NovelToon NovelToon

Twelves Trials Of Fate (Myth Vs Human)

Invasi Makhluk Mitologi

“Sialan kau! Jangan kau usik keluargaku dengan tingkah bejatmu itu!” teriak seorang pria dengan shotgun di genggamannya, suaranya bergetar antara amarah dan ketakutan.

“Heh? Apa kayu kecil itu bisa mengalahkan kami berlima?” kekeh seekor goblin, kulitnya hijau pucat seperti kacang muda, meremehkan pria itu dengan tatapan penuh ejekan.

Pria itu menahan napas, tangan gemetar menggenggam shotgun yang kosong. Dia tahu, senjata itu tak memiliki peluru tersisa. Namun ia tak punya pilihan selain bertahan, meski sadar kemungkinan kalahnya begitu besar. Karena makhluk-makhluk buas ini—yang suka memperkosa dan membunuh—telah memasuki rumahnya, mengincar istri dan anaknya.

Salah satu goblin mengangguk, memberi isyarat yang segera dipahami oleh yang lain. Dalam sekejap, mereka bergerak maju, lima bayangan liar yang mendekati pria itu seperti predator mengitari mangsa.

Dia berusaha melawan, meronta, tapi tubuhnya lemah oleh kepanikan dan kesedihan. Jeritannya pecah di apartemen yang berantakan—ruangan yang dulunya penuh tawa keluarga itu kini hancur, saksi bisu dari kekejaman yang tak terhindarkan.

Di dalam kamar, anak dan istrinya terkapar. Mereka sudah tak bernyawa. Pria itu terlambat—terlambat untuk menyelamatkan satu-satunya yang ia cintai.

Beberapa menit kemudian, jeritannya mereda. Bukan karena goblin itu bersikap ampun, tapi karena tubuhnya telah berhenti bernafas. Para makhluk itu melahapnya tanpa sisa, taring mereka mencabik seperti hyena yang menemukan mangsa segar.

Keributan memicu alarm. Tidak lama kemudian, peleton tim penyelamat menyerbu apartemen—tapi yang tersisa hanyalah mayat manusia dan darah segar yang menetes di lantai. Mereka menembaki semua makhluk yang tampak, amarah dan kebencian menguasai setiap gerakan.

Dunia berubah sejak hari itu. Makhluk-makhluk mitologi kini berjalan di bumi, muncul melalui portal yang terbuka akibat ambisi manusia.

Pada tahun 2086, manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios, sebuah ambisi besar: menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap. Tujuannya mulia—mengakhiri krisis energi dan membawa peradaban ke masa keemasan.

Namun pada malam ketika Helios Reactor pertama kali diaktifkan, langit pecah. Samudra Pasifik seakan retak, membentuk celah ungu bercahaya yang berdenyut seperti jantung dunia yang terluka.

Awalnya, manusia mengira ini fenomena kosmik semata. Tapi dari celah itu, sesuatu jatuh. Seekor naga bersisik emas, sayapnya menyambar seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu bayangan lain muncul: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk legenda kuno.

Bumi bergetar. Senjata nuklir ditembakkan, rudal melesat, tapi tidak satu pun menembus kulit naga atau perisai sihir mereka. Dalam tiga minggu, 30 kota besar lenyap. Dalam tiga bulan, dunia berubah menjadi medan perang antara baja dan mitos.

Makhluk-makhluk itu sadar bahwa manusia adalah mangsa yang mudah. Tanpa kecepatan super dan tanpa ketahanan seperti trenggiling. Hanya seonggok daging yang diberi akal. Mereka dengan mudah membabi buta setiap manusia yang mereka temui.

Makhluk-makhluk itu tidak hanya membunuh. Mereka berbicara, menyampaikan pesan dalam bahasa kuno yang langsung dipahami oleh pikiran manusia:

“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”

Karena insiden itu, dinding antar dimensi mulai retak. Bagi makhluk mitologi, itu dianggap sebagai serangan ke wilayah mereka. Bagi manusia, kedatangan mereka adalah seperti invasi tanpa peringatan.

Pada akhirnya kedua ras masing-masing tidak ada yang jahat. Makhluk mitologi menuntut balas, dan manusia mempertahankan eksistensinya.

Pertempuran antara nuklir dan sihir berlangsung hingga beberapa windu. Sihir dan kekuatan gila para makhluk mitologi, mampu diimbangi oleh senjata modern pihak manusia. Memakan jutaan nyawa dari masing-masing pihak.

Hingga pada suatu waktu, berdirilah satu sosok:

The Ancient One, raja dari segala makhluk mitologi, muncul dari pusat celah—matahari gelap di tengah lautan yang menghantui setiap mimpi manusia. Sosok itu sadar, bahwa peperangan harus segera diakhiri.

The Ancient One dan Presiden Amerika Serikat akhirnya bertemu di reruntuhan markas PBB yang tenggelam. Mereka sadar: dunia ini terlalu kecil untuk dua peradaban, namun terlalu berharga untuk dihancurkan sepenuhnya.

Maka tercetuslah kesepakatan:

Dua belas pertarungan. Dua belas juara. Dua belas nasib dunia.

“Biarlah kekuatan menentukan siapa yang layak bertahan.”

Dan demikian, Era Dua Dunia dimulai.

Sihir dan teknologi berjalan berdampingan, saling menatap dengan waspada, menunggu api terakhir menyala di bawah langit yang retak.

Pertemuan antara Presiden dengan The Ancient One

Presiden Amerika Serikat melangkah mantap menyusuri lorong panjang yang nyaris ambruk. Dindingnya penuh retakan, kabel-kabel menjuntai dari langit-langit, dan suara gemuruh jauh di luar sana menandakan perang yang belum juga berakhir. Setiap langkahnya bergema di antara puing-puing sejarah yang seolah dunia sendiri menahan napas menunggu keputusan sang pemimpin umat manusia.

Hari ini, ia bukan sekadar seorang presiden. Ia adalah simbol harapan terakhir umat manusia.

Dan di ujung lorong itu, menantinya sosok yang bukan berasal dari dunia ini — The Ancient One, raja segala makhluk mitologi.

Di reruntuhan bekas markas PBB yang kini tinggal bayang-bayang kejayaannya, dua peradaban yang telah saling menghancurkan akan duduk berhadapan. Bukan untuk berperang, tapi untuk menentukan apakah perdamaian masih mungkin ada.

Proyek Helios, mimpi besar manusia untuk menaklukkan energi tak terbatas, telah menorehkan luka pada jagat raya. Tabir yang memisahkan dunia manusia dan dunia mitologi robek hingga membuka jalan bagi kekacauan.

Bagi kaum mitologi, itu adalah penyerangan ke tanah suci mereka. Bagi manusia, kedatangan mereka adalah invasi tanpa peringatan. Kedua pihak merasa menjadi korban.

Maka di sinilah pria berambut pirang itu berdiri. Rambutnya disisir rapi meski abu dan debu menempel di jasnya. Wajahnya menua oleh beban dunia, namun matanya masih menyala dengan tekad yang sama seperti dulu saat ia berjanji melindungi bangsanya.

Beberapa menit ia melangkah dalam diam, sampai akhirnya dari balik kabut puing dan cahaya redup obor, muncul sosok besar menjulang. Seekor Minotaur. Setengah manusia, setengah lembu, tubuhnya berotot dan berlumur debu pertempuran. Kapak raksasa di tangannya masih meneteskan darah kering, dan setiap langkahnya mengguncang lantai beton yang retak.

Kedua pengawal presiden langsung menegakkan senjata, bersiap menembak jika makhluk itu menyerang. Tapi sang presiden hanya mengangkat tangan. Sebuah isyarat singkat yang tegas, namun penuh keyakinan.

“Turunkan senjata,” ujarnya datar. Nada suaranya tenang, tapi mengandung wibawa yang tak bisa dibantah.

Minotaur itu menatapnya lama, seolah menilai apakah manusia ini layak dipercaya. Lalu, perlahan, ia menundukkan kepala dan memutar tubuhnya, memberi jalan.

Presiden melangkah melewatinya tanpa gentar. Di depan sana, di balik pintu besar dari batu yang retak, cahaya ungu samar memancar. Tempat di mana The Ancient One menunggu, dan nasib dua dunia akan ditentukan.

Pintu batu itu terbuka perlahan, mengeluarkan derit berat yang bergema di seluruh ruangan. Cahaya ungu lembut menembus celahnya, menyinari wajah Presiden yang kini berdiri di ambang sejarah. Ia melangkah masuk, langkah kakinya bergema di aula besar bekas markas PBB. Tempat di mana dahulu manusia menegakkan perdamaian, kini menjadi medan diplomasi antara dua dunia yang saling menyalahkan.

Bendera-bendera negara tergantung lusuh, robek, dan berdebu. Lantai marmer penuh retakan seperti luka bumi yang belum sembuh. Di tengah ruangan itu, berdiri singgasana batu hitam, berukir lambang-lambang kuno yang berdenyut samar.

Dan di atasnya, The Ancient One.

Makhluk itu menjelma seperti penjelmaan mitologi sendiri. Bertubuh manusia yang tegap dan berotot, namun berkepala elang raksasa dengan paruh tajam keemasan yang berkilau di bawah cahaya ungu. Sepasang sayap lebar menjulur dari punggungnya, setiap helai bulunya berwarna seperti cahaya fajar. Campuran emas, perak, dan merah darah. Di dadanya terpasang zirah emas berukir simbol matahari dan kilat, berpendar lembut seolah menahan kekuatan yang tak terukur.

Kedua tangannya berujung cakar burung garuda, tajam dan berkilau, dan dari jari-jarinya memancar percikan cahaya biru seperti petir yang tidur. Kakinya pun sama. Cakar perkasa yang setiap hentakannya membuat batu di bawahnya retak. Aura yang terpancar darinya bukan hanya kekuatan, melainkan kebesaran ilahi yang seolah setiap bulu di tubuhnya membawa serpihan hukum alam.

Matanya, dua bola api keemasan, menatap lurus ke arah Presiden, seolah menembus seluruh lapisan jiwa dan sejarah manusia di balik pandangan itu.

Di bawah kakinya berdiri para makhluk mitologi. Puluhan elf bersenjata panah dan tombak, naga kecil yang melingkar di tiang-tiang batu, dan makhluk bersayap kelelawar yang melayang seperti kabut malam. Semua hening, menunggu pemimpin mereka berbicara.

Presiden melangkah maju, napasnya perlahan tapi mantap. Jasnya berdebu, wajahnya letih, namun sorot matanya tak kehilangan wibawa.

“Yang Mulia The Ancient One,” ujarnya, suaranya menggema di aula itu, “aku datang bukan membawa senjata, bukan membawa dendam. Aku datang membawa harapan. Satu-satunya yang tersisa untuk kita semua.”

The Ancient One menatapnya lama. Lalu suaranya terdengar dalam, berat, dan bergema seperti petir yang berbisik dari langit purba.

“Harapan?” katanya, paruhnya bergerak perlahan. “Kata itu indah di mulut manusia. Namun setiap kali kalian mengucapkannya, bumi kami berlumur darah.”

Presiden tetap tegak. “Jika harapan adalah dosa, maka izinkan aku berdosa demi menyelamatkan umatku.”

Senyum samar, hampir seperti ejekan, terbit di wajah salah seorang Elf yang terlihat seperti pemimpin pasukan. “Berani... seperti biasanya manusia. Tapi katakanlah, apa yang kalian tawarkan pada dunia yang telah kalian robek sebelumnya?”

Presiden menatap lurus, suaranya mengeras namun tak kehilangan tenangnya.

“Kesempatan. Untuk menebus. Proyek Helios adalah kesalahan kami, tapi juga bukti bahwa manusia mampu menciptakan keajaiban. Kami bisa memperbaiki apa yang kami rusak, tapi kami tak bisa melakukannya sendiri.”

Mata Elf itu berpendar. “Dan jika kami menolak?”

Presiden menjawab tanpa ragu.

“Maka biarlah kekuatan menentukan siapa yang pantas bertahan. Tapi jika Engkau percaya bahwa setiap kehidupan. Manusia, naga, atau roh, berhak berada di bawah langit yang sama, maka mari kita buktikan tanpa memusnahkan satu sama lain.”

Keheningan menelan ruangan. Asap, debu, dan angin mengitari keduanya seperti waktu menahan diri.

Lalu, perlahan, The Ancient One mengangkat salah satu tangannya yang bercakar, dan dari udara muncul lingkaran cahaya raksasa. Berisi simbol-simbol kuno yang berputar dan memancarkan sinar emas.

“Aku berpikir untuk mengadakan pertarungan yang akan menentukan nasib masa depan umat manusia. Tapi satu pertarungan tidaklah cukup karena aku tahu bahwa kamilah pasti pemenangnya. Jadi aku akan memberikan kalian umat manusia, 12 kali kesempatan. Dua belas kali pertarungan,” suaranya bergema, mengguncang udara. “Dua belas juara dari masing-masing dunia. Sihir melawan teknologi. Jiwa melawan baja.”

Matanya menyala terang.

“Dan biarlah langit yang retak menjadi saksi siapa yang layak mewarisi dunia ini.”

Presiden menatapnya dalam diam, lalu perlahan mengangguk.

“Dua belas pertarungan… dua belas nasib. Maka demikianlah.”

Ia menatap lurus ke mata sang makhluk bersayap garuda itu.

“Semoga Tuhan dan para dewa yang masih peduli, mengampuni kita semua.”

Ledakan cahaya memancar. Lingkaran emas itu terangkat ke langit, membelah awan yang berwarna ungu, menandai dimulainya Era Dua Dunia.

Langit bergemuruh.

Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, manusia dan legenda bersiap bertarung, bukan untuk membunuh, tapi untuk menentukan siapa yang berhak menulis masa depan dunia.

Penciptaan Arena

Langit siang itu bergetar. Awan-awan bergulung seperti lautan putih yang marah, sementara sinar matahari menembus celah-celahnya, memantulkan kilau keemasan di seluruh cakrawala.

Di bawah gemuruh lembut angin surgawi itu, The Ancient One berdiri di atas tebing awan tertinggi dunia. Tubuhnya menjulang, sayap garudanya terentang luas hingga menutupi separuh langit.

Presiden Amerika memandang dari bawah, bersama para penjaga dan juga seluruh umat manusia yang tampak pasrah. Semua menatap ke atas, ke arah makhluk bersayap itu, yang kini tampak seperti dewa pencipta dari kisah purba.

The Ancient One mengangkat tangannya. Cakar emasnya menggores udara, meninggalkan jejak cahaya yang berputar seperti pusaran matahari. Suara dalam yang menggema dari dadanya bukan sekadar kata-kata, melainkan firman alam itu sendiri.

"Jika dunia lama tak sanggup menampung kehendak dua ras, maka biarlah langit yang menjadi saksi bagi dunia baru.”

Awan-awan di bawahnya bergetar, menggulung seperti badai putih.

Dari pusaran itu, tanah muncul. Bukan tanah biasa, melainkan hamparan raksasa yang membentang tanpa ujung, terbuat dari batu, cahaya, dan energi murni.

Gunung-gunung kecil terbentuk di pinggirannya, dan pilar-pilar raksasa menjulang tinggi ke langit seperti tiang penopang surga.

Di tengahnya, berdiri Colosseum Agung, begitu besar hingga bayangannya sendiri menutupi awan sejauh ribuan mil.

Tembok-temboknya berwarna emas berkilau, diselingi marmer putih dan ukiran makhluk-makhluk dari dua dunia. Naga, manusia, peri, robot, dan roh.

Arena utamanya membentang luas, seperti gurun di tengah surga, mampu menampung ribuan pasukan sekaligus.

Suara petir menyambar perlahan di kejauhan, namun bukan petir biasa, melainkan gema kekuatan magis dan energi buatan manusia yang menyatu, membentuk batas medan. Sebuah kubah transparan, bercahaya lembut, melingkupi seluruh arena sekaligus pelindung antara kekuatan para juara dan penonton.

Kemudian, dari tanah yang baru lahir itu, muncul tribun-tribun megah yang mengelilingi colosseum. Di satu sisi, ribuan manusia duduk dengan pakaian dengan simbol negara masing-masing, dan di sisi lain, makhluk-makhluk mitologi dari segala ras. Naaga kecil, centaur, elf, troll, hingga roh air, duduk berdampingan. Suara mereka bergema seperti riuh festival dan peperangan yang bercampur jadi satu.

Lalu, di ujung tertinggi arena, di antara dua tiang cahaya yang menjulang ke langit, terbentuk dua singgasana. Yang pertama, di sisi barat, dari logam hitam yang berpadu dengan baja dan serat cahaya. Singgasana Teknologi, tempat Presiden umat manusia duduk. Di belakangnya, hologram bendera dunia berkibar lembut, simbol umat manusia yang kini menggantung nasibnya di ujung kehormatan.

Yang kedua, di sisi timur, berdiri megah di atas pilar kristal emas, dihiasi ukiran matahari dan sayap burung. Singgasana Surya, milik The Ancient One. Ketika ia duduk di atasnya, sayap-sayapnya terbentang ke langit, membentuk bayangan raksasa yang menutupi matahari, seolah langit sendiri menunduk memberi hormat.

Gemuruh dari makhluk langit terdengar, dan angin berubah menjadi lagu sakral yang tak pernah didengar sebelumnya.

The Ancient One mengangkat tangannya sekali lagi. Dari cakar emasnya, cahaya menyalakan simbol besar di udara. Simbol keseimbangan, dua lingkaran yang saling mengikat, mewakili manusia dan mitologi.

“Inilah panggung yang akan menentukan takdir kita,” ujarnya dengan suara bergemuruh,

“Arena di mana darah akan menjadi perjanjian, dan kehormatan menjadi hukum.”

Presiden berdiri dari singgasananya, menatap luasnya arena yang melayang di antara awan. Ia berkata lirih namun tegas, suaranya terbawa angin ke seluruh penjuru:

“Maka biarlah di bawah matahari ini, kekuatan dan keadilan berbicara. Tidak untuk kebencian, tapi untuk masa depan.”

Awan bergetar, cahaya memancar, dan seluruh penghuni dua dunia. Manusia maupun makhluk mitologi, bersorak dalam satu suara.

Langit bersinar seperti siang abadi, dan Arena Dua Dunia resmi lahir. Tempat di mana sejarah baru akan ditulis, dan dunia akan menentukan siapa yang layak disebut penguasa langit dan bumi.

...****************...

Langit yang tadinya cerah perlahan mulai redup. Bayangan mendung menggelayut di antara awan putih yang bergulung di bawah Colosseum raksasa itu. Cahaya matahari yang tadi memantul di dinding-dinding arena kini terselubung lembut, seolah semesta menahan napas menantikan sesuatu yang agung.

Angin berembus pelan, membawa hawa sejuk yang menghapus sisa panas dari bebatuan arena yang baru saja terbentuk. Daun-daun kering yang entah dari mana datangnya beterbangan ringan, lalu berhenti ketika sebuah kilatan cahaya ungu membelah udara di tengah langit. Dari sana, perlahan sosok itu turun.

Virgo — sang pengadil dari bintang-bintang.

Tubuhnya bersinar lembut bagai cahaya bulan yang jatuh di permukaan air. Rambutnya ungu, panjang menjuntai hingga mata kakinya, dengan hiasan bintang dan bulan sabit berwarna keemasan bertabur di antara helaian rambutnya yang berpendar lembut, seperti potongan langit malam yang hidup. Di tangan kirinya ia menggenggam timbangan emas, berayun ringan, memancarkan cahaya kekuningan yang kontras dengan mendung di atas sana.

Setiap langkah yang ia ambil meninggalkan jejak cahaya perak di lantai batu. Sorot matanya tenang, tidak tajam, namun memantulkan rasa tahu yang dalam, seolah ia telah melihat segala bentuk kebohongan dan kebenaran yang pernah diciptakan.

The Ancient One menundukkan kepala sedikit, sementara Presiden hanya mampu menatap dengan kagum dan sedikit gentar. Bahkan para makhluk mitologi yang penuh kekuatan. Naga, minotaur, elf, dan peri api, kini diam terpaku, seolah keberadaan Virgo menuntut penghormatan tanpa harus memintanya.

Ketika akhirnya ia berhenti di tengah arena, udara di sekitar membisu. Timbangan di tangannya berayun pelan… ting… suara logam halus itu menggema jauh, dan setiap makhluk di tempat itu merasa jantung mereka berdetak serentak.

Lalu, dengan suara lembut namun menggema seperti gema surgawi, ia berkata:

“Keseimbangan telah terusik. Maka aku datang. Bukan untuk berpihak, tetapi untuk menimbang.”

Suara itu, walau lembut, menembus hati semua yang hadir, menenangkan sekaligus mengguncang. Mendung tetap menggantung di atas mereka, namun tak ada hujan, hanya udara yang sejuk dan tenang, seperti jeda sebelum dunia memutuskan nasibnya sendiri.

Seisi Colosseum terdiam. Hening seperti ruang hampa. Suara Virgo barusan, walau hanya sepatah dua kata, meninggalkan gema yang tak mampu ditelan waktu.

Presiden, yang biasanya berbicara tegas dan berwibawa, kini menatap kosong ke udara. Matanya basah, bukan karena sedih, melainkan karena keindahan suara yang baru saja melintas di udara. Ia, manusia yang telah melewati perang dan diplomasi paling getir dalam sejarah umatnya, tak pernah membayangkan bahwa suara saja mampu meluruhkan segala rasa takut, dendam, dan kebencian yang menumpuk di dadanya.

Di sisi lain, The Ancient One, makhluk agung yang berwujud garuda berzirah emas, perlahan menundukkan kepalanya. Sayap-sayapnya yang megah mengepak pelan, menebarkan serpihan cahaya keemasan. Mata elangnya yang tajam kini berkaca-kaca.

“Sungguh… suara yang menembus jiwa bahkan bagi makhluk yang tak memiliki hati manusia,” gumamnya lirih, suaranya parau karena terharu.

Makhluk-makhluk mitologi lain ikut terdiam. Naga yang biasanya sombong menundukkan kepala, peri air menitikkan butiran bening dari matanya, dan minotaur, sang penjaga lorong, berlutut sambil menatap ke tanah, terisak dalam diam.

Sementara itu, manusia yang hadir di arena. Tentara, ilmuwan, utusan diplomatik, semuanya hanya bisa berdiri terpaku, banyak di antara mereka menangis tanpa tahu alasan mengapa.

Lalu Virgo kembali berbicara.

Suara itu kini mengalun lembut, seperti lagu yang berasal dari awal penciptaan. Setiap katanya bergema di hati para pendengar. Bukan hanya terdengar oleh telinga, tapi dirasakan oleh jiwa.

“Jangan gentar, wahai anak-anak dari dua dunia. Aku bukan dewi, bukan pula penguasa. Aku hanyalah Virgo. Potongan kecil dari langit yang kalian sebut rasi bintang.”

Timbangan emas di tangan kirinya berputar perlahan, memancarkan cahaya keperakan yang menyapu seluruh arena.

“Aku menjelma menjadi sosok ini karena melihat saudaraku, sang Matahari, tampak gelisah dari takhta cahayanya. Ia menangis dalam nyala yang tak pernah padam. Maka Aries, kakak tertua dari antara kami para Rasi Bintang, mengutusku untuk menelusuri penyebab kegelisahan itu. Sebuah getaran yang lahir dari galaksi kalian… dari planet biru yang kalian sebut Bumi.”

Langit di atas Colosseum bergemuruh lembut. Bayangan rasi bintang perlahan tampak di antara awan, seolah menatap dari kejauhan.

Virgo menatap ke sekeliling, matanya berkilau bagai samudra ungu.

“Dan di sini aku melihatnya. Pergesekan antar dimensi, antara dunia manusia dan mitologi. Pertarungan yang tak seharusnya ada. Tabir yang robek karena keserakahan proyek kalian, Proyek Helios. Sebuah ambisi yang tak hanya mengusik bumi, tapi mengguncang keseimbangan semesta.”

Kata-katanya melayang lembut, namun setiap hurufnya menampar hati dengan kejujuran telanjang.

Presiden menunduk dalam-dalam, merasa kecil di hadapan makhluk yang bahkan bukan berasal dari dunia manapun. Sementara The Ancient One memejamkan matanya, mencoba menenangkan denyut emosinya yang bergejolak.

Dan untuk sesaat, tak ada yang berani bersuara.

Yang terdengar hanyalah napas, lembut dan sinkron. Seolah seluruh ras, seluruh makhluk, seluruh entitas yang hadir di bawah langit itu kini berbagi satu napas yang sama.

Langit mendung tetap bergelayut, tapi kini terasa berbeda. Bukan pertanda murka, melainkan pertanda awal penilaian.

Virgo menatap lurus ke arah dua pemimpin dunia itu, lalu menambahkan dengan nada yang lebih tenang namun tak kehilangan kekuatannya:

“Kini, aku akan menimbang bukan hanya dosa, tapi juga harapan.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!