"Aku gak mau, Pa. Aku sudah punya pacar, aku tak mungkin mengkhianati Andin, kita sudah sepakat tahun depan menikah," ucap Sakti menolak permintaan sang papa yang akan menjodohkan dirinya dengan keponakan teman papa, Pak Hanan.
“Kalau kamu?” tanya papa menatap si bungsu.
“Papa, apa-apaan sih,” tolak mama karena si bungsu masih kuliah, meski semester akhir, jelas belum waktunya menikah. Lagian kenapa juga harus dijodohkan sih.
“Ma, Papa saat kuliah dulu sering dibantu makan Hanan dan Rasyid, Ma. Meski hanya sepiring makanan, Papa tidak akan lupa akan jasa yang mereka lakukan. Apalagi papa yakin putri Rasyid, baik Ma!” ucap Papa mengenang kebaikan keluarga temannya itu.
Minggu kemarin, Hanan berjumpa dengan Pak Yasha (Papa Sakti), karena kesibukan mereka baru bertemu dan saling cerita. Salah satu cerita Hanan adalah sang kakak Rasyid yang meninggal karena kecelakaan setahun yang lalu. Saat itu Rasyid dan sang istri mengikuti rekreasi akhir tahun yang diselenggarakan di tempat kerja Rasyid. Bus yang mereka tumpangi mengalami rem blong dan jatuh ke jurang. Rasyid meninggal di TKP sedangkan isterinya menyusul tiga hari setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit, Rasyid meninggalkan seorang putri. Hanan sedih karena istrinya tak mau menampung sang ponakan di rumah, alhasil selama setahun putri Rasyid tinggal sendiri.
Pak Yasha jelas tak tega, Hanan pun meminta tolong pada Yasha kalau punya anak atau ponakan yang sudah siap menikah, bisa dijodohkan dengan putri Rasyid. “Isteri saya juga tidak mau kalau saya membiayai hidup Iswa, Yash. Saya pusing sekali, kasihan dengan dia.”
“Lalu selama setahun ini, siapa yang membiayai hidupnya?” tanya Yasha.
“Uang santunan dari pihak sekolah, jasa raharja, dan tabungan Rasyid mungkin.”
“Aku tidak bisa janji, aku sendiri punya dua anak laki-laki, akan kutawarkan pada mereka. Kalau salah satu di antara mereka mau maka aku akan menghubungi kamu.”
Mendengar cerita sang papa, Kaisar anak bungsu Pak Yasha pun menyanggupi. “Yakin kamu, Dek?” tanya Sakti memastikan kesanggupan sang adik. Kaisar hanya mengedikkan bahu, tak mau ambil pusing. Apalagi sang papa sangat mengharap bisa membalas kebaikan temannya itu. Lagian Kaisar baru saja putus dengan sang kekasih, siapa tahu bisa membuat cemburu si mantan, bisa lah sang istri dimanfaatkan untuk memanas-manasi sang mantan.
“Tapi dengan satu syarat, aku gak mau menikah negara, cukup siri saja!”
Pak Yasha memegang kepalanya mendadak pusing, di satu sisi sang putra mau dijodohkan, tapi memberi syarat menikah siri yang bisa merugikan pihak perempuan. “Kalau papa mau, kalau papa gak mau ya Kaisar juga gak mau! Kaisar masih muda, Pa. Anggap saja pernikahan ini terjadi untuk memberi perlindungan saja padanya.”
Pak Yasha menghela nafas pendek, “Kalau papa masih muda, papa jadikan istri kedua saja!” oceh papa yang langsung mendapat tabokan dari sang istri. Sakti menatap tajam pada sang adik, pasti ada udang di balik batu.
“Kenapa kamu mau dijodohkan kalau gak mau menikah resmi!”
“Aku masih muda, Bang. Gak mungkin aku mau menikah muda, biarlah dia bisa masuk ke keluarga kita lewat pernikahan. Itu saja.”
“Aneh!”
“Justru papa yang aneh, kalau mau membantu dia ya kasih aja uang tiap bulan!”
“Harusnya gitu, tapi mungkin anak teman papa itu tidak mau merepotkan orang lain, makanya lebih baik dinikahkan untuk mendapat kewajiban nafkah!”
“Iya mungkin!”
“Kalau kamu niatnya ingin menikah siri saja, lebih baik jangan digauli, kasihan kalau ujung-ujungnya kamu cerai!”
“Beres, icip dikit boleh kali, Bang!”
“Jangan jadi cowok brengsek, jatuh cinta sama dia baru tahu rasa!”
“Gak mungkin!”
Pak Yasha pun mengutarakan hasil diskusi dengan kedua anaknya kepada Hanan. Ada rasa kecewa saat mendengar syarat pernikahan yang diajukan, kalau ditolak, Iswa akan hidup sendiri entah sampai kapan, tapi kalau diterima bagaimana nasib Iswa. Sebagai paman, Hanan sedikit tak terima kalau Iswa dinikahi siri.
“Iswa bisa hidup sendiri, Paman. Jangan khawatirkan Iswa, Iswa juga bisa kerja kok!” ujar Iswa saat tahu dirinya akan dijodohkan oleh sang paman.
“Bukan perkara uang saja, Iswa. Soal keselamatan kamu juga, kamu perempuan hidup sendiri juga bahaya, apalagi perumahan ini sepi. Percayalah, kamu akan lebih baik hidup bersama mereka, InsyaAllah masa depan kamu terjamin.”
“Tapi, untuk membantuku tidak harus dinikahkan dengan anak teman paman juga, lebih baik Iswa disuruh kerja saja Paman,” ucap Iswa yang sebenarnya juga menolak atas ide sang paman.
Hanan menghela nafas berat. “Kamu tahu, Wa. Paman jelas tak bisa diam melihat kamu hidup sendiri begini. Paman serasa menjadi orang yang tak berguna membiarkan anak yatim piatu hidup sendiri sedangkan keluarga paman berada. Kamu tahu tantemu seperti itu, tolong jangan membuat paman semakin bersalah pada ayah kamu. Paman menjodohkan kamu karena paman bisa menjadi wali kamu, Wa. Bayangkan kalau Paman mendadak meninggal, siapa yang akan menata masa depan kamu juga!”
“Ada keluarga ibu, Paman di desa!”
“Keluarga ibu kamu bisa gak diandalkan? Bukan keluarga kandung, Wa!” apa yang diucapkan Paman Hanan memang benar, ibu Iswa hanya anak angkat di keluarganya. Saat masih ada kakek dan nenek, ibu masih diperhitungkan, benar dianggap anak, tapi setelah kakek dan nenek meninggal, ya tidak dianggap oleh anak kandung kakek dan nenek, apalagi soal pembagian warisan, mereka tak mau ibu Iswa mendapat bagian.
“Tolong, Wa pikirkan sekali lagi, agar Paman bisa tenang!” Iswa masih belum memutuskan, sang paman memberikan nomor ponsel Kaisar, siapa tahu mereka mau berdiskusi dulu untuk perjodohan ini.
Iswa tak berniat menghubungi, dia masih sanggup hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Apalagi usianya masih 19 tahun, baru juga kuliah semester 3, lebih baik bekerja daripada menikah muda tanpa cinta, pikir Iswa.
Dari pihak Pak Yasha sendiri tidak menuntut cepat, menunggu Keputusan Iswa juga. Pak Hanan setiap hari menghubungi dan menunggu keputusan sang ponakan, gusar juga karena tiba-tiba sang istri punya ide, agar Iswa tak membebani pikiran Pak Hanan dengan menjodohkan Iswa dengan tuan tanah berumur 45 tahun. Jelas Pak Hanan tak mau sang ponakan mendapat suami yang layak dipanggil ayah bagi Iswa. Oleh sebab itu Pak Hanan sekali lagi memohon dan menceritakan alasan Pak Hanan menjodohkan Iswa tersebut.
"Ya ampun, Paman kenapa tante tega sih. Padahal aku juga gak minta dikasihani, aku juga tidak minta uang paman dan tante, Iswa bisa hidup sendiri!"
"Tolong, Wa. Demi kesalamatan kamu, tante mu kalau ada embel-embel uang, apa saja ditrabas."
Iswa pun dibuat bimbang, ingin kekeh, tapi khawatir sang tante nekad, demi mendapatkan imbalan uang dari tuan tanah tersebut. "Baiklah, aku mau, tapi dengan syarat hanya keluarga saja yang tahu." Pak Hanan mengangguk.
Sebelum dilangsungkan pernikahan, Kaisar mengirim pesan pada Iswa untuk bertemu di sebuah cafe dekat kampus. Ternyata mereka berada di kampus yang sama, hanya beda jurusan tapi satu fakultas.
Kaisar menatap lurus pintu masuk, menunggu gadis yang akan dijodohkan dengannya. Dia sudah berdecak sebal karena Iswa datang terlambat, meski hanya 5 menit.
"Lain kali jangan telat kalau punya janji sama seseorang," ucap Kaisar menohok Iswa, sebenarnya Iswa bukan tipe gadis yang lemah dan menye-menye, hanya saja ia sadar kali ini dia salah karena terlambat, sehingga dia tak sungkan bilang maaf. Kaisar sedikit kaget, ada ya seorang perempuan dengan mudahnya minta maaf.
"Langsung saja, mungkin lo udah tahu rencana papa dan paman lo seperti apa. Gue juga menerima bukan karena gue mau menikah muda, tapi karena ingin balas jasa papa gue sama keluarga lo aja. Gue berharap lo gak punya ekspektasi berlebih pada pernikahan ini."
"Iya saya paham. Saya sudah menduga tak mungkin Kak Kaisar mau menerima perjodohan ini, santai saja. Saya tidak menuntut apa-apa dan tidak berharap lebih. Saya sendiri juga sudah menolak ide perjodohan ini, hanya saja paman saya khawatir kalau saya tinggal sendiri. Kak Kaisar bebas kok mau ngapain saja, begitupun saya. Begitu kah?"
"Oke! Bagus deh kalau kamu sadar diri."
"Iya, Kak, santai saja! Aku yang harus berterima kasih kepada keluarga Kakak yang mau menampung anak yatim," ucap Iswa, entah mengapa Kaisar tersentil dengan ucapan gadis ini. Bukankah dia harusnya marah karena pernikahan yang akan ia jalani hanya sebuah permainan saja.
Setelah pertemuan itu, Kaisar sempat mencari tahu tentang Iswa pada beberapa kenalan yang satu jurusan dengan gadis itu. Ia mendapat info kalau Iswa termasuk mahasiswa cantik di jurusan dan sedang didekati oleh Pandu, Ketua HMJ jurusan Teknik Informatika. Kaisar tahu Pandu, pasti dia naksir Iswa saat ospek dulu.
Pernikahan Kaisar dan Iswa dilaksanakan Minggu sore, di kediaman Kaisar. Pak Hanan menjadi wali nikah untuk Iswa, begitu kata sah terdengar, Pak Hanan sangat lega. Bahkan saat terjadi pernikahan, istri Pak Hanan tak diajak, agar tak terjadi kegaduhan yang mengusik ketenangan Iswa.
Menjadi anggota keluarga baru di kediaman Pak Yasha, membuat Iswa harus beradaptasi. Meski dia menikah terpaksa untuk melindungi dirinya, tetap saja dia harus menghormati mama dan papa Kaisar. Pak Yasha tampak ramah dan memang menerima Iswa sebagai menantu, berbeda dengan Nyonya Yasha yang terkesan jutek dan angkuh menatap Iswa, namun dirinya sadar ibu mertuanya mungkin juga tak terima anak bungsunya yang belum lulus kuliah malah dinikahkan.
Sakti, kakak ipar Iswa itu hanya diam saja, mungkin settingan cowok cool begitu kali ya, dan Iswa tak berniat dekat juga dengan lelaki itu. Di dalam kamar pengantin pun, Kai dan Iswa sudah sepakat untuk tidur mereka akan terpisah, Iswa dengan kesadaran penuh memilih sofa kamar saja, dia mengalah, dan tahu diri bahwa sebenarnya tak ada yang menerima di keluarga ini kecuali papa mertuanya.
Iswa pun tak berniat meletakkan bajunya di lemari Kaisar, ia biarkan saja di koper, di letakkan di pinggir sofa. Buku-bukunya pun diletakkan di situ saja, ia tak mau mengganggu apa yang sudah tertata di kamar Kaisar, bahkan ia tak protes saat foto Kaisar dengan seorang perempuan masih bertengger di meja belajar.
"Kamu yakin tidur di sofa?" tanya Kaisar saat mereka sudah bersiap tidur, lampu utama kamar sudah dimatikan, tinggal lampu tidur saja yang menyala.
"Yakin kok!" ucap Iswa yang masih bermain ponsel.
"Ya udah!"
"Oke!" jawab Iswa santai, sejak kedua orang tuanya meninggal, Iswa seperti tak punya harapan hidup, tak berani bermimpi, tak ada rencana khusus, ia menjalani hidup layaknya air saja, yang penting prinsipnya tak mau menggantungkan hidup pada orang lain. Ia pun tak berniat diskusi nafkah dengan Kaisar, tabungan orang tuanya dan uang santunan masih ada, aman setidaknya untuk makan dan bayar UKT selama 2 semester.
Saat pagi menjelang, ia buru-buru ke dapur, untuk membantu masak sebisanya. Ia tak mau dianggap menantu hanya numpang hidup, meski papa Yasha juga tak masalah kalau Iswa bangun siang.
"Hem papa, saya mau tanya!"
"Apa?" tanya papa Yasha saat mereka sarapan.
"Aturan pulang di rumah ini jam berapa?"
"Maksudnya?" giliran mama yang menanggapi pertanyaan Iswa.
"Hem, saya biasanya ke kampus pagi, kemudian saya lanjutkan untuk menjadi tutor, biasanya saya pulang jam 8 malam, khawatir di rumah ini ada aturan jam pulang."
"Di sini bukan kos-kos an, suka-suka kamu aja pulangnya kapan," jawab Kaisar cuek, Sakti langsung menatap sang adik. Kok kesannya sang adik tak berniat melindungi istrinya gini.
"Usahakan jangan lebih jam 9 malam, Wa! Kita biasanya makan malam jam 7, kalau kamu masih ada urusan di luar selesaikan saja dulu!" ucap papa Yasha dengan nada lembut, mama Kaisar menatap Iswa penuh arti, mungkin tak menyangka bertemu dengan gadis sopan dengan tutur kata yang lembut, serta tak sungkan untuk mengucap terimakasih.
"Ke kampus bareng Kaisar?" tanya papa.
"Enggak, Kaisar cuma bimbingan jam 11!"
"Bareng Sakti aja kalau gitu, searah kan?" saran papa yang langsung disambut tatapan tajam oleh dua putranya.
"Ouh, tidak perlu repot-repot, Pa. Saya naik ojol saja, karena nanti rencananya saya mau ambil motor di rumah!" ucap Iswa menolak dengan sopan, satu kesan mama Kaisar melihat Iswa dia selalu tersenyum, menunjukkan sekali kalau dia ramah, dan mama Kaisar yakin bahwa gadis ini menyimpan kesedihan serapat mungkin.
Iswa pun pamit, karena ojolnya sudah datang. Gadis itu salim pada mama dan papa mertuanya. "Gak usah salim sama gue!" ucap Kaisar jutek, mama, papa, dan Sakti langsung menatap Kaisar tajam, sedangkan Iswa tersenyum.
"Oke," jawab Iswa santai dan segera berangkat.
"Jutek banget kamu, Dek!" protes Sakti, meski dia menolak dijodohkan dengan Iswa, tapi dia tidak suka pada sikap Kaisar yang kasar pada perempuan.
"Gak usah menuntut apa-apa, kita masih beradaptasi dengan pernikahan ini."
"Terserah kamu lah, Kai. Ujung-ujungnya kamu nanti jatuh cinta sendiri sama istri kamu," ujar papa.
"Dia baik," ucap mama tiba-tiba membuat ketiga pria itu langsung menatap sang mama. "Mungkin dia juga terpaksa menerima pernikahan ini. Kalau pun kamu tak berniat mencintainya, jangan terlalu kasar, kamu sendiri yang menyanggupi permintaan papa," ucap mama tiba-tiba melankolis, mereka melanjutkan sarapan tanpa suara.
Sedangkan Iswa sendiri mengusap air matanya, entah harus sedih atau bahagia menjalani pernikahan ini, tinggal di rumah mertua dengan orang-orang asing.
Semoga gue kuat.
"Gimana?" tanya Elin pada Iswa, ia tahu sang sahabat telah melangsungkan pernikahan, hanya saja tak diundang dan Elin juga tak diberi tahu siapa suami Iswa.
Iswa menggeleng kemudian menunduk sedih. "Lo bisa memprediksi lah, Lin. Gimana sikap suami gue. Jelas bintang satu." Iswa kembali mengusap air matanya. Padahal dia sudah tidak mengharap Kaisar akan bersikap baik padanya, tapi saat di lapangan nyesek juga dengan sikap sang suami. Iswa sudah berusaha baik dan bertutur kata lembut, tapi balasannya masih saja jutek dan tak enak didengar.
"Sabar, Wa. Kalau memang dia jodoh kamu, bakal berubah. Berarti kamu masih ting-ting dong," tebak Elin kepo. Sesuai dugaan, Iswa langsung menabok lengan Elin.
"Jelas lah, dia mana nafsu sama gue. Lagian gue juga gak berharap ada begituan. Kita gak saling cintah, Lin."
"Iya gue paham!"
"Setidaknya gue gak hidup sendiri lagi, gue bisa melihat mama dan papa mertua, atau pun Mbak ART. Gak seperti di rumah gue, sendiri." Elin mengangguk, pasti ada hikmah di balik suatu peristiwa itu sendiri.
Kegiatan Iswa pun tak berubah, setelah kuliah dia menyempatkan ke rumah, ambil motor dan segera menjadi tutor privat untuk anak Cindo. Dia tidak akan berhenti dari pekerjaannya ini, karena dia tak berharap ada nafkah dari Kaisar. Setiap hari dia selalu menjadi tutor di dua tempat, pulang sekitar jam 8 malam. Langsung mandi, sholat isya kemudian makan nasi goreng bungkusan, gerak-geriknya diamati Kaisar meski pemuda itu pura-pura fokus pada laptop. Tak ada sapaan apalagi pembicaraan, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Bahkan saat Kaisar mematikan lampu utama kamar, Iswa mengalah, dia membawa tugas dan laptopnya keluar kamar, berniat mengerjakan di ruang tengah saja. Sudah jam 9 malam, pasti tak ada orang yang bersantai di ruang tengah itu.
Iswa juga membawa bekas bungkus makanannya, tak mau membuat Kaisar marah, dilihat dari rapinya kamar, sang suami termasuk pria yang menjaga kebersihan dan kerapian kamar. Benar dugaan Iswa sudah tidak ada orang, ia pun segera menyelesaikan tugas kuliahnya.
"Tadi pulang jam berapa?" tanya Sakti tiba-tiba, bahkan kakak iparnya itu duduk di sofa berhadapan dengan Iswa yang memang memilih lesehan, dipisahkan oleh meja.
"Jam 8 Kak Sakti."
"Tutor privat di mana saja?" tanya Sakti lagi. Iswa pun menghentikan tugasnya, tak enak kalau menanggapi sembari sibuk mengetik.
"Di perumahan X waktu sore, dan setelah maghrib di perumahan Z!" jawab Iswa, Sakti hanya mengangguk saja.
"Area Cindo kan ya? Lumayan dong gajinya."
"Alhamdulillah, lumayan!"
"Tadi sudah makan?"
"Sudah, tadi sempat beli nasi goreng." Sakti kembali mengangguk.
"Gak usah terlalu sungkan di rumah ini, kamu juga anggota keluarga di sini, kalau mau dimasakkan Mbak bilang aja, gak pa-pa!"
"Iya, Kak!"
"Soal sikap Kaisar jangan terlalu diambil hati, anak bungsu terlalu manja, sehingga omongannya kurang difilter," ucap Sakti menasehati layaknya seorang kakak.
"Iya Kak, saya biasa aja kok dengan sikap Kak Kaisar."
Sakti tiba-tiba tertawa. "Bahkan sama suami saja kamu panggil Kak, pernikahan macam apa ini," Iswa tersenyum canggung.
Kaisar belum tidur, ia tak enak hati sudah mematikan lampu, pasti Iswa tadi masih mengerjakan tugas, makanya pindah keluar kamar. Kaisar pun mencari Iswa, dan hatinya tersentil mendengar suara sang kakak sedang tertawa dan mengobrol santai dengan Iswa. "Cih, kapan selesainya kalau mengerjakan tugas sambil ngobrol!" cicit Kaisar kemudian balik ke kamar kembali tidur.
Beberapa kali dia berusaha memejamkan mata namun tak bisa tidur juga, ia pun scroll ponsel sudah hampir jam 11 malam, namun Iswa belum juga kembali. "Pasti keasyikan ngobrol dengan Kak Sakti makanya tambah lama mengerjakan tugasnya!" gumam Kaisar sembari menutup wajahnya dengan bantal.
Iswa sendiri masuk kamar hampir tengah malam, sungguh ia sudah sangat mengantuk, laptop dimasukkan ke ransel dan langsung merebahkan diri. Bahkan terlalu nyenyak hingga selimutnya melorot ke lantai, tubuh Iswa meringkuk, dan Kaisar membenarkan selimut itu.
"Kasihan!" jawab Kaisar kemudian menoleh ke ponsel Iswa, sepertinya ada pesan masuk. Tertera di pop layar Kak Pandu mengirim pesan, dan sempat terbaca oleh Kaisar.
Besok di lobi aja. Begitu pesan Pandu yang terbaca di pop up layar.
"Mau ngapain mereka?" Kaisar mulai kepo tapi ia mengabaikan saja, toh mereka sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing.
Kaisar mengira Iswa akan berangkat pagi, dia pun berniat berangkat pagi, meski tak ada jadwal bimbingan maupun kelas mata kuliah tambahan, hanya ingin tahu aktivitas sang istri.
"Kamu gak berangkat kuliah?" tanya Kaisar sembari menyisir rambut, ia pikir nou sudah di bawah siap sarapan, apalagi sudah setengah 7, tapi ternyata Iswa masih pakai piyama dan terlihat belum mandi.
"Enggak ada kuliah pagi, baru ada urusan jam 9, kenapa?" tanya Iswa mulai mengimbangi kejutekan Kaisar.
"Sama Pandu?" tebak Kaisar dengan menatap Iswa.
"Kok tahu?"
"Emang kalian dekat, sampai ada janji temu?" tanya Kaisar dengan menaikkan alis, mulai kepo.
"Kayaknya aku gak perlu jelasin deh aku ada janji temu sama siapa. Bukannya kesepakatan kita untuk tidak saling tahu ya?" Iswa waspada, ia tak mau terlibat lebih jauh soal pernikahan ini, jangan sampai terpesona dengan sang suami dan merajut kedekatan yang berujung kekecewaan. Iswa menghindari hal itu.
"Gue gak kepo."
"Dan siapa juga yang menuduh Kak Kai kepo, gak ada." Kaisar berdecak sebal, mengambil ranselnya dan keluar kamar. Sepertinya dia kalah omong dengan gadis itu.
Iswa tertawa ngakak, berhasil membuat Kaisar sebal. Misinya adalah membuat Kaisar sebal agar tak ada kedekatan di antara mereka.
Pukul 9 pagi, Iswa bertemu Pandu di gedung HMJ, sejak kemarin memang mereka sudah diskusi soal lomba karya tulis. Pandu mengajak Iswa karena gadis itu mumpuni kerja dalam tim. Saat semester 2 dulu, Iswa pernah menjadi juara menulis esai mahasiswa, sehingga Pandu mulai melirik bakat menulis gadis itu.
"Siap gak ikut?" tanya Pandu pada adik tingkatnya itu.
"Kak kalau karya tulis ribet ah, sistematikanya rigit banget."
"Ya elah, hadiahnya gede kali, nanti kita bagi tugas. Gimana?"
Iswa sebenarnya ingin menolak, karena rasanya ia sudah sangat capek kalau sampai rumah, kapan mengerjakannya, weekend ini saja dia mulai sejak pagi sampai maghrib bakal ada les.
"Kak Pandu sudah ada ide?"
"Udah!"
"Apa?"
"Janji dulu kalau mau terlibat, rahasia kalau gak mau ikut!" ujar Pandu, ia tak mau idenya diobral tanpa kepastian.
"Sebenarnya untuk minggu ini aku sibuk banget, Kak. Adik les minta tambahan weekend, jadi aku gak sanggup mengerjakan dalam minggu ini."
"Oke. Kalau gitu aku cari anak lain deh!" Iswa mengangguk, tak masalah. Next project deh baru ikut.
"Wa. Kamu kenal sama Kak Kaisar?" tanya Pandu tiba-tiba. Sesama anak organisasi, Pandu jelas kenal Kaisar, si mantan ketua BEM Fakultas Teknik.
"Kenal, mantan ketua BEM kan, pas aku ospek kayaknya dia masih bertugas kan?" Pandu mengangguk. "Kenapa?"
"Jangan noleh ya," eh bocah Iswa malah menoleh, kepalanya auto diputar oleh Pandu, keduanya tertawa ngakak, tak menyangka bisa sekonyol itu mereka.
"Apaan sih," ucap Iswa sembari menepis tangan Pandu dari kepalanya.
"Ya jangan noleh lah. Sejak tadi aku perhatikan dia melirik ke sini terus. Gak mungkin kan kepo sama aku."
"Gak mungkin. Keponya palingan sama aku, cewek cantik!" ucap Iswa sepercaya diri itu sembari mengibaskan rambut, Pandu tertawa dan tak lama Iswa pun pamit undur diri karena mau masuk kelas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!