NovelToon NovelToon

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

KEBANGKITAN DARI KETERAMPASAN

Keheningan adalah hal pertama yang menyambutku. Keheningan yang begitu total, begitu hampa, sehingga aku yakin inilah yang namanya akhir.

Aku adalah Kinara, tiga puluh tahun, mati di meja kerjaku karena terlalu banyak minum kopi dan terlalu sedikit tidur, kelelahan yang sempurna dari generasi yang selalu merasa berhutang pada kesuksesan yang tak tergapai.

Kematianku terasa seperti kegagalan terakhir, sebuah default abadi pada janji-janji hidup.

Lalu, keheningan itu pecah. Bukan pecah karena ledakan, melainkan karena dentuman bas yang brutal dan tak beradab. Rasanya seperti otakku dipaksa masuk ke dalam drum baja yang sedang dipukul oleh palu godam.

Aroma parfum murahan bercampur asap rokok dan bau fermentasi alkohol yang memualkan menyerbu indra penciuman yang baru saja kukira telah mati.

“sistem Mengaktifkan Transmisi".

Status Host: Kritis.

Level toksisitas alkohol: 70%.

Status keberlanjutan jiwa: 0.1%.

Sebuah suara—tanpa emosi, tanpa gender, hanya data murni—bergema langsung di belakang mataku. Bukan di telinga, tapi di kesadaran terdalamku.

"Di mana aku?"

Aku mencoba membuka mata. Kelopak mataku terasa berat, seperti diganjal pasir. Ketika berhasil, yang kulihat hanyalah kaleidoskop cahaya strobo berwarna ungu dan hijau.

Aku berada di tempat yang paling kubenci (klub malam). Dan tubuh ini—tubuh yang sedang kubaringi di sofa kulit imitasi yang lengket—bukanlah tubuhku. Aku sungguh terkejut dan semua ini membingungkan. Tiba tiba muncul suara aneh di dekatku menambah keterkejutanku.

“Siapa kau?” tanyaku, suaraku serak dan tenggorokanku kering. Suara itu terasa asing, sedikit lebih tinggi dan bernada manja.

“Saya adalah Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana. Anda, Kinara, adalah agen yang terpilih. Tubuh ini adalah Host Anda, Amara Nasywa.”

“Amara Nasywa? Aku tidak mengenalnya. Aku mati. Aku seharusnya istirahat,” ujarku, mencoba mendorong tubuh itu untuk duduk tegak.

"Ahh,Rasa pusing menghantam, membuat perutku bergejolak hebat. Rasanya aku harus muntah sekarang juga."

“Istirahat bukanlah hak Anda, Kinara. Jiwa Anda mengalami default total. Utang karma Anda terhadap eksistensi terlalu besar. Sistem menawarkan satu-satunya jalan pelunasan: Koreksi Generasi. Anda harus memperbaiki jalur hidup Amara Nasywa.”

Aku tertawa pahit, meskipun itu lebih terdengar seperti cegukan mabuk. “Pelunasan? Bahkan setelah mati, aku masih harus membayar utang?”

“Justifikasi: Amara Nasywa adalah ‘Antagonis Terbuang’ dalam alur utama semesta ini. Kegagalannya bersifat struktural, merusak narasi sosial. Tugas Anda adalah mengubah kegagalan tersebut menjadi kesuksesan. Kegagalan Amara akan melunasi kegagalan Anda.”

Aku memejamkan mata sejenak, mencoba memproses informasi absurd ini di tengah hiruk pikuk musik EDM. Jiwaku, yang mati karena gagal memenuhi standar masyarakat, kini dipaksa memperbaiki jiwa lain yang gagal memenuhi standar yang sama?

“Tunjukkan status Amara,” pintaku. Jika ini adalah permainan, setidaknya aku harus tahu status karakternya.

Seketika, di bidang pandangku muncul antarmuka digital berwarna biru es. Meskipun mata fisikku kabur, antarmuka itu tampak tajam.

[SISTEM KOREKSI GENERASI: JALUR FANA]

HOST: AMARA NASYWA

STATUS SOSIAL: ANTANGONIS TERBUANG (LEVEL E)

REPUTASI KAMPUS: -98 (Sangat Buruk)

STATUS AKADEMIK: IPK 0.9 (Terancam DO)

STATUS FINANSIAL (UTANG): Rp 78.000.000,- (Judi Online/Pinjol)

MISI SERI 1: ADAPTASI DAN DEBIT BURUK

TARGET UTAMA SERI 1: RAIH NILAI A MATA KULIAH SOSIOLOGI KRITIS (DOSEN ARKA)

BATAS WAKTU: 4 BULAN

Aku hampir terjatuh lagi. "What? IPK 0.9? Utang hampir 80 juta karena judi online?"

Kinara yang asli mati karena mencoba menjadi mahasiswa teladan dan pekerja keras; Amara ini hidup (atau setengah hidup) sebagai definisi sempurna dari kekacauan generasi. Ini bukan hanya debit buruk, ini adalah jurang kehancuran.

“Ini tidak mungkin. Bagaimana Amara bisa jatuh sejauh ini?” tanyaku, menyalurkan kemarahan dan frustrasi lama Kinara.

"Ahh, kepalaku semakin pusing!!"

“Data Host menunjukkan manipulasi eksternal dan kegagalan sistem internal. Ini tidak relevan untuk Misi Anda. Fokus pada Target. Dosen Arka dikenal anti-kemapanan dan sangat kritis terhadap mahasiswa yang mengandalkan privilese dan kekayaan orang tua. Host Amara adalah target utama kritiknya.”

Aku menelan ludah. Dosen Sosiologi Kritis. Nilai A. Dari IPK 0.9. Ini adalah misi bunuh diri, yang ironisnya, harus kulakukan agar jiwaku tidak sepenuhnya mati.

“Baik. Aku terima. Tapi aku butuh alat. Aku mabuk, aku pusing, dan otak Amara ini sepertinya tidak berfungsi dengan baik setelah digempur alkohol dan utang,” kataku tajam.

Sistem merespons dengan cepat. “Dipahami. Untuk bertahan di lingkungan Host yang sangat antagonis, Sistem akan memberikan Randomizer Skill pertama. Ini adalah hadiah survival dasar.”

[RANDOMIZER SKILL AKTIF]

MENGALOKASIKAN SKILL...

SKILL DITERIMA: FOKUS ABSOLUT (LEVEL 1)

Deskripsi: Memungkinkan pengguna mengabaikan semua gangguan eksternal dan internal selama 30 menit. Meningkatkan retensi memori jangka pendek dan menghilangkan efek mabuk atau kelelahan mental sesaat.

“Aktifkan sekarang,” perintahku tanpa ragu.

Dalam sekejap, suara musik yang tadinya mengiris telinga tiba-tiba meredup menjadi dengungan latar yang jauh. Rasa pusing yang berputar-putar lenyap, digantikan kejernihan yang dingin dan tajam. Aku bisa mencium bau asap rokok, tetapi fokusku tidak terganggu olehnya. Ini seperti menekan tombol 'Mute' pada kekacauan hidup.

Aku akhirnya bisa menganalisis situasi. Kami berada di sudut gelap, tetapi di dekat meja DJ. Ada tiga orang lain di sofa, dua pria dan satu wanita. Mereka tampak sama mabuknya dengan Amara sebelumnya.

“Aku harus keluar dari sini,” bisikku pada diri sendiri. Klub malam adalah tempat terburuk untuk memulai pembersihan citra.

Aku berdiri. Tubuh Amara, meskipun sedikit goyah, merespons. Aku melihat ke bawah. Pakaian yang dikenakan Amara adalah gaun mini hitam ketat yang membuatku merasa sangat tidak nyaman. Tapi ini bukan waktunya untuk peduli pada estetika moral, ini waktunya untuk melarikan diri.

Saat aku berjalan terseok-seok menuju pintu keluar, mataku secara tidak sengaja menangkap interaksi di bar yang ramai.

Dua pria berbadan besar dengan jaket kulit hitam—tipe yang selalu terlihat mencurigakan—berbicara dengan seorang pelayan bar.

“Amara Nasywa. Rambut cokelat, gaun hitam. Sudah tiga hari dia tidak mengangkat telepon. Bos tidak suka ditipu. Apalagi kalau menyangkut angka delapan puluh juta,” salah satu pria itu berkata, suaranya sedikit meninggi karena musik.

Kata-kata itu menghantamku seperti bongkahan es, bahkan dengan efek Fokus Absolut. Rp 78.000.000,-. Utang judi Amara bukan sekadar angka di layar sistem; itu adalah ancaman fisik yang nyata.

“Pelunasan utang adalah Misi Harian Awal Anda, Kinara. Mereka adalah penagih. Status mereka: Berbahaya,” Sistem memperingatkan.

Aku mempercepat langkahku. Tubuh ini harus selamat malam ini. Aku belum sempat membersihkan IPK 0.9, apalagi menaklukkan Dosen Sosiologi Kritis.

Saat aku mencapai pintu keluar dan merasakan angin malam Jakarta yang lembap menyentuh kulitku, aku mengambil napas dalam-dalam. Kinara yang lama sudah mati, terkubur di bawah tumpukan kegagalan. Kini, aku adalah Amara yang baru. Amara dengan IPK 0.9 dan utang 78 juta, tapi dengan jiwa seorang reformator yang kelelahan.

Aku harus segera menemukan cara untuk membayar utang itu dan, yang lebih penting, mendapatkan nilai A dari Dosen Arka. Hanya itu kunci pertamaku untuk melunasi utang jiwaku.

Saat aku melangkah ke jalanan, sebuah notifikasi lain muncul di benakku, mengakhiri Fokus Absolut dan meninggalkan ketegangan yang dingin.

[PEMBERITAHUAN SISTEM]

PENGINGAT MINGGU DEPAN: Pertemuan pertama dengan Target 1 (Dosen Arka). Bersiaplah untuk Kritik Terbuka.

PETUNJUK AWAL: Penagih utang memiliki foto Amara. Melarikan diri tidak akan menyelesaikan masalah. Cari pekerjaan yang tidak merusak citra lebih jauh.

Matahari akan segera terbit, dan aku, sang Antagonis Terbuang yang baru saja dibangkitkan, harus mencari cara untuk membayar 78 juta rupiah dan menghindari caci maki seorang dosen sosiologi yang paling kubutuhkan, semua dalam kondisi setengah sadar dan ketakutan dikejar penagih utang. Selamat datang di kehidupan keduaku.

STATUS ANTAGONIS TERBUANG

Angin malam Jakarta terasa dingin, tetapi tidak sedingin realisasi yang baru saja menghantamku. Efek dari Fokus Absolut mulai memudar. Suara klakson mobil kembali menusuk, dan rasa mual yang tertahan selama tiga puluh menit kembali menguasai perut Amara yang telah dirusak alkohol.

Aku berhasil mendapatkan taksi online yang entah bagaimana berhasil kupesan. Di kursi belakang yang remang-remang, aku memejamkan mata, membiarkan tubuh Host yang rapuh ini bersandar. Aku, Kinara, jiwa yang gagal dan kelelahan, kini harus memikul kegagalan yang jauh lebih spektakuler.

“Sistem, jelaskan mekanisme pelunasan ini sekali lagi,” pintaku, suaraku nyaris berbisik.

“Pelunasan adalah proses simbiotik. Kinara gagal karena menuntut kesempurnaan diri di bawah sistem yang tidak adil. Amara gagal karena memberontak secara destruktif terhadap sistem tersebut. Anda harus menaklukkan sistem itu dari dalam tubuh Amara. Setiap keberhasilan Amara akan mengurangi defisit karma Kinara,” jawab Sistem dengan nada datar yang selalu menjengkelkan.

“Jadi, aku mati karena terlalu patuh, dan kini aku harus menyelamatkan yang mati karena terlalu memberontak?” Aku tertawa kering. “Ironis sekali. Apakah jiwa Amara masih ada di sini?”

“Jiwa Host Amara Nasywa telah berada dalam status inersia total, mendekati nol. Dia menyerah. Anda adalah pengganti yang berfungsi untuk membersihkan utangnya kepada narasi. Begitu utang lunas, Anda akan dilepaskan, dan Amara Nasywa akan diserap kembali oleh siklus eksistensi.”

Pelepasan. Kata itu terdengar manis. Sebuah istirahat sejati. Aku harus fokus pada itu.

Taksi berhenti di depan sebuah kompleks apartemen mewah di jantung kota. Bangunan itu menjulang tinggi, menjanjikan privilese. Amara jelas tidak kekurangan uang orang tua, hanya kekurangan tanggung jawab.

Apartemen Amara di lantai atas terasa sepi, dipenuhi furnitur minimalis mahal yang tertutup debu tipis. Ada botol-botol minuman keras premium yang berserakan, tumpukan pakaian desainer yang tidak dilipat, dan aura kekacauan yang terorganisir.

Aku langsung menuju kamar mandi, menatap pantulan diriku. Wajah Amara di cermin adalah wajah yang asing: cantik, tetapi dengan lingkaran hitam samar di bawah mata dan ekspresi keras kepala yang membekas. Tubuh ini terlihat lelah, tetapi jelas memiliki potensi yang jauh lebih besar daripada tubuh Kinara yang lama.

Setelah membersihkan diri, aku duduk di meja belajar yang ironisnya dipenuhi dengan tagihan yang belum dibayar, bukan buku kuliah. Aku mengaktifkan panel Sistem sekali lagi.

“Aku perlu data yang lebih spesifik mengenai reputasi -98 itu. Apa saja skandal media sosialnya?”

Layar antarmuka Kinara beralih ke format berita digital.

[ANALISIS REPUTASI SOSIAL HOST AMARA NASYWA]

Peringkat Reputasi: -98 (Antagonis Terbuang)

Penyebab Utama Penurunan Citra:

Skandal “The Yacht Party”: Amara terekam menghina pelayan kapal saat pesta mewah, viral dengan hashtag #AmaraSiSombong. (2 Tahun Lalu)

Kasus Plagiarisme Kecil: Terlibat dalam insiden plagiarisme tugas di tahun pertama yang berhasil diredam dengan uang, namun meninggalkan jejak digital.

Utang Judi Online (Paling Baru): Perilaku yang merusak citra secara finansial.

Konfrontasi Publik: Serangkaian unggahan Twitter yang merundung mahasiswa beasiswa (Target 2, Rendra, adalah salah satu target perundungan tidak langsungnya).

Kesimpulan: Amara Nasywa dianggap sebagai perwujudan kegagalan moral dan produk dari sistem privilese yang rusak. Target 1 (Dosen Arka) akan sangat termotivasi untuk menggagalkan Anda.

Aku menarik napas tajam. Kinara yang lama sangat membenci orang-orang seperti Amara. Orang yang mendapatkan segalanya tetapi membuangnya begitu saja, bahkan menggunakan privilesenya untuk merendahkan orang lain. Dan sekarang, aku harus menjadi dia.

“Skandal The Yacht Party dan perundungan. Itu lebih buruk dari IPK 0.9,” ujarku, menggigit bibir. “Orang-orang tidak membenci Amara karena dia bodoh, mereka membencinya karena dia jahat.”

“Tepat. Tugas Anda adalah membersihkan status ‘Jahat’ dan menggantinya dengan status ‘Reformator.’ Utang akademis dan finansial hanyalah manifestasi dari kerusakan moral ini.”

“Aku butuh detail utang itu,” alihku, mencoba menghindari fakta bahwa aku harus merehabilitasi seorang perundung. “Tujuh puluh delapan juta. Bagaimana Amara bisa jatuh ke judi online?”

“Data menunjukkan Amara mengalami kekosongan emosional yang akut, mencari validasi instan melalui risiko tinggi. Utang ini terbagi menjadi lima kredit pinjaman online ilegal dan satu pinjaman dari sindikat perjudian yang melacak Anda.”

Aku memijat pelipisku. “Sindikat perjudian. Itu sebabnya penagih utang ada di klub. Mereka bukan sekadar bank. Mereka adalah ancaman.”

“Ya. Misi harian mendesak: Cari sumber pendapatan yang sah. Penghasilan harus cukup untuk mencicil minimal Rp 5.000.000,- per bulan untuk meredakan ancaman.”

“Lima juta sebulan? Aku tidak bisa bekerja sebagai model Instagram Amara lagi. Itu hanya akan memperburuk citra Antagonis Terbuang,” kataku frustrasi. “Dan aku belum mulai kuliah!”

Sistem hening sejenak, seolah sedang menghitung probabilitas. “Analisis: Citra akademis Amara adalah yang terburuk. Citra sosial Amara adalah yang paling tercemar. Untuk menghasilkan uang, Anda harus menggunakan salah satu aset Host yang tidak merusak citra. Aset Host saat ini: Kemampuan Berbahasa Asing (Mandarin, Level 3).”

Aku mengerutkan kening. “Mandarin? Amara bisa berbahasa Mandarin?”

“Ya. Salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang dia ambil dan lupakan. Sistem menyarankan pekerjaan paruh waktu sebagai penerjemah/guru privat daring. Ini memberikan citra akademis yang netral dan penghasilan yang cepat.”

Ide itu cukup cerdik. Setidaknya itu menunjukkan usaha. Kinara yang lama adalah pekerja keras. Setidaknya etos kerjaku bisa disalurkan ke tubuh Amara.

Tiba-tiba, ponsel Amara yang mahal di sampingku berdering nyaring. Bukan nada dering biasa, melainkan dering peringatan yang menusuk. Layar menunjukkan nomor tak dikenal.

Aku ragu-ragu, tetapi Sistem mendorong. “Angkat. Ini mungkin penagih utang yang ingin menegaskan kembali keberadaan mereka.”

Aku menggeser tombol jawab, menekan ponsel ke telingaku. Aku mencoba menirukan nada acuh tak acuh yang mungkin biasa Amara gunakan.

“Halo?”

“Amara Nasywa.” Suara itu berat, serak, dan tanpa basa-basi. “Tuan Besar kami tahu kau ada di klub malam tadi. Kami tidak suka dikejar-kejar. Uang kami harus kembali. Besok, jam 12 siang, transfer minimal tiga juta. Atau kami yang akan menjemputmu di kampus.”

Jantungku mencelos. Mereka tahu aku di kampus. Ancaman itu nyata dan terdekat. Mereka tidak hanya mengejar Amara, mereka akan mengaitkan Amara dengan kebangkrutan moral di lingkungan akademisnya.

“Aku akan… aku akan mengaturnya. Beri aku waktu,” kataku, mencoba terdengar tegas namun gemetar.

“Kau punya waktu sampai besok siang. Setelah itu, kami akan memposting semua bukti utangmu di dinding kampus. Itu akan menjadi berita yang menarik, Nona IPK 0.9.” Pria itu menutup telepon tanpa menunggu jawaban.

Aku menjatuhkan ponsel ke kasur, merasakan darahku berdesir dingin. Tiga juta rupiah dalam waktu kurang dari 24 jam. Ini bukan lagi tentang nilai A, ini tentang kelangsungan hidup fisik dan citra Amara.

“Sistem! Tiga juta dalam 24 jam! Aku tidak punya uang tunai Amara,” panikku.

“Tenang. Kinara, ingatlah, kegagalan finansial Amara berasal dari utang, bukan kurangnya aset. Anda harus mencari sesuatu yang bisa dijual, yang tidak melanggar Misi Pembersihan Citra. Barang berharga yang tidak terdaftar sebagai barang pribadi di media sosial.”

Aku bangkit, mataku menjelajahi ruangan mewah namun berantakan itu. Cincin berlian? Terlalu mencolok. Tas bermerek? Terlalu mudah dilacak.

Aku mendekati lemari pakaian Amara, berharap menemukan perhiasan yang tersembunyi. Tanganku menyentuh sesuatu yang keras dan dingin di balik tumpukan syal sutra. Itu adalah sebuah kotak kayu kecil, terlihat kuno, sangat kontras dengan kemewahan modern Amara.

Kubuka kotak itu. Di dalamnya, terbungkus beludru hitam, ada sebuah jam tangan saku kuno dengan ukiran yang rumit. Itu terlihat sangat tua dan berharga.

“Sistem, apa ini?”

“Jam tangan saku emas. Warisan keluarga. Nilai estimasi di pasar gelap: Rp 10.000.000,-. Belum pernah dipublikasikan di media sosial Host. Ini adalah aset aman,” Sistem mengonfirmasi.

Sepuluh juta. Lebih dari cukup untuk membayar tuntutan awal penagih utang dan memberikan waktu bernapas. Tetapi menjual warisan keluarga Amara terasa seperti penghinaan terhadap sisa-sisa martabatnya.

“Aku harus menjual ini hanya untuk bertahan hidup sehari? Amara, apa yang sudah kau lakukan pada hidupmu?” Aku berbisik pada tubuh itu.

Sistem memunculkan peringatan baru.

[PEMBERITAHUAN MENDESAK]

MISI BARU: JUAL ASET AMAN (JAM SAKU) SEBELUM PUKUL 10:00 BESOK PAGI.

RISIKO: Penjualan ini akan memicu reaksi dari Target 4 (Konglomerat Surya), karena item ini memiliki koneksi ke bisnis ayahnya. Bersiaplah untuk tatap muka tidak terduga.

Kinara/Amara menggenggam jam tangan saku itu erat-erat. Aku kini adalah penipu yang menjual warisan untuk membayar utang judi, semua demi melunasi utang kegagalanku sendiri. Jiwa yang kelelahan ini baru saja memasuki arena gladiator.

“Baiklah. Besok pagi, aku akan menjadi pedagang gelap,” putusku. “Dan setelah itu, aku akan membersihkan IPK 0.9 ini. Aku harus bertemu Dosen Arka.”

Sistem merespons, nada datarnya kini terasa seperti ancaman yang tak terhindarkan. “Dosen Arka. Pertemuan pertama. Ingat, kegagalan Amara bersifat struktural. Untuk menaklukkannya, Anda harus menjadi mahasiswi yang paling tidak ingin ia lihat, namun dengan argumen yang paling tidak bisa ia bantah.”

Aku meletakkan jam saku di laci. Tiga juta harus disiapkan. Besok akan menjadi hari pertamaku di kampus sebagai Amara Nasywa, si Antagonis Terbuang. Dan di sana, aku akan menghadapi bukan hanya Dosen Sosiologi yang kritis, tetapi juga reputasi buruk yang telah dipupuk Amara selama dua tahun terakhir.

Saat aku mencoba tidur, sebuah notifikasi terakhir muncul di layar ponsel Amara—bukan dari penagih utang, tetapi dari grup obrolan mahasiswa kelas Sosiologi Kritis. Itu adalah sebuah tangkapan layar, memperlihatkan pesan dari seorang mahasiswa yang paling berprestasi di kelas tersebut.

[TANGKAPAN LAYAR]

@ElitMahasiswa: Saya dengar si Amara Nasywa, si sampah IPK 0.9, akan masuk kelas Pak Arka minggu depan. Saya harap Pak Arka segera mengeluarkannya. Mahasiswa seperti dia hanya merusak citra fakultas kita. #DOAmara

Kemarahan dingin memenuhi dadaku. Ini bukan hanya pertarungan melawan utang atau IPK. Ini adalah pertarungan melawan kebencian kolektif yang mengakar kuat. Mereka ingin aku gagal. Dan aku harus menggunakan seluruh kegagalanku yang lama untuk memastikan Amara yang baru ini berhasil.

INTERAKSI SISTEM

Pagi menyambutku dengan sisa-sisa kemarahan malam. Tubuh Amara terasa lelah, tetapi adrenalin Kinara menolak untuk menyerah pada kantuk. #DOAmara. Hashtag itu terasa seperti luka bakar di tengkukku.

Aku mengambil jam tangan saku emas kuno itu dari laci. Dingin dan berat, jam itu adalah artefak dari masa lalu Amara yang bertanggung jawab, kontras dengan kekacauan yang kini mendefinisinya. Aku harus menjualnya, menjual warisan demi melunasi kebodohan.

“Sistem, berikan rute teraman untuk menjual ini sebelum pukul 10:00. Aku butuh anonimitas,” ujarku sambil mengenakan hoodie dan topi untuk menutupi wajah Amara yang terlalu mudah dikenali.

“Sistem telah mengidentifikasi jaringan pembeli barang antik yang tidak mengajukan pertanyaan di daerah Senayan. Anda harus bertindak cepat,” respons Sistem, memproyeksikan peta augmented reality di sudut pandangku.

Aku berhasil mendapatkan ojek daring dan menyelinap keluar dari apartemen tanpa menarik perhatian. Transaksi itu dilakukan di sebuah kedai kopi kumuh yang tersembunyi. Pria paruh baya yang kutemui terlihat sinis. Ia memutar jam itu di tangannya, matanya menilai kemewahan yang tersembunyi.

“Sepuluh juta, Nona Amara. Barang bagus,” katanya, nadanya datar. Aku terkejut dia tahu namaku, tetapi kemudian aku ingat, siapa yang tidak tahu Amara Nasywa?

“Aku hanya perlu tiga juta sekarang,” kataku, menahan diri untuk tidak terdengar memohon. “Sisanya bisa kau simpan sebagai deposit. Aku akan mengambilnya kembali dalam satu bulan.”

Pria itu tertawa. “Deposit? Ini bukan gadai, Nona. Ini penjualan. Kau sedang panik. Aku akan memberimu tiga juta tunai sekarang, sisanya aku simpan untuk diriku sendiri. Ambil atau tinggalkan.”

Kinara yang lama akan bernegosiasi keras, tetapi Amara yang sekarang sedang diburu waktu. “Ambil. Aku ingin uang tunai, sekarang.”

Setelah uang tunai berpindah tangan, aku bergegas kembali ke apartemen. Tangan dan hatiku terasa kotor. Aku baru saja membuang warisan berharga untuk membayar utang judi. Moralitas Kinara telah terkikis demi kelangsungan hidup Amara.

Tepat pukul 11:30, tiga juta rupiah telah ditransfer ke rekening sindikat judi online ilegal itu. Aku menunggu respons dari ponselku dengan napas tertahan.

[PEMBERITAHUAN SISTEM]

STATUS UTANG: CICILAN AWAL (Rp 3.000.000,-) BERHASIL. ANCAMAN FISIK DITANGGUHKAN 7 HARI.

REPUTASI: -98 (Tidak Berubah. Perlu aksi positif signifikan.)

Tujuh hari. Itu adalah waktu bernapas yang berharga. Aku menyadari bahwa misi pelunasan utang ini akan menjadi maraton yang menyakitkan, bukan sprint.

“Baiklah, ancaman fisik sudah tertangani sementara. Sekarang, fokus pada misi utama. Akademis,” ujarku, mengambil tas kuliah Amara yang entah sejak kapan menjadi tempat sampah. “Aku butuh daftar misi harian, Sistem. Aku harus mendapatkan nilai A dari Pak Arka (Target 1) di Sosiologi Kritis.”

Sistem merespons dengan menampilkan daftar misi yang panjang, terbagi menjadi tiga kategori: Finansial, Akademis, dan Sosial.

[DAFTAR MISI HARIAN/MINGGUAN KINARA/AMARA]

Misi Akademis (Target 1):

Pertemuan Pertama: Hadiri Kelas Sosiologi Kritis Pak Arka (Hari Ini, 14:00).

Kuis Survival: Raih skor sempurna (100%) dalam Kuis Pendahuluan Sosiologi Kritis (Wajib, akan diadakan tanpa pemberitahuan).

Aksi Nyata: Dapatkan minimal dua pujian verbal dari Pak Arka di depan kelas sebelum akhir minggu.

Misi Finansial:

Pekerjaan Sah: Daftarkan diri sebagai Guru Privat Mandarin Daring. (Target Penghasilan: Rp 5.000.000,-/bulan)

Pelunasan: Cicil utang minimal Rp 5.000.000,- setiap akhir bulan.

Misi Sosial (Perbaikan Citra):

Debunk: Tolak tawaran pesta/minuman keras dari teman lama Amara minimal tiga kali minggu ini.

Interaksi Netral: Lakukan interaksi positif dengan minimal satu mahasiswa beasiswa (Target 2, Rendra, berada dalam kategori ini).

Skor sempurna di Kuis Pendahuluan? Pak Arka dikenal kejam. Kuisnya bahkan tidak bisa dijawab oleh mahasiswa berprestasi. Aku, dengan IPK 0.9, harus mendapatkan 100%.

“Itu misi yang mustahil, Sistem. Aku tidak punya waktu untuk menghafal semua teori Marxisme dan Foucault sebelum jam dua siang,” keluhku.

“Di sinilah bantuan Sistem diperlukan, Kinara. Anda membutuhkan adaptasi yang cepat, bukan kemampuan jangka panjang. Misi telah selesai dua kali (transmigrasi dan pembayaran utang awal). Anda mendapatkan satu putaran Randomizer Skill.”

Sebuah roda berputar muncul di pandangan mataku, dihiasi dengan kata-kata seperti ‘Retorika Cepat,’ ‘Penyamaran Sempurna,’ dan ‘Pemahaman Instan.’ Aku menyaksikan jarum itu berputar cepat, melintasi opsi yang menjanjikan.

Jarum itu melambat, dan berhenti di sebuah kata yang berkedip-kedip dengan cahaya biru neon.

[RANDOMIZER SKILL TERKUCI]

Skill: FOKUS ABSOLUT (Level 1)

Durasi: 60 Menit (Cooldown: 24 Jam)

Efek: Mengizinkan Kinara untuk mengabaikan semua stimulus eksternal (rasa lapar, sakit, distraksi lingkungan) dan memproses informasi visual/auditori dengan kecepatan 500% lebih cepat dan tingkat retensi 99%. Ideal untuk menghafal atau menyerap materi kompleks dalam waktu singkat.

Aku menatap nama skill itu. Fokus Absolut. Ironis. Di kehidupan lamaku, aku selalu kehilangan fokus, terlalu lelah dan terdistraksi oleh tuntutan hidup. Sekarang, aku diberi alat untuk mencapai fokus yang mustahil.

“Aku mengerti. Ini adalah cheat yang kubutuhkan untuk bertahan,” gumamku.

“Ini bukan cheat, Kinara. Ini adalah kompensasi. Jiwa Anda kelelahan. Tubuh Host tidak terbiasa bekerja keras. Ini adalah jembatan yang memungkinkan Anda untuk menyalurkan etos kerja Anda ke tubuh Amara yang rusak,” koreksi Sistem.

Waktu menunjukkan pukul 12:45. Aku punya waktu satu jam sebelum harus berangkat. Aku mengumpulkan semua diktat kuliah Sosiologi Kritis yang bertebaran di kamar Amara, yang terlihat belum pernah dibuka.

“Aktifkan Fokus Absolut, sekarang,” perintahku.

Begitu kata itu terucap, dunia di sekitarku lenyap. Suara AC, deru mobil di luar, rasa sakit kepala Amara—semuanya memudar. Mataku terasa dingin, fokus, dan tajam. Waktu seolah melambat.

Aku mengambil buku teks tebal Sosiologi Kritis. Kinara yang lama butuh dua hari untuk memahami satu bab. Kini, mataku melayang di atas baris-baris teks, dan setiap konsep—struktur, agensi, hegemoni, dialektika—langsung tertanam di korteks prefrontal. Aku membaca bab-bab penting tentang Kritik Institusional dan Kebijakan Publik dalam kecepatan yang absurd. Aku bisa merasakan materi itu terintegrasi dengan pengetahuanku yang lama.

Selama 60 menit itu, aku bukan Kinara, dan bukan Amara. Aku adalah mesin pembelajaran yang sempurna. Aku menyerap esensi pemikiran Pak Arka dari catatan kuliah yang dia posting di sistem daring. Aku tahu apa yang dia inginkan: bukan hafalan, tapi analisis yang tajam terhadap sistem yang korup.

Ketika 60 menit berakhir, sensasi tajam itu mereda, digantikan oleh kelelahan yang luar biasa. Namun, di dalam kepala Amara, kini tersimpan gudang data sosiologis yang siap digunakan.

“Kuis Survival 100%,” kataku dengan keyakinan baru. “Aku siap.”

Pukul 13:45. Aku berangkat ke kampus. Perjalanan itu terasa sangat berbeda dari malam sebelumnya. Setiap mata di koridor kampus terasa seperti laser yang menembak ke arahku. Mereka tidak melihat Kinara, mereka melihat Amara Nasywa—si perundung yang menjual IPK untuk pesta.

Aku mendengar bisikan. “Itu Amara. Kenapa dia masuk kuliah?”

“Gila, dia benar-benar datang ke kelas Arka? Itu bunuh diri.”

Aku mengabaikan mereka, berjalan dengan postur tegak. Aku tahu, jika aku menunjukkan keraguan, mereka akan merobekku berkeping-keping.

Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) terasa seperti labirin yang dingin, dipenuhi ambisi terselubung. Aku menuju ruang kelas Sosiologi Kritis yang terletak di lantai tiga.

Pintu kelas sudah tertutup, yang berarti aku terlambat, sesuai dengan citra Amara yang tidak bertanggung jawab. Aku menarik napas dalam-dalam. Ini adalah pintu gerbang menuju kehidupanku yang baru, atau pintu jebakan menuju kehancuran total.

Aku mendorong pintu itu. Ruangan yang luas dan gelap itu dipenuhi oleh sekitar empat puluh mahasiswa yang semuanya menoleh ke arahku, seolah aku adalah badut yang baru saja memasuki panggung.

Di depan, berdiri seorang pria. Rambutnya hitam dan rapi, mengenakan kemeja batik formal yang kontras dengan suasana kelas yang tegang. Wajahnya tegas, dengan tatapan mata yang tajam, mampu menelanjangi semua kepura-puraan.

Dialah Pak Arka. Dosen Sosiologi Kritis. Target 1.

Dia berhenti bicara. Seluruh kelas hening. Tatapannya menembus topeng ketidakpedulian yang coba kupasang. Aku merasakan intimidasi intelektual yang kuat, jauh melampaui intimidasi fisik dari penagih utang.

“Nasywa,” suaranya berat, menyebut nama Host dengan penekanan yang sinis. “Terlambat. Saya kira mahasiswa dengan reputasi akademis seperti Anda sudah tidak repot-repot datang ke kelas yang menuntut pemikiran kritis.”

Aku berdiri tegak di ambang pintu. Jantungku berdebar kencang. Aku harus membalikkan argumen ini, di hadapan semua orang, tanpa terlihat defensif.

“Saya minta maaf, Pak,” jawabku, suaraku tenang dan tidak gemetar, mengejutkan diriku sendiri. “Tapi justru karena reputasi akademis saya yang buruk, saya merasa wajib hadir. Kritik adalah satu-satunya alat yang tersisa bagi mahasiswa yang telah gagal di dalam sistem ini.”

Seisi kelas tersentak. Pak Arka tidak mengatakan apa-apa, hanya memiringkan kepalanya sedikit, menganalisis respons yang sama sekali tidak seperti Amara Nasywa yang ia kenal.

Dia menunjuk kursi kosong di barisan depan. “Duduklah, Nasywa. Dan mari kita lihat apakah kegagalan Anda ini mampu menghasilkan kritik, atau hanya sekadar pemberontakan tanpa isi.”

Aku berjalan ke kursi, merasakan tatapan sinis dari mahasiswa lain, terutama dari seorang pria di barisan tengah yang aku kenali dari data Sistem: Rendra (Target 2), Ketua BEM otoriter yang Amara pernah rundung secara tidak langsung.

Begitu aku duduk, Pak Arka melanjutkan, tetapi matanya terus sesekali melirikku. Kemudian, tanpa diduga, ia tersenyum tipis—senyum yang bukan kehangatan, melainkan janji bahaya.

“Baik. Karena Nasywa telah bergabung, mari kita mulai. Saya tidak percaya pada formalitas jadwal,” katanya, mengambil selembar kertas dari mejanya. “Keluarkan pulpen. Kuis Pendahuluan. Sekarang.”

Semua mahasiswa mengeluh, tetapi Kinara/Amara hanya diam. Kuis Survival yang ditakuti itu datang lebih cepat dari yang diharapkan. Aku hanya bisa mengandalkan 60 menit Fokus Absolut yang baru saja berakhir. Ini adalah ujian pertama sistemku, dan Pak Arka akan menjadi juri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!