Suara alarm berdering dan menunjukkan pukul empat pagi.
Seperti biasa, Almira segera bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke kamar mandi.
Ia membuka pakaiannya dan melihat sekujur tubuhnya yang memerah akibat pukulan dari suaminya.
Tidak hanya tubuhnya saja yang terkena amukan suaminya.
Nakula juga menghajar wajah cantiknya sampai meninggalkan jejak disana.
Amira lekas mandi sebelum suaminya bangun dan menyiksanya lagi.
Setelah selesai mandi, Amira lekas memasak sarapan.
Saat berjalan menuju ke dapur, ia melihat mertuanya yang sudah bangun.
"Kamu bangun terlambat lagi, Mir. Lihat sekarang sudah jam berapa!" ucap Mama Mia orang tua Nakula.
"Sekarang masih jam empat, Ma. Dan sepertinya aku tidak terlambat bangun." jawab Amira.
"Ohh, sekarang kamu berani menjawab pertanyaan Mama!" ucap Mama Mia yang dari dulu tidak suka dengan Amira.
Mama Mia langsung menarik rambut panjang Amira.
Amira meringis kesakitan dan ia mengambil penggorengan.
Bugh!
"AARGGGHHH!! Panas!" teriak Mama Mia.
Amira yang melihat hanya diam dan tidak menolong Mama Mia yang berteriak-teriak.
Nakula yang masih tertidur langsung membuka matanya saat menjadi teriakan Mama Mia.
"ADA APA INI? APA KALIAN TIDAK TAHU SEKARANG JAM BERAPA?!" Bentak Nakula.
Mama Mia menghampiri putranya dan mengatakan kalau Amira menyiramnya dengan minyak panas.
Nakula langung melirik ke arah istrinya yang sedang memasak.
"Mama kamu saja yang lebay, Mas. Padahal minyaknya nggak panas." ucap Amira.
Nakula yang mendengarnya langsung mengambil air yang dimasak oleh istrinya.
BYUR!!
"PANAS!!" teriak Amira kesakitan.
Mama Mia tersenyum manis saat melihat putranya yang menyiram air panas ke arah wajah istrinya.
"Itulah akibatnya jika kamu tidak patuh sebagai istri!" ucap Nakula.
Amira langsung berlari menuju ke kamar mandi kamarnya.
Di dalam kamar mandi, Amira menangis kesakitan.
"Kenapa kamu sekarang berubah, Mas. Apa salahku?" gumam Amira.
Amira masih ingat bagaimana Nakula yang dulu melamar dan menikahinya dengan cara romantis.
Berbeda dengan Nakula yang memperlakukan nya seperti pembantu.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin, mencoba menahan air mata agar tidak semakin memperparah perih di wajahnya.
Air panas tadi meninggalkan lebam merah yang jelas di pipi dan dahinya.
Ia harus segera mengobati luka yang ada di wajahnya .
Amira meraih kotak P3K kecil di sudut lemari dan mengoleskan salep dingin ke area wajahnya.
Setelah beberapa menit mengobati lukanya, Amira mencoba menenangkan diri.
Amira keluar dari kamar mandi dan melihat sosok Nakula yang sudah berdiri di ambang pintu kamar.
Wajah Nakula terlihat dingin, namun ada senyum tipis yang tak bisa dibaca di bibirnya.
"Ada apa lagi? Belum puas kamu menyiksaku seperti ini."
Nakula yang mendengarnya langsung berjalan ke arah istrinya.
"Sayang, aku melakukannya karena kamu tidak patuh. Jadi jangan kamu ulangi lagi." ucap Nakula.
Kemudian Nakula membuka lemari dan melempar gaun pesta berwana hitam ke arah istrinya.
"Pakai ini dan temani aku ke pesta nanti malam. Jujur saja, Ri. Aku malu mengajakmu ke pesta ulang tahun perusahaan."
"Kalau kamu malu, Mas. Lalu kenapa mengajak aku?"
Nakula menarik rambut istrinya sambil tersenyum mengerikan.
"Aku mengajakmu karena malam nanti aku akan memberikan kamu hadiah, sayang. Jadi jangan banyak tanya."
Disaat yang bersamaan tiba-tiba ponsel Nakula berdering.
Amira melirik ke arah ponsel suaminya dan melihat Isabel yang sedang menghubungi Nakula .
Nakula mengambil ponselnya dan mengangkat ponselnya.
Ia keluar dari kamarnya dan menghiraukan istrinya.
Nakula berjalan ke ruang kerjanya dan menguncinya dari dalam.
"Na, kapan kamu menceraikan istrimu? Apa kamu selama ini hanya main-main, denganku?" tanya Isabel dengan nada manja.
Nakula berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya sambil berbicara dengan Isabel.
“Tenanglah, Bel. Malam ini aku akan pastikan semuanya selesai. Setelah pesta, aku akan buat Amira tak bisa kembali lagi.”
“Aku harap kamu tidak bohong lagi, Na. Aku muak jika harus sembunyi-sembunyi seperti ini.”
“Percayalah padaku,” jawab Nakula.
Nakula meminta Isabela untuk datang ke perusahaan tempatnya bekerja.
Setelah itu Nakula menyiapkan berkas-berkas perceraiannya dengan Amira.
Nakula kembali ke kamarnya dan melihat istrinya yang sedang membersihkan kamar.
"Buatkan aku kopi, nasi goreng dan salad buah. CEPAT!!"
Amira menghela nafas panjang dan berjalan menuju ke dapur.
Ia mulai membuat kopi sambil sesekali menahan rasa sakit yang ada di wajahnya.
Sesekali Amira menghapus air matanya saat menunggu airnya matang.
"Pa, Ma. Maafkan aku yang tidak mendengar perkataan Papa sama Mama." gumam Amira.
Amira menyesal karena orang tuanya pernah mengatakan kalau Nakula bukan lelaki yang baik.
Tapi ia tetap memilih pergi dari rumah dan menikah dengan Nakula.
Kemudian Amira mengambil buah untuk membuat salad yang diinginkan oleh suaminya.
Disaat sedang memotong buah untuk salad ketika suara langkah cepat terdengar dari arah pintu dapur.
“Mbak Amira!”
Belum sempat ia menoleh, sepasang lengan melingkar dari belakang, memeluk pinggangnya erat-erat.
Itu Bagas, adik Nakula yang baru pulang dari luar kota.
“Lepas!” bentak Amira kaget, tubuhnya refleks menegang.
Namun Bagas justru semakin mengeratkan pelukannya.
“Mbak, aku kangen. Kok Mbak kurusan banget, sih? Kakak masih nakal ya sama Mbak? Kalau Mbak mau, aku bisa...."
Plak!
Amira langsung menampar pipi adik iparnya yang selalu merendahkannya.
Nakula mengacak-acak rambutnya saat mendengar keributan lagi.
Brak!
Pintu dapur terbuka keras. Nakula berdiri di sana, wajahnya kelam.
“Apa lagi sekarang? Kenapa kamu selalu bikin masalah lagi?!”
Sebelum Amira bicara, Bagas langsung mengatakan kalau Amira menggodanya
"Mas, bukan aku..."
“Diam! Kamu itu istri pembawa sial?”
Amira menggelengkan kepalanya dan mencoba menjelaskan kepada suaminya.
“Mas, dia yang menggodaku.”
“Aku bilang diam!” bentak Nakula yang langsung menghampiri, lalu mencengkeram pergelangan tangan Amira keras-keras hingga gadis itu meringis.
“Mas, sakit.... !”
Tanpa peduli rintihan istrinya, Nakula menyeret Amira keluar dapur, melewati ruang tamu dan menaiki tangga dengan kasar.
Bagas yang melihatnya langsung melambaikan tangannya.
Bruk!
Nakula mendorong Amira masuk ke kamar, lalu menutup pintu dari luar dan menguncinya.
Klek!
“Mas! Buka pintunya!”
Amira menggedor-gedor pintu kamarnya dengan kepalan tangannya.
“Aku akan membukanya nanti malam. Itu pun kalau kamu masih pantas keluar.”
Langkah kaki Nakula menjauh dan meninggalkan kamar.
“Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan, Mas.” gumam Amira sambil menghapus air matanya.
Amira sudah lama bersabar menghadapi Nakula, Mama Mia dan Bagas.
Tetapi hari ini Amira sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi.
Ia mengambil gaun pesta yang diberikan oleh suaminya tadi.
"Apakah kamu kira aku tidak tahu jika selama ini kamu berselingkuh dengan Isabel?" gumam Amira.
Amira berjanji jika malam nanti, ia akan mengakhiri semuanya.
Detik demi detik berganti dan langit sudah terlihat gelap.
Nakula membuka pintu kamarnya yang ia kunci dari tadi pagi.
Ia membelalakkan matanya saat melihat istrinya yang sudah mengenakan gaun pesta yang ia berikan tadi.
"Akhirnya, kamu jadi istri yang patuh." ucap Nakula.
Nakula melepaskan pakaiannya dan menggantinya dengan jas hitam elegan.
Setelah itu ia mengajak istrinya untuk menuju ke hotel bintang lima dimana acara ulang tahun perusahaan diselenggarakan disana.
Saat akan masuk kedalam mobil, Amira melihat Isabel yang sudah duduk di kursi depan.
Amira berdiri dan memandang ke arah wajah suaminya.
"Kak Amira, ayo masuk. Maaf kalau aku duduk didepan. Aku mabuk kendaraan." ucap Isabel dengan nada manja.
"Kalau kamu mabuk kendaraan, kenapa nggak naik becak saja." ujar Amira.
Nakula yang mendengarnya langsung menarik tangan istrinya dan menyuruhnya untuk duduk di kursi belakang.
"Na, sabuk pengamanku belum terpasang. Tolong pasangin."
Amira tahu jika Isabel melakukannya dengan sengaja.
Ia pun tidak memperdulikan kemesraan mereka berdua.
Nakula lekas memasangkan sabuk pengaman Isabel.
Setelah itu Nakula Melajukan mobilnya menuju ke hotel.
Sepanjang perjalanan Amira melihat suaminya yang melirik ke arah Isabel.
Amira menggenggam erat kedua tangannya dan berpura-pura tidak melihat mereka.
Walaupun ia sudah tahu tentu perselingkuhan suaminya.
Amira tidak mau membuka topeng suaminya, karena ia tahu jika ia membukanya.
Nakula kembali menyiksanya lagi, lagi dan lagi sampai Nakula puas.
Satu jam kemudian mereka telah sampai di depan hotel bintang lima.
Nakula turun dari mobil dan ia membuka pintu untuk Isabel.
Begitu pintu mobil terbuka, Nakula langsung bergegas menghampiri Isabel.
Ia tidak menoleh sedikit pun ke arah istrinya yang masih berdiri terpaku.
“Sayang, hati-hati ya. Jalanan licin,” ucap Nakula lembut sambil menggandeng tangan Isabel erat-erat, seakan wanita itulah istrinya yang sah.
Amira hanya menarik napas pelan dan membiarkan dirinya berjalan beberapa langkah di belakang mereka, seperti pengawal yang tidak dianggap keberadaannya.
Begitu memasuki lobi hotel, sekelompok rekan kerja Nakula sudah berdiri menunggu.
Mereka tertawa-tawa begitu melihat kedatangan mereka.
“Nakula! Akhirnya datang juga!” salah satu pria paruh baya berseru sambil menepuk bahunya. Namun pandangannya langsung jatuh ke arah Isabel.
“Wah, ini pasti Isabel, kan? Pasangan paling cocok satu perusahaan!” ucap teman Nakula lainnya.
Isabel tertawa manja sambil merapatkan tubuhnya ke Nakula.
“Ah, jangan lebay deh, Pak.”
“Tapi serius, kalian berdua kelihatan cocok banget. Cantik dan tampan. Berkelas pula.”
Mereka semua tertawa, hingga akhirnya menyadari sosok lain yang berjalan di belakang. Amira.
Beberapa orang langsung saling pandang dengan tatapan geli.
“Itu siapa?” bisik salah satu wanita dengan nada jijik.
“Ah, itu pembantu hotel ya? Kenapa ngikutin kalian?” ujar yang lain.
Tawa kecil terdengar dan Isabel langsung bicara seperti akan melindungi Amira.
“Duh, kalian ini, masa nggak kenal? Ini kan istri sah Kak Nakula.”
Rekan-rekan Nakula mendelik, seperti baru saja mendengar lelucon yang sangat lucu.
“Hah? Istri? Seriusan? Kirain cleaning service,” celetuk salah satu pria sambil menatap Amira dari ujung kepala hingga kaki.
“Tuh kan, makanya jangan sembarangan dandan kalau datang ke acara penting. Bikin kita salah paham,” sahut wanita lain sambil menutup hidungnya pura-pura jijik.
Amira hanya berdiri diam, kedua tangannya mengepal di balik gaun.
Matanya mulai panas bukan karena ingin menangis, melainkan karena amarah yang menumpuk.
Nakula melirik ke arahnya sebentar, lalu tertawa ringan bersama yang lain.
"Aku mengajaknya karena malam ini aku akan memberikannya hadiah." ucap Nakula.
Semua teman-teman Nakula sudah tidak sabar dengan hadiah yang akan diberikan untuk Amira.
Kemudian mereka lekas menuju ke lantai atas tempat perayaan ulang tahun perusahaan.
Sementara di ruangan lain dimana Sebastian sedang duduk bersama klien wanitanya.
"Tuan Sebastian, ini ada hadiah dari Nyonya Devia." ucap sekretaris Devia.
Devia duduk dihadapan Sebastian yang malam ini terlihat sangat tampan.
"Diko, tolong ambil hadiah dari Nyonya Devia." ucap Sebastian.
Diko yang sedang berdiri di samping Sebastian langsung mengambil hadiah pemberian Devia.
Devia menganggukkan kepalanya dan meminta sekretarisnya keluar dari ruangan itu.
Di ruangan itu hanya ada mereka berdua dan disaat Sebastian akan bangkit dari duduknya tiba-tiba Devia langsung memeluknya.
Salah satu tangan Devia memasukkan obat kedalam minuman Sebastian.
"Bastian, tolong terima cintaku. Setiap malam aku memimpikan kamu. Jangan siksa aku seperti ini, Bas." ucap Devia dengan nada manja.
Sebastian melepaskan tangan Devia yang masih memeluknya.
"Dev, lebih baik kamu keluar dari ruangan ini. Sebelum aku memanggil petugas bandara." ucap Sebastian.
Devia menggenggam erat kedua tangannya dan ia mengambil tasnya.
"Baik, aku akan pergi dari sini. Dan sampai kapanpun aku akan menunggumu, Bas."
Devia berjalan keluar dan ia mengajak sekretarisnya meninggalkan hotel.
Sebastian menghela nafasnya dan ia mengambil gelas yang ada di sampingnya.
Ia meminumnya sampai habis tanpa tahu jika Devia telah memberikan obat mawar merah.
Dalam hitungan detik Sebastian merasakan tubuhnya yang panas sekali.
Ia berjalan sempoyongan dan keluar dari kamarnya.
Sementara itu, di lantai atas dimana musik pesta semakin keras.
Lampu-lampu menyorot warna-warni dan para tamu sudah setengah mabuk, tertawa-tawa tanpa arah.
Begitu juga dengan Nakula yang sudah setengah mabuk.
Nakula melihat istrinya yang sedang menikmati acara tersebut.
Dengan jalan yang sempoyongan, Nakula naik ke atas panggung dan mengambil mic pembawa acara.
"AMIRA LESTARI BINTI HERMAN SAYA JATUHKAN TALAK TIGA MALAM INI JUGA!"
Semua orang langsung menoleh ke arah Amira yang sedang berdiri menatap wajah suaminya yang sedang mabuk.
Isabel berjalan menuju ke Amira dan memberikan surat perceraian.
"Kak Amira, tanda tangani saja, ya. Biar aku saja Nakula bisa langsung menikah" ucap Isabel.
Amira tersenyum tipis dan langsung menandatangani surat itu.
Ia tidak bicara sepatah katapun dan langsung meninggalkan ruang pesta itu.
Nakula berdiri mematung saat melihat istrinya yang menerima perceraian itu.
Musik kembali dihidupkan dan mereka kembali berpesta.
Sementara itu Amira berjalan menuju ke lift dan secepatnya meninggalkan hotel itu.
Pintu lift terbuka dan saat akan masuk tiba-tiba ada tangan yang menutup mulutnya dan membawanya ke kamar.
Sesampainya di kamar, lelaki itu melempar Amira ke atas tempat tidur.
"T-tolong aku. Selamatkan aku dari efek obat ini. K-kamu tidak usah takut, karena aku mandul." ucap Sebastian yang memohon kepada Amira.
Amira melihat Sebastian yang sedang memohon kepadanya.
"Apakah kamu tidak takut dengan aku? Wajahku sangat menakutkan dan aku..."
Sebastian yang sudah tidak bisa menahannya langsung mencium bibir Amira.
Amira memejamkan matanya dan membalas ciuman yang diberikan oleh Sebastian.
Sebastian membuka pakaiannya dan pakaian yang dikenakan oleh Amira.
Amira mencengkram erat punggung Sebastian yang menggigit lehernya.
"S-sakit..." ucap Amira dengan suara hampir tidak terdengar.
Amira merasakan sakit yang luar biasa karena selama ia menikah dengan Nakula.
Nakula tidak pernah menyentuhnya sama sekali dan malam ini ia memberikan mahkotanya kepada lelaki yang meminta pertolongannya.
Suara desahan mereka terdengar jelas di dalam kamar.
Sebastian menatap wajah wanita yang sudah menolongnya.
Tiga jam berlalu dan mereka berdua kelelahan sampai akhirnya tertidur pulas dengan posisi Sebastian memeluk tubuh Amira.
Amira membuka matanya dan merasakan tubuhnya yang sakit semuanya.
Ia melihat lelaki yang semalam meminta bantuannya.
Lelaki itu masih tertidur pulas dengan suara dengkurannya yang tidak begitu keras.
Amira ingat betul bagaimana lelaki itu memperlakukan nya seperti layaknya wanita.
Bukan seperti Nakula yang menyandang status suami tapi tidak pernah menyentuhnya sama sekali.
Ia pun segera bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaiannya.
Amira berjalan keluar kamar hotel sambil merasakan mahkotanya yang sangat sakit.
Ia memanggil taksi dan memintanya untuk mengantarkannya pulang ke rumah Nakula untuk mengambil beberapa pakaiannya yang masih ada disana.
Sesampainya di rumah, ia meminta supir taksi untuk menunggunya sebentar.
Amira berjalan masuk ke dalam dan melihat Mama Mia yang baru saja bangun tidur.
"Aduh, aduh. Kasihan ya sudah diceraikan oleh Nakula. Pasti semalaman nangis dipinggir jalan." ejek Mama Mia.
Amira tidak menghiraukan dan langsung masuk ke dalam kamar.
Ia melihat Nakula yang sedang tertidur pulas sambil memeluk Isabel.
"Semoga kalian berdua selalu bahagia." gumam Amira sambil melepaskan cincin pernikahannya.
Setelah itu Amira mengambil tas kopernya dan memasukkan semua pakaiannya.
Tak lupa ia membawa kosmetik dan sepatu yang ia beli sendiri.
Ia tidak rela jika semuanya akan di pakai oleh Isabel.
"Sudah selesai dan selamat tinggal, Mas." ucap Amira.
Amira berjalan keluar sambil membawa tas kopernya.
Saat Amira berjalan melewati ruang tamu dengan menarik kopernya, suara Mama Mia kembali terdengar tajam.
“Eh, Mir! Mau ke mana kamu bawa-bawa koper begitu? Jangan bilang kamu mau numpang di rumah orang tuamu lagi? Kasihan sekali kamu ini, Mir. Sudah diceraikan, nggak laku dan sekarang mau jadi beban orang tua lagi! Kamu pikir Nakula bakal nyesel? Tidak, Mir! Dia itu akhirnya bebas dari kamu yanh buruk rupa!"
Amira yang dari tadi sudah menahan kesabarannya langsung berhenti dan perlahan ia menoleh ke arah Mama Mia.
Dengan langkah mantap, Amira mendekat dan berdiri tepat di hadapan wanita itu.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Mama Mia.
Mama Mia memegang pipinya dan ia tidak menyangka jika Amira akan menampar nya.
“Mulutmu terlalu kejam untuk seorang ibu. Aku memang sudah diceraikan. Tapi bukan berarti aku hancur. Hari ini, aku bukan lagi menantu kalian. Jadi, jangan pernah panggil namaku lagi.”
Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Amira kembali melangkah keluar rumah.
Supir taksi segera turun dan membantu memasukkan koper ke bagasi.
“Langsung jalan, Pak,” ucapnya pelan saat ia masuk ke dalam mobil.
Taksi melaju meninggalkan rumah yang dulu ia sebut rumah tangga.
Amira bersandar di jok belakang, menatap keluar jendela sambil mengusap perutnya yang masih terasa perih.
"Untung saja aku masih punya tabungan walaupun sedikit." gumamnya dalam hati
Amira memutuskan akan mencari pekerjaan disekitar rumah kontrakannya dan ia tidak akan menghubungi orang tuanya yang sudah ia kecewakan.
Sementara itu di hotel tempat Sebastian menginap.
Ia membuka matanya dan tidak melihat keberadaan wanita yang sudah menolongnya.
Sebastian memegang pelipisnya dan ia melihat noda darah di atas sprei.
"D-dia masih suci." gumam Sebastian.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bersalah tanpa tahu harus berbuat apa.
Dengan cepat, Sebastian bangkit dari tempat tidur. Ia meraih kemeja yang tergeletak di kursi, lalu melangkah keluar dari kamar dengan tergesa.
Begitu pintu terbuka, ia mendapati Diko, asistennya, berdiri di depan kamar dengan wajah panik.
“Tuan! Maaf, saya tertidur di lobi dan tidak tahu kalau ada...”
“Cukup! Cepat cari tahu keberadaan wanita yang bersamaku semalam.”
“S-siapa namanya, Tuan?”
“Aku bahkan tidak sempat menanyakannya. Yang jelas, dia terluka di bagian wajahnya ada bekas lebam.”
Diko langsung menganggukkan kepalanya dan segera melacak keberadaan Amira
“Baik, saya akan cek seluruh rekaman CCTV hotel. Saya juga akan tanyakan ke resepsionis apakah ada tamu wanita yang keluar pagi ini dengan wajah terluka.”
Sebastian mengangguk singkat, lalu menatap kembali ke arah kamar, seolah bayangan Amira masih berdiri di sana.
"Kenapa dia pergi tanpa mengambil apa pun? Bahkan tanpa meninggalkan pesan?" gumam Sebastian.
Disaat yang bersamaan tiba-tiba ponselnya berdering.
"Iya, Dok. Ada apa?" tanya Sebastian.
"Sebastian, kamu harus ke rumah sakit sekarang juga. Aku akan menjelaskannya nanti." ucap Dokter Gunawan.
Sebastian menutup ponselnya dan ia meminta Diko untuk nanti menyusul ke rumah sakit.
Ia langsung melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit.
Di sepanjang perjalanan, Sebastian terbayang-bayang wajah Amira.
Tak berselang lama ia menghentikan mobilnya di parkiran rumah sakit.
Sebastian turun dari mobil dan segera menuju ke ruang Dokter Gunawan.
Tanpa mengetuk pintu, ia langsung masuk kedalam.
"Langsung saja ke intinya, Dok. Ada apa anda memintaku datang sepagi ini?" tanya Sebastian dengan wajah penuh kecemasan.
Dokter Gunawan menghela nafas panjang sebelum memberikan hasil laboratorium tentang reproduksi milik Sebastian.
"Aku sudah memeriksa sel sperma milikmu dan sepertinya ada kesalahan, Bas." jawab Dokter Gunawan.
Sebastian mengernyitkan keningnya dan meminta dokter langsung ke inti.
"Kamu tidak mandul, Bas. Sperma mu justru berada dalam kondisi sangat baik. Aku bahkan jarang melihat hasil sepadat dan seaktif ini pada pria seusiamu.”
BRAK!
Sebastian yang mendengarnya langsung menggebrak meja.
"Jadi, selama ini aku tidak mandul?"
Dokter Gunawan menggelengkan kepalanya dan menunjukkan hasilnya.
Sebastian langsung mengambil ponselnya dan menghubungi Diko.
"Diko, lekas periksa cctv dan hubungi aku tentang wanita itu. Jangan pakai lama!"
Sebastian menutup ponselnya dan kembali memandang wajah dokter Gunawan.
Sementara itu setelah mendapatkan perintah dari Sebastian.
Diko mengakan beberapa anak buahnya untuk memeriksakan cctv hotel.
Ia melihat lalu lalang orang-orang yang datang ke hotel semalam.
"Semalam banyak orang yang datang ke ulang tahun perusahaan. Dan sangat susah mencarinya." ucap anak buah Diko.
Diko yang gemas langsung memukul kepala mereka.
Dengan hati-hati mengamati semua orang yang lewat.
"Siapa wanita yang mempunyai luka di wajahnya?" gumam Diko.
Sudah lebih dari tiga jam para anak buah Diko memelototi layar monitor di ruang CCTV hotel.
Suara gumaman frustrasi dan desahan lelah terdengar di seluruh ruangan kecil itu.
“Pak, ini nggak mungkin. Orang yang datang semalam itu ratusan. Kebanyakan pakai masker, dandan glamor, susah bedain mana yang luka beneran atau cuma makeup," keluh salah satu staf keamanan hotel.
“Fokus ke wanita yang wajahnya bengkak atau lebam, bukan yang pakai glitter atau blush-on!”
Ia sendiri ikut duduk di depan layar, menahan kantuk.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, tapi perintah Sebastian terus terngiang:
"Temukan dia. Berapapun harganya.”
Mata mereka mulai merah, bahkan salah satu staf hampir tertidur sambil duduk.
“Pak! Pak! Stop dulu! Mundur sedikit!”
Diko segera memutar ulang rekaman yang ditunjuk staf itu.
Di layar, tampak seorang wanita bergaun hitam panjang, berjalan agak tertunduk.
Rambutnya terurai, menutupi sebagian wajah Amira
Jantung Diko berdetak cepat sambil menatap layar komputer.
“Perbesar wajahnya!”
Staf memperbesar rekaman hingga wajah Amira yang terluka, terlihat sangat jelas.
Wanita itu masuk lift, turun ke lantai bawah dan keluar hotel.
“Akhirnya…”
Rekaman hanya menampilkan wajah Amira yang keluar hotel.
“Cek ke resepsionis. Tanyakan apakah ada taksi yang biasa digunakan untuk tamu hotel.”
Tak lama kemudian mereka kembali, membawa catatan kecil.
“Pak, resepsionis bilang perempuan itu naik taksi warna silver dengan plat nomor B 2176 QX."
Diko mengambil ponselnya dan menghubungi pihak taksi.
Supir taksi mengatakan kalau ia menurunkannya di terminal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!