Senja di Aceh masih menyisakan sisa-sisa cahaya emas di langit, seperti lukisan yang enggan terhapus. Namun peluit pagi tiba-tiba melengking, menembus kesunyian yang menggantung. Derap sepatu bot menghentak aspal, ritmis dan tegas, bersahut-sahutan dengan kokok ayam jantan dan gema takbir dari surau asrama.
Bagi orang luar, itu mungkin kebisingan. Tapi bagi mereka yang hidup di kompleks militer, semua itu adalah simfoni, musik sehari-hari yang mengiringi tiap tarikan napas.
Di antara deretan rumah prajurit yang berbaris rapi, dua sosok kecil berlarian di lapangan hijau yang masih basah oleh embun.
Byantara Aswangga, bocah berambut cepak dengan kulit sawo matang, tampak gagah meski tubuhnya belum sebesar nyalinya. Di pundaknya tergantung ransel lusuh, terlihat terlalu berat untuk ditanggung seorang anak seusianya. Di belakangnya, Kalea Aswangga berlari sambil menggerutu, rambutnya terikat dua kuncir yang bergoyang setiap langkahnya.
"Bang! Itu tas Lea, Lea bisa bawa sendiri!" serunya setengah kesal.
Byantara menoleh sambil tetap berlari. "Ini berat. Kamu nggak akan kuat. Kamu kan nggak pernah latihan angkat batu kayak Abang."
"Berat karena isinya buku, bukan batu kayak kepala Abang!" Kalea membalas dengan wajah cemberut.
"Heh, kamu pikir jadi anak tentara boleh manja? Jarang-jarang loh kamu bisa manja-manja begini."
"Ya... enggak. Tapi ini bukan manja, ini bikin malu."
"Malu?" Byantara mengangkat alis.
Kalea mengangguk cepat.
Sejenak mereka saling tatap, lalu tawa pecah, meledak begitu saja. Suara mereka nyaring, lepas, bebas. Meski begitu, setiap langkah kecil mereka tetap tegap, seolah tanah yang mereka pijak menyimpan aturan tak tertulis: jangan lambat, jangan menyerah.
Mereka tumbuh dalam lingkungan aba-aba, komando, dan derap sepatu bot. Kalea dan Byantara bukan saudara kandung, sebuah kenyataan yang bahkan tak pernah mereka sadari, apalagi dipertanyakan. Segalanya terasa alami. Sedari dulu Kalea menemukan rumah di bahu Byantara, dan Byantara selalu luluh melihat air mata Kalea.
Saat kucingnya hilang, saat diejek anak-anak kompleks, atau saat digoda lajang barak, hanya satu nama yang dicari Kalea, Abang.
Waktu di asrama militer tak diukur oleh detik dan menit, tapi oleh disiplin. Kalea sudah terbiasa bangun sebelum subuh, ikut senam pagi, kerja bakti, bahkan tahu cara menyetrika celana loreng dengan garis presisi nyaris sempurna,seperti garis takdir yang tidak boleh meleset.
Namun, meski lingkungannya keras, Kalea tumbuh berbeda. Di usia sembilan tahun, ia sudah bisa menahan tangis meski lututnya berdarah. Di usia dua belas tahun, ia berani melawan anak-anak lajang barak yang mengejek.
"Kamu cewek, mana mungkin kuat jadi tentara!"
Dengan dagu terangkat, ia menjawab lantang, "Lea bisa buktiin kok. Suatu hari nanti, om-om semua akan jadi bawahan Lea. Kalian yang bakal kasih hormat sama Lea."
Tapi di balik semua keberaniannya, ada Byantara yang selalu jadi penopang. Kadang ia mendorong Kalea untuk maju, kadang menariknya mundur agar tak terlalu terluka.
Suatu sore di pantai dekat asrama, senja menenggelamkan dirinya ke laut. Ombak berkejaran, dan di atas pasir, dua anak itu duduk berdampingan.
"Kalau kamu beneran mau jadi tentara, Lea," ujar Byantara sambil melempar kerikil ke laut, "kamu harus siap jatuh, terus bangun sendiri. Jangan selalu nunggu Abang nolongin."
Kalea menatap langit jingga yang mulai memudar. "Tapi kalau Lea jatuh berkali-kali, sampai nggak bisa bangun lagi... Abang mau datang nyamperin Lea, kan?"
Byantara diam. Tapi keheningan itu lebih berat daripada dentuman meriam.
Hari-hari berlalu. Kalea tumbuh menjadi gadis tangguh, kulit kuning langsatnya mengilat tiap kali berlari di bawah matahari, matanya setajam belati. Ia tak lagi menangis saat dihukum pelatih atau diejek teman-temannya. Ia berlari dengan ransel penuh batu, push-up di belakang asrama, dan berjanji pada dirinya sendiri, ia tidak ingin menjadi bayangan siapa pun,bahkan bayangan Byantara.
Sedangkan Byantara, ia tumbuh gagah. Namanya mulai diperhitungkan di organisasi kepemudaan militer. Ia jadi teladan, bukan hanya karena disiplin, tapi juga karena hatinya yang selalu menjaga. Ia tak pernah menyombongkan diri, meski ia tahu Kalea sering membanggakan namanya di depan teman-teman.
Suatu malam, hujan deras baru saja reda. Mereka duduk di beranda, menyantap mie instan yang masih mengepul.
"Bang," kata Kalea, memutar garpu dengan tatapan penuh mimpi. "Kalau suatu hari Lea jadi tentara perempuan yang gagah berani... Abang bakal bangga nggak?"
Byantara menoleh, tersenyum kecil. "Kalau kamu jadi tentara... kamu harus lebih hebat dari Abang. Kalau bisa, pangkatmu lebih tinggi dari Abang dan Papa."
Kalea tertawa renyah. "Nanti Lea yang nyuruh Abang push-up seratus kali kalau telat apel ya..."
Byantara pura-pura melotot. "Berani kamu?"
"Berani dong. Kan Lea udah jadi komandannya Abang!"
"Kamu ya..."
Tawa mereka pecah lagi, memenuhi udara malam. Tapi di balik suara tawa itu, sesuatu tumbuh pelan-pelan. Perasaan yang terlalu dalam untuk disebut kagum, terlalu kuat untuk disebut kasih kakak-adik.
Dan Byantara? Ia merasakan hal yang sama... tapi memilih bungkam. Baginya, rasa itu terlarang, meski ia tahu Kalea bukan darah dagingnya.
Di asrama militer, rasa bukanlah sesuatu yang boleh diumbar. Apalagi di tanah Aceh, tempat adat dan kehormatan lebih tajam daripada bayonet.
Dan dari sinilah semuanya dimulai,
sebuah kisah tentang cinta yang berderap bersama langkah prajurit, yang harus memilih, patuh pada aturan tak tertulis, atau menyerah pada bisikan hati yang tak terbantahkan.
Langit Aceh pagi itu muram, bergelayut awan kelabu yang seakan hendak menumpahkan hujan. Namun tidak ada yang suram di mata Kalea.
Gadis itu berdiri tegap di depan cermin kecil yang menempel seadanya di dinding kamar asrama. Rambut hitamnya dikuncir ekor kuda sederhana, membuat wajahnya yang masih belia tampak semakin tegas. Seragam loreng yang ia kenakan terlihat agak longgar, sudah mulai lusuh karena dimakan waktu, tapi di tubuh mungilnya seragam itu terasa seperti pakaian perang seorang jenderal.
Tangannya sibuk merapikan lipatan di bahu. Ia menatap refleksi dirinya lekat-lekat, seolah sedang berhadapan dengan prajurit yang bersiap menuju medan tempur. Matanya berkilat, penuh keyakinan.
"Bukan karena aku perempuan, maka aku harus lembut," bisiknya pada bayangan di cermin. "Tapi justru karena aku perempuan, aku harus lebih kuat. Kalau aku jatuh, aku harus bisa bangkit sendiri, tanpa perlu ditarik siapa pun."
Sepasang sepatu bot cokelat tua yang terletak di bawah ranjangnya sudah disikat berkali-kali, tapi tetap menyisakan noda lumpur di sela-selanya. Kalea menatapnya, lalu tersenyum tipis. Ia tidak berniat membersihkannya lagi. Bagi Kalea, noda itu bukan kotoran, melainkan medali tak kasatmata. Bukti bahwa ia pernah terjatuh, dan berhasil bangkit tanpa uluran tangan siapa pun.
Kalea memang berbeda. Ia adalah anomali di antara gadis-gadis seusianya. Ketika teman-teman di sekolah atau asramanya sibuk membicarakan model jilbab terbaru, tren K-pop, atau gelang warna-warni yang sedang populer, Kalea justru lebih fasih membahas jenis-jenis senapan, formasi barisan di bawah terik matahari, atau strategi bertahan saat long march. Ia tidak peduli lip gloss, tapi hafal detail setiap tombol di senter taktis peninggalan ayahnya. Ia tidak koleksi boneka, tapi tahu betul bagaimana melipat seragam agar rapi tanpa kerut.
Namun, ada satu hal yang tidak bisa ia sembunyikan: degup jantungnya yang selalu berdebar ketika Byantara pulang.
Byantara. Kakaknya, atau lebih tepatnya, lelaki yang selama ini ia panggil abang. Seorang perwira muda yang baru lulus dari Akademi Militer.
Setiap kali ia pulang dengan seragam rapi, wajah letih, dan senyum yang entah kenapa mampu merontokkan semua benteng pertahanan di hati Kalea, gadis itu merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan pada siapa pun. Ada magnet tak kasat mata yang selalu menariknya lebih dekat.
Setiap kali suara langkah sepatu bot Byantara terdengar keras menghantam lantai rumah asrama, jantung Kalea ikut berdentum, seakan berpacu dengan detak waktu.
"Aku ingin jadi seperti abang..." batin Kalea, "...tapi kenapa aku juga ingin duduk di sisimu, bukan hanya berdiri di belakangmu?"
Ia tidak tahu sejak kapan perasaan itu tumbuh. Mungkin sejak pertama kali Byantara menyeka darah di lututnya ketika ia jatuh dari sepeda. Atau sejak malam ketika listrik padam, dan ia tertidur di bahu Byantara sambil mendengar detak jantungnya yang tenang. Kehangatan itu bukan sekadar kasih sayang kakak pada adiknya, ada sesuatu yang berbeda.
Hangat, tapi asing. Akrab, tapi juga menimbulkan jarak.
Suatu sore, mereka duduk berdua di belakang dapur, memandangi langit yang berubah perlahan menjadi jingga. Udara sore beraroma tanah basah, dan suara anak-anak tetangga bermain berkejaran menjadi latar.
"Bang..." suara Kalea lirih, hampir tenggelam oleh gesekan dedaunan.
Byantara menoleh. "Hm?"
"Kalau Lea masuk Akmil..." Kalea berhenti sebentar, menggigit bibir. "...boleh nggak Lea pakai sepatu kayak punya abang?"
Byantara tertawa kecil. Tawa itu, tawa yang selalu membuat dada Kalea bergetar. "Boleh dong. Malah kamu nanti tiap hari pakai sepatu kayak gini. Tapi, Dek..." ia menepuk pelan lutut Kalea, "sepatu tentara itu berat. Nggak semua orang kuat memakainya."
"Lea bakal belajar," jawab Kalea cepat, matanya membulat dengan semangat. "Lea nggak mau jadi gadis yang ditinggal di belakang."
"Kenapa?" tanya Byantara, seakan ingin menguji.
Kalea membusungkan dada, seolah sedang berbaris di lapangan. "Karena aku pengen jalan di samping abang dan Papa. Sebagai perwira yang keren dan tangguh."
Byantara tersenyum. Ia lalu mengangkat tangannya memberi hormat, setengah bercanda. "Siap, Komandan."
Kalea ikut terkekeh. "Lea mau suatu hari nanti, Lea pergi satgas pakai baret biru terus..." kalimatnya menggantung, membuat wajah Byantara berubah penasaran.
"Terus?"
"Terus pulang dengan penuh penghormatan."
Byantara mengangguk pelan. "Itu sudah pasti. Semua prajurit yang pulang satgas disambut dengan penghormatan."
Kalea terdiam sebentar. Lalu dengan wajah serius ia menambahkan, "Bukan penghormatan biasa. Tapi pulang dengan bendera merah putih menutupi seluruh tubuhku. Sebagai pakaian terakhirku."
Sejenak dunia hening. Angin berhenti berhembus, dan suara anak-anak tetangga pun seolah lenyap. Byantara menatapnya, matanya bergetar.
"Lea..." suaranya parau.
Kalea terkekeh, mencoba mencairkan suasana. "Bercanda, Pak! Serius amat itu muka." Ia terpingkal-pingkal, sementara Byantara masih terdiam, menatap adik kecilnya yang kini sudah bukan lagi sekadar gadis kecil penakut.
Kalea tumbuh. Ia tumbuh menjadi gadis cantik nan tangguh. Bukan lagi anak yang menangis saat diganggu. Bukan lagi bocah yang takut gelap.
Dan itu membuat hati Byantara bergetar. Menakutkan sekaligus... memikat.
Malam itu, ketika lampu-lampu rumah asrama mulai padam dan suara jangkrik memenuhi udara, Kalea duduk di meja kecilnya. Ia membuka sebuah jurnal tua dengan sampul cokelat. Dengan pena murahan, ia mulai menulis.
Ada yang berubah dari diriku. Kenapa setiap kali dekat dengan Bang Byan, rasanya aku bukan adik. Rasanya asing, tapi sekaligus hangat. Apalagi tadi Swasmita bilang, kenapa aku nggak mirip dengan siapa pun di rumah ini. Katanya wajahku beda, kebiasaanku beda. Seolah aku datang dari keluarga lain. Sebenarnya, siapa aku?
Kalea menutup jurnal itu cepat-cepat, seakan takut tulisannya bisa terdengar oleh tembok. Buku itu adalah rahasianya, benteng terakhir yang tidak boleh diketahui siapa pun.
Bahkan ketika ia sadar, tatapan Byantara belakangan ini terasa berbeda, seolah lelaki itu juga merasakan sesuatu yang aneh, Kalea tetap menjaga jarak. Ia tahu, tidak semua hal harus dipertanyakan. Tidak semua perasaan harus diungkapkan.
Di dunia mereka, di lingkungan yang penuh disiplin, rasa seperti itu bisa dianggap salah. Dan kesalahan kecil bisa berubah jadi luka yang dalamnya tak terukur.
Namun tetap saja, setiap kali malam datang dan baret hijau Byantara tergantung di ruang tamu, Kalea akan berdiri diam-diam. Ia menatap baret itu, menyentuhnya sebentar dengan jemari gemetar, lalu tersenyum tipis.
"Aku akan pakai baret biruku sendiri nanti," bisiknya pada dirinya sendiri.
"...dan kamu akan lihat, Bang. Aku bukan cuma gadis kecil yang kamu tinggalkan di rumah."
Sejak hari itu, langkah Kalea berubah. Ia tidak lagi berjalan pelan. Ia berlari lebih jauh, lebih cepat. Bukan untuk menjauh dari Byantara, tapi untuk membuktikan bahwa kelak ia pantas berdiri sejajar. Bahkan mungkin, berdiri di depan. Tanpa perlu meminta izin. Tanpa harus menunggu pengakuan dari siapa pun.
Karena Kalea bukan sekadar bunga yang menunggu disiram cinta. Ia adalah gadis baja, yang membakar mimpinya sendiri agar tidak membeku oleh rasa.
Dan di suatu tempat dalam dirinya, ia tahu, perjalanan baru saja dimulai.
Langit sore menggantungkan awan kelabu di atas rumah kecil berwarna hijau itu. Angin menampar pelan tirai putih yang tergantung setengah lelah di jendela kamar Kalea. Udara terasa berat, seakan ikut menyimpan beban yang tak pernah terucap. Di atas ranjangnya, seorang gadis dengan mata gelisah duduk membisu, tangannya menggenggam erat sebuah amplop putih yang sudah hampir lecek, seolah isinya bisa melukai lebih tajam dari sebilah pisau.
Jantung Kalea berdetak kencang, lebih kencang dari suara detik jam di dinding yang terus memaku waktu. Degupnya seakan ingin meledak, merobek dadanya, lalu berhamburan bersama rahasia yang terkunci dalam amplop itu.
"Kenapa aku harus merasa seperti ini..." bisiknya lirih, hampir tanpa suara.
Ia memejamkan mata, mencoba menata keberanian yang rasanya hilang sejak beberapa hari terakhir. Nafasnya naik turun tak beraturan, seolah paru-parunya menolak bekerja dengan normal.
"Aku harus tahu," gumamnya, kali ini lebih tegas, meski suaranya tetap bergetar. "Aku harus tahu... siapa aku sebenarnya."
Semuanya bermula dari satu kalimat yang diucapkan Swasmita, temannya di asrama: "Kenapa sih kamu nggak mirip sama sekali sama Bang Byan? Bahkan sama mama papa juga nggak." Kalimat itu awalnya terdengar sepele, candaan biasa di antara sahabat. Tapi bagi Kalea, kata-kata itu seperti duri yang menancap dalam, karena itulah yang selama ini juga sering ia rasakan diam-diam.
Lalu malam itu, secara tak sengaja ia mendengar percakapan lirih kedua orang tuanya. Kata "rahasia" terdengar begitu jelas, diikuti suara ibunya yang terbata menahan tangis. Sejak saat itu, dunia yang ia pijak tak lagi terasa kokoh.
Kalea menunduk, menatap amplop di tangannya. Ia merasa seperti sedang menggenggam nasib sendiri. Perlahan, dengan jemari yang bergetar hebat, ia membuka lipatan kertas tebal itu. Mata hitamnya berlari membaca huruf demi huruf.
Tidak ditemukan kecocokan genetik yang menandakan hubungan biologis sebagai saudara kandung.
Hening.
Sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Suara jangkrik di luar jendela tak lagi terdengar. Bahkan detak jam pun lenyap dari telinganya.
Lalu, air mata itu tumpah.
Tangisnya pecah, tidak tertahan, seperti bendungan yang jebol oleh banjir. Ia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha meredam suara tangis, tapi tubuhnya bergetar hebat.
Ini bukan sekadar air mata kesedihan. Ini adalah air mata kehilangan, kehilangan atas keyakinan bahwa ia punya tempat sejati di rumah itu.
Bukan luka kecil. Tapi luka yang seperti mengoyak seluruh hatinya.
Malam itu, suasana rumah dipenuhi kabut kegelisahan. Lampu ruang tamu menyala redup, membentuk bayangan samar di dinding. Ayah dan ibunya duduk di sofa, berbincang ringan seolah tidak ada sesuatu pun yang salah. Rumah itu masih tampak hangat, nyaris sempurna, setidaknya dari luar.
Kalea melangkah masuk dengan langkah pelan, wajahnya pucat, matanya masih sembab. Di tangannya, amplop putih itu ia genggam seakan-akan itu adalah senjata terakhirnya.
"Ma... Pa..." suaranya parau, membuat kedua orang tuanya menoleh serentak.
"Kenapa sayang?" sang ibu tersenyum hangat, tapi senyum itu segera pudar ketika melihat wajah Kalea yang muram.
"Lea sudah tahu semuanya," ucap Kalea lirih.
Ayahnya mengernyit. "Tahu apa, nak?"
Dengan tangan bergetar, Kalea meletakkan amplop itu di atas meja kaca. Suara amplop yang jatuh terdengar lebih nyaring dari yang seharusnya, seolah menampar keheningan ruangan itu.
Ibu menutup mulutnya, wajahnya mendadak pucat. Ayah terdiam, rahangnya mengeras, urat di pelipisnya menegang.
"Lea bukan anak Mama Papa, kan?" suara Kalea pecah. "Lea juga bukan adiknya Bang Byan, kan, Pa?"
Kata-kata itu keluar dengan getir, seperti pisau yang ia paksa keluar dari tenggorokannya sendiri.
Air mata ibunya akhirnya jatuh, deras, seperti banjir yang tak mampu ditahan lagi. Sang ayah menarik napas panjang, berusaha tetap tenang, tapi sorot matanya berkaca.
"Maafkan kami, Lea..." suara ibunya bergetar. "Kami ingin mengatakannya, tapi kami terlalu takut kehilanganmu."
Tangis Kalea semakin deras. "Kalau begitu... siapa Lea sebenarnya? Dari mana Lea berasal?"
Ayahnya menunduk, menatap lantai. Lama ia diam, lalu suaranya pecah, berat. "Kamu... ditemukan di lokasi konflik. Waktu itu usiamu kira-kira satu tahun. Seorang prajurit membawa kamu ke pos tempat Papa bertugas. Kamu tidak punya identitas, tidak ada nama. Hanya sehelai selimut lusuh... dan sepotong kalung kecil di lehermu."
Kalea terdiam, tubuhnya lemas. Kata-kata ayahnya seperti palu godam yang menghantam dadanya berkali-kali. Ia menggigit bibir, berusaha menahan tangis, tapi matanya tak berhenti basah.
"Kenapa Mama Papa nggak pernah bilang?!" serunya, suara meninggi penuh luka.
"Kami takut..." jawab ibunya, tangannya meraih Kalea. "Takut kamu merasa tidak dicintai. Padahal... kami mencintaimu dengan seluruh hati kami. Bahkan... Mama sering merasa lebih sayang sama kamu daripada Byan."
Kalea menepis tangan ibunya pelan. Luka itu masih terlalu baru untuk disentuh.
Malam semakin larut ketika suara pintu depan terbuka. Byantara pulang. Seragamnya masih melekat di tubuh, wajahnya lelah tapi matanya langsung menangkap suasana rumah yang muram. Ada sesuatu yang terjadi, ia bisa merasakannya.
Ia mengetuk pelan pintu kamar Kalea.
"Lea?"
Kalea duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Matanya sembab. Ia menoleh sebentar, lalu berbisik lirih, "Aku sudah tahu semuanya, Bang."
Byantara masuk, keningnya berkerut. "Maksudmu?"
Kalea menarik napas, lalu mengucapkannya dengan suara hampir tak terdengar: "Kita... bukan saudara kandung."
Deg.
Darah Byantara seakan berhenti mengalir. Kata-kata itu menghantam telinganya dengan keras. Rahasia yang selama ini ia pendam dalam-dalam akhirnya terbongkar oleh takdir.
"Aku bukan adikmu, Bang," lanjut Kalea, matanya menunduk, enggan menatap wajahnya.
Byantara berdiri terpaku. Hatinya sesak. Bertahun-tahun ia menekan perasaan yang tak pernah boleh ada, perasaan yang setiap kali ia tatap mata Kalea, selalu tumbuh dan mengakar. Ia selalu memaki dirinya sendiri karena menganggap perasaan itu dosa. Tapi kini, Tuhan seperti membukakan celah, mereka memang bukan darah daging.
"Lea..." suara Byantara serak, nyaris pecah. "Kamu nggak pernah harus marah atau bingung. Karena sejak awal, kamu bukan sekadar adik buat aku."
Kalea menoleh, matanya bergetar. "Maksud Bang Byan?"
Byantara terdiam. Ia ingin bicara, ingin mengaku, tapi lidahnya kelu. Ada tembok yang menahannya, tembok bernama ketakutan.
Hari-hari berikutnya, rumah itu sunyi. Tidak ada tawa, tidak ada percakapan panjang. Kalea lebih sering mengurung diri di kamar. Matanya merah, wajahnya pucat, tapi ia terus berusaha tegar.
Suatu sore, ia membuka laci lemari, mencari benda yang pernah disebut ayahnya. Dan di sanalah ia menemukannya, sebuah kalung perak kecil, kusam dimakan usia. Di permukaannya terukir huruf Arab yang hampir pudar, Fatimah.
Air matanya kembali jatuh. Itukah namanya yang asli? Atau nama ibunya? Pertanyaan baru bermunculan, tapi tak ada satupun yang bisa menjawab.
Suatu malam, ibunya datang ke kamar membawa segelas teh hangat. Ia duduk di sisi ranjang Kalea, menatap wajah putrinya yang pucat.
"Kami mencintaimu, Nak. Tidak peduli darimana kamu berasal. Sejak pertama kali kami melihatmu, kamu sudah jadi darah daging kami."
Ayah berdiri di ambang pintu, suaranya bergetar. "Kamu tahu, Lea? Waktu pertama kali Byan melihatmu, dia langsung bilang terima kasih ke Papa, karena sudah bawa pulang adik kecil yang cantik. Sejak saat itu, dia nggak pernah berhenti menjagamu."
Ibunya tersenyum di balik tangis. "Waktu kamu kecil, kalau kamu merajuk nggak mau makan, Byan juga ikut nggak mau makan. Katanya, kalau adiknya lapar, kakaknya juga harus ikut lapar."
Kalea terdiam. Air matanya menetes satu-satu, membasahi pipinya. Ia menggenggam kalung perak itu erat.
"Lea percaya, Ma... Pa... Tapi beri Lea waktu. Semua ini terlalu mendadak. Luka ini masih terlalu segar."
Ibunya merangkul Kalea, mencium ubun-ubunnya dengan air mata yang tak berhenti jatuh.
Dan di luar jendela, langit kembali berawan. Seolah ikut menangis bersama rahasia yang akhirnya terbongkar.
Kalea menatap bayangan dirinya di cermin malam itu. Ia bukan lagi gadis yang sama. Dunia yang ia kenal runtuh, tapi dari reruntuhan itu, ia tahu satu hal, ia harus mencari siapa dirinya sebenarnya.
Dan jauh di sudut kamar, Byantara berdiri diam. Ia tahu, sejak malam itu, hubungan mereka takkan pernah sama lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!