POV Julianna
"Juli, kamu baik-baik aja kan?" Suara lembut Noah terdengar seperti pelukan di tengah badai. Tapi di balik kalimat sederhana itu, ada beban berat yang menggantung di dadaku. Aku ingin menjawab dengan jujur, ingin menceritakan semua yang berkecamuk dalam hatiku—ketakutan, kekhawatiran, dan rasa tak berdaya yang makin menghimpitku setiap hari. Tapi aku nggak bisa. Aku nggak tega merusak senyum polos di wajahnya.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatiku yang bergetar hebat. "Aku baik-baik aja, Sayang. Kamu mau makan apa?" tanyaku, memaksa senyum yang terasa berat.
Noah mendekat, melingkarkan tangannya yang kecil di pinggangku. Pelukan itu terasa hangat, tapi di saat yang sama menyesakkan. Seakan dia tahu aku butuh kekuatan.
"Aku mau roti keju, Juli," katanya sambil tersenyum lebar. Senyum itu—sederhana tapi begitu berarti. Senyum yang membuatku sadar betapa aku rela melakukan apa pun untuknya. Tapi di balik senyuman itu, aku melihat sesuatu yang membuat hatiku remuk. Tubuhnya yang kecil dan lemah. Wajahnya yang mulai kehilangan warna. Bagaimana mungkin aku bisa berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja?
Dengan berat hati, aku mengangguk dan berjalan ke dapur untuk membuatkan sarapan. Setiap langkah terasa seperti membawa batu besar di pundakku. Hatiku penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban: Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau aku nggak bisa menyelamatkan dia?
Pagi itu, setelah sarapan, aku membawa Noah ke rumah sakit seperti biasa. Noah selalu senang bertemu Dokter Peterson, dokter yang sudah seperti pahlawan bagi kami.
"Selamat pagi, adik kecil," sapa Dokter Peterson dengan senyum hangat yang khas.
Noah langsung tertawa dan berlari ke arahnya. "Selamat pagi, Pete!" balasnya sambil memeluk dokter itu erat-erat. Aku melihatnya dari jauh, dan hati ini rasanya seperti dihantam. Aku ingin waktu berhenti sejenak, agar aku bisa menikmati momen ini lebih lama—momen di mana Noah masih bisa tersenyum tanpa beban.
Setelah beberapa saat, Dokter Peterson menghampiriku dengan raut wajah yang berbeda. Senyum ramahnya hilang, digantikan oleh ekspresi serius yang membuat dadaku mencelos.
"Julianna, bisakah kita bicara sebentar?" katanya pelan, hampir seperti berbisik.
Aku mengangguk, meskipun tubuhku terasa lemas. Aku tahu ini pasti soal Noah.
"Kesehatan Noah semakin memburuk. Kita harus segera melakukan operasi," katanya dengan nada berat.
Kata-kata itu menghantamku seperti gelombang besar yang menghancurkan segalanya. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir deras di pipiku. Rasanya seperti langit runtuh di atas kepalaku.
"Aku tahu keuanganmu sedang sulit, dan aku sangat prihatin," lanjutnya, mencoba memberi pengertian.
Aku menarik napas panjang, mencoba menahan isak yang hampir keluar. Aku nggak mau terlihat lemah di depan orang lain, tapi hati ini sudah terlalu hancur.
"Dokter," suaraku bergetar, "Saya akan cari uangnya. Apa pun caranya, saya akan dapatkan uang itu."
Dokter Peterson menepuk bahuku dengan lembut. "Kamu punya waktu sepuluh bulan, Julianna. Aku tahu ini berat, tapi aku yakin kamu bisa melakukannya."
Aku hanya mengangguk, meskipun dalam hati aku dipenuhi rasa takut. Pandanganku jatuh ke arah Noah yang sedang bermain dengan seorang perawat di balik kaca. Senyum cerianya seperti tamparan yang mengingatkanku pada apa yang akan aku kehilangan jika aku gagal.
"Apa aku akan mati Juli?" Tanya Noah,,Aku menahan air mataku karena aku tidak ingin menangis di depannya. Aku tersenyum paksa dan memangkunya sambil mulai membelai rambutnya yang cokelat gelap dan halus.
"Tidak. Kau akan segera pulih?" Aku mencium kepalanya dan menempelkan daguku di kepalanya.
"Itu hebat karena jika aku sudah dewasa aku akan berusaha untuk menjadi dokter seperti Dokter Peter dan menghasilkan banyak uang jadi kita tidak kesulitan mengenai uang lagi" Dia mulai terkikik. Aku mengepalkan tanganku dan mengetatkan rahangku karena aku tidak ingin menangis. Hatiku sakit dan rasanya seperti seseorang meremas hatiku dengan sangat erat.
"Noah, kamu harus tinggal di sini mulai hari ini, oke?" kataku setelahnya.
Dia memiringkan kepala dan menatapku dengan tatapan penuh tanya. "Di sini? Kenapa, Juli?"
Aku tersenyum, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang mengoyak hatiku. "Karena di sini kamu bisa cepat sembuh. Dan kamu bisa main sama Pete setiap hari, kan?"
Mata kecilnya berbinar. "Beneran? Aku bakal main sama Pete terus?"
Aku mengangguk pelan. "Iya, Sayang. Kamu akan aman di sini."
Dia mengangguk, tapi kemudian menggenggam tanganku erat-erat. "Tapi Juli, kamu bakal datang tiap hari, kan?" tanyanya dengan suara kecil yang membuat dadaku semakin nyeri.
Aku menatap matanya, mencoba meyakinkannya. "Ya, pasti. Aku akan datang setiap hari. Kamu nggak perlu khawatir."
Malam itu, ketika aku sampai di rumah, aku merasa tubuhku seperti kosong. Aku langsung menjatuhkan diri di atas kasur dan menangis. Tangisan yang nggak lagi bisa aku tahan. Semua ketakutan, rasa bersalah, dan kelelahan meluap seperti bendungan yang jebol. Aku menangis sampai tubuhku terasa lelah, tapi rasa sakit itu nggak kunjung hilang.
Setelah membersihkan diri, aku mendengar ketukan di pintu. Aku membuka pintu dan menemukan Bibi Elise berdiri di sana, menatapku dengan wajah penuh kekhawatiran.
"Julianna, kenapa kamu nangis?" tanyanya dengan lembut, tapi langsung membaca dari mataku yang bengkak bahwa ada sesuatu yang salah.
Aku mencoba tersenyum, tapi gagal. Dengan suara bergetar, aku menceritakan semuanya. Tentang Noah, tentang operasi, dan tentang ketidakberdayaanku yang semakin menghimpit.
Bibi Elise mendengarkan dengan seksama, lalu menarik napas panjang. "Juli, aku nggak bisa tinggal diam. Aku tahu satu cara, tapi ini berat untukmu."
"Apa pun itu, aku akan melakukannya," jawabku tanpa ragu.
Dia menatapku dalam-dalam, seolah memastikan bahwa aku serius. "Ada keluarga kaya yang mencari ibu pengganti. Mereka akan membayar seratus ribu dolar. Itu cukup untuk biaya operasi Noah."
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti petir di siang bolong. Ibu pengganti? Aku harus mengorbankan tubuhku untuk menjadi ibu dari anak orang lain?
"Kalau itu bisa menyelamatkan Noah, aku setuju," jawabku akhirnya dengan suara pelan.
POV Ryan
"Ryan, kapan kamu akan memberikan kami cicit? Kami nggak tahu berapa lama lagi usia kami," suara nenekku terdengar berat, meskipun dibalut nada canda khasnya. Tapi aku tahu, ini lebih dari sekadar lelucon. Tekanan di balik permintaannya terasa nyata.
Aku menutup buku yang sedang kubaca, berusaha mengabaikan percakapan ini. "Aku belum siap punya anak, Nek," jawabku dengan nada datar, meskipun aku tahu jawaban itu nggak akan memuaskan siapa pun di ruangan ini.
Nenek memukul bahuku dengan lembut, tapi penuh drama. "Jadi, kamu mau mati tanpa meninggalkan keturunan? Apa kamu nggak peduli kalau garis keluarga kita berakhir begitu saja? Apa kamu gay?"
Aku tersentak mendengar kata-katanya. "Nenek, serius? Aku nggak gay. Aku hanya belum menemukan orang yang tepat," jawabku sambil memijat pelipis. Rasanya percakapan ini sudah berulang terlalu sering, dan aku kehabisan cara untuk menjelaskan.
"Ayahmu dan aku menikah di usia muda, dan kami bahagia. Kenapa kamu nggak bisa seperti itu?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih lirih, hampir seperti keluhan.
Aku berdiri, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Karena aku nggak mau menikah hanya untuk memenuhi harapan orang lain, Nek. Pernikahan itu seumur hidup."
Tapi nenek nggak menyerah. Matanya yang mulai berkaca-kaca membuatku merasa bersalah. "Kami hanya ingin melihat cicit sebelum kami pergi, Ryan. Itu saja. Apa itu terlalu banyak diminta?"
Hatiku mencelos. Aku tahu dia tulus, tapi aku juga tahu ini bukan sesuatu yang bisa aku lakukan begitu saja. "Aku nggak mau menikah hanya karena paksaan, Nek," kataku lagi, mencoba tetap tenang.
"Kalau begitu, kami akan mencari solusinya. Kalau kamu nggak mau menikah, setidaknya kamu bisa punya anak dengan cara lain. Kami akan mencari seseorang yang bisa membantu," katanya, kali ini dengan nada tegas.
Aku mengernyit. "Apa maksud Nenek?" tanyaku, meskipun aku sudah mulai bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini.
"Kami akan mencari wanita yang cantik, cerdas, dan cocok untuk menjadi ibu dari anakmu. Dia nggak perlu menikah denganmu, cukup memberikan kami cicit. Bagaimana?"
Aku menatapnya dengan bingung. "Nenek, ini bukan zaman dahulu. Kamu nggak bisa memperlakukan manusia seperti barang," protesku.
Tapi nenek hanya mengangkat bahu, seolah semua keberatanku nggak ada artinya. "Kamu pikirkan saja. Kami akan mengurus semuanya."
Aku hanya bisa memijat pelipis, merasa frustasi. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku nggak siap untuk semua ini? Tapi nenek dan keluargaku sepertinya nggak akan menyerah begitu saja.
Setelah mereka pergi, aku menatap ayahku yang masih berdiri di hadapanku dengan senyum yang terkesan dipaksakan.
"Ayah..." kataku sambil menghela napas.
"Keinginan nenekmu adalah memiliki cicit sebelum dia meninggal, jadi lakukanlah. Aku tahu perasaanmu saat ini. Maafkan aku, Nak." Ayah menatapku dengan wajah penuh kesedihan, lalu keluar dari ruangan.
"Aduh," umpatku. Kemudian aku mulai bersiap untuk pergi ke kantor. Aku terlambat karena drama nenek ini. Begitu aku keluar rumah, sopirku datang dan menyapaku. Aku mengangguk padanya.
"Tuan, mobil mana yang ingin Anda gunakan hari ini?" tanyanya. Aku kesal... Kenapa sih pria ini gak bisa pilih mobil sebelum datang ke aku?
"Mobil yang biasa aku pakai, Rolls Royce Ghost. Kalau tanya lagi, lidahmu bisa aku potong," jawabku. Dia menatapku takut, langsung mengangguk. Aneh banget! Padahal, aku cuma bercanda. Lalu aku mulai berangkat. Tapi sial, aku masih punya banyak pekerjaan hari ini. Aku lagi baca beberapa dokumen ketika sopirku tiba-tiba berhenti.
"Tuan, ada seorang wanita tua sedang menyeberang jalan," katanya. Aku melihat ke luar jendela dan melihat seorang wanita tua menyeberang. Aku mengangguk padanya, lalu aku menoleh lagi dan melihat sesuatu yang bikin jantungku berdebar. Seorang wanita...
Dia baru keluar dari rumah sakit dan menyeka matanya. Apakah dia menangis? Lalu, dia tiba-tiba menatap ke arahku. Aku merasa dia melihatku, tapi aku tahu dia nggak bisa karena ada jendela mobil ini. Setelah beberapa detik, dia mengalihkan pandangannya dan pergi. Aku terkejut, dia sangat cantik. Cara dia menatapku itu... aku nggak tahu gimana jelaskannya. Rambut cokelat muda panjangnya sampai pinggang dan matanya abu-abu. Aku bingung dengan perasaan yang muncul tiba-tiba. Aku coba untuk melupakan itu saat mobil mulai bergerak lagi.
Beberapa menit kemudian, aku sampai di kantor. Begitu masuk, aku lepas mantel dan langsung melemparkannya. Tapi pas aku nengok lagi, mantelku sudah jatuh ke lantai. Aku menghela napas, ambil lagi, dan taruh di sofa. Lalu, seorang wanita masuk ke kantorku. Waduh, berani banget dia!
"Siapa yang nyuruh kamu ke sini?" tanyaku, kesal.
"Tuan... aku datang untuk bertanya, apakah ada yang bisa saya bantu?" katanya sambil tersenyum. Hah? Apa dia datang untuk merayuku?
"Pergi sekarang, atau kamu akan dipecat," kataku. Dia tampak terkejut.
"Tu...tuan. Saya..." Apa dia sengaja nunjukin wajah sedih gitu?
"Pergi!" teriakku. Dia buru-buru keluar sambil menyeka air matanya. Ya, dia pantas dapat itu.
Aku duduk di kursi dan mulai baca dokumen yang tadi pagi aku ambil. Tiba-tiba, wajah wanita bermata abu-abu itu muncul di pikiranku. Kenapa perasaan ini datang tiba-tiba?
"Yoo Ryan..." suara Chris terdengar mengganggu, dan aku menoleh.
"Apa?" tanyaku.
"Aku datang buat ketemu kamu," katanya sambil duduk di sofa.
"Kamu datang buat apa kali ini?" Aku menghela napas dan menatapnya. Aku pengen banget meninju wajahnya, tapi dia sepupu sekaligus sahabatku.
"Ada cewek di IT, boleh nggak aku ajak jalan? Dia juga setuju kok." Aku sudah tahu itu, benar-benar tahu.
"Udah berapa banyak cewek yang pernah kamu ajak jalan di kantor ini?" tanyaku sambil melempar pulpen ke dia.
"Entahlah, nggak dihitung, mungkin sekitar 15 gadis." Dia ngomong kayak itu hal yang biasa.
"Pergi sana!" jawabku. Aku kembali baca dokumen, sementara dia buru-buru berdiri.
"Oke, aku pergi. Aku nggak sabar ngajak dia jalan, dia punya tubuh yang bagus." Setelah itu, dia keluar sebelum aku bisa ngelakuin apa-apa. Sungguh menjengkelkan.
Setelah seharian penuh, aku pulang larut malam. Setelah mandi, aku cepat-cepat ganti celana olahraga dan kaus oblong. Lalu aku turun ke ruang makan karena kita harus berkumpul, apa pun masalahnya. Itu aturan. Begitu aku masuk ruang makan, aku lihat nenek lagi ngobrol dengan kakek sambil tersenyum. Aku duduk di kursiku, sementara dia menatapku.
"Ini dia, Ryan. Aku sudah nemuin seorang gadis buatmu. Dia akan jadi ibu pengganti dan kualitasnya bagus." Aku cuma diam dan dengar, karena aku tahu nggak bisa ngelawan.
"Sebelum itu, kita harus beri dia nutrisi yang cukup, supaya bayi sehat. Jadi Ryan, setelah dua minggu, kamu harus berhubungan dengan dia," katanya. Aku kaget banget. Kenapa mereka maksa aku untuk punya anak?
"Saya sudah lihat laporan medisnya, kemungkinan besar dia akan hamil dalam dua minggu. Jadi lakukan saja," katanya lagi. Aku melihat nenek dengan serius. Aku menghela napas panjang dan akhirnya bicara.
"Aku akan lakukan, tapi dia nggak boleh tahu siapa aku dan kalau dia melahirkan pewaris keluarga Winston," kataku. Aku nggak mau dia tahu dan mencoba memanfaatkan anak itu nanti.
"Dia nggak akan tahu dan nggak akan pernah tahu. Setelah dia melahirkan, kami ambil bayi itu, dan dia nggak akan pernah lihat lagi." Nenek bilang begitu, dan tiba-tiba ada rasa sesak di dadaku. Jadi anakku nggak akan punya ibu seperti aku. Aku lihat ayahku, dan wajahnya tampak aneh. Apa dia sedih? Apa dia tahu di mana ibuku? Atau dia juga pakai jasa ibu pengganti dari nenek? Tiba-tiba ayah menatapku dan mengubah ekspresinya jadi normal, lalu dia tersenyum kecil ke aku dan kembali menatap nenek.
"Bu, berapa umurnya?" tanyanya, dan aku ikut nanya.
"Dua puluh tahun," jawab nenek sambil makan. Dua puluh? Empat tahun lebih muda dari aku. Aku nggak ngerti, kenapa dia mau jadi ibu pengganti untuk seorang pria yang nggak pernah dia kenal, tapi kemudian aku ingat kalau uang bisa membeli apa saja. Aku tertawa pelan, terus makan malam.
POV Julianna
Sudah dua minggu aku tinggal di rumah besar ini, tapi aku nggak bisa ketemu Noah. Mereka nggak izinin aku keluar. Makanan bergizi disiapkan setiap hari. Aku duduk di depan jendela besar, menatap langit yang mulai gelap, dan hujan badai bakal segera turun. Aku menghela napas dan tersenyum, karena apa pun yang terjadi padaku, aku akan menyelamatkan Noah. Tiba-tiba, aku dengar ada orang masuk ke kamarku.
"Tuan muda akan datang malam ini. Bersiaplah, dan besok kamu akan dapat setengah uangmu," kata wanita tua yang merawatku selama dua minggu ini.
"Tapi, bisa nggak aku dapet semua uangnya sekarang? Aku butuh banget untuk biaya operasi Noah," tanyaku. Wanita itu menggeleng.
"Kamu akan dapat sisa uangmu setelah melahirkan bayi itu." Hatiku menegang. Jadi aku harus nunggu sembilan bulan? Wanita itu mengangguk dan pergi. Aku menghela napas dan bangkit, lalu pergi ke kamar mandi. Aku takut, tapi aku harus hadapi semua ini demi Noah.
"Aku lakukan ini buat Noah. Kuatkan dirimu," ucapku dalam hati, mengingat senyum manis Noah. Senyum itu bikin aku lebih tenang. Aku menghela napas dan mandi. Setelah keluar dari kamar mandi, aku lihat jam sudah pukul 8:20 malam. Waduh, berapa lama aku di kamar mandi? Setelah itu aku ganti baju tidur yang mereka kasih dan melihat ke luar jendela. Hujan deras banget, ada petir dan guntur. Kemudian, wanita tua itu masuk lagi ke kamarku.
"Minum sup ini," katanya sambil menyerahkan mangkuk. Aku pun minum.
"Tuan muda akan datang sebentar lagi," katanya. Jantungku mulai berdetak cepat, dan rasa takutku makin besar.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyaku saat dia mulai mengikat tanganku dengan kain satin hitam.
"Kamu nggak boleh lihat tuan muda, dan nggak boleh sentuh dia," katanya sambil menutup mataku. Apa-apaan ini? Tuan
muda macam apa dia?
"Taatilah dan lakukan apapun yang dimintanya darimu."
---
Aku pikir aku sudah siap untuk semua ini, tapi kenyataannya jauh lebih sulit daripada yang pernah kubayangkan. Dari awal, langkahku dipenuhi dengan keraguan, tapi sekarang aku benar-benar ada di sini, di titik tanpa jalan kembali. Mataku ditutup dengan kain satin hitam, tangan diikat dengan tali yang cukup kencang hingga aku merasa lumpuh. Di luar, suara hujan deras bercampur dengan gemuruh guntur yang menggelegar, membuat suasana malam itu terasa semakin mencekam.
Aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Semakin dekat. Suara napas laki-laki itu terdengar dalam keheningan. Jantungku berdetak begitu kencang, seolah-olah ingin meloncat keluar dari dadaku. Aku tahu bahwa ini adalah saat di mana aku harus menyerahkan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku.
“Tenang saja,” suaranya rendah, lembut, tetapi bagiku terasa seperti desis ular. Aku merasakan keberadaannya kian mendekat. Tatapannya seperti menembus langsung ke dalam diriku, membuat tubuhku gemetaran tak terkendali.
“Jangan takut,” katanya lagi, kali ini lebih pelan, seolah ingin meyakinkanku. Tapi bagaimana bisa aku merasa tenang? Tubuhku bergetar, napasku memburu. Aroma parfum mahal yang dia pakai memenuhi hidungku, menambah intensitas ketegangan di ruangan ini.
Ketika tangannya menyentuh bahuku, aku merasa seperti kehilangan seluruh kendali atas tubuhku. Aku memejamkan mata, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, tetapi sia-sia. Ketakutanku menguasai seluruh pikiranku. “Boleh aku…” aku mencoba berbicara, tapi suaraku bergetar, hampir tak terdengar.
"Bisakah... bisakah Anda melepas penutup mata ini, Tuan?" tanyaku saat mendengar suaranya lagi.
"Tidak. Kau seharusnya tidak melihatku," katanya dan membuka kedua kakiku sambil menempatkan dirinya di antara kedua kakiku. Dia membuatku melingkarkan kedua kakiku di tubuhnya, dengan itu aku merasakan sakit yang perih di antara kedua kakiku. Akhirnya hal itu terjadi. Aku menggigit bibir bawahku dengan keras karena aku tidak ingin mengeluarkan suara apa pun. Dia menunggu beberapa detik dan air mata mengalir dari mataku saat dia mulai bergerak, sakit sekali...
“Boleh aku menyentuhmu Tuan,Ini Sangat Sakit?” tanyaku akhirnya, suara penuh gemetar dan ketidakpastian. Aku hanya ingin memastikan semuanya selesai dengan cepat.
Dia tak menjawab, hanya menatapku, lalu mulai melepaskan ikatan di tanganku. Aku merasakan kelembutan pada gerakannya, tapi itu sama sekali tak membuatku merasa nyaman. Begitu tanganku bebas, aku tanpa sadar langsung memeluknya erat-erat, seperti mencari pegangan di tengah badai. Kepalaku menempel di bahunya, dan aku berdoa dalam hati agar semuanya cepat berlalu.
Malam yang Panjang
Setelah malam itu berlalu, aku bangun dengan perasaan yang tak bisa kugambarkan. Tempat tidur itu berantakan, menyisakan bekas-bekas dari apa yang baru saja terjadi. Keperawananku telah hilang, dan aku merasa seperti orang asing dalam tubuhku sendiri. Rasanya sakit, baik secara fisik maupun emosional. Ada rasa ngilu di antara kedua kakiku yang tak tertahankan, seolah mengingatkanku pada keputusan berat yang telah kuambil.
Tapi aku tahu, aku melakukannya untuk Noah. Demi adikku, aku rela mengorbankan segalanya. Dengan langkah terseok-seok, aku berjalan ke kamar mandi. Aku butuh waktu untuk menenangkan pikiranku, meskipun aku tahu itu akan sulit.
“Aduh…” aku mengerang saat tak sengaja terjatuh di lantai kamar mandi. Air mataku tak bisa lagi kutahan. Rasa sakit di tubuhku seolah menggandakan kesedihanku. Betapa buasnya dia tadi malam. Berapa kali dia melakukannya? Aku bahkan tak bisa mengingat dengan jelas. Untung saja aku sempat kehilangan kesadaran di tengah semua itu.
“Kenapa kamu?” suara perempuan tiba-tiba terdengar, mengejutkanku. Aku mendongak dan melihat seorang pelayan berdiri di ambang pintu kamar mandi. Tatapannya menelisik, menilai diriku dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Aku… aku jatuh,” jawabku lirih, mencoba berdiri tapi kakiku terasa lemas.
“Pertama kali memang seperti itu,” katanya tanpa emosi, lalu menambahkan, “Tuan Muda memang bukan tipe yang sabar.” Ucapannya membuatku merasa semakin kecil.
Dia membantuku berdiri dan mengantarku kembali ke kamar. Aku merasa seperti boneka rusak, tanpa daya, tanpa arah. Begitu dia pergi, aku berdiri di depan cermin. Aku melihat diriku sendiri, wajah yang pucat, rambut yang berantakan, dan tubuh yang penuh bekas merah. Aku mencoba tersenyum, tapi itu terlihat sangat dipaksakan.
“Kamu melakukan ini untuk Noah,” bisikku pada diriku sendiri, mencoba meyakinkan hatiku. Dengan susah payah, aku membersihkan diri, mengganti pakaian, dan keluar dari kamar.
Dua minggu berlalu sejak malam itu. Aku belum bertemu Noah, dan rasa rinduku padanya semakin dalam. Setiap hari aku hanya bisa berharap bahwa semua ini akan segera selesai. Aku mengenakan gaun hitam pendek dan keluar kamar untuk meminta izin bertemu Noah.
Namun, sebelum aku bisa melangkah jauh, seorang perempuan sudah berdiri di depan pintu kamarku.
“Boleh aku bertemu adikku?” tanyaku, mencoba terdengar tenang.
Dia mengangguk. “Aku ikut. Dan ini ada titipan dari Nyonya Tua untukmu.” Dia memberikan sebuah amplop cokelat.
Aku membuka amplop itu dan menemukan uang di dalamnya. Jumlahnya sesuai dengan janji mereka. Rasanya lega sekali karena akhirnya aku bisa membayar operasi Noah.
Kami segera pergi ke rumah sakit. Sesampainya di sana, aku langsung menuju bangsal Noah. Dia sedang tidur, wajahnya terlihat begitu tenang. Aku ingin menangis melihatnya. Setelah berbicara sebentar dengan dokter, aku menyerahkan uang pembayaran.
Namun, harapanku langsung hancur ketika dokter itu mengatakan sesuatu yang tak kuduga.
“Operasi tidak bisa dilakukan sebelum pembayaran penuh,” katanya dengan nada tegas.
“Apa? Bukankah saya sudah menyerahkan sebagian uangnya?” tanyaku panik.
“Itu aturan dari manajemen. Maaf,” jawabnya singkat sebelum pergi.
Aku terdiam di tempat, merasa seperti dihantam oleh batu besar. Aku memohon kepada perempuan yang menemaniku untuk memberikan sisa uangnya lebih dulu, tapi dia menolak.
“Nenek tidak mengizinkan sebelum kamu melahirkan,” katanya dingin.
Aku merasa seperti ditikam dari belakang. Semua pengorbananku terasa sia-sia. Aku berlutut di depan bangsal Noah, menangis tanpa suara. Aku hanya meninggalkan catatan kecil untuknya sebelum pergi.
Aku memutuskan untuk menunggu Tuan Muda. Aku yakin dia akan mengerti situasiku. Tapi dia tidak pernah datang. Malam demi malam berlalu, dan dia tetap tak menunjukkan batang hidungnya.
Kenapa dia tidak peduli? Aku bertanya-tanya dalam hati. Bukankah dia membutuhkan aku untuk hamil? Aku tahu, jika memang itu tujuan utamanya, dia tidak akan membiarkanku pergi begitu saja.
Waktu terus berlalu. Sekarang sudah tiga bulan sejak malam itu. Aku tahu aku hamil. Ada kehidupan kecil yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku merasakan kehangatan yang aneh setiap kali menyentuh perutku.
“Kita akan menunggu ayahmu, oke?” kataku sambil tersenyum tipis. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun, saat Bibi Jade masuk ke kamarku sambil membawa piring buah besar, rasa mual langsung menyerangku. Pepaya yang ada di atas piring itu membuatku lari ke kamar mandi dan muntah. Aku tak mengerti kenapa tubuhku bereaksi seperti itu. Sebelumnya aku suka makan pepaya, tapi sekarang aku tak tahan dengan baunya.
Ketika aku kembali ke kamar, Bibi Jade masih ada di sana, menatapku dengan tatapan aneh. Aku mencoba mengambil anggur dari piring dan memakannya perlahan. Rasanya jauh lebih nyaman.
“Apa ini tandanya kamu akan jadi ibu yang hebat?” tanyanya tiba-tiba. Aku hanya tersenyum kecil tanpa menjawab.
Aku tahu, perjalanan ini belum selesai. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk bertahan, demi bayi di dalam perutku, dan tentu saja, demi Noah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!