NovelToon NovelToon

Merebutmu Kembali

Bab 1 Senyum Palsu sang executive muda.

Cahaya gemerlap Jakarta menyambut senja, membingkai jendela kaca besar di lantai lima belas sebuah apartemen mewah. Aroma truffle oil dan anggur merah yang mahal memenuhi ruang makan minimalis itu. Megan tersenyum, menyesap anggurnya perlahan sambil menatap suaminya, Jose, yang duduk di seberangnya.

Hidupnya, setidaknya dari luar, adalah definisi kesempurnaan. Ia menikah dengan Jose, seorang eksekutif muda yang sukses dan ambisius. Mereka tinggal di jantung ibu kota, menikmati kemewahan tanpa perlu khawatir masalah finansial. Malam ini, seharusnya menjadi malam yang sempurna, merayakan dua tahun pernikahan mereka.

“Anggur ini enak sekali, Sayang,” ujar Megan, meletakkan gelasnya. “Aku senang kau berhasil mendapatkan Château Margaux edisi terbatas ini.”

Jose tersenyum tipis, tetapi matanya—mata yang dulu selalu berkobar penuh gairah saat menatapnya—kini terlihat dingin dan jauh. Ia tidak memandang Megan, melainkan memandangi ponsel mahalnya yang tergeletak di samping piring porselennya.

“Ya, aku minta asistenku yang mencarinya,” jawab Jose, suaranya terdengar datar. “Kau tahu, ini hari yang sangat sibuk di kantor. Ada proyek besar yang harus segera diselesaikan.”

Megan menghela napas, berusaha mengusir rasa cemas yang mulai menggerogoti. Sudah berbulan-bulan, Jose selalu ‘sibuk’. Dulu, bahkan saat badai pekerjaan datang, Jose akan selalu meluangkan waktu untuk menatap matanya, menceritakan segalanya, dan menjadikan Megan prioritas.

“Sibuk, selalu sibuk,” canda Megan, mencoba mencairkan suasana. “Apakah kantor akan mengambil semua waktumu, bahkan di malam ulang tahun pernikahan kita?”

Jose meraih ponselnya, seolah kalimat Megan adalah sinyal untuknya memeriksa notifikasi. Jari-jarinya bergerak cepat di layar, menciptakan cahaya biru yang memantul di wajahnya.

“Astaga, Megan. Bisakah kau tidak berlebihan?” Jose meletakkan ponsel itu lagi, kini menghadap ke bawah. “Aku sedang membangun masa depan kita. Jika aku tidak bekerja keras sekarang, bagaimana kita bisa membeli villa di Bali seperti yang kau impikan?”

“Aku tidak meminta villa di Bali, Jose. Aku hanya meminta kehadiranmu,” balas Megan, nadanya mulai dipenuhi kekecewaan yang nyata. “Kau pulang semakin larut, kau menghindari kontak mata, dan ponselmu kini seperti kotak Pandora yang tidak boleh kusentuh.”

Jose menggeser kursinya ke belakang, tatapan lelahnya bercampur iritasi. “Itu karena aku bosan dengan pertanyaan-pertanyaanmu yang paranoid. Ponselku berisi data rahasia perusahaan, Megan. Kau tahu itu. Aku tidak ingin ada risiko kebocoran.”

Alasan itu terdengar masuk akal, tetapi hati Megan berteriak sebaliknya. Sudah berapa kali ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa Jose hanya sedang stres, bahwa kesibukan ini akan segera berlalu? Namun, perubahan Jose terlalu drastis.

“Aku minta maaf,” kata Megan pelan, kembali duduk tegak. Ia memaksa dirinya tersenyum. “Aku hanya merindukanmu. Mari lupakan pekerjaan. Ceritakan tentang hari ini.”

Jose terlihat sedikit lebih tenang. Ia kembali meraih garpunya, memotong steak yang sudah mulai dingin. “Tidak ada yang menarik. Hanya pertemuan dengan klien di Sanjaya Tower. Dan, oh, Wina datang. Kau ingat Wina, kan? Kekasihku jaman SMA?”

Senyum Megan langsung membeku. Wina. Ya, ia ingat. Wina baru-baru ini bergabung di departemen pemasaran di kantor Jose. Megan pernah bertemu dengannya sekali, dan ia langsung merasakan aura persaingan yang dingin dari wanita itu.

“Wina? Kenapa dia?” tanya Megan, mencoba terdengar santai, meskipun tenggorokannya terasa tercekat.

“Dia sangat membantu dalam presentasi hari ini. Dia jauh lebih cekatan dari yang kukira,” puji Jose, tanpa menyadari dampak kata-katanya pada Megan. “Dia juga terlihat jauh lebih matang sekarang.”

Megan merasakan pukulan telak. Pujian yang begitu tulus dari Jose untuk wanita lain, di malam yang seharusnya sakral bagi mereka.

“Oh, begitu,” hanya itu yang bisa diucapkannya.

Keheningan kembali menyelimuti meja makan. Megan berusaha fokus pada makanannya, tetapi nafsu makannya hilang. Ia memperhatikan Jose lagi. Pria itu tampak gelisah, seolah menunggu sesuatu.

Tiba-tiba, ponsel Jose yang tadinya terbalik di meja bergetar keras. Itu bukan getaran notifikasi biasa; itu adalah getaran panggilan masuk, disertai lampu layar yang menyala terang.

Jose meraih ponsel itu dengan gerakan panik yang jauh lebih cepat dari yang dibutuhkan. Dalam sepersekian detik ia berhasil membungkamnya, Megan sempat melihat sekilas nama yang tertera di layar.

Nama itu muncul dengan ikon hati berwarna merah.

Bukan "Kantor", bukan "Klien Penting", dan jelas bukan "Wina (Kantor)".

Nama yang tertera di layar itu adalah:

**Wina – My Love.**

Napas Megan tercekat di dada. Rasa cemas dan kekecewaan yang ia rasakan sepanjang malam tiba-tiba berubah menjadi kepastian yang dingin dan mematikan. Piring mahal, anggur mewah, pemandangan kota—semuanya terasa runtuh, hanya menyisakan kebohongan pahit yang baru saja terungkap.

Jose menatap Megan, wajahnya pucat. Ia tahu Megan melihatnya.

“Itu…” Jose tergagap, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. “Itu salah ketik. Maksudku, itu kontak klien baru bernama Wina, dan aku…”

Megan tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat. Ia bangkit dari kursi, menjatuhkan serbetnya ke lantai. Suaranya bergetar, tetapi matanya memancarkan rasa sakit yang menusuk.

“Kau tidak perlu berbohong lagi, Jose,” bisik Megan, merasakan dunianya hancur berkeping-keping. “Kotak Pandora sudah terbuka.”

Bab 2 Dalih perselingkuhan, Rencana B?

Napas Megan tercekat di dada. Rasa cemas dan kekecewaan yang ia rasakan sepanjang malam tiba-tiba berubah menjadi kepastian yang dingin dan mematikan. Piring mahal, anggur mewah, pemandangan kota—semuanya terasa runtuh, hanya menyisakan kebohongan pahit yang baru saja terungkap.

Jose menatap Megan, wajahnya pucat. Ia tahu Megan melihatnya.

“Itu…” Jose tergagap, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. “Itu salah ketik. Maksudku, itu kontak klien baru bernama Wina, dan aku…”

“Kau tidak perlu berbohong lagi, Jose,” bisik Megan, merasakan dunianya hancur berkeping-keping. “Kotak Pandora sudah terbuka.”

Jose segera bangkit dari kursinya, tangannya refleks menyembunyikan ponsel di balik punggungnya. Ekspresi paniknya berubah menjadi kemarahan yang dibuat-buat, taktik lama yang ia gunakan untuk mengalihkan perhatian.

“Berhenti bertingkah gila, Megan!” bentaknya, suaranya menggelegar di ruang makan yang sunyi. “Aku sudah bilang, itu klien! Kau tidak percaya padaku? Setelah semua yang kuberikan padamu?”

Megan mundur selangkah. Kata-kata Jose yang keras menusuk telinganya, namun rasa sakit yang lebih besar datang dari pengkhianatan yang nyata. “Sejak kapan klien diberi nama ‘My Love’ dengan ikon hati merah, Jose? Jangan rendahkan aku. Aku tahu apa yang kulihat!”

“Kau tidak melihat apa-apa! Kau hanya mencari masalah!” Jose melangkah mendekat, auranya yang dominan kini terasa mengancam, bukan melindungi. “Kau terlalu sering sendirian di rumah, membiarkan pikiranmu meracuni diri sendiri. Kau jadi paranoid!”

Paranoid. Kata itu selalu menjadi senjata andalan Jose. Setiap kali Megan mempertanyakan keterlambatannya, atau saat ia bertanya mengapa Jose tidur membelakangi dirinya, Jose selalu melabelinya paranoid.

“Aku paranoid?” tanya Megan, suaranya meninggi, dipicu oleh campuran amarah dan air mata yang kini mulai mendesak keluar. “Aku paranoid karena suamiku yang dulu selalu pulang tepat waktu kini tak pernah pulang sebelum tengah malam? Aku paranoid karena suamiku yang dulu bercerita semua hal, kini menjadikan ponselnya benda yang lebih suci dari kitab suci?”

Ia menunjuk ke piring yang masih penuh. “Aku paranoid karena kita seharusnya merayakan hari jadi, tapi kau hanya fokus memuji Wina, kekasihmu di masa lalu, yang kini tiba-tiba bekerja di kantormu? Jawab aku, Jose!”

Jose terdiam sesaat, matanya mencari jalan keluar. Ia menyadari kebohongannya terlalu tipis. Ia harus membalikkan keadaan dengan cepat, sebelum Megan menuntut bukti yang tidak bisa ia berikan.

“Baik! Ya, aku akui! Aku memang bertemu Wina,” ujar Jose, mengubah taktik menjadi pengakuan sebagian. “Tapi itu profesional! Dia rekan kerja. Aku hanya menambahkan ikon itu karena dia sangat membantu, itu hanya simbol persahabatan, Megan!”

“Persahabatan berinisial ‘My Love’?” Megan menggeleng, kepalanya terasa pening. “Kau pikir aku sebodoh itu? Berikan ponselmu padaku. Sekarang. Biarkan aku membaca pesan itu. Jika memang itu hanya profesional, kau tidak akan takut.”

Wajah Jose menegang. Tuntutan Megan menghantam dinding pertahanan terkuatnya. Ia tidak bisa membiarkan Megan melihat apa yang ada di dalamnya—bukan hanya pesan mesra, tapi juga rencana jahat yang mereka susun untuk menyingkirkan Megan dari hidupnya.

“Tidak,” jawab Jose tegas, suaranya kembali dingin. “Kau tidak punya hak untuk menggeledah properti pribadiku. Ini adalah pelanggaran privasi. Apakah ini caramu menghargaiku? Dengan mengintai setiap gerak-gerikku, meragukan integritasku?”

“Integritas? Kau bicara integritas setelah apa yang kulihat?” Megan merasakan air mata panas mengalir di pipinya. “Aku hanya ingin kebenaran, Jose! Jika kau benar-benar mencintaiku, buktikan!”

Jose maju selangkah lagi, menangkup wajah Megan dengan paksa. Matanya kini dipenuhi api yang ia gunakan untuk mengintimidasi. “Aku mencintaimu! Tentu saja aku mencintaimu! Tapi aku lelah dengan tingkahmu yang kekanak-kanakan ini. Aku bekerja keras setiap hari, berjuang untuk masa depan kita, dan kau malah menuduhku berselingkuh dengan rekan kerja hanya karena ikon konyol!”

Ia melepaskan tangannya, seolah Megan adalah beban. “Pikirkan baik-baik, Megan. Jika kau terus menuduhku seperti ini, kau akan menghancurkan pernikahan kita dengan tanganmu sendiri. Aku tidak tahan dengan wanita yang paranoid dan tidak percaya pada suaminya.”

Kata-kata itu, diucapkan dengan penekanan dan otoritas, perlahan-lahan mulai merobek keyakinan Megan. Jose adalah ahli manipulasi; ia selalu berhasil membuat Megan merasa bahwa emosinya adalah masalah, bukan tindakannya.

Megan menundukkan kepala. Rasa sakit di hatinya bercampur dengan rasa bersalah yang ditanamkan Jose. Mungkinkah ia terlalu bereaksi? Mungkinkah itu hanya salah ketik, atau kesalahpahaman? Jose adalah suaminya. Jose adalah cinta pertamanya. Bagaimana mungkin ia melakukan hal sekeji ini?

Melihat Megan terdiam dan terguncang, Jose tahu ia telah menang. Ia memanfaatkan momen itu untuk melarikan diri.

“Aku lelah,” kata Jose, nadanya tiba-tiba berubah menjadi kelelahan yang dipaksakan. “Aku harus kembali ke kantor. Ada beberapa dokumen yang harus kuselesaikan, dan sekarang kepalaku sakit karena drama yang kau ciptakan ini.”

Ia berbalik, mengambil kunci mobilnya dari meja, dan melangkah menuju pintu. Megan hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh.

“Kau pergi lagi?” bisik Megan, suaranya hampir tidak terdengar.

“Aku harus bekerja,” jawab Jose tanpa menoleh. Pintu apartemen tertutup dengan bunyi ‘klik’ yang dingin, meninggalkan Megan sendirian di tengah kemewahan yang kini terasa seperti penjara.

Megan jatuh terduduk di lantai marmer yang dingin, air matanya tumpah ruah. Ia memeluk lututnya, berusaha menahan guncangan batinnya. Ia tahu Jose berbohong. Ia yakin seratus persen, ada sesuatu antara Jose dan Wina. Namun, tanpa bukti, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain dihancurkan oleh tuduhan paranoid Jose.

Keesokan paginya, Megan terbangun dengan mata bengkak dan kepala yang berat. Keputusan sudah bulat. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini. Ia harus menemukan bukti nyata. Jose mungkin bisa memanipulasinya secara emosional, tetapi fakta tidak bisa dibantah.

Megan tahu Jose akan pergi ke kantor lebih awal. Ia menyelinap ke ruang kerja Jose. Ponsel Jose tidak ada—selalu dibawa. Tapi ada satu hal yang sering ia tinggalkan: laptop kantornya, yang memiliki sistem keamanan sidik jari, tetapi terkadang lupa ia kunci.

Tangan Megan gemetar saat ia menekan tombol daya. Layar menyala, meminta kata sandi. Ia mencoba tanggal pernikahan mereka, tanggal lahir Jose—semua gagal.

Frustrasi, ia hampir menyerah, tetapi matanya menangkap sesuatu di sudut layar. Di bilah menu, terdapat ikon kecil—akun email kantor Jose yang masih terbuka, terhubung ke server perusahaan.

Megan mengklik ikon itu. Jantungnya berdebar kencang. Ia tahu ini adalah pelanggaran batas yang ekstrem, tetapi ini adalah satu-satunya jalannya untuk mendapatkan kembali kewarasannya.

Saat ia membuka kotak masuk, matanya langsung tertuju pada deretan email yang dikirim dari alamat Wina. Email-email itu berlabel "Urgent Project Updates" atau "Meeting Schedule," tetapi yang paling menarik perhatiannya adalah salah satu email yang dikirim tepat pukul 23:45 malam sebelumnya.

Subjek email itu tertulis lugas dan sangat formal: “Laporan Keuangan Kuartal 3.”

Namun, di bagian bawah email, terlampir sebuah file. Bukan dokumen keuangan, melainkan foto.

Megan mengklik file itu, dan saat foto itu terbuka, napasnya terhenti. Itu adalah foto Jose, di sofa kantornya, sedang mencium Wina dengan penuh gairah. Wina memegang ponsel, seolah baru saja mengambil foto itu, dengan senyum kemenangan yang kejam.

Kejutan terbesarnya bukanlah pengkhianatan itu sendiri. Kejutan terbesarnya adalah tanggal metadata di foto itu. Foto itu diambil dua jam setelah Jose meninggalkan apartemen mereka tadi malam, berdalih harus ‘kembali bekerja’.

Megan merasakan lambungnya bergolak. Jose tidak hanya berselingkuh; ia berbohong secara brutal dan langsung pergi ke pelukan wanita itu, di malam yang seharusnya menjadi perayaan cinta mereka.

Tiba-tiba, sebuah notifikasi lain muncul di layar. Email dari Wina, baru dikirim lima menit yang lalu, langsung ke kotak masuk Jose.

Subjek: **Re: Rencana B**

Isi pesan itu sangat pendek, namun menghancurkan sisa-sisa harapan Megan:

*“Dia sudah melihat nama kontaknya. Waktunya bergerak maju, Sayang. Malam ini.”*

Megan menelan ludah. Rencana B? Malam ini? Apa yang Wina dan Jose rencanakan?

Sebelum sempat ia mencerna lebih jauh, terdengar suara pintu apartemen terbuka di ruang depan. Jose kembali.

Langkah kaki Jose terdengar mendekat dengan cepat, dan Megan tahu, ia tidak punya waktu lagi untuk menutup laptop atau menghapus jejaknya....

Bab 3 Keadaan Genting...

Pintu ruang kerja terayun terbuka dengan suara berderit. Jose berdiri di ambang pintu, matanya yang tajam langsung tertuju pada Megan yang membeku di depan layar laptop. Cahaya monitor memantul di wajahnya yang pucat, dan bayangan foto Jose yang mencium Wina tercetak jelas di retinanya.

Hanya sepersekian detik keheningan yang mematikan. Kemudian, Jose melihat ke arah keyboard. Jari-jari Megan menempel di bilah space, tepat di bawah kalimat yang baru saja ia baca: *“Dia sudah melihat nama kontaknya. Waktunya bergerak maju, Sayang. Malam ini.”*

Kemarahan Jose meledak, jauh lebih hebat daripada yang Megan saksikan semalam. Tidak ada lagi kepura-puraan lelah atau manipulasi emosional.

“Kau melanggar privasiku!” raung Jose, langkahnya cepat dan berat. Ia menerjang meja, menyambar laptop itu, dan membantingnya hingga tertutup. “Berani-beraninya kau menggeledah barang-barang pribadiku, Megan!”

Megan bangkit, rasa takutnya kini sepenuhnya digantikan oleh kemarahan yang membara. Ia telah melihat buktinya. Tidak ada lagi ruang untuk keraguan.

“Kau berani-beraninya berbohong padaku, Jose!” balas Megan, suaranya parau namun tegas. “Kau bilang kau bekerja, tapi kau bersenang-senang dengannya di kantormu, di sofa yang kubelikan! Di malam ulang tahun pernikahan kita!”

“Dan apa yang akan kau lakukan? Mengancamku?” Jose tertawa sinis, tawa yang menusuk tulang. “Semua yang kau lihat hanyalah alasan. Kau hanya mencari pembenaran untuk menjadi istri yang paranoid, yang tidak bisa bersyukur atas kemewahan yang kuberikan!”

“Kemewahan yang kau dapat dari kebohongan?” Megan melangkah maju, dadanya naik turun menahan isak tangis yang tertunda. “Apa maksud dari ‘Rencana B’, Jose? Apa yang kau dan Wina rencanakan? Menceraikanku dan mengambil semua hartaku?”

Mendengar kata ‘Rencana B’, wajah Jose menegang sepenuhnya. Permainan berakhir. Ia tidak perlu lagi berakting.

“Kau ingin tahu Rencana B?” Jose menyeringai dingin. “Rencana B adalah untuk menyingkirkanmu, Megan. Kau terlalu menjadi penghalang. Kau terlalu membosankan. Wina jauh lebih ambisius dan tahu bagaimana mendukung karierku, bukan hanya menjadi beban yang menangis di rumah.”

“Aku… aku beban?” bisik Megan, terluka oleh kekejaman kata-kata itu.

“Ya, kau beban,” jawab Jose tanpa emosi. “Dan Rencana B adalah memastikan kau pergi tanpa membawa sepeser pun. Kau melihat foto itu? Bagus. Karena itu adalah bukti terakhir yang akan kau lihat sebagai Nyonya Jose.”

Tiba-tiba, bel pintu apartemen mewah mereka berbunyi, terdengar nyaring di tengah ketegangan yang mencekik. Jose tersenyum licik, menoleh ke pintu.

“Lihat, Nyonya Paranoid,” kata Jose, mengayunkan tangannya dengan gestur dramatis. “Wina sangat efisien. Dia datang tepat waktu untuk menyelesaikan urusan ini.”

Jose membuka pintu. Di sana berdiri Wina, mengenakan gaun sutra yang elegan, dengan senyum yang tidak menyembunyikan kebanggaan dan kemenangan. Kontras antara Wina yang bersinar dan Megan yang kacau di tengah ruangan sangat menyakitkan.

Wina melangkah masuk, mengabaikan Megan seolah ia adalah perabot. Ia memeluk Jose dan mencium pipinya dengan mesra.

“Kau melakukannya dengan baik, Sayang,” kata Wina, suaranya manis namun dipenuhi racun. Ia menoleh ke arah Megan, matanya berkilat penuh dendam. “Selamat pagi, Megan. Aku harap kau tidur nyenyak setelah semua 'drama' yang kau ciptakan.”

“Drama yang kalian ciptakan!” bentak Megan. “Kau! Kau berpura-pura menjadi teman, padahal kau adalah ular yang tidur dengan suamiku!”

Wina tertawa kecil, tawa yang dibuat-buat polos. “Oh, sayang, kau harus berhati-hati dengan kata-katamu. Aku datang ke sini dengan niat baik. Jose bilang kau sangat depresi dan mungkin butuh bantuan profesional. Tapi sebelum itu, aku ingin mengobrol sebentar dari hati ke hati, seperti yang kita janjikan.”

Megan mengingat kembali Bab 7 dari outline: Wina mengajak Megan bertemu untuk 'berdamai' dan 'mengobrol dari hati ke hati'. Di deretan file dan list rencana Jose dan Wina di laptop Jose tadi. Ini adalah jebakan itu? Rencana B? atau rencana yang lain. Hati Megan bergetar....

“Aku tidak mau bicara denganmu!” Megan mundur, nalurinya berteriak bahaya.

“Oh, kau harus mau,” Jose mencengkeram lengan Megan dengan kuat, menariknya kembali ke tengah ruangan. Kekuatan Jose kini terasa brutal, jauh dari sentuhan suaminya yang lembut.

“Lepaskan aku, Jose!” Megan berjuang, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman tangannya.

“Cukup, Jose,” Wina mendekat, membawa nampan kecil perak yang berisi dua gelas kristal berisi cairan berwarna kuning keemasan. “Jangan kasar pada mantan istrimu. Bagaimanapun, kita perlu berpamitan dengan baik - baik padanya, bukan?”

Wina menyodorkan salah satu gelas itu kepada Megan. “Ini adalah anggur putih kesukaanmu, dari gudang Jose. Minumlah. Ini akan membuatmu rileks. Percayalah, Megan, setelah ini semua akan lebih mudah.”

Megan menatap gelas itu, lalu ke mata Wina. Wina memancarkan aura kegembiraan yang mengerikan, seolah ia sedang menikmati setiap detik kehancuran Megan.

“Kau meracuniku?” tuduh Megan, suaranya bergetar.

“Racun? Tentu saja tidak, Sayang,” Wina tersenyum. “Hanya sedikit obat penenang. Kau terlalu emosional. Kita harus memastikan kau tenang dan kooperatif saat menandatangani dokumen perceraian nanti.”

Jose menarik Megan lebih dekat, membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa inci.

“Minum itu, Megan. Atau aku akan memaksamu. Kita tidak punya waktu untuk drama ini. Malam ini, kau akan bertemu dengan seseorang yang bisa membantumu melupakan kami, selamanya.”

Rasa jijik memenuhi Megan. Ia menatap Wina, lalu ke Jose. Ia menyadari sepenuhnya: mereka tidak hanya menginginkan perceraian; mereka merencanakan sesuatu yang lebih gelap dan jahat.

Megan menolak minum. Ia mendorong gelas itu hingga tumpah ke lantai marmer.

Cahaya keemasan anggur itu menyebar, menciptakan noda basah yang mengkilap.

Wajah Jose yang tadinya tenang berubah merah padam. “Cukup! Kau yang memintanya!”

Jose menjatuhkan Megan ke lantai. Sebelum Megan sempat bereaksi, Jose memegang kedua pergelangan tangannya kuat-kuat, sementara Wina dengan cepat membuka tas mewahnya dan mengeluarkan sebuah suntikan kecil, steril, yang berisi cairan bening.

“Jangan melawan, Megan,” desis Wina, matanya dipenuhi nafsu kekejaman. “Ini untuk kebaikanmu. Kau akan tidur sebentar, dan ketika kau bangun, hidupmu akan menjadi milik orang lain.”

Megan menjerit, namun suaranya teredam oleh tangan Jose yang membekap mulutnya.

Ia menendang dan berjuang dengan seluruh kekuatannya, tapi Jose terlalu kuat. Ia merasakan tusukan tajam di lehernya. Cairan dingin itu segera menyebar, membuat kepalanya terasa berputar.

Penglihatan Megan mulai kabur. Wajah Jose dan Wina berubah menjadi kabut. Mereka berbisik, tetapi Megan tidak bisa lagi memproses kata-kata mereka. Ia hanya merasakan dua pasang tangan mengangkatnya dari lantai, menyeret tubuhnya yang kini lemas dan tak berdaya.

Samar-samar, ia mendengar Wina berbicara dengan seseorang di telepon, suaranya riang gembira.

“Ya, ini dia. Barangnya sudah siap. Dia sangat cantik, persis seperti yang kau minta. Malam ini, di The Sovereign, VIP lantai atas. Pastikan dia mendapatkan penawaran yang pantas. Kami ingin memastikan dia tidak akan pernah kembali.”

Kata-kata 'The Sovereign' dan 'VIP lantai atas' adalah hal terakhir yang terdaftar dalam kesadaran Megan sebelum kegelapan total menelannya, menjatuhkannya ke dalam malam takdir yang akan mengubah segalanya....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!