"Sial... di mana sih duda anak satu ini!"
Gerutu seorang gadis sambil menatap layar ponselnya yang tak kunjung menampilkan pesan masuk. Rahangnya mengeras, jari-jarinya gemas mengetuk meja.
"Ayah ke mana, sih?" gumamnya lagi, nada kesal bercampur gelisah.
Gadis itu adalah Elina Valencia Draven, atau yang akrab dipanggil El. Sejak tadi ia tak henti-hentinya mencoba menghubungi sang Ayah yang entah pergi ke mana. Sudah beberapa hari ini, ayahnya meninggalkannya seorang diri dengan hanya meninggalkan secarik pesan yang ia tulis di atas kertas lusuh:
{Jangan percaya pada siapa pun}
Itu kalimat yang selalu diulang ayahnya hingga El sudah bosan mendengarnya. Namun kali ini, kalimat itu justru terasa jauh lebih berat dari biasanya.
Di hadapan El, sebuah kue ulang tahun berwarna merah muda terdiam manis di atas meja. Hiasan krim dan taburan cokelat di atasnya seolah sengaja dibuat untuk memancing senyum, tapi justru menambah rasa perih di hati El. Hari ini ulang tahunnya—hari yang biasanya selalu dirayakan bersama ayah. Tapi malam ini, ruang tamu terasa kosong, dingin, dan sepi.
El menghela napas panjang. Dengan tatapan muram, ia mengambil sendok lalu menusuk potongan kue itu. "Selamat ulang tahun, El," ucapnya lirih pada diri sendiri. Bibirnya tersenyum kecut, namun matanya jelas menyimpan kekecewaan.
Tiba-tiba—
Dring! Dring! Dring!
Ponselnya bergetar hebat di meja. El refleks meraihnya dengan wajah penuh kesal. Begitu melihat layar, matanya membelalak—nama ayahnya terpampang jelas di sana. Tanpa pikir panjang, ia langsung menggeser tombol hijau.
"Ayah di mana, hah?! Apa ayah lupa kalau punya anak? Dasar duda tua!" semprot El penuh emosi.
Di seberang, terdengar tawa ringan. Erlangga Pradibta Draven, sang ayah, hanya bisa terkekeh mendengar ocehan putrinya.
"Selamat ulang tahun, putri ayah... Maaf ya, ayah gak ada di samping El." suaranya terdengar tulus, seolah berusaha menenangkan.
Segera saja mata El panas. Tangisnya pecah. "Ayah di mana sih... El sendirian tahu."
Suaranya bergetar, nyaris terputus-putus.
Erlangga terdiam lama. Ada sesuatu yang ditahannya, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan kepada putri semata wayangnya.
"Maafin ayah, sayang. Ayah gak—"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, El langsung memotong.
"Aku gak mau tahu! Kalau malam ini ayah gak balik, aku gak akan ngomong sama ayah lagi. Titik. Gak pakai koma!"
Tanpa memberi kesempatan sang ayah menjawab, El menutup telepon dan melemparkan ponselnya ke sofa dengan kasar. Dadanya naik-turun cepat, sementara tangisnya makin pecah dalam kesendirian.
•●•
Di sisi lain, Erlangga menatap ponselnya yang masih menampilkan foto lama: Elina kecil dengan senyum polosnya. Kata-kata putrinya barusan terus terngiang di kepala, terutama kerana isak tangis terdengar jelas di telinga.
Dadanya terasa sesak, seperti ada beban yang menghimpit.
Ia berbalik badan. Tak jauh darinya, seorang kerabat berdiri santai bersandar di dinding, rokok terselip di jarinya. Asap putih mengepul, memenuhi udara di sekitar mereka.
“Gue harus balik malam ini,” ucap Erlangga tegas, nadanya mantap meski matanya menyimpan resah.
Kerabat itu melirik, lalu melempar puntung rokok ke tanah dan menginjaknya pelan. Wajahnya datar, dingin, tak memperlihatkan emosi.
“Apa lo yakin?” tanyanya, suaranya berat seperti menguji keyakinan Erlangga.
Erlangga mengangguk, sekali tapi pasti. “Yakin.”
Tanpa ragu, ia meraih kunci mobil dari tangan kerabatnya, lalu duduk di balik kemudi. Dalam hitungan detik, mesin meraung dan mobil itu melaju kencang, meninggalkan lokasi.
Kerabatnya hanya menghela napas panjang, menatap arah kepergian mobil tersebut. Ia lalu mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, menekan sebuah nomor, dan menempelkan ponsel ke telinga.
“Dia kembali,” ucapnya datar, sebelum menutup sambungan.
•●•
Erlangga menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, lampu jalan hanya tampak sebagai garis-garis cahaya yang melesat di kaca depan. Ia tak peduli pada keselamatannya sendiri—hanya ada satu hal di kepalanya: harus segera sampai, harus menemui putrinya.
Dua puluh menit kemudian, ia akhirnya berhenti di depan rumah susun sederhana, tempat ia dan Elina tinggal. Dari balik kaca mobil, suasana begitu sunyi. Hanya lampu teras kecil yang menyala, menerangi sebagian halaman sempit. Erlangga menatap rumah itu lekat-lekat, dadanya sesak, lalu membuka pintu mobil.
Tok! Tok! Tok!
Ia mengetuk pintu dengan tergesa, matanya sesekali menyapu keadaan sekitar. “El… ini ayah,” ucapnya pelan, penuh harap.
Namun, di dalam, Elina sedang asyik mandi. Musik dari ponselnya yang ia nyalakan di kamar mandi membuatnya tak mendengar apa pun selain alunan lagu.
Erlangga kembali mengetuk—kali ini lebih keras. Kegelisahan kian memuncak. Saat ia menoleh ke kanan, langkahnya terhenti—sesosok pria berpakaian serba hitam berjalan pelan ke arahnya. Wajahnya tak terlihat jelas di balik bayangan malam.
Beberapa menit berselang, Elina keluar dari kamar mandi dengan wajah segar, rambutnya masih basah. Saat mendengar samar suara ayahnya, hatinya seketika berbunga. Senyum tipis muncul di bibirnya. Ayah sudah pulang. Tanpa ragu, ia melangkah cepat menuju pintu.
Namun dari luar, Erlangga justru mengunci pintu rapat-rapat. Ia bersandar sejenak, napasnya berat.
“El… jangan keluar, El!” serunya dengan nada tegas, hampir seperti perintah.
Elina terhenti. Keningnya berkerut bingung, lalu ia mempercepat langkah. Dari balik pintu, ia mendengar suara gaduh—bunyi benturan, langkah tergesa, dan helaan napas kasar.
“Ayah!” panggilnya cemas. Tangannya meraih gagang pintu, mencoba membukanya, tapi terkunci. Panik mulai merayapi tubuhnya. “Ayah! Ayah, buka pintunya!”
Ia mendekat ke door viewer dan menempelkan mata di sana. Jantungnya berdegup kencang saat melihat pemandangan di luar. Ayahnya sedang bertarung dengan pria berpakaian hitam itu. Gerakan mereka cepat, keras, hingga menimbulkan suara benturan ke dinding.
“Ayah…” bisik Elina, air matanya menetes deras.
Lalu—
Dor!
Suara tembakan memecah udara. Elina terlonjak, matanya membelalak lebar. Tangannya gemetar saat kembali mengintip ke luar. Pandangannya langsung bertabrakan dengan mata tajam pria itu. Dari balik door viewer, ia bisa melihat kumis tipis menghiasi wajahnya. Pria itu menatapnya seolah sengaja, lalu berbalik pergi begitu saja.
“Ayah… Ayah!!” Elina berteriak histeris. Air matanya tak terbendung lagi. Dengan panik, ia menoleh ke sekeliling, mencari sesuatu. Pandangannya jatuh pada kapak kecil di dekat lemari. Tanpa pikir panjang, ia meraihnya.
Dengan tenaga yang bercampur amarah dan ketakutan, ia menghantamkan kapak itu ke pintu. Sekali, dua kali—kayu mulai retak.
“Ayah!”
"Ayah!"
Teriakan Elina pecah di lorong sempit rusun itu. Air matanya tak terbendung ketika melihat ayahnya tergeletak di lantai. Wajah Erlangga penuh lembam, darah mengalir dari pelipis hingga membasahi pipi, sementara dari perutnya darah terus merembes tanpa henti.
"Ayah... Hiks... Ayah!"
Tangisnya pecah, tubuh mungil itu bergetar hebat saat meraih dan memeluk ayahnya. Jarinya gemetar memeriksa nadi di pergelangan tangan sang ayah—namun hampa. Tak ada lagi denyut kehidupan di sana.
"Ayaaahhhh!" jeritnya parau, menggema, namun tak seorang pun peduli.
Elina semakin erat memeluk tubuh Erlangga, rasa penyesalannya menyesakkan dadanya. Andai saja aku tidak memaksa ayah pulang... mungkin ayah masih ada bersamaku sekarang.
"Tolong! Tolong!" Elina memanggil dengan suara memelas pada tetangga-tetangga rusunnya. Tapi pintu-pintu tetap rapat, hanya bayangan dari celah jendela yang mengawasinya tanpa niat membantu.
"Hiks... hiks... Jangan tinggalkan aku, Ayah... maafkan El. Maafkan Elina, Ayah..." isaknya pecah, tangannya terus mengguncang tubuh sang ayah, seolah berharap keajaiban bisa membangunkannya kembali.
Tiba-tiba, sebuah suara lirih terdengar di belakangnya.
"El..."
Elina menoleh dengan mata sembab. Tubuhnya kaku melihat sosok Evan berlari menghampirinya.
"Om Evan..." panggilnya serak.
Evan melangkah cepat, matanya membelalak begitu melihat Erlangga. Ia berlutut di sisi kakaknya, tangannya gemetar menyentuh wajah Erlangga yang dingin.
"Apa yang terjadi... Kak Erlan..." suaranya bergetar, air mata mulai mengalir. Pandangannya kabur, dadanya sesak menahan duka.
"Kak... kenapa kamu bisa seperti ini..."
Evan memeluk tubuh Erlangga yang kaku, dan di sampingnya, Elina masih terisak, terjebak dalam penyesalan dan kehilangan yang tak terbalas.
•●•
Di pemakaman Erlangga, suasana terasa sepi dan sendu. Hanya Elina, Evan dan segelintir orang yang hadir. Tangis Elina tak terbendung saat melihat peti ayahnya perlahan diturunkan ke liang lahat. Isaknya pecah, seolah setiap sekop tanah yang menutupi peti itu menimbun hatinya juga.
Evan melangkah mendekat, lalu merangkul bahu Elina yang gemetar.
"Sabar, El... sedih itu wajar. Tapi jangan sampai berlarut. Ayahmu pasti nggak ingin melihat kamu begini," ucapnya pelan, berusaha menenangkan.
Dengan suara serak, Elina bergumam, "Ayah jahat, Om... Ayah ninggalin El... tanpa ajak El."
Evan menarik napas dalam. Tatapannya lembut saat menunduk menatap gadis kecil itu.
"Ayah kamu nggak ninggalin kamu, El. Dia selalu ada di hati kamu, selalu," ujarnya penuh keteguhan.
Upacara pemakaman selesai. Perlahan, semua orang pergi, menyisakan hanya Elina dan Evan. Elina terduduk di tanah basah, menatap makam ayahnya dengan mata sembab. Air matanya masih terus jatuh.
"Ayah... kenapa ayah nggak ngajak El ikut pergi? Apa ayah tega ninggalin El di dunia yang kejam ini?" suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh isakan.
Kepalanya menoleh ke sisi kanan, ke makam lain yang tak asing baginya—makam ibunya. Wajah Elina semakin berkerut, hatinya remuk.
"Bu... ibu seneng, kan? Cinta ibu sekarang udah sama ibu." Ia tersenyum getir, suaranya bergetar. "Terus... gimana sama aku, Bu? Kalian berdua cinta El... kenapa ninggalin El sendirian? Hiks... hiks..."
Evan hanya bisa menatap iba. Hatinya sendiri ikut perih melihat anak dari seseorang yang ia anggap kakak harus menanggung duka sebesar ini. Ia menunduk, lalu tanpa banyak pikir memeluk Elina erat-erat.
"El... kita pulang sekarang, ya," ucapnya lembut, tangannya mengusap punggung Elina.
"Aku mau kemana, Om? Rumah aku... ya di sini," jawab Elina dengan suara yang nyaris putus.
Evan menghela napas, lalu berbisik, "El... ayahmu bakal sedih lihat kamu kayak gini. Kamu harus ingat satu hal, meski ayah dan ibumu udah nggak ada di dunia ini... cinta mereka tetap ada di hati kamu. Itu nggak akan hilang."
Butuh waktu lama, tapi akhirnya Elina pasrah. Evan pun sedikit lega. Ia menggandeng Elina pulang.
Sepanjang perjalanan, Elina hanya diam. Tatapannya kosong menembus kaca mobil, membiarkan kenangan bersama ayahnya berputar dalam kepalanya. Evan, yang sedang menyetir, tak berusaha mengganggu. Ia tahu duka sebesar ini hanya bisa dirasakan, bukan dipaksa hilang.
Mobil akhirnya berhenti di depan rusun.
"Makasih, Om," ucap Elina lirih.
Evan tersenyum tipis. "Sama-sama, El. Ingat... jangan berlarut dalam kesedihan."
Elina tak menanggapi. Tatapannya kosong.
"El..." panggil Evan pelan.
"Aku perlu sendiri, Om," potong Elina cepat.
Evan mengangguk pelan. "Baiklah."
Tanpa kata lagi, Elina masuk ke dalam rusunnya. Pintu berderit lalu tertutup.
klik!
Sesampainya di kamar, tubuh Elina langsung ambruk di atas ranjang. Tangisnya kembali pecah, kali ini tanpa bisa ia tahan. Ingatan bersama ayahnya berputar begitu jelas—senyumnya, suaranya, dan hangat pelukannya.
"Ayah... maafkan El... kalau saja El nggak nyuruh Ayah pulang..." suaranya tercekat, penuh penyesalan.
Ia meraih baju ayahnya yang masih tergantung di kursi, lalu memeluknya erat-erat. Aroma sang ayah masih melekat di kain itu, seakan Erlangga belum benar-benar pergi.
Dalam dekapannya, Elina menangis hingga tubuhnya bergetar hebat.
"Ayah..." bisiknya patah, menggantung di udara malam yang dingin.
Matahari mulai merangkak naik, menembus tirai tipis dan menyinari kota yang perlahan bangun dari tidurnya. Namun, Elina masih duduk terpaku di tepi ranjang. Sedari semalam ia tak memejamkan mata, tatapannya kosong menembus kaca jendela, seakan cahaya pagi yang hangat itu tak mampu mengusir gelap di hatinya.
Di meja kecil, kue ulang tahunnya yang semalam masih utuh kini sudah dipenuhi semut. Krim putih yang mulai meleleh tampak berantakan, namun Elina sama sekali tak peduli. Ia hanya menatapnya sekilas, lalu kembali menggelamkan diri dalam hening.
Perlahan, ia bangkit dan meraih selembar kertas lusuh—pesan terakhir dari ayahnya. Tangannya bergetar saat membukanya, matanya kabur oleh air mata yang kembali mengalir.
Bayangan masa lalu hadir begitu jelas—saat ia dan sang ayah mendaki gunung bersama.
"El..." suara hangat itu terngiang.
"Iya, Ayah?" sahut Elina kecil kala itu.
"Suatu saat, kalau Ayah pergi—"
"Ayah mau kemana, hah?!" Elina langsung memotong dengan nada kesal, menatap ayahnya tajam.
Erlangga hanya terkekeh, tidak marah sedikit pun. Ia tersenyum sambil mengusap lembut rambut putrinya.
"Kalau Ayah nggak ada lagi di dunia ini, jangan gampang percaya sama siapa pun. Kamu harus kuat, El... berdiri di atas kakimu sendiri. Jangan libatkan orang lain dalam setiap langkahmu," ucapnya serius, tapi dengan tatapan penuh cinta.
Elina kecil merengut. "Iya, Ayahku sayang. Itu kan udah ribuan kali Ayah bilang ke El. Ayah pikir El buku hafalan, hah?" jawabnya sinis, meski pipinya memerah.
Erlangga kembali terkekeh, lalu meraih tubuh putrinya ke dalam pelukan erat—pelukan yang kini hanya bisa Elina kenang.
Air mata Elina menetes deras. Ia menggenggam kertas itu erat-erat, menempelkan ke dadanya. "Elina akan kuat, Yah... El akan berusaha," bisiknya dengan suara bergetar.
Keheningan menyelimuti kamar, hanya sesekali terdengar isakan kecil yang keluar dari bibirnya. Setelah beberapa lama, Elina menghapus air matanya dengan punggung tangan, berusaha menata napas. Ia mengambil kunci motor yang tergantung di dinding, lalu menatap sekilas ruangan sepi itu.
Tanpa banyak pikir, Elina melangkah keluar, meninggalkan rumah yang kini terasa kosong tanpa ayahnya.
Brum! Brum!
Suara motor Elina meraung di jalanan pagi yang mulai terik. Rambutnya berantakan diterpa angin, sementara wajah ceria yang dulu ia bawa kini lenyap digantikan dengan ekspresi datar dan kosong.
Tiga puluh menit berlalu, akhirnya ia tiba di depan sebuah bangunan megah yang berdiri kokoh, sedikit jauh dari jalan raya. Dari luar saja, bangunan memancarkan wibawa—pagar tinggi, kamera pengawas di setiap sudut, dan kesan modern yang tak bisa disangkal.
Elina membuka helmnya perlahan. Tatapannya berat, napasnya tertahan sebelum akhirnya ia turun dari motor dan melangkah mendekati pagar.
Ting Tong!
Bel ditekan, beberapa saat kemudian pintu pagar bergeser terbuka. Seorang pria berpakaian serba hitam muncul, tubuhnya tegap dengan tatapan dingin.
Elina menunduk hormat. “Pagi, Om. Saya ingin bertemu dengan Om Evan.”
Pria itu hanya menatapnya datar, lalu mengangguk singkat sebagai isyarat untuk masuk.
Elina melangkah ke dalam, melewati halaman luas dan beberapa ruangan sebelum akhirnya sampai di depan pintu besar. Jantungnya berdebar—ia tahu siapa yang menunggunya di dalam.
Pintu tiba-tiba terbuka sendiri, membuat Elina teringat bahwa kediaman Evander Victor Raghunendra—orang yang dianggap adik oleh almarhum ayahnya—serba canggih. Tak perlu heran dengan pintu otomatis seperti ini.
“El…” suara lembut itu menyambutnya.
Evan berdiri dari kursinya, mendekati Elina, dengan tatapan hangat.
“Om Evan,” ucap Elina lirih sambil berusaha tersenyum tipis.
“Duduklah.” Evan memberi isyarat ke sofa empuk di ruangannya. “Bagaimana kondisi kamu?” tanyanya pelan, suaranya tenang tapi penuh perhatian.
Elina menunduk, matanya sayu, wajahnya jelas kelelahan. “Jujur, El sebenarnya nggak baik-baik saja, Om… sejak Ayah pergi.”
Evan bisa menangkap jelas guratan lelah itu. “Itu wajar, El. Siapa pun pasti hancur kalau kehilangan orang yang paling disayanginya. Tapi…” suaranya melembut, “hidup tetap berjalan. Jangan biarkan kesedihan menarikmu terlalu jauh.”
Elina mengangguk pelan, meski air matanya nyaris jatuh lagi.
“Om…” ia menatap Evan, kali ini dengan kesungguhan.
“Iya, El?”
“Aku ingin belajar bela diri.”
Kening Evan langsung berkerut. “Untuk apa? Kamu mau balas dendam?”
Elina menggeleng pelan. “Nggak, Om. El sekarang hidup sendiri. Aku harus bisa lindungi diriku sendiri.” Nadanya tegas, matanya menatap lurus penuh keyakinan.
Evan terdiam sejenak, menimbang. “El, kamu tahu kan cara Om melatih…”
“Iya, Om. El paham. Dan El sanggup jalani apa pun rintangannya,” potong Elina cepat, tanpa ragu.
Evan menghela napas panjang. Akhirnya ia mengangguk pelan. “Baiklah. Besok kamu mulai latihan. Tapi sekolahmu bagaimana?”
“Ujian sudah selesai, Om. Tinggal tunggu pengumuman saja.”
Evan kembali mengangguk. Keheningan menyelimuti ruangan untuk beberapa saat. Lalu ia berkata lirih, “El…”
Elina menoleh. “Iya, Om?”
“Istirahatlah. Kamu pasti belum tidur sejak semalam, kan?”
Elina terdiam, lalu mengangguk pelan. “Nanti…”
“Sekarang, El. Om nggak terima penolakan,” ucap Evan tegas. Ia bangkit, lalu tiba-tiba mengangkat tubuh Elina ke pelukannya.
“Om!” Elina terkejut, wajahnya memerah.
“Kamu harus istirahat, El. Nggak ada penolakan,” tegas Evan lagi tanpa menoleh.
Ia menggendong Elina menuju kamar pribadinya. Dengan lembut ia membaringkannya di ranjang, lalu menyelimuti tubuh mungil itu.
“Om… aku di ruang tamu saja,” ucap Elina dengan suara pelan, merasa tak enak hati.
Evan tak menggubris. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu berkata singkat, “Tidurlah.”
Elina terdiam, matanya berkaca-kaca menatap sosok itu. “Makasih, Om.”
“Hm.” Evan hanya berdehem, lalu berbalik keluar, menutup pintu perlahan agar tak mengganggu tidurnya.
Di luar kamar, ia berpesan pada Rio—tangan kanannya. “Jangan ada yang berani mengganggunya.”
Rio menatap bingung, keningnya berkerut. Tak biasanya Evan sampai menaruh perhatian sebesar itu pada seseorang, apalagi sampai membiarkannya tidur di kamar pribadinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!