Di pagi hari itu, langit Seoul tampak cerah dengan sinar mentari yang lembut menembus kaca-kaca tinggi gedung megah yang berdiri anggun di tengah kota. Di dalam gedung mewah itu, suasana tampak begitu sakral dan menegangkan sebuah pernikahan megah tengah berlangsung.
Di atas pelaminan yang dihiasi bunga mawar putih dan lilin kristal beraroma lembut, berdirilah seorang pria dengan setelan jas hitam yang sempurna. Dialah Suga, CEO muda dan tampan yang dikenal dingin, cerdas, serta hampir mustahil didekati oleh wanita mana pun. Tatapan matanya tajam, penuh wibawa, namun di balik ketegasan itu tersembunyi sesuatu yang sulit diartikan entah keengganan, atau mungkin luka masa lalu yang belum sembuh.
Di sampingnya, berdiri seorang wanita dengan gaun putih panjang yang membuat semua mata terpana. Dialah cristine, gadis lembut dan sederhana yang kini menjadi pusat perhatian. Wajahnya terlihat cantik namun sedikit gugup, jemarinya bergetar halus saat menggenggam buket bunga lily putih.
Musik lembut dari biola memenuhi ruangan. Para tamu undangan para pengusaha, tokoh penting, dan keluarga terpandang menatap dengan penuh rasa ingin tahu. Banyak yang berbisik, bertanya-tanya mengapa CEO dingin itu akhirnya menikah.
Suga menoleh sedikit ke arah cristine. Suaranya rendah dan tenang ketika ia berucap,
“Mulai sekarang, kau adalah istriku, cristine.”
cristine menatapnya pelan, bibirnya gemetar saat membalas,
“Dan kau… suamiku.”
Suara tepuk tangan bergema, kamera berkilat, namun di antara sorotan cahaya dan senyum palsu, hati keduanya menyimpan rahasia yang berbeda.
Pernikahan itu akhirnya selesai.
Musik lembut yang sejak tadi mengiringi pesta mulai mereda, dan satu per satu tamu undangan meninggalkan aula megah itu.
Suga berdiri di samping Cristine, istrinya yang baru saja ia nikahi. Senyum di wajah Cristine tampak manis dan anggun, tapi hati Suga… kosong.
Ketika kakeknya menatapnya dari kejauhan dengan senyum puas, Suga hanya bisa menunduk. Ia tahu, pernikahan ini bukan tentang cinta melainkan kewajiban keluarga yang tidak bisa ia tolak.
Malam itu, setelah pesta usai, Suga menggenggam tangan Cristine dan mengajaknya pulang ke rumahnya rumah besar yang selama ini ia huni bersama seseorang yang lain.
Mobil hitam berhenti di depan gerbang mansion. Begitu mereka melangkah masuk, aroma teh melati menyambut dari ruang tamu.
Di sana, duduk seorang wanita berambut panjang dengan gaun putih sederhana, tampak tenang namun dingin. Jemarinya menggenggam secangkir teh, matanya menatap kosong ke arah jendela besar.
Suga terdiam sesaat. Jantungnya berdetak cepat.
Ia tahu siapa wanita itu.
Zeline.
Istri pertamanya.
Wanita yang dulu ia nikahi atas kehendaknya sendiri bukan karena siapa pun, bukan karena darah atau nama besar keluarga.
Wanita yang dulu dicintainya… dan mungkin, masih dicintainya sampai detik ini.
Suga melangkah perlahan mendekat.
Suga: “Mengapa kau tidak datang ke pernikahan kami, Zeline?”
Zeline melirik sekilas ke arahnya, lalu berpaling lagi. Suaranya tenang, tapi tajam seperti pisau.
Suga menarik napas panjang.
Suga: “Zeline, aku sedang berbicara denganmu. Apa kau tidak bisa mendengarku?”
Zeline berdiri perlahan, kini wajahnya sejajar dengan Suga. Mata keduanya bertemu dingin, dalam, dan penuh luka yang belum sempat sembuh.
Zeline: “Apa kau sudah gila, Suga? Kau menyuruhku datang ke pernikahanmu sendiri? Untuk apa? Melihat bagaimana kau memegang tangan wanita lain di depan semua orang? Hm… dasar pecundang.”
Cristine yang berdiri di belakang Suga menunduk pelan, merasa tidak nyaman. Ia tahu posisinya hanya sebagai pengganti, bukan yang pertama di hati pria itu.
Suga tak bisa menjawab. Kata-kata Zeline menamparnya keras, lebih dari yang bisa ia bayangkan.
Ia menatap wanita itu lamawanita yang dulu membuatnya percaya pada cinta sejati, kini berdiri di depannya dengan tatapan yang hanya menyisakan kekecewaan.
Keheningan malam mengisi ruangan.
Dan di antara mereka bertiga, hanya ada satu hal yang benar-benar jelas:
Pernikahan boleh sah di mata manusia, tapi cinta tidak bisa dipaksa oleh siapa pun.
Suga:
“Zeline… kau tahu kan kalau semua ini adalah kehendak kakek. Dulu, waktu kami masih kecil, kakek Cristine dan kakekku sudah menjodohkan kami. Tapi saat aku dewasa, aku justru menikahi orang lain… yaitu dirimu.”
Zeline hanya menatap datar, tanpa ekspresi. Tangannya menggenggam erat cangkir teh yang sudah dingin.
Zeline:
“Lalu?”
Satu kata itu membuat Suga terdiam. Matanya menatap wajah wanita di depannya wanita yang telah menemaninya melewati suka dan duka, wanita yang dulu membuatnya percaya bahwa cinta bisa melawan segalanya.
Suga:
“Ketika kakek Cristine sakit… sebelum meninggal, beliau sempat berpesan padaku.”
suaranya melemah
“Pesan terakhirnya adalah… agar aku menikahi Cristine.”
Suasana menjadi sunyi.
Hanya terdengar detik jam dinding yang berdetak pelan.
Zeline mengangkat wajahnya perlahan, menatap Suga tajam. Di matanya, ada luka yang dalam tapi juga kekuatan yang tak mau runtuh.
Zeline:
“Dan kau menurutinya begitu saja? Bahkan setelah kau tahu siapa aku untukmu?”
Nada suaranya bergetar antara marah dan kecewa.
“Aku pikir cinta kita cukup kuat untuk melawan segala kehendak orang lain, Suga. Tapi ternyata… aku salah menilai pria yang dulu kucintai.”
Cristine yang berdiri di tangga, berpura pura menatap mereka dengan wajah sedih.
Tangannya memegang dada, seolah ikut terluka mendengar percakapan itu. Tapi di balik air mata palsunya, ada senyum kecil yang tersembunyi.
Dalam hatinya, Cristine berbicara pelan,
“Akhirnya, setelah bertahun-tahun menunggu, aku mendapatkanmu juga, Suga. Dan suatu hari nanti… Zeline tidak akan punya tempat di sisimu lagi.”
Sementara itu, Suga hanya bisa menatap dua wanita yang kini terikat dalam hidupnya.
Satu adalah cinta sejatinya…
Yang lain adalah kewajiban yang tak bisa ia tolak.
Dan malam itu, di bawah cahaya lampu temaram, awal dari perang hati yang panjang pun dimulai.
Cristine melangkah pelan mendekati mereka. Gaun pengantinnya masih menjuntai lembut di lantai, sisa dari pesta yang baru saja usai. Wajahnya tampak lembut dan sedih, tapi di balik mata cokelatnya, ada kilatan puas yang sulit disembunyikan.
Cristine:
dengan suara lembut
Suga… Zeline… maafkan aku kalau kedatanganku membuat suasana jadi tidak nyaman. Aku benar-benar tidak bermaksud merebut apa pun dari kalian. Aku hanya menuruti keinginan orang tua… terutama wasiat kakekku sebelum meninggal.
Zeline tersenyum tipis, sinis namun menawan.
Zeline:
“Oh, begitu ya? Menikahi suami orang demi memenuhi wasiat keluarga? Kau benar-benar gadis yang berbakti.”
Cristine menunduk pura-pura tersentuh, padahal dalam hatinya ada kepuasan yang manis.
“Akhirnya… wanita itu akan tersingkir juga,” batinnya dalam diam.
Cristine:
suaranya bergetar, menatap Zeline dengan wajah seolah menahan tangis
Aku tahu aku salah, Kak Zeline. Aku tidak bermaksud menghancurkan rumah tanggamu. Aku hanya… tidak ingin mengecewakan keluarga. Aku harap kita bisa hidup berdampingan dengan damai.
Zeline menatapnya tajam.
Zeline:
“Damai?”
tawa kecil keluar dari bibirnya
“Kau datang dengan gaun pengantin, memegang tangan suamiku, dan sekarang kau berbicara tentang kedamaian?”
Suga mencoba menengahi, suaranya berat menahan emosi.
Suga:
“Sudahlah, Zeline… jangan membuat semuanya semakin sulit. Tidak ada yang ingin hal ini terjadi.”
Zeline menatapnya dengan mata basah tapi penuh kebanggaan.
Zeline:
“Tidak ada yang ingin? Suga, kau yang berdiri di altar itu. Kau yang mengucapkan janji baru di depan semua orang. Jadi katakan padaku siapa sebenarnya yang ingin semua ini?”
Suga terdiam.
Cristine memanfaatkan keheningan itu, menyentuh lengan suaminya dengan lembut, seolah ingin menenangkan, padahal setiap sentuhan adalah racun manis bagi Zeline.
Cristine:
dengan suara lirih, manis tapi menusuk
Suga… mungkin sebaiknya aku pergi ke kamar dulu. Aku tak ingin jadi penyebab pertengkaran kalian. Aku… hanya istri baru yang masih belajar menempatkan diri.
Zeline mengepalkan tangan, menahan amarah.
Zeline:
“Ya, sebaiknya kau lakukan itu belajar menempatkan diri. Karena sampai detik ini, rumah ini masih milikku… dan aku masih istri sah Suga.”
Cristine menatapnya sekilas kali ini dengan tatapan tajam yang hanya terlihat sedetik sebelum berubah lagi menjadi senyum lembut.
Cristine:
“Tentu saja, Kak Zeline. Aku akan selalu menghormati posisimu… untuk sementara waktu.”
Senyum itu samar, namun Zeline bisa merasakannya senyum seorang wanita yang siap berperang.
Cristine melangkah perlahan meninggalkan mereka. Gaun putihnya bergesekan lembut di lantai marmer, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan malam.
Namun baru beberapa langkah dari ruang tamu, tubuhnya tiba-tiba terhuyung. Wajahnya memucat, pandangannya kabur, dan dalam sekejap
Bruk!
Tubuh Cristine ambruk ke lantai. Cangkir teh di tangan pelayan terjatuh, pecah berantakan.
Suga:
“Cristine!”
Tanpa pikir panjang, Suga berlari menghampiri. Wajahnya panik, suaranya gemetar. Ia segera meraih tubuh Cristine yang terkulai lemah dan menggendongnya ke arah kamar pengantin di lantai atas.
Zeline hanya berdiri di tempat, terpaku. Matanya menatap punggung Suga yang menjauh dengan wanita lain di pelukannya.
Tak ada satu pun lirikan. Tak ada kata.
Bahkan sekadar menoleh pun tidak.
Hatinya terasa remuk, seperti diremas pelan tapi menyakitkan.
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi Zeline menahannya dengan keras kepala. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapa pun terutama pria yang baru saja mengabaikannya.
Zeline lirih, berbicara pada diri sendiri:
“Selalu begitu, Suga… setiap kali dia jatuh, kau yang menjemputnya.
Dan setiap kali aku terluka, kau yang pergi.”
Dari atas tangga, Suga menghilang ke balik pintu kamar.
Zeline menarik napas panjang, memalingkan wajah. Ia tahu betul, Cristine tidak selemah yang ia lihat barusan. Pingsan itu terlalu sempurna… terlalu tepat waktunya.
Zeline:
menyeringai pahit
“Pintar sekali kau, Cristine… tahu kapan harus tumbang untuk mendapatkan perhatian. Tapi ingat, permainan ini baru dimulai.”
Cahaya lampu chandelier berkilau di matanya yang kini mulai basah.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak menikah, Zeline merasa benar-benar sendirian di rumah yang dulu ia bangun bersama Suga, kini ia hanyalah tamu di kehidupannya sendiri.
Matahari pagi menembus tirai tipis kamar pengantin. Cahaya lembutnya menyentuh wajah Cristine yang masih terbaring di ranjang besar berhias kelambu putih. Wajahnya terlihat pucat, tapi itu bukan karena sakit , melainkan karena sengaja dibuat begitu. Bibirnya tersenyum samar, mengingat kejadian semalam.
Ia bisa merasakan lengan Suga di sisi tempat tidur, masih menggenggam tangannya erat.
Suga belum berganti pakaian sejak malam.
Mata pria itu tampak lelah, tapi tetap menjaganya sepanjang malam.
Cristine membuka mata perlahan, mengatur napasnya agar terdengar lemah.
Cristine:
(suaranya lirih)
“S-Suga…?”
Suga yang semula tertidur di kursi segera bangkit, wajahnya khawatir.
Suga:
“Cristine… kau sudah sadar? Kau sempat membuatku sangat khawatir. Semalam kau pingsan tiba-tiba.”
Cristine tersenyum kecil, menatapnya dengan mata berkaca-kaca yang sengaja dibuat bergetar.
Cristine:
“Aku… aku tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin karena terlalu lelah setelah pesta… maaf, aku sudah merepotkanmu di malam pertama kita.”
Suga menggeleng cepat.
Suga:
“Jangan bicara begitu. Kau harus istirahat dulu. Dokter bilang tubuhmu drop karena kelelahan.”
Cristine mengangguk pelan, lalu dengan manja menggenggam tangan Suga lebih erat.
Cristine:
“Terima kasih, Suga… karena kau tak meninggalkanku.”
(suaranya melemah)
“Aku takut kalau kau marah padaku… karena pernikahan ini membuat banyak orang terluka.”
Suga terdiam, pandangannya menurun. Ia tahu siapa “orang yang terluka” itu , Zeline.
Rasa bersalah kembali menyesakkan dadanya.
Melihat reaksi Suga, bibir Cristine melengkung pelan. Ia menunduk seolah sedih, tapi di balik wajah lembut itu, pikirannya berbicara lain.
“Lihatlah, Suga… hanya dengan sedikit air mata, kau kembali padaku.
Sebentar lagi, Zeline tidak akan punya ruang di hatimu.”
Suga menatap wajah Cristine lama, lalu mengusap lembut rambutnya.
Suga:
“Istirahatlah dulu, aku akan memintakan sarapan ringan untukmu.”
Begitu Suga keluar dari kamar, senyum licik Cristine langsung muncul. Ia memejamkan mata dan berbisik pelan, nyaris tanpa suara:
Cristine:
“Permainan baru dimulai, Zeline. Kali ini aku yang akan menang.”
Udara pagi itu lembut, aroma roti panggang dan mentega mulai memenuhi udara. Zeline berdiri di dapur dengan rambut yang diikat sederhana, mengenakan apron putih yang sudah sedikit lusuh. Tangan mungilnya sibuk menyiapkan sarapan, seperti kebiasaannya setiap pagi.
Suara langkah sepatu terdengar di lantai marmer. Suga muncul di ambang pintu dapur.
Ia berhenti sejenak.
Matanya tertuju pada punggung wanita yang begitu dikenalnya,punggung yang dulu selalu ia peluk dari belakang setiap pagi, sambil tertawa dan mencicipi masakan yang belum matang.
Bayangan masa lalu menyeruak di benaknya:
Zeline yang tertawa dengan tepung di pipinya,
tangan mereka yang saling berebut sendok kayu,
dan canda sederhana yang dulu terasa begitu hangat.
Kini, semua itu terasa begitu jauh.
Suga menghela napas pelan dan melangkah masuk.
Zeline tersadar akan kehadirannya, namun tak menoleh. Ia tetap memasak, suaranya tenang namun dingin.
Zeline:
“Pagi. Kau mau sarapan apa?”
Suga menatap meja, lalu berkata pelan.
Suga:
“Tidak… aku hanya ingin membuatkan bubur untuk Cristine. Dia masih lemah.”
Tangannya refleks meremas spatula di genggamannya.
Tapi Zeline tak berkata apa pun.
Wajahnya tetap datar, meski dadanya serasa diremas dari dalam.
Ia menatap api kompor, berusaha fokus pada panci di depannya, tapi matanya mulai berembun.
Bibirnya bergetar kecil sebelum akhirnya ia bicara lirih nyaris tak terdengar.
Zeline:
“Begitu ya…”
Suga menatap punggung Zeline lama, hatinya mulai terasa berat. Ada sesuatu dalam nada suara wanita itu yang menusuk jauh lebih dalam dari kemarahan mana pun.
Ia ingin bicara ingin menjelaskan, ingin mengatakan bahwa semuanya tidak seperti yang terlihat. Tapi kata-katanya menguap begitu saja.
Zeline menurunkan panci dari kompor, lalu meletakkannya di meja makan seperti biasa.
Ia memanggil pelayan dan berkata dengan nada datar,
Zeline:
“Tolong siapkan meja untuk Tuan Suga. Sarapannya sudah siap.”
Pelayan mengangguk dan berlalu, meninggalkan keduanya dalam keheningan yang menyesakkan.
Suga melangkah ke rak bahan makanan, mulai membuat bubur untuk Cristine.
Setiap kali ia mengambil sendok, suara logam itu terdengar begitu nyaring di telinga Zeline seolah menggores hatinya perlahan.
Ia menatap punggung suaminya dari jauh, berusaha menelan rasa sakit yang tumbuh di dada.
Hatinya berteriak, tapi bibirnya diam seribu bahasa.
Zeline menunduk, mengusap sudut matanya cepat-cepat.
Zeline (dalam hati):
“Aku istrinya… tapi mengapa aku merasa seperti orang asing di rumah ini?”
Ketika bubur itu matang, Suga mematikan kompor. Ia menoleh, ingin mengucap sesuatu tapi Zeline sudah lebih dulu berjalan pergi, meninggalkan aroma masakan dan keheningan di belakangnya.
Dan di ruang dapur itu, hanya tersisa Suga… menatap mangkuk bubur di tangannya, dengan hati yang mulai dihantui oleh bayangan cinta yang perlahan ia hancurkan sendiri.
Suga melangkah perlahan menyusuri koridor panjang menuju kamar pengantin.
Di tangannya, nampan berisi semangkuk bubur ayam hangat dan segelas air putih masih mengepulkan uap tipis.
Setiap langkah terasa berat bukan karena lelah, tapi karena bayangan Zeline di dapur tadi terus menari di pikirannya.
Ia sempat berhenti sejenak di depan pintu kamar.
Menghela napas panjang.
Lalu dengan pelan, ia mengetuk dan masuk.
Cristine masih berbaring di atas ranjang. Rambutnya terurai lembut di atas bantal, wajahnya tampak pucat tapi sorot matanya hidup, penuh perhitungan. Begitu melihat Suga datang, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.
Cristine:
(suaranya lemah namun lembut)
“Suga… kau membuatkan sarapan untukku?”
Suga tersenyum tipis dan berjalan mendekat.
Suga:
“Iya, kau harus makan dulu. Badanmu masih lemah.”
Ia meletakkan nampan di atas meja kecil di samping ranjang.
Aroma bubur hangat langsung memenuhi ruangan.
Cristine menatapnya dengan tatapan penuh rasa haru setidaknya, begitulah yang terlihat di permukaan.
Cristine:
“Kau… benar-benar perhatian, Suga. Aku tidak tahu harus bagaimana membalas semua ini.”
Suga duduk di sisi ranjang, mengambil sendok, lalu meniupnya perlahan sebelum menyuapkannya ke bibir Cristine.
Cristine membuka mulut pelan, menatapnya tanpa berkedip.
Cristine:
“Kau tidak makan?”
Suga:
“Belum… nanti saja.”
Cristine menatapnya lama, lalu tersenyum kecil.
Cristine:
“Zeline yang memasak, ya?”
Suga sempat terdiam.
Pertanyaan itu menusuk tiba-tiba.
Suga:
“…Iya. Dia seperti biasa, menyiapkan sarapan.”
Cristine pura-pura menunduk, seolah merasa bersalah.
Namun senyum tipis muncul di sudut bibirnya tanpa Suga sadari.
Cristine:
“Kasihan dia. Aku tidak ingin membuatnya merasa tersingkir, Suga. Tapi… aku juga ingin menjalankan peranku sebagai istrimu sekarang.”
Suga menatap Cristine dengan wajah sendu.
Ia ingin berkata bahwa hatinya masih terbelah dua, tapi lidahnya kelu.
Ia hanya diam.
Cristine menatapnya lembut, tangannya menggenggam tangan Suga erat.
Cristine:
“Berjanjilah padaku, Suga… apa pun yang terjadi, kau tidak akan meninggalkanku seperti dia.”
Suga menunduk, genggamannya melemah.
Bayangan Zeline yang berdiri di dapur, menahan air mata tanpa suara, kembali muncul di kepalanya dan entah kenapa, rasa bersalah itu kini mulai berubah menjadi sesak yang menyesakkan dada.
Namun di saat yang sama, dari luar kamar…
Zeline berdiri diam di balik pintu, mendengarkan setiap kata.
Matanya berkaca-kaca, tapi ia tak ingin masuk.
Ia hanya berdiri di sana, menatap ke lantai, lalu berbisik pelan pada dirinya sendiri:
Zeline:
“Bahkan sarapan yang kubuat… tak lagi untuknya.”
Cristine sedang duduk di tepi ranjang, memainkan ujung selimut sambil tersenyum kecil. Wajahnya tampak lembut dan polos, tapi sorot matanya menyimpan maksud lain. Di tangan kirinya, ponsel masih menampilkan pesan dari sahabatnya Lisa tentang acara pelelangan di kota Busan hari ini.
Tanpa berpikir lama, Cristine segera berdiri dan berjalan keluar kamar. Ia melihat Suga yang baru saja selesai berpakaian rapi dan bersiap pergi ke kantor.
Cristine langsung menghampirinya dengan langkah pelan, suaranya dibuat selembut mungkin.
Cristine:
“Suga…”
Suga menoleh, sedikit terkejut melihat istrinya yang baru sembuh sudah berdiri tegak di hadapannya.
Suga:
“Kau sudah merasa lebih baik?”
Cristine tersenyum manis, pura-pura lemah sambil menepuk dadanya.
Cristine:
“Masih agak pusing sih, tapi aku baru saja mendapat pesan dari Lisa. Katanya hari ini ada acara pelelangan besar di Busan… barang-barangnya langka dan sangat berharga. Aku ingin sekali melihatnya.”
Suga terdiam sejenak, menatap wajah Cristine yang memelas.
Suga:
“Pelelangan di Busan? Tapi kau baru saja jatuh pingsan semalam. Kau yakin kuat pergi sejauh itu?”
Cristine menatapnya dengan tatapan penuh harapan, lalu menggenggam tangan Suga.
Cristine:
“Aku janji tidak akan memaksakan diri. Aku hanya ingin ditemani olehmu, Suga. Aku jarang sekali bisa jalan berdua denganmu. Lagipula… kau sudah lama janji mau mengajakku ke Busan, kan?”
Nada suaranya lembut, tapi setiap kata terasa seperti tusukan halus ke hati Suga. Ia tak tega menolak.
Sementara itu, di balik tembok koridor, Zeline berdiri diam mendengar semua percakapan mereka. Tatapannya kosong, tapi bibirnya bergetar menahan perih.
Suga menghela napas panjang, lalu mengangguk.
Suga:
“Baiklah… kalau kau benar-benar ingin pergi, aku akan temani. Tapi kalau kau mulai merasa tidak enak badan, kita langsung pulang.”
Cristine menatapnya dengan senyum lega, pura-pura tersentuh.
Cristine:
“Terima kasih, Suga… kau memang suami yang paling perhatian.”
Ia pun memeluk Suga dengan lembut. Namun di balik pelukannya, Cristine tersenyum licik.
Karena dalam pikirannya, rencana berikutnya sudah mulai terbentuk rencana untuk membuat semua orang tahu bahwa dialah satu-satunya wanita yang pantas berdiri di sisi Suga.
Zeline yang sedang berdiri di depan cermin menatap bayangan dirinya sendiri. Wajahnya tampak tenang, tapi matanya menyimpan sejuta luka yang tak terucap. Ia baru saja menata rambutnya dan berusaha terlihat biasa seolah dirinya tak tahu apa pun tentang rencana Suga dan Cristine ke Busan.
Namun, ketenangan itu buyar ketika terdengar suara ketukan lembut di pintu kamarnya.
Suga (dari luar):
“Zeline? Apa kau ada di dalam?”
Zeline menghela napas pelan. Suaranya dingin namun terdengar tenang.
Zeline:
“Masuk saja. Pintu kamarku tidak dikunci.”
Suara langkah kaki Suga terdengar perlahan mendekat.
Pintu terbuka, dan pria itu muncul masih dengan jas rapi, rambut tersisir sempurna, dan aroma parfum khasnya yang dulu selalu membuat Zeline tenang.
Kini aroma itu justru membuat dadanya sesak.
Suga menatap sekeliling kamar sederhana, bersih, dan beraroma lembut lavender. Kamar yang dulu sering ia datangi, kini terasa asing baginya.
Zeline berbalik perlahan, menatap Suga tanpa senyum.
Dalam hatinya, ia berbicara pada diri sendiri:
Bahkan untuk memasuki kamarku saja… kau harus mengetuk terlebih dahulu, Suga. Dulu kau tidak seperti ini.
Suga:
“Maaf mengganggu… aku hanya ingin memberi tahu, hari ini aku akan ke Busan bersama Cristine.”
Nada suaranya datar, seperti seseorang yang sekadar menyampaikan informasi tanpa perasaan.
Zeline menatapnya lama tidak marah, tidak juga tersenyum.
Zeline:
“Oh begitu… kalau begitu hati-hati di jalan.”
Suga tampak sedikit canggung. Ia tahu Zeline pasti tahu lebih banyak daripada yang terlihat, tapi wanita itu terlalu tenang.
Suga:
“Kau… tak apa di rumah sendirian? Kalau kau butuh sesuatu, minta saja pada pelayan.”
Zeline menunduk sebentar, lalu menatapnya lagi.
Zeline:
“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa sendirian.”
Kalimat itu meluncur pelan, tapi tajam menembus hati Suga tanpa ia sadari.
Ia ingin menjawab sesuatu, tapi lidahnya kelu. Hanya ada keheningan yang menggantung di antara mereka.
Zeline kemudian berbalik lagi, melanjutkan aktivitasnya menata bunga di vas kaca di dekat jendela.
Sinar matahari pagi jatuh di wajahnya, membuat air matanya yang hampir jatuh tampak berkilau namun segera ia hapus sebelum sempat terlihat.
Zeline (pelan):
“Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kau bisa berangkat sekarang. Jangan buat Cristine menunggu.”
Suga terdiam beberapa detik, menatap punggung Zeline yang tegak tapi dingin.
Ia ingin mengatakan sesuatu tapi yang keluar hanya bisikan singkat.
Suga:
“Baiklah.”
Lalu ia melangkah pergi, menutup pintu perlahan.
Begitu pintu tertutup sepenuhnya, Zeline akhirnya tak mampu menahan air matanya.
Tangannya menggenggam vas bunga erat hingga ujung jarinya memutih.
Zeline (dalam hati):
Bahkan pintu hatimu pun kini tertutup untukku, Suga…
Setelah pintu kamar tertutup rapat, keheningan menyelimuti ruangan itu.
Tak ada lagi langkah kaki, tak ada lagi suara hanya detak jam dinding yang terdengar jelas, berdentang pelan seirama dengan degup jantung Zeline yang hancur.
Zeline melangkah pelan menuju meja rias di sudut kamar.
Di sana, berdiri sebuah bingkai foto kecil foto yang sudah mulai memudar warnanya, menampilkan sepasang wajah yang tersenyum hangat: Eomma dan Appa-nya.
Tangannya gemetar saat meraih bingkai itu.
Begitu foto itu berada di genggamannya, air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.
Zeline (lirih, di antara tangis):
“Appa… Eomma…”
Suaranya bergetar, nyaris tak terdengar.
Ia menatap foto itu lama, matanya memburam oleh air mata yang terus mengalir.
Zeline:
“Kalau saja Eomma masih ada… mungkin aku tidak akan seperti ini. Menjadi istri pertama yang tak lagi dianggap… istri yang disisihkan karena kehendak orang lain.”
Ia menunduk, air matanya jatuh di permukaan kaca bingkai itu.
Tangannya menggenggam erat foto tersebut, seolah dengan begitu ia bisa memeluk kenangan masa kecil yang dulu penuh kehangatan.
Zeline (pelan, penuh sesak):
“Kenapa aku harus mencintainya sedalam ini, Eomma? Kenapa aku harus menikah dengan pria yang kini membagi cintanya dengan wanita lain? Aku… aku lelah, Eomma…”
Ia jatuh berlutut di lantai, memeluk bingkai foto itu ke dadanya.
Tangisnya pecah, menggema dalam kamar yang sepi.
Di luar jendela, angin meniup tirai perlahan, membawa aroma pagi yang lembut tapi bagi Zeline, semuanya terasa hampa.
Ia menatap langit dari balik jendela, berbisik lirih di antara isak:
Zeline:
“Appa, Eomma… doakan aku kuat. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan di rumah ini, di samping pria yang kini bukan lagi milikku seutuhnya.”
Dan untuk pertama kalinya sejak pernikahan itu, Zeline benar-benar merasa sendirian.
Tak ada pelukan, tak ada suara lembut yang menenangkan.
Hanya dirinya… dan luka yang perlahan-lahan menelan hatinya hidup-hidup.
Zeline duduk di tepi ranjang, matanya masih sembab setelah menangis lama.
Di tangannya, bingkai foto keluarga masih tergenggam erat foto dirinya saat kecil bersama Appa dan Eomma.
Wajah Eomma yang tersenyum lembut di dalam foto itu membuat dadanya kembali sesak.
Ia mengusap pipinya pelan, menatap foto itu dengan pandangan penuh rindu.
Zeline (lirih):
“Appa… bagaimana kabar Appa?”
Suaranya pelan, nyaris hanya bisikan.
“Sudah lama aku tidak mengunjungimu… setelah kepergian Eomma untuk selamanya.”
Air matanya kembali jatuh, membasahi kaca bingkai foto itu.
Ia menarik napas panjang, mencoba menahan isak yang nyaris pecah.
Zeline (masih dengan suara gemetar):
“Appa pasti sendirian di rumah sekarang, ya? Aku anak yang buruk… bahkan setelah menikah, aku jarang pulang. Aku sibuk menenangkan hatiku sendiri… padahal mungkin Appa juga butuh seseorang untuk menemaninya setelah Eomma pergi.”
Tangannya menggenggam bingkai itu erat, seolah sedang memeluk kenangan.
Tatapannya kini lebih lembut, penuh penyesalan dan rindu.
Zeline (pelan):
“Appa, aku akan datang menemuimu. Hari ini… aku ingin pulang sebentar, Appa. Aku ingin melihatmu, ingin mendengar suaramu, walau mungkin aku tak bisa menceritakan semua luka di hatiku.”
Ia tersenyum kecil meski air matanya masih jatuh perlahan.
Zeline (dalam hati):
Setidaknya di depan Appa… aku bisa jadi Zeline yang dulu. Bukan istri yang diabaikan, bukan wanita yang kalah. Tapi anak yang masih punya tempat untuk pulang.
Zeline berdiri perlahan, meletakkan bingkai foto itu kembali di atas meja.
Ia menatapnya sekali lagi dan berbisik lembut:
Zeline:
“Tunggu aku, Appa. Aku akan datang hari ini.”
Di sisi lain, mobil hitam mewah melaju mulus di jalan tol menuju kota Busan.
Langit tampak cerah, awan bergerak perlahan seolah ikut menyambut perjalanan mereka.
Di kursi depan, Suga duduk di belakang kemudi, mengenakan kemeja putih bersih yang lengannya digulung hingga siku. Di sebelahnya, Cristine tampak anggun dengan gaun sederhana berwarna krem dan kacamata hitam di wajahnya.
Udara di dalam mobil dipenuhi aroma parfum lembut yang selalu dipakai Cristine aroma yang kini mulai memenuhi ruang yang dulu biasa tercium wangi lavender milik Zeline.
Cristine menatap keluar jendela dengan mata berbinar.
Ia tampak sangat bahagia, bahkan tak bisa menyembunyikan senyumnya.
Cristine:
“Ah, sudah lama aku tidak bepergian seperti ini. Cuacanya bagus sekali hari ini, ya, Suga?”
Suga menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil.
Suga:
“Iya… langitnya cerah, sepertinya hari ini akan berjalan lancar.”
Cristine tertawa kecil, lalu dengan manja mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Suga.
Cristine:
“Kau selalu tahu bagaimana menenangkan suasana, hm? Kau memang berbeda dari dulu, Suga kecil yang suka membuatku menangis.”
Suga tertawa kecil, mengingat masa kecil mereka bersama.
Dalam tawa itu, ada kehangatan yang bahkan ia sendiri tidak sadari mulai mengisi ruang di antara mereka.
Tanpa berpikir panjang, Suga mengulurkan tangan dan mengusap kepala Cristine dengan lembut.
Gerakannya alami penuh kasih sayang, seperti kebiasaan lama yang muncul tanpa rencana.
Suga:
“Kau masih sama saja, ya. Selalu tahu cara membuat suasana jadi lebih ringan.”
Cristine menatapnya dengan mata berbinar, senyum puas perlahan muncul di wajahnya.
Ia menatap tangan Suga yang masih di kepalanya, lalu berkata pelan:
Cristine:
“Aku senang… akhirnya kita bisa seperti ini lagi, Suga. Seperti dulu, sebelum semuanya berubah.”
Suga hanya tersenyum tidak menjawab, tapi juga tidak menolak.
Mobil itu terus melaju, membawa mereka berdua semakin jauh…
semakin jauh dari rumah tempat Zeline kini duduk sendiri menatap foto Eomma dan berusaha menahan air matanya.
Dari kaca spion, pantulan wajah Suga tampak tenang tapi matanya sesekali menerawang, seolah ada bayangan lain di pikirannya yang tak bisa ia hapus.
Namun di sampingnya, Cristine tak menyadarinya. Ia sibuk menikmati kemenangan kecilnya hari ini.
Cristine (dalam hati):
Lihatlah, Zeline. Hanya butuh sedikit waktu, dan tempatmu di hatinya akan sepenuhnya menjadi milikku.
Mobil hitam berkilau itu berhenti di depan gedung megah bertingkat tiga dengan papan nama bertuliskan “Busan Grand Auction House”. Lampu-lampu kristal yang tergantung di pintu masuk berkilauan, memantulkan cahaya ke gaun-gaun mewah para tamu yang datang dari berbagai kalangan elite.
Pintu mobil terbuka. Seorang petugas valet membungkuk sopan.
Dari dalam mobil, Suga keluar terlebih dahulu mengenakan jas hitam elegan, dasi perak yang terikat rapi, dan ekspresi tenang khas dirinya. Aura dingin dan berwibawa yang selalu ia miliki membuat beberapa orang di sekitar langsung berbisik-bisik.
“Itu kan… Tuan suga alexander, CEO Min Corporation.”
“Benar, dia datang ke sini juga. Aku tidak menyangka dia akan muncul di acara ini!”
Suga berjalan memutari mobil, lalu membuka pintu untuk Cristine.
Begitu Cristine melangkah keluar, semua mata tertuju padanya.
Gaun panjang berwarna champagne yang dikenakannya berkilau lembut di bawah cahaya lampu. Rambut panjangnya disanggul rapi, memperlihatkan leher jenjang dan keanggunannya. Bibirnya melengkung dalam senyum lembut senyum yang tampak manis di luar, tapi menyimpan rasa puas yang dalam.
“Astaga, siapa wanita itu?”
“Itu istri barunya Tuan Suga, kan? Cantik sekali…”
“Benar-benar pasangan yang sempurna, mereka terlihat serasi sekali!”
Cristine mendengar semua bisikan itu. Ia menunduk sedikit, pura-pura malu, padahal di balik topeng
sopannya, hatinya berteriak senang.
Lihatlah, Zeline. Kini semua orang melihat aku yang berjalan di sisinya, bukan kau.
Suga menatap Cristine sejenak, lalu menawarkannya tangan dengan sopan.
Suga:
“Ayo, acara akan segera dimulai.”
Cristine menyambut tangan itu dengan lembut.
Mereka berdua melangkah masuk melewati karpet merah panjang, diiringi kilatan kamera dan sapaan dari para tamu kehormatan.
Seorang wanita paruh baya, penyelenggara acara, segera menghampiri dengan senyum ramah.
Penyelenggara:
“Selamat datang, Tuan Alexander! Kehadiran Anda benar-benar suatu kehormatan bagi kami.”
Suga:
“Terima kasih. Aku hanya datang memenuhi undangan.”
Tatapan penyelenggara lalu beralih ke Cristine.
Penyelenggara:
“Dan ini tentu saja… istri Tuan alexander? Wah, Nyonya Min, Anda tampak begitu memesona malam ini.”
Cristine tersenyum lembut, suaranya terdengar anggun namun sarat kesombongan tersembunyi.
Cristine:
“Terima kasih, Anda terlalu berlebihan memujiku.”
Namun pandangan di sekeliling mereka semakin banyak mata-mata penuh kekaguman, kagum pada keanggunan wanita yang kini berada di sisi suga alexander, pria dingin dan berkuasa yang jarang memperlihatkan sisi lembutnya.
Suga dan Cristine kemudian berjalan masuk ke aula utama.
Ruangan itu luas, dihiasi lampu gantung kristal besar dan panggung tempat barang-barang langka akan dilelang.
Musik klasik mengalun pelan. Para tamu duduk dengan sopan, menikmati wine dan percakapan ringan.
Cristine melangkah anggun, menggenggam tangan Suga erat.
Ia menatap sekeliling dengan tatapan puas menikmati perhatian, bisikan, dan pandangan iri para wanita lain.
Di telinganya, suara Suga terdengar pelan namun dalam:
Suga:
“Kau tampak bahagia malam ini.”
Cristine tersenyum lembut.
Cristine:
“Tentu saja. Bagaimana aku tidak bahagia? Aku di sini bersamamu… suamiku.”
Suga hanya menatapnya tanpa banyak bicara.
Ia kemudian menarik kursi untuk Cristine sebelum duduk di sampingnya.
Di wajahnya, ada senyum kecil tapi entah kenapa, di balik senyum itu masih tersisa bayangan seseorang yang tak pernah hilang dari pikirannya: Zeline.
Baik, berikut adegan dramatis dan elegan saat Suga dan Cristine duduk di acara pelelangan, lalu muncul Kim Taehyung, sahabat lama sekaligus pesaing bisnis Suga pria karismatik dengan aura dominan dan suara berat yang langsung mencuri perhatian.
Aula pelelangan itu kini terasa penuh wibawa. Musik klasik lembut terdengar di latar, sementara para tamu duduk rapi di meja-meja bundar berlapis kain putih elegan.
Suga duduk tenang di barisan depan bersama Cristine. Di atas meja mereka terletak daftar barang lelang mulai dari lukisan antik, batu permata langka, hingga jam tangan bersejarah yang hanya ada satu di dunia.
Cristine tersenyum tipis sambil menatap sekeliling, menikmati suasana mewah itu.
Namun Suga terlihat berbeda ia lebih banyak diam, menatap lurus ke arah panggung. Wajahnya tetap datar dan dingin, seperti biasanya.
Suara pembawa acara wanita terdengar lembut:
“Tuan dan Nyonya sekalian, sebelum acara dimulai, kami ingin menyambut kehadiran salah satu tamu kehormatan yang baru saja tiba…”
Tiba-tiba, suasana ruangan menjadi sedikit ramai. Semua mata menoleh ke arah pintu masuk besar di ujung aula.
Dari sana, melangkah masuk seorang pria dengan setelan jas navy yang rapi, langkahnya tenang namun penuh percaya diri.
Tatapan tajamnya, rahang tegas, dan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya memancarkan pesona alami.
Suara pembawa acara kembali terdengar, kali ini lebih bersemangat:
“Selamat datang, Tuan Kim Taehyung, CEO dari Vante Global Holdings.”
Bisik-bisik kecil terdengar di antara para tamu:
“Itu Kim Taehyung? Pendiri Vante Global? Perusahaan raksasa yang bersaing langsung dengan Min Corporation?”
“Ya Tuhan, dua pengusaha besar dalam satu ruangan… ini akan menarik.”
Cristine menoleh pada Suga dengan mata berbinar, sedikit gugup tapi juga kagum.
Cristine:
“Suga… itu Taehyung-ssi, kan? CEO Vante Global? Aku sering membaca berita tentangnya. Katanya dia sangat… karismatik.”
Suga hanya menatap lurus, ekspresinya dingin dan kaku.
Suga:
“Dia teman lamaku. Tapi sejak bisnis kami tumbuh, hubungan itu berubah menjadi persaingan.”
Cristine sedikit tertegun.
Cristine:
“Persaingan? Tapi kalian tampak seperti dua orang dengan pengaruh besar… pasti menarik kalau bekerja sama.”
Suga (dingin):
“Tidak semua orang bisa diajak bekerja sama, Cristine. Beberapa orang lebih suka bersaing untuk menang.”
Suara langkah berat terdengar mendekat.
Cristine menoleh Kim Taehyung kini berdiri di belakang mereka, menatap langsung ke arah Suga dengan senyum samar.
Suara berat dan tenangnya menggema, membuat beberapa tamu wanita di sekitar menoleh kagum.
Taehyung:
“Sudah lama tidak bertemu, Suga.”
Suga perlahan berdiri, menatap pria di hadapannya dengan mata tajam namun tenang.
Suga:
“Taehyung.”
Keduanya berjabat tangan.
Namun genggaman itu terasa berat bukan sekadar sapaan lama, tapi seperti pertarungan diam antara dua kekuatan besar.
Taehyung:
“Tak kusangka kita bertemu di tempat seperti ini. Aku dengar kau baru saja menikah.”
Cristine tersenyum ramah, menunduk sopan.
Cristine:
“Te Tuan Kim. Senang bertemu dengan Anda.”
Cristine tersenyum manis, sementara Suga hanya memandang keduanya tanpa ekspresi.
Namun di balik tatapan dinginnya, jelas terlihat bahwa ia tidak menyukai cara Taehyung menatap Cristine tatapan yang seolah menilai dan menantang dalam waktu bersamaan.
Suga (tenang tapi tajam):
“Aku tidak menyangka kau tertarik dengan acara seperti ini.”
Taehyung (tersenyum tipis):
“Kadang… aku suka melihat bagaimana orang kaya menghabiskan uang mereka untuk barang-barang yang tidak mereka butuhkan.”
(lalu menatap tajam ke arah Suga)
“Dan terkadang, aku datang hanya untuk melihat siapa yang masih berani menawar lebih tinggi dariku.”
Cristine menelan ludah pelan. Udara di antara dua pria itu terasa menegang seperti dua singa yang sama-sama ingin menunjukkan siapa penguasa di ruangan itu.
Ruangan pelelangan masih ramai dengan suara obrolan dan denting gelas, tapi di meja depan suasana menjadi tegang dan dingin.
Cristine yang duduk di sisi Suga masih memasang senyum manis, meski hatinya terasa sedikit tak nyaman melihat tatapan tajam Taehyung.
Taehyung menyilangkan tangan, pandangannya menusuk langsung ke arah Suga.
Nada suaranya dalam dan penuh tekanan, terdengar jelas di antara keramaian:
Taehyung:
“Oh iya, Suga… aku hampir lupa bertanya.”
(suaranya pelan namun tajam)
“Bagaimana dengan Zeline? Apa kau benar-benar menelantarkannya begitu saja… hanya demi wanita ini?”
Suasana langsung berubah hening.
Beberapa tamu di meja sebelah saling menatap penasaran.
Cristine menegang di tempat duduknya, ekspresi anggunnya sedikit goyah.
Sementara Suga, yang sejak tadi masih berusaha bersikap tenang, kini menatap Taehyung dengan mata yang tajam seperti pisau.
Suga (dingin):
“Taehyung… aku tidak ingin kau ikut campur dalam urusan rumah tanggaku.”
Taehyung terkekeh pelan, lalu meneguk wine dari gelas kristalnya.
Senyumnya samar, tapi setiap katanya terasa seperti sindiran tajam.
Taehyung:
“Rumah tanggamu? Hm… menarik.”
(lalu menatap Cristine seolah meneliti)
“Aku hanya merasa kasihan saja. Kau membuang batu permata hanya untuk memungut batu yang tak berharga.”
Cristine menahan napas matanya melebar, dan wajahnya memerah karena amarah dan malu.
Namun ia cepat menutupi ekspresinya dengan senyum palsu.
Cristine (berpura-pura tenang):
“Tuan Kim… sepertinya Anda terlalu jauh menilai sesuatu yang bukan urusan Anda.”
Taehyung (datar, tak menoleh):
“Saya hanya berbicara berdasarkan apa yang saya tahu, Nyonya Min.”
Suga segera berdiri, nada suaranya menegang:
Suga:
“Taehyung, cukup. Aku tidak akan mentolerir ucapan seperti itu.”
Taehyung ikut berdiri, kini tingginya sejajar dengan Suga.
Tatapan keduanya bertemu dua pria berkuasa dengan sejarah panjang, namun kini dipisahkan oleh wanita dan masa lalu.
Taehyung (pelan, tapi menusuk):
“Kalau saja kau tahu siapa sebenarnya wanita yang kau sakiti itu, Suga… mungkin kau tidak akan berbicara setenang itu.”
Suga menatapnya bingung.
Suga:
“Apa maksudmu?”
Taehyung hanya tersenyum tipis senyum misterius yang tak memberikan jawaban apa pun.
Ia lalu menepuk bahu Suga dengan santai, seolah semua tadi hanyalah percakapan ringan.
Taehyung:
“Anggap saja aku hanya mengingatkanmu… jangan sampai kau menyesal di kemudian hari.”
Taehyung lalu melangkah pergi menuju meja lain, meninggalkan Suga yang masih terdiam penuh tanya.
Cristine mencoba menyentuh tangan Suga, suaranya lembut namun terdengar khawatir:
Cristine:
“Suga… kenapa dia mengatakan itu? Siapa sebenarnya Zeline baginya?”
Suga menghela napas dalam, matanya masih menatap kosong ke arah tempat Taehyung duduk tadi.
Suga (lirih):
“Aku… tidak tahu.”
Namun di lubuk hatinya, perasaan aneh mulai muncul campuran antara penasaran, marah, dan curiga.
Nama Zeline kini kembali berputar di pikirannya, bersamaan dengan wajah dingin Taehyung yang tadi menatapnya penuh rahasia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!