langsung pergi. Entah kenapa, ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengenalnya lebih jauh.
“Aku Stefanus,” katanya, memperkenalkan diri. “Kita belum pernah ngobrol sebelumnya.”
Stefany menatap pemuda itu lebih lama kali ini. Ada rasa penasaran yang muncul.
“Ya, aku tahu. Kamu yang dapat beasiswa itu, kan?”
Stefanus sedikit terkejut tapi tersenyum. “Sepertinya semua orang tahu soal itu.”
“Wajar saja,” jawab Stefany pelan. “Jarang ada mahasiswa secerdas kamu di kampus ini.”
Percakapan sederhana itu membuat sore terasa berbeda bagi Stefanus. Hatinya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu pada Stefany—sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak, ingin mengenalnya lebih dalam.
Namun, di kejauhan, seorang pria berjas hitam berdiri memperhatikan mereka. Ia adalah anak buah Pak Arman, yang ditugaskan untuk selalu mengawasi Stefany. Tatapannya tajam, seolah menilai siapa saja yang berani terlalu dekat dengan putri tunggal bosnya.
Stefanus tidak menyadari kehadiran pria itu. Bagi Stefanus, dunia saat ini hanya berisi dirinya dan Stefany. Tapi bagi Stefany, bayang-bayang kekuasaan ayahnya selalu hadir, bahkan di kampus yang seharusnya menjadi tempat paling aman.
“Aku harus pergi,” kata Stefany tiba-tiba, bangkit sambil merapikan bukunya.
“Boleh… aku jalan bareng sampai gerbang?” Stefanus memberanikan diri bertanya.
Stefany menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Boleh.”
Mereka berjalan berdampingan, dua dunia berbeda yang tanpa sadar mulai saling mendekat. Stefanus tidak tahu bahwa langkah kecil ini akan membawanya pada cinta, bahaya, dan tragedi yang akan mengubah hidupnya selamanya.
Di kejauhan, pria berjas hitam itu mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang.
“Bos,” suaranya terdengar serius, “Putri Anda terlihat bersama seorang mahasiswa… namanya Stefanus.”
Di ujung telepon, Pak Arman hanya terdiam. Namun matanya yang dingin menatap jauh ke luar jendela kantornya. Sebuah kilatan amarah muncul perlahan.
Cinta baru saja dimulai. Tapi bayang-bayang maut sudah menunggu di depan.Keesokan paginya, suasana di Universitas Harapan Bangsa seperti biasa ramai oleh mahasiswa yang bergegas menuju kelas masing-masing. Suara langkah kaki, obrolan ringan, dan dering bel kampus berpadu menjadi harmoni kehidupan mahasiswa.
Di salah satu koridor panjang gedung ekonomi, Stefanus berjalan sambil membawa beberapa buku tebal. Malam sebelumnya ia hampir tidak bisa tidur, bukan karena tugas kuliah, melainkan karena bayangan wajah Stefany yang terus menghantui pikirannya. Pertemuan singkat di bawah pohon flamboyan itu meninggalkan kesan mendalam yang sulit ia abaikan.
Sambil berjalan, Stefanus melihat ke sekeliling. Ia mencari sosok yang membuat hatinya berdegup lebih kencang. Entah mengapa, ada harapan bahwa hari ini ia bisa berbicara lagi dengan Stefany, meski hanya sebentar.
Tak lama kemudian, dari ujung koridor, muncullah Stefany. Gadis itu mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans biru muda, rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Seperti biasanya, penampilannya selalu menarik perhatian banyak orang. Beberapa mahasiswa menoleh, beberapa lainnya berbisik-bisik pelan, namun Stefany berjalan tenang seolah tak peduli pada tatapan-tatapan itu.
Saat mata mereka bertemu, Stefany sempat terkejut. Ia tidak menyangka Stefanus ada di sana, menatapnya dengan senyum ramah. Ada sesuatu yang berbeda dari pemuda ini. Bukan tentang penampilan, bukan pula tentang status sosial, tapi tatapannya—tatapan tulus yang jarang ia temui di lingkungannya yang penuh kepalsuan.
“Pagi,” sapa Stefanus sambil tersenyum.
Stefany sempat terdiam sebelum akhirnya membalas, “Pagi.”
Senyum kecil tersungging di bibirnya. Bagi Stefanus, senyum itu seperti sinar matahari setelah malam panjang yang gelap.
Mereka berjalan berdampingan menuju kelas. Meski tidak banyak bicara, kehadiran satu sama lain terasa hangat. Di sisi lain, beberapa mahasiswa mulai berbisik melihat kedekatan mereka. Bukan rahasia lagi bahwa Stefany adalah putri seorang pengusaha kaya raya, sementara Stefanus hanyalah mahasiswa beasiswa dari keluarga sederhana.
Namun bagi Stefanus, gosip atau komentar orang lain tidak penting. Yang ia tahu hanyalah ada sesuatu dalam dirinya yang tertarik pada Stefany, sesuatu yang sulit ia jelaskan.
Di tengah perjalanan, Stefanus memberanikan diri bertanya, “Kamu sering baca buku di bawah pohon flamboyan itu?”
Stefany mengangguk. “Iya. Itu tempat favoritku. Tenang, sejuk… dan jauh dari keramaian.”
“Kalau begitu, mungkin besok aku bisa ikut duduk di sana?” Stefanus mencoba tersenyum canggung.
Stefany menatapnya sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh saja.”
Jawaban itu membuat Stefanus merasa seolah dunia tiba-tiba lebih indah.
Namun, di balik senyum Stefany, ada sesuatu yang tidak diketahui Stefanus. Sejak kematian ibunya beberapa tahun lalu, hidup Stefany dipenuhi kesepian. Ayahnya, Pak Arman, memang memberinya segala kemewahan, tapi jarang ada di rumah. Bahkan ketika ada, suasana rumah selalu tegang. Stefany tahu ayahnya orang berkuasa, tapi ia tidak pernah benar-benar paham apa yang ayahnya lakukan.
Sementara itu, di lantai atas gedung kampus, seorang pria berjas hitam kembali mengamati mereka dari kejauhan. Ia adalah Anto, salah satu anak buah kepercayaan Pak Arman.
“Sepertinya anak itu mulai dekat dengan Nona Stefany,” gumamnya sambil mengeluarkan ponsel.
Ia menghubungi nomor yang sudah tersimpan. Suaranya terdengar dingin ketika melapor, “Bos, mereka sepertinya mulai akrab. Apa perlu saya bertindak?”
Di seberang sana, suara berat Pak Arman terdengar, “Belum. Aku hanya ingin tahu siapa dia. Cari semua informasi tentang pemuda itu.”
Anto mengangguk. “Baik, Bos.”
Tanpa disadari Stefanus, hidupnya perlahan-lahan masuk ke dalam lingkaran berbahaya. Semua hanya karena ia jatuh cinta pada seorang gadis yang kebetulan adalah putri seorang mafia besar.
Di akhir hari itu, Stefanus dan Stefany kembali bertemu di bawah pohon flamboyan. Kali ini mereka mengobrol lebih lama. Tentang kuliah, tentang buku, bahkan tentang mimpi masa depan.
Stefany jarang merasa senyaman ini dengan siapa pun. Di balik status sosialnya yang tinggi, ia lelah dengan orang-orang yang hanya mendekat karena harta atau kekuasaan ayahnya. Stefanus berbeda. Pemuda itu tidak peduli dengan semua itu. Ia hanya melihat Stefany sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai putri seorang pengusaha kaya.
Namun, dari kejauhan,Boris terus mengawasi. Laporan-laporan tentang Stefanus siap dikirimkan ke Pak Arman.
Dan ketika nama Stefanus sampai di meja kerja sang mafia, hidup pemuda itu tidak akan pernah sama lagi.
Burung-burung berkicau di pepohonan sekitar Universitas Harapan Bangsa, seolah menyambut awal hari yang baru. Di salah satu kelas besar di gedung ekonomi, mahasiswa sudah mulai memenuhi bangku-bangku kuliah.
Di barisan depan, duduk seorang pemuda dengan ransel sederhana dan kemeja lusuh namun rapi. Stefanus, mahasiswa berprestasi yang dikenal sebagai anak beasiswa. Meski hidupnya pas-pasan, semangatnya untuk belajar tak pernah padam.
Dosen masuk dan segera memulai kuliah. Hari ini membahas topik tentang ekonomi makro sesuatu yang bagi sebagian mahasiswa terdengar membosankan. Namun bagi Stefanus, setiap kata dari dosen adalah ilmu berharga. Ia mencatat dengan tekun, matanya fokus pada papan tulis, sementara beberapa mahasiswa di belakang sudah mulai mengantuk atau asyik dengan ponsel mereka.
“Seperti biasa,” gumam salah satu temannya pelan, “Stefanus pasti jadi mahasiswa paling rajin di sini.”
Memang sudah menjadi rahasia umum. Meski berasal dari keluarga miskin, Stefanus selalu mendapat nilai terbaik di hampir semua mata kuliah. Teman-teman sekelasnya mengaguminya, bahkan beberapa diam-diam iri. Namun Stefanus tidak pernah sombong. Ia selalu rendah hati, selalu siap membantu siapa pun yang kesulitan memahami materi.
Setelah kuliah selesai, beberapa mahasiswa mendekatinya.
“Stefanus, nanti bisa bantu jelasin soal tugas ini nggak?” tanya seorang mahasiswa.
“Tentu,” jawab Stefanus ramah. “Kita bisa belajar bareng di perpustakaan nanti sore.”
Sikapnya yang baik dan rajin membuatnya disukai banyak orang. Namun, di balik senyumnya yang tulus, Stefanus menyimpan beban hidup yang tidak diketahui banyak orang.
Sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan beberapa tahun lalu, ia tinggal bersama Pamannya, seorang pria sederhana yang bekerja sebagai sopir angkutan kota. Hidup mereka serba pas-pasan, tapi sang paman selalu mendukung Stefanus untuk terus sekolah.
“Yang penting kamu sekolah yang benar, Nus,” kata pamannya suatu malam. “Biarpun Om nggak punya banyak harta, Om cuma mau lihat kamu berhasil.”
Kata-kata itu selalu teringat dalam benak Stefanus. Itulah sebabnya ia belajar keras, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan.
Namun, hidup tidak selalu tentang nilai atau prestasi. Beberapa hari terakhir, ada sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang yang membuat hati Stefanus berdebar-debar. Stefany.
Pertemuan singkat di bawah pohon flamboyan, senyum di koridor kampus… semua itu membuat Stefanus sulit tidur. Ia tahu Stefany berbeda dengannya. Putri seorang pengusaha kaya, hidup dalam kemewahan yang bahkan tak berani ia bayangkan. Tapi entah kenapa, Stefanus merasa ada sesuatu di antara mereka. Sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
Sore itu, sesuai janji sebelumnya, Stefanus menuju perpustakaan untuk membantu teman-temannya mengerjakan tugas. Di luar gedung, tanpa sengaja ia melihat Stefany keluar dari mobil mewah yang menjemputnya. Seorang pria berjas hitam sepertinya sopir pribadi membukakan pintu untuknya.
Stefanus hanya bisa memperhatikan dari kejauhan. Jarak dunia mereka begitu nyata saat itu. Ia mahasiswa miskin yang tinggal di rumah kecil bersama pamannya, sementara Stefany hidup di rumah besar dengan penjagaan ketat.
Namun, takdir seolah punya rencana lain. Saat Stefany masuk ke gedung kampus, mata mereka bertemu. Stefany tersenyum kecil, lalu melambaikan tangan.
“Stefanus!” panggilnya pelan.
Stefanus terkejut tapi segera menghampiri. “Hai, kamu mau ke perpustakaan?”
Stefany mengangguk. “Iya. Kamu juga?”
“Iya, mau bantu teman-teman ngerjain tugas,” jawab Stefanus.
Akhirnya mereka berjalan bersama menuju perpustakaan. Beberapa mahasiswa lain memperhatikan mereka dengan tatapan penasaran. Desas-desus tentang kedekatan Stefanus dan Stefany mulai beredar di kampus.
Di dalam perpustakaan, mereka duduk di meja yang sama. Sesekali mata mereka bertemu, dan Stefany tersenyum. Bagi Stefanus, itu sudah cukup untuk membuat hatinya berdebar kencang.
Namun, di luar gedung perpustakaan, seorang pria berjas hitam bernama Boris sedang memotret mereka diam-diam. Foto-foto itu segera ia kirimkan ke Pak Arman bersama pesan singkat:
> “Bos, pemuda ini namanya Stefanus. Anak beasiswa. Sepertinya Nona Stefany mulai dekat dengannya.”
Di kantor megahnya, Pak Arman membaca laporan itu dengan wajah dingin. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat.
“Anak miskin itu… berani-beraninya dekat dengan putriku,” gumamnya pelan, suaranya penuh amarah.
Badai besar sedang menunggu Stefanus. Dan ia belum menyadarinya.
Suasana di perpustakaan sore itu begitu tenang. Hanya suara kertas yang dibalik dan langkah pelan pengunjung yang terdengar. Stefanus duduk di sisi meja, sementara Stefany di seberangnya. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar, menyorot rambut panjang Stefany hingga tampak berkilau.
Stefanus berusaha fokus pada buku di hadapannya, tetapi jujur saja, pikirannya melayang. Ia bisa merasakan degup jantungnya sendiri setiap kali Stefany memandang ke arahnya.
“Stefanus,” suara lembut Stefany memecah keheningan.
“Hmm?” Stefanus menoleh cepat, sedikit gugup.
“Kamu… sering ke perpustakaan?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
Stefanus mengangguk. “Iya. Biasanya buat belajar atau bantu teman-teman ngerjain tugas. Kalau kamu?”
Stefany memainkan ujung pulpen di tangannya. “Aku juga suka ke sini. Lebih tenang. Kadang di rumah terlalu ramai.”
Stefanus hanya bisa mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia tahu dunia Stefany pasti berbeda jauh dari dirinya. Tapi mendengar bahwa gadis itu juga merasa butuh tempat tenang, entah mengapa membuatnya merasa mereka punya sedikit kesamaan.
Beberapa kali pandangan mereka bertemu lagi, dan Stefanus merasa ada sesuatu di balik mata indah Stefany. Sesuatu yang sulit ia jelaskan, tapi cukup untuk membuat dadanya sesak.
Setelah hampir satu jam mengerjakan tugas bersama, teman-teman mereka satu per satu pamit pulang. Hingga akhirnya, hanya Stefanus dan Stefany yang tersisa di meja itu.
“Aku kayaknya harus pulang,” ujar Stefany sambil merapikan bukunya. “Sopirku pasti sudah nunggu di depan.”
Stefanus mengangguk. “Iya, aku juga mau balik. Pamanku pasti khawatir kalau aku pulang terlalu malam.”
Mereka berjalan keluar bersama. Di pelataran kampus, mobil mewah Stefany sudah menunggu. Seorang pria berjas hitam membukakan pintu untuknya.
Stefany sempat menoleh ke arah Stefanus. “Makasih ya, sudah nemenin belajar.”
Stefanus tersenyum kecil. “Sama-sama. Hati-hati di jalan.”
Saat mobil itu melaju pergi, Stefanus berdiri mematung. Ada rasa hangat yang tumbuh di hatinya. Ia sadar, perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan.
Namun di sisi lain, di sebuah rumah megah penuh penjaga, Pak Arman duduk di ruang kerjanya dengan wajah muram. Di tangannya, ia memegang beberapa foto Stefany dan Stefanus di perpustakaan.
“Anak miskin ini mulai mendekati Stefany,” gumamnya pelan.
Di hadapan Pak Arman berdiri dua orang anak buahnya, Anto dan Beni. “Bos, mau bagaimana? Anak itu cuma mahasiswa biasa. Gampang kalau mau diberesin,” kata Beni dengan suara dingin.
Pak Arman mengetuk meja pelan, pikirannya penuh perhitungan. Ia tahu Stefany adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki sejak istrinya meninggal.
“Jangan bertindak gegabah dulu,” kata Pak Arman akhirnya. “Kita awasi saja. Cari tahu siapa dia, di mana tinggalnya, semua tentang dia.”
Boris dan Beni mengangguk patuh.
Malam itu, di rumah sederhana di pinggiran kota, Stefanus makan malam bersama pamannya. Hidangan mereka sederhana: nasi, sayur bening, dan ikan asin.
“Bagaimana kuliahmu hari ini?” tanya sang paman sambil tersenyum hangat.
“Baik, Om,” jawab Stefanus. “Aku juga bantu teman-teman ngerjain tugas.”
Pamannya mengangguk bangga. “Bagus. Ingat, Nus, ilmu itu harta yang nggak bisa dicuri orang. Kamu harus sekolah yang benar.”
Stefanus mengangguk, tapi diam-diam pikirannya melayang pada Stefany. Wajah cantik gadis itu terus muncul di benaknya.Pamannya menatap Stefanus dengan senyum penuh arti. “Kalau saling menghargai, kenapa tidak? Yang penting hatinya baik, bukan hartanya.”
Jawaban itu membuat Stefanus sedikit lega, meski ia tahu kenyataan tidak akan semudah itu.
Di kamar mewahnya malam itu, Stefany duduk di depan meja rias. Ia menatap bayangan dirinya di cermin, lalu tersenyum kecil.
“Stefanus,” gumamnya pelan. Entah kenapa, nama itu terasa begitu hangat di hatinya.
Ia tidak tahu, di luar sana ayahnya sedang merencanakan sesuatu yang perlahan-lahan akan mengubah hidup mereka selamanya
Pagi itu, matahari menyorot lembut melalui jendela besar rumah megah keluarga Stefany. Tirai sutra berwarna krem bergoyang pelan tertiup angin dari balkon. Di meja makan yang panjang dan berkilau, berbagai hidangan sarapan telah tertata rapi: roti panggang mentega, sosis asap, omelet keju, salad segar, hingga jus jeruk yang memantulkan cahaya matahari pagi.
Stefany turun dari lantai dua dengan langkah ringan. Rambut panjangnya tergerai rapi, dan wajah cantiknya yang mewarisi garis keturunan Eropa dari mendiang ibunya terlihat segar meski semalam ia tidur larut.
Di ujung meja, Pak Arman, ayah Stefany, duduk dengan wajah serius. Pria berusia 50-an itu mengenakan kemeja putih licin dan jas hitam meski belum berangkat kerja. Di tangannya ada koran tebal, sementara di depannya cangkir kopi hitam mengepul.
“Pagi, Yah,” sapa Stefany dengan suara lembut.
Pak Arman hanya melirik sebentar lalu mengangguk singkat. “Pagi.”
Sejak kepergian ibunya tiga tahun lalu, rumah megah itu kehilangan kehangatan. Dulu, sang ibu selalu mengisi pagi dengan senyum dan percakapan hangat. Sekarang, hanya ada kesunyian yang sering kali membuat Stefany merasa seperti tinggal di istana dingin tanpa kasih sayang.
Namun pagi ini, suasana yang biasanya hening mendadak berubah ketika Pak Arman menutup koran, meletakkannya di meja, dan menatap putrinya lekat-lekat.
“Ayah dengar… akhir-akhir ini kamu sering terlihat bersama seorang mahasiswa,” ucapnya datar tapi dengan sorot mata penuh selidik.
Stefany menghentikan gerakan tangannya yang hendak meraih roti. “Maksud Ayah… Stefanus?”
Pak Arman menyandarkan punggungnya ke kursi. “Iya. Anak beasiswa itu, kan?”
Stefany mengangguk pelan. “Iya, memang kenapa?”
Tatapan Pak Arman mengeras. “Kamu dekat dengannya?”
Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk. Stefany menarik napas pelan, mencoba tetap tenang. “Kami… teman, Yah. Dia baik, pintar, dan selalu membantu kalau aku butuh belajar bareng.”
Pak Arman meletakkan cangkir kopinya dengan suara yang agak keras. “Teman?” Suaranya terdengar dingin. “Kamu tahu dia dari keluarga mana?”
Stefany menatap ayahnya tidak percaya. “Ayah… kenapa selalu tanya soal keluarga? Bukankah yang penting orangnya?”
“Tidak, Stefany,” suara Pak Arman meninggi. “Yang penting siapa dia dan dari mana dia berasal. Anak seperti dia tidak pantas dekat denganmu.”
Stefany merasakan dadanya sesak. “Hanya karena dia tidak kaya? Ayah pikir semua orang miskin itu tidak pantas bersahabat denganku?”
Pak Arman menatap putrinya tajam. “Kamu tidak mengerti. Dunia kita berbeda. Anak itu tidak ada apa apanya dibandingkan kamu.kamu keluarga terpandang sedangkan dia anak yatim piatu yg tidak sebanding dengan kamu",
Kalimat itu terhenti di udara. Stefany menatap ayahnya dengan kening berkerut. “Maksud Ayah apa?”
Pak Arman menghela napas panjang, berusaha menguasai diri. “Pokoknya, jauhi dia. Ini untuk kebaikanmu.”
Stefany berdiri mendadak, kursi yang ia duduki bergeser dengan suara berderit.",aku tidak akan menjauhi dia ayah",Stefanus tidak seperti yang ayah fikirkan".
Mata Pak Arman berkilat marah. Ia menatap putrinya tajam, wajahnya mengeras. “Stefany, jangan ikut campur urusan ayahmu. Aku sudah bilang, anak itu tidak boleh dekat-dekat denganmu lagi. Titik.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Stefany berbalik dan pergi meninggalkan ruang makan. Di matanya ada air yang hampir jatuh, namun ia menahannya.
Pak Arman memandang punggung putrinya yang menjauh. Tangannya mengepal di bawah meja. Ia tahu Stefany keras kepala. Dan anak beasiswa itu… bisa menjadi masalah besar kalau tidak segera disingkirkan.
Di Kampus: Bayang-Bayang yang Mulai Mengintai
Sementara itu, di Universitas Harapan Bangsa, Stefanus datang seperti biasa. Ia membawa buku-buku tebal di dalam ranselnya, berjalan dengan langkah cepat karena hampir terlambat masuk kelas.
Pemuda berwajah tampan itu sebenarnya sangat sederhana: rambut hitam lurus, kulit sawo matang, tubuh tegap hasil sering membantu pamannya bekerja. Meski hidup pas-pasan, tatapan matanya selalu tenang dan senyumnya ramah.
Tapi pagi itu, tanpa ia sadari, beberapa pasang mata mengawasinya dari jauh.
Di sebuah mobil hitam yang parkir tidak jauh dari gerbang kampus, dua pria berjas hitam duduk memperhatikannya.
“Bos, target sudah kelihatan,” ujar salah satu pria,Boris, sambil memegang ponsel.
“Pantau semua gerak-geriknya,” suara Pak Arman terdengar dari seberang. “Aku ingin laporan lengkap. Siapa dia, di mana tinggalnya, bahkan kebiasaan kecilnya.”
Boris melirik Stefanus yang baru saja keluar dari gedung kuliah. “Siap, Bos. Anak ini kelihatan polos, tapi kita lihat saja.”
Mata-Mata di Rumah Paman Stefanus
Sore harinya, Stefanus pulang ke rumah sederhana di pinggiran kota. Rumah itu kecil tapi bersih. Di terasnya, pamannya seorang pria paruh baya dengan wajah ramah sedang memperbaiki sepeda motor tua.
“Om,” sapa Stefanus.
“Nus,” balas sang paman sambil tersenyum. “Tadi ada orang cari kamu. Kelihatannya orang kaya. Tanya-tanya soal kamu.”
Stefanus mengerutkan kening. “Siapa mereka?”
“Bilangnya temannya ayahnya Stefany. Nanya di mana kamu tinggal, siapa keluargamu. Om jawab sekadarnya aja.”
Stefanus mengangguk, tapi di dalam hatinya ada rasa tak nyaman. Kenapa orang tua Stefany ingin tahu tentang dirinya?
Tak jauh dari rumah itu, sebuah mobil hitam lain berhenti diam. Dua pria di dalamnya memotret rumah Stefanus, mencatat setiap detail: siapa keluar masuk, jam berapa lampu menyala, bahkan ke mana Stefanus pergi setiap hari.
“Orang ini terlalu bersih,” komentar Beni, anak buah Pak Arman. “Nggak ada catatan kriminal, nggak ada musuh.”
“Justru itu masalahnya,” sahut Boris. “Orang bersih kalau tahu rahasia kotor… bisa jadi bencana.”
Stefany Mulai kesal kepada ayahnya.
Ayahnya selalu melarang ini-itu. Tapi kali ini, nada suaranya berbeda. Seolah-olah Stefanus adalah pria jahat yang tidak layak mendapatkan teman seperti dia.
Ia menatap layar ponsel, jempolnya bergerak pelan:
Stefany: Stefanus, besok ada kelas pagi?
Stefanus: Ada. Kenapa?
Stefany: Mau belajar bareng lagi?
Stefanus: Boleh.
Stefany tersenyum kecil. Setidaknya, ada seseorang yang membuatnya merasa normal di tengah semua kekacauan ini.stefanus bisa diajak tukar fikiran dalam hal belajar.
Rencana Kelam Pak Arman
Di sebuah gedung tua yang jauh dari pusat kota, Pak Arman duduk di ruangan gelap bersama anak buahnya. Asap rokok mengepul di udara.
“Bos,” ujar Boris, “kami sudah dapat semua data tentang Stefanus. Anak yatim piatu. Nilai kuliahnya bagus. Nggak punya masalah sama siapa pun.”
Pak Arman mengetuk-ngetuk meja dengan jari. “Terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Anak seperti ini bisa jadi batu sandungan kalau dekat-dekat sama Stefany.”
“Perintah, Bos?” tanya Beni pelan.
“Awasi terus,” jawab Pak Arman dingin. “saya tidak suka orang miskin yang hina itu mendekati putri saya.
Di balik kacamata hitamnya, mata Pak Arman berkilat dingin. Ia sudah memutuskan: Stefanus adalah masalah yang harus diselesaikan sebelum semuanya terlambat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!