Detik ini, di salah satu sudut kota, rintik hujan sedang mengguyur di kala petang sedang menjelang. Sebagian penduduk kota itu ada yang sudah berkumpul bersama keluarga, melepas lelah, setelah menjalankan aktifitas seharian sembari menunggu waktu tidur tiba.
Sebagian lagi, penduduknya ada yang baru saja mulai menjalankan aktifitasnya untuk mencari rejeki sesuai dengan jam yang biasa mereka lakukan.
Seperti beberapa pedagang di pinggir jalan, yang biasa membuka lapak mereka, ketika sore menjelang hingga tengah malam nanti atau bahkan bisa saja sampai pagi esok hari.
"Mas, aku martabak coklat keju ya?" ucap seorang pembeli kepada penjual martabak di salah satu sisi jalan sekitar satu jam setelah lapak itu dibuka.
"Baik, Bu, tunggu sebentar ya?" ucap si penjual dengan ramah dan dia melanjutkan tugasnya yang sedang membuat martabak milik pembeli lain.
Meskipun gerimis menerjang, tidak menyurutkan niat beberapa orang yang ingin menikmati makanan di pinggir jalan dan salah satu pedagang yang pembeli nampak berkerumun adalah pedagang martabak.
Sudah beberapa bulan terakhir ini, omset penjualan martabak di tempat itu terbilang naik secara signifikan. Banyak yang bilang karena rasanya yang enak.
Namun tak sedikit pula yang bilang, para pembeli sengaja datang ke lapak tersebut karena tertarik dengan salah satu penjualnya yang merupakan orang baru di sana.
Pedagang martabak tersebut sudah berjualan cukup lama dan pemiliknya sudah beberapa kali mengganti karyawannya dengan beragam alasan.
Di awal jualannya, martabak itu tergolong biasanya saja dan kadang malah mengalami sepi pembeli.
Namun, sejak kedatangan karyawan baru beberapa bulan belakangan ini, omset penjualan martabak di tempat itu mengalami kenaikan yang cukup pesat. Bahkan jika diperhatikan kebanyakan para pembelinya adalah kaum wanita.
Tak jarang pula, karyawan tersebut mendapat banyak godaan ataupun kenalan baru dengan beberapa pembeli yang iseng dan atau cari kesempatan agar dekat dengan karyawan tersebut.
"Mal, nanti malam, kamu main ps lagi nggak?" tanya si penjual martabak sekaligus sang pemilik usaha tersebut.
"Kayanya sih iya, Mas, udah janjian sama penjual angkringan dan nasi goreng tadi," jawab anak muda yang memiliki nama panggilan kamal. "Kenapa emangnya, Mas?"
"Nanti, tolong, sekalian nganterin pesanan buat Mbak Salma, dia pesan martabak empat porsi tapi minta dianter nanti jam dua belas malam," ucap si pemilik usaha.
"Loh, kok malam banget, Mas?" Kamal jelas kaget. "Mbak Salma itu rumahnya mana sih?"
"Di desa sebelah, nanti aku chat alamatnya," balas si pemilik usaha. "Dia lagi ada acara keluarga dan dia pesan martabak buat besok pagi disantap keluarganya. Dia minta pesanannya di antar nanti malam karena sat ini dia lagi ada acara. Biasanya sih kalau pesan pakai online."
Kamal pun mengangguk paham. "Ya udah, nanti sekalian aku antar, Mas" jawabnya tanpa rasa keberatan.
Nama panggilannya Kamal, dan usianya baru menginjak angaka dua puluh satu tahun lebih beberapa bulan. Meskipun berasal dari kampung, Kamal memiliki wajah yang bisa membuat lawan jenis tertarik kepadanya meski hanya sekali lihat.
Sebenarnya Kamal layaknya anak muda pada umumnya. Saka merokok, begadang atau menjalankan kegiatan anak muda pada umumnya.
Meski begitu Kamal masih bisa menjaga diri. Dia sadar betul kalau dia berasal dari keluarga yang biasa saja. Makanya, meskipun sekarang dia bekerja di tempat yang jauh dari daerah asalnya, Kamal harus bisa menjaga diri dan sikap agar tidak terlibat masalah yang cukup berat.
Nama pemilik usaha tempat kerja Kamal adalah Deni, atau yang akrab dipanggil Mas Deni oleh Kamal. Dia sudah cukup lama jualan di daerah tersebut. Bahkan, Deni juga mendapat pendamping hidup di sana dan sekarang sudah memilliki anak laki-laki berusia lima tahun.
Deni dan Kamal juga sebenarnya masih ada hubungan keluarga. Alasan Kamal mau ikut jualan, karena selain membutuhkan uang, Kamal juga ingin belajar menjadi penjual martabak agar kelak kalau sudah ahli, dia ingin membuka usaha sendiri sesuai yang dia cita-citakan selama ini.
Hingga waktu terus merangkak maju, kini waktu sudah menunjukan kalau Mas Deni dan Kamal harus menutup lapak jualannya. Mereka memang biasa tutup jam dua belas malam, meskipun kadang bahan utama untuk jualan, masih ada sisa.
"Mending kamu langsung antar pesanan aja, Mal," ucap Deni kala kamal sedang membantunya menutup lapak jualan "Biar lapak, aku aja yang beresin."
Kamal mengangguk dan dia melangkah menuju bungkusan plastik berisi empat kardus martabak. "Ini benar alamatnya, Mas?" tanya Kamal saat dia memeriksa ponselnya untuk memastikan kembali alamat yang tadi dia dapat dari bosnya."l
"Iya, di situ juga ada nomer ponselnya kan? Nanti telfon orangnya aja kalau udah dekat," jawab Deni sambil terus merapikan lapaknya. "Jangan lupa bawa mantel, takutnya nanti malah hujan gede."
"Udah ada di motor kok, Mas," jawab Kamal yakin. "Ya udah, Mas, aku berangkat dulu."
"Ya, hati-hati," balas Deni. Kamal mengiyakan sembari melangkah menuju motor yang terparkir tak jauh dari lapak jualannya. Tak lupa juga Kamal pamit kepada dua temannya yang tadi janjian mau main ps bersama setelah jualan.
Kenalan Kamal itu sama-sama pedagang dan lapak jualan mereka saling berdekatan. Meskipun mereka berasal dari daerah yang berbeda, Kamal dan teman-temannya itu menjadi akrab karena mereka sering berinteraksi hingga terjadi pertemanan yang akrab
Kamal melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Meskipun dia sadar, kalau ,rintik hujan kembali mengguyur kota itu, Kamal sama sekali tidak mengenakan mantelnya. menurut, hujan saat itu hanya sebatas rintik kecil. Jadi cukup menggunakan jaket dan helm saja sebagai pelindung.
"Di sini apa yah?" gumam Kamal kala motornya baru saja melewati sebuah gapura. "Mending aku telfon orangnya dulu." Kamal pun langsung menghubungi nomer yang tertera di pesan yang dia terima dari Mas Deni
Tak butuh waktu lama, kamal langsung menanyakan alamat pastinya begitu dia mendapat respon dari si pemesan martabak. Begitu informasinya sudah cukup jelas, panggilan pun berakhir dan Kamal kembali melajukan motornya.
"Gila, sepi banget," gumam Kamal kala laju motornya memasuki sebuah area sesuai petunjuk. "Namanya juga tengah malam, pasti orang-orang udah pada tidur," gumanya lagi dan Kamal pun memelankan laju motornya sambil matanya memperhatikan beberapa rumah, hingga akhirnya dia menemukan rumah yang dituju.
Sesuai perintah, Kamal kembali menghubungi pemesan martabak dan begitu mendapat respon, Kamal langsung diberi petunjuk untuk masuk saja karena gerbang tidak dikunci. Kamal pun mengiyakan dan dia segera melangkah, meninggalkan motornya di tepi jalan.
Begitu sampai di depan pintu, Kamal langsung mengetuk pintu rumah tersebut dan tak butuh waktu lama, pintu rumah pun terbuka. Di saat si pemilik rumah menampakan diri, mata Kamal seketika melebar dengan apa yang dia saksikan di hadapannya.
Kamal terpaku di depan pintu. Matanya hampir tak berkedip, kala menatap pemandangan indah yang tersaji di depan matanya.
Di saat bersamaan, secara tibat-iba hujan yang tadinya hanya rintik-rintik mulai menandakan akan lebih deras dari saat ini. Seketika itu juga Kamal tersentak kala mendengar hujan yang mulai bertambah deras.
"Loh, hujan langsung deras," suara sang pemilik rumah juga cukup membantu Kamal tersadar dar bengongnya "Motornya mending dimasukin teras aja, Mas," sosok bersuara lembut itu sontak memberi saran yang cukup masuk akal.
"Iya, Mbak. sebentar, ini martabaknya," Kamal segera menyerahkan dua bungkus plastik yang dia tenteng lalu bergegas mengamankan motor yang dia bawa de dalam teras rumah itu.
"Langsung masuk aja ya, aku ambil uang dulu," sang pemilik rumah kembali bersuara dan Kamal hanya mengiyakan sambil memarkirkan posisi motor yang pas.
Setelah itu dia pun bergegas masuk ke dalam rumah yang nampak sepi dan bercahaya remang-remang di ruang tengahnya.
"Loh, kok berdiri?" si pemilik rumah kembali datang dengan penampilannya yang langsung membius tatapan pria lajang itu. "Duduk dulu," titahnya dan kamal mengangguk sambil tersenyum canggung.
Kamal mencoba mengalihkan perhatian ke arah lain karena pemandangan yang tersaji di depan matanya, membuat otaknya langsung berpikir kotor.
Entah karena lupa atau memang sengaja, pemilik rumah itu mengenakan pakaian tidur yang cukup seksi dan agak terbuka, yang dikenal dengan nama lingeri.
Meski pakian yang digunakan wanita itu ditutupi dengan pakaian lain di bagian luarnya, namun tetap saja bagian dalamnya tertampang begitu jelas karena pakaian luarnya haya kain tipis dan tidak dikancing.
Tercetak dengan jelas belahan yang tertera di bagian dada serta dua benda kembar yang nampak begitu bulat dan kenyal karena sebagian benda kembar itu terjerat pakaian yang cukup ketat.
Belum lagi area pangkal paha yang nampak menggoda untuk diusap, menbuat mata Kamal kesusahan untuk menghindari pemandangan indah yang amat sangat disukai jiwa laki-laki.
"Ini martabak coklat kacang keju semua kan?" suara wanita pemilik rumah seketika memecah pikiran Kamal yang sedang membayangkan hal berbau nakal akibat dari apa yang dia pandang.
"Iya, Mbak," jawab Kamal agak gugup
Sebagai pria yang normal tentu saja Kamal tidak bisa menepis otaknya untuk berpikir kotor, begitu menyaksikan pemandangan yang menggoda jiwa lelakinya.
"Jadi totalnya berapa? Soalnya baru kali ini aku pesan minta diantar langsung," ucap si pemilik rumah yang katanya biasa dipanggil Mbak Salma.
"Tiga puluh lima ribu kali empat, Mbak, jadi seratus empat puluh ribu," jawab Kamal berusaha bersikap wajar meski hatinya bergejolak tak karuan.
Mbak Salma tersenyum lantas dia menyodorkan dua lembar uang seratus ribu. Kamal menerima uang tersebut dan dia merogoh sakunya lalu mengeluarkan dompet yang dia bawa.
"Waduh, Mbak, ada uang pas nggak? Kembaliannya kurang tiga puluh," Kamal agak kaget waktu mengetahui isi dompetnya yang hanya ada tiga puluh ribu saja.
"Bentar ya?" Salma kembali bangkit dan langkahnya membuat Kamal terus menatapnya dan sesekali Kamal juga menelan ludah dan geleng-geleng kepala.
"Sial, isi celanaku menegang," gumam Kamal agak kesal. "Untung aku pakai celana ketat. Kalau cuma pakai kolor, bisa bahaya ini."
Tak butuh waktu lama Salma kembali lagi dan kali ini dia menyodorkan uang lima puluh ribu. "Kembaliannya buat kamu aja, buat bensin," ucapnya.
"Makasih, Mbak," Kamal mengembalikan selembar uang seratus ribu dan menerima uang lima puluh ribu. "Ya udah, Mbak, kalau begitu saya pamit."
Salma mengangguk sembari melempar senyum. "Kamu bawa mantel nggak? hujannya deres banget tuh," ucapnya.
"Bawa, Mbak," jawab Kamal, lalu dia bangkit dan kembali pamit, kemudian dia melangkah menuju pintu. Salma pun mengkuti dan wanita itu hanya memperhatikan Kamal dari ambang pintu.
"Loh, mantelnya mana?" Kamal kaget, begitu membuka jok motor, ternyata mantelnya tidak ada. "Perasaan tadi pagi udah di sini?"
"Kenapa, Mas?" melihat sikap Kamal yang agak aneh, si pemilik rumah pun menjadi penasaran.
"Ini, Mbak, mantelku nggak ada, kayanya ketinggalan," jawab Kamal jujur.
"Walah, kok bisa? Mana hujannya deres banget lagi," balas Salma, "Mending masuk aja dulu deh, biasanya kalau hujan deras, cuma sebentar."
"Nggak usah lah, Mbak, mau diterjang aja," tolak Kamal halus.
"Jangan gitu, nanti kalau ada apa-apa sama kamu bagaimana?" balas Salma. "Nanti aku yang nggak enak jika terjadi apa-apa sama kamu. Udah, sini masuk dulu, nunggu hujan reda."
"Aduh tapi, Mbak," Kamal pun langsung dilema.
"Udah, nggak usah pakai tapi, masuk aja, sini," paksa Salma. "Takutnya nanti malah ada begal."
Kamal pun akhirnya pasrah. Dia kembai masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang tak menentu.
Di saat Kamal baru saja mendaratkan, pantatnya di atas kursi, dia kembali dikejutkan dengan sesuatu yang terjadi mendadak.
"Loh, lampunya mati," pekik Salma kebingungan. "Aduh, ponselku ada di kamar lagi."
Seakan mengerti keadaan, Kamal langsung merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel terus menyalakan senter yang ada di ponselnya.
"Wah, pengertian banget," Salma nampak senang. "Bisa anterin ke belakang enggak, ambil lilin sekaligus bikin minum buat kamu."
Kamal tersenyum tipis dan dia mengangguk samar. "Ayok, mbak."
Keduanya lantas bangkit menuju dapur. Kamal menggunakan cahaya ponsel sebagai penunjuk jalan hingga mereka akhirnya sampai di dapur.
Di dapur, kamal terus memandangi si pemilik rumah. Kadang dia juga mengalihkan pandangannya ke arah lain agar otaknya tidak berpikiran nakal karena pakaian yang dikenakan pemilik rumah benar-benar meresahkan.
"Kok cuma menyalakan satu lilin, Mbak?" tanya Kamal basa-basi, agar tidak terlalu canggung. "Yang lain emang nggak kegelapan?"
"Yang lain?" bukannya menjawab, Salma malah melempar pertanyaan yang membuat Kamal agak kaget.
"Ya keluarga yang lain? Mereka kan pasti juga butuh lilin," jawab Kamal jujur.
Salma lantas tersenyum. "Mana ada keluarga lain? Aku tuh tinggal sendirian, tahu, Mas," jawab wanita itu dengan entengnya.
"Hah!" Kamal sontak kaget. "Sendirian. Mbak? Terus, kok bisa pesan martabak banyak banget?"
"Buat keluargaku," jawab Salma santai. "Keluargaku lagi pada kumpul di rumah budeku dan aku memilih pulang dulu. Besok baru ke sana lagi."
"Oh," Kamal mengangguk paham.
"Yuk kita ke depan. kamu tolong bawa lilinnya ya?" Pinta Salma.
"Iya., Mbak," balas Kamal. "Lilinnya mending dimatiin dulu ya, Mbak, dinyalain nanti aja pas di depan."
"Oke," balas Salma. Wanita itu berbalik badan, hendak mengambil nampan untuk membawa dua gelas kopi. Namun hal tak terduga kembali terjadi. Salma tiba-tiba terpeleset dan hilang keseimbangan.
"Ahh." tanpa sengaja, tangannya meraih jaket yang dikenakan Kamal dan menariknya, hingga mau tidak mau Kamal ikut goyah dan keduanya lantas terjatuh bersamaan dalam posisi yang membuat jantung Kamal berdegup kencang.
Kamal terkesiap. Matanya hampir tak berkedip dan jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat kala dia sadar saat ini wajahnya sangat dekat dengan wajah wanita yang baru saja membuatnya ikut terjatuh karena terpeleset.
Mungkin karena dalam keadaan gelap, Kamal tidak melihat dengan jelas wajah wanita itu dari dekat, tapi Kamal bisa mencium aroma wangi wanita yang membuat jiwa lelakinya kembali meronta.
Apa lagi poisisi terjatuhnya, sebagian tubuh Kamal menempel pada dada si wanita membuat rasa resahnya semakin liar karena Kamal bisa merasakan bulatan kenyal yang tertekan dada bidangnya.
"Aduh." Suara kesakitan yang keluar dari mulut si wanita seketika membuat Kamal tersadar dari pikiran kotornya.
"Eh, maaf, Mbak," ternyata Kamal masih bisa mengontrol keadaan dirinya dan anak muda itu langsung bangkit lalu kembali menyoroti wanita itu dengan cahaya senter dari ponselnya. "Kamu nggak apa-apa, Mbak?"
"Agak sakit kakinya," wanita itu menjawab sembari berusaha berdirii, "Ahh," wanita itu meringis sambil memegang bagian paha sebelah kanannya.
"Sini, Mbak, aku bantu," dengan sigap Kamal sedikit membungkukkan badannya, lalu tangannya berusaha membantu wanita itu untuk berdiri.
Meski perasaannya semakin tak karuan, Kamal berusaha menahan diri agar dalam hatinya tidak ada niat buruk karena keadaannya benar-benar sangat mendukung seseorang untuk berbuat jahat.
Setelah wanita itu berhasil berdiri, kamal lantas menuntunnya agar wanita itu duduk di kursi yang ada tak jauh dari keberadaannya.
Lagi-lagi aroma tubuh si wanita yang wangi membuat Kamal hampir kehilangan fokus untuk membantunya. Kamal pun mendaratkan pantatnya di kursi yang ada di seberang meja tanpa harus menunggu di suruh setelah si pemilik rumah duduk.
"Maaf ya, Mas, jadi merepotkan gini," ucap si wanita yang biasa dipanggil Mbak Salma. sambil memijat kakinya agar nyerinya berkurang.
"Nggak apa-apa, Mbak," jawab Kamal yang memilih melempar pandangan ke arah lain karena apa yang dilakukan wanita itu selalu memancing kamal untuk berpikir kotor.
"Aku lupa, di dapur memang ada yang bocor kalau hujannya deres banget kaya gini," ucap Salma lagi. "Lagian tumben banget jam segini mati lampu, Mana matinya lama banget lagi," gerutunya.
Kamal lantas tersenyum dan sekilas menatap wajah lawan bicaranya yang terkena sorot cahaya remang-remang.
"Ada aliran listrik yang rusak mendadak mungkin," ujar Kamal berpikir positf. di saat bersamaan, Kamal mendengar suara yang keluar dari ponsel miliknya.
Karena ponsel sedang dalam genggamannya, Kamal pun langsung memberi respon sampai Kamal tidak menyadari kalau wanita yang ada di dekatnya sedang memperhatikannya.
"Kamu mau main ps?" tanya Mbak Salma begitu obrolan singkat yang dilakukan Kamal melalui ponsel berakhir.
Kamal sedikit tertegun lalu dia tersenyum. "Rencananya gitu, Mbak, tapi ternyata, di sana juga listriknya mati, jadi teman-temanku pada pulang."
Salma mengangguk samar. "Berarti yang mati listrik merata ya? nggak di tempatku saja," ucapnya dan Kamal hanya mengangguk tanpa bersuara. "Emang kamu nggak capek, habis jualan langsung main ps?"
Kamal kembali tersenyum. "Kalau lagi nggak capek ya nggak terasa, Mbak," jawab anak muda itu. "Lagian aku biasa tidur pagi. Apa lagi sejak ikut jualan martabak."
lawan bicara Kamal pun ikut tersenyum. "Jangan kebiasaan begadang. Nggak baik loh untuk kesehatan," wanita itu lantas memberi nasehat yang memang cukup berguna.
"Ya gimana lagi, Mbak, cari rejekinya juga malam-malam," balas Kamal.
"Iya juga ya," seketika Salma malah tersenyum lebar. "Kamu sudah nikah?" dengan spontan Salma mulai melempar pertanyaan yang menjurus ke hal yang lebih pribadi.
"Belum lah, Mbak, masih bocah aku," jawab Kamal yang kini sudah tidak canggung lagi.
"Masih bocah? emang kamu usia berapa?" tanya Salma lagi.
"Mendekati umur 22, Mbak," jawab kamal jujur.
"Owalah," balas Salma. "Tapi kamu sudah punya calon kan?"
Kamal kembali melebarkan senyumnya. "Calon apa, Mbak? Calon majikan?" Kamal malah menanggapinya dengan bercanda.
"Ya calon istri lah, calon apa lagi emangnya," Salma pun mejadi gemas sendiri.
Lagi-lagi Kamal menunjukan senyum termanisnya. "Jngankan calon istri, Mbak, gebetan aja nggak punya," lagi lagi kamal dengan polosnya memberi jawaban yang membuat lawan bicaranya terkejut.
"Hah!" seru Salma," kamu nggak punya pacar, gitu? Nggak mungkin," Salma pun tak percaya begitu saja. "Padahal kamu ganteng banget loh. Masa nggak punya pacar sih?"
"Ganteng apaan, Mbak, orang biasa aja kok," jawab Kamal merendah, meski ini bukan pertama kalinya dia mendapat pujian seperti itu.
"Eh, serius," kali ini Salma menunjukan raut yang bisa diartikan kalau dia berkata jujur. " "Kamu itu ganteng banget loh. Apa lagi kalau tersenyum. lesung pipimu membuat gantengnya naik drastis. Makanya aneh jika kamu sampai tidak punya pacar sih?"
Kamal begitu tersanjung hingga dia seakaan ingin terbang karena pujian yang terlontar dari mulut lawan bicaranya.
"Jaman sekarang ganteng aja nggak cukup, Mbak. minimal isi dompet juga harus tebal," balas Kamal.
"Nggak juga ah," bantah Salma. "Pasti ada lah, suatu saat nanti, cewek tulus yang mau nerima kamu apa adanya."
Kali ini Kamal sedikit tertawa lirih. "Kayanya nggak bakalan ada deh, Mbak. Apa lagi aku berasal dari keluarga yang sangat sederhana sekali. Punya motor aja motor milik orang tua, motor lama."
Kali ini Salma agak tertegun lalu tak lama setelahnya dia lantas tersenyum. "Berarti para cewek aja yang buta," ucap wanita itu. "Yang aku tahu, cowok dari keluarga sederhana itu biasanya cintanya tulus. yang aku tahu sih gitu."
kalai ini Kamal hanya tersenyum tanpa membalas ucapan lawan bicaranya. Dia lantas melihat jam yang tertera di ponselnya, ternyata sudah menunjukan pukul satu malam lebih beberapa menit.
"Kamu udah pengin pulang apa gimana?" ternyata gerak gerik Kamal diperhatikan oleh lawan bicaranya. "Sayangnya aku juga nggak ada mantel. kemarin mantelku dipinjam sama adik dan tadi aku lupa buat ngambilnya."
"Nggak apa-apa, Mbak," balas Kamal. "Mungkin hujannya sebentar lagi reda. Lagian lampunya juga belum menyala. emang Mbak berani di rumah sendirian dalam keadaan gelap kaya gini?"
Salma pun kembali tersenyum dan matanya menatap kaki yang sedari tadi dia pijat dan kini sakitnya udah mulai berkurang.
"Kadang aku merasa takut juga sih jika teringat kalau aku tuh sendirian di rumah. Tapi, mungkin karena sudah terbiasa sendiri jadi ya aku harus bisa menepis rasa takut dong, Mas."
"Sudah terbiasa?" Kamal agak terkejut mendengar ucapan lawan bicaranya. "Emangnya, Mbak biasa di rumah sendirian apa gimana?"
Salma pun menjawab dengan anggukan kepala.
"Loh," Kamal kembali terkejut. "Tapi mbak sudah menikah kan?"
Salma pun tersenyum "Sudah," hawabnya. "Tapi, aku tuh sering ditinggal suamiku. Dia bekerja di kapal dan pulangnya enam bulan sekali, makanya aku terbiasa sendirian."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!