NovelToon NovelToon

DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

01. MEREKA BERCIUMAN

ALVERA CORP—Bagian perusahaan dari Alverio Group yang berfokus pada Lifestyle, Brand Management, Strategic Finance

Hawa ruang rapat yang sejuk dan wangi aroma kopi premium nyaris tak mampu menenangkan degup jantung Nadhifa. Dia duduk di antara rekan-rekan barunya di Divisi Pemasaran, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Manajer Divisi. 

Setelah berbulan-bulan magang di divisi keuangan, kembali ke Alvera Corp dengan status karyawan tetap di divisi yang berbeda terasa seperti permulaan baru yang mendebarkan.

Tiba-tiba, suasana hening. Perhatian semua orang tertuju ke pintu yang terbuka. Sosok tinggi tegap dengan aura kepemimpinan yang kuat melangkah masuk, diikuti oleh seorang pria lain yang membuat Nadhifa hampir tersedak napasnya. 

Itu adalah Alaric Alverio, CEO Alverio Group sekaligus putra mahkota Kerajaan Alverio. Namanya begitu legendaris, bahkan saat Nadhifa magang dulu, dia hanya pernah melihatnya dari kejauhan.

Tapi yang membuat matanya terpaku justru pria di samping Alaric.

“Selamat pagi, semuanya,” ujar Alaric dalam dan berwibawa, memecah kesunyian. “Saya tidak akan banyak basa-basi. Tim Pemasaran kita akan mendapat tambahan darah baru sekaligus pemimpin untuk proyek khusus yang sedang kita garap. Izinkan saya memperkenalkan,” ujarnya sambil menepuk pundak pria di sebelahnya, “Renzo Alverio.”

Desis kecil terdengar dari beberapa perempuan di ruangan itu. Nadhifa sendiri merasa dadanya berdebar kencang. 

Renzo Alverio. 

Dia pernah mendengar namanya sekilas, sepupu Alaric yang dikenal kurang tertarik dengan bisnis keluarga. Tapi melihatnya secara langsung adalah pengalaman yang berbeda. 

Wajahnya tampan dengan sorot mata yang tajam namun menyimpan kesan hangat, mirip dengan Alaric, terutama pada garis rahang dan senyumannya.

“Renzo akan bertindak sebagai ketua tim untuk proyek kolaborasi kita dengan brand internasional bulan depan. Dia membawa segudang ide segar, dan saya percaya kalian semua akan bisa bekerja sama dengan baik,” lanjut Alaric.

Renzo kemudian melangkah sedikit ke depan, senyum ramahnya terpancar. “Morning, All. Senang akhirnya bisa bekerja sama dengan tim yang hebat. Panggil saja Renzo. Saya berharap kita bisa berkolaborasi dengan baik, tidak hanya sebagai atasan dan bawahan, tapi juga sebagai rekan satu tim.”

Suaranya terdengar menenangkan dan bersahabat. Nadhifa mengamati caranya berbicara, percaya diri namun tidak sombong. Benar-benar berbeda dengan gambaran ‘anak bos’ yang sering dia dengar.

Tak lama setelah perkenalan singkat, Alaric dan Renzo pun meninggalkan ruangan untuk rapat lebih lanjut di dalam. Ruangan kembali riuh dengan bisik-bisik.

“Wah, dia gantengnya nggak ketulungan ya?” bisik seorang rekan di sebelah Nadhifa.

“Iya! Aura-nya beda banget sama Pak Alaric, lebih ... hangat, gitu.”

“Tapi lihat nggak tadi, mereka berdua keliatan banget dekatnya. Padahal kan sepupu.”

Nadhifa hanya mengangguk kecil, pikirannya masih melayang pada sosok Renzo. Tapi kemudian, obrolan di sebelahnya menarik perhatiannya.

“Katanya sih, mereka berdua itu nggak cuma sepupu, tapi juga udah kayak saudara kandung sejak kecil,” bisik seorang karyawan senior. “Renzo ini kan lebih sering dirawat dan dibesarkan sama ibunya, Ibu Adelina. Dan dia anak tunggal. Jadi ya, tumbuh bareng sama Alaric.”

“Ibu Adelina? Itu ibunya Renzo? Sayang banget ya sama Renzo pasti?” tanya rekan yang lain.

“Nggak, itu ibu tirinya. Ibu kandungnya kan Vivianne. Tapi katanya, hubungan Renzo sama ibu kandungnya sendiri kurang baik. Ibu tirinya, Ibu Adelina, itu yang ngasih dia kasih sayang penuh. Sampe-sampe, karena suatu penyakit, Ibu Adelina nggak bisa punya anak lagi, jadi Renzo dianggap seperti anak kandungnya sendiri.”

Mendengar itu, serpihan informasi yang pernah Nadhifa dengar tentang keluarga Alverio mulai menyambung. Keluarga yang tampak sempurna di luar, ternyata memiliki dinamikanya yang kompleks. 

Seorang anak dengan dua ibu. Satu yang penyayang namun bukan ibu kandung, dan satu lagi ibu kandung yang justru digosipkan bersikap seperti ibu tiri karena obsesinya pada warisan.

Duduk di kursinya, Nadhifa merenung. Di balik senyum ramah dan ketampanannya, ternyata Renzo menyimpan cerita hidup yang tidak sederhana. 

Rasa penasarannya pada pria itu mulai membuncah, bukan lagi hanya sebagai ketua tim barunya, tetapi sebagai seorang lelaki yang dibesarkan dalam bayang-bayang perseteruan warisan dan dilema kasih sayang dua ibu. 

Gosip bahwa dia dan Alaric sangat dekat pun kini masuk akal. Mereka bukan hanya sepupu, tapi seperti saudara yang diikat oleh pengasuhan yang sama.

Dia menarik napas dalam-dalam. Dunia Alverio ternyata jauh lebih dalam dan rumit dari yang pernah dia bayangkan.

Dan entah mengapa, sosok Renzo Alverio tiba-tiba terasa seperti sebuah misteri yang ingin sekali dia pecahkan.

...***...

Senja mulai menyapa kota besar itu. Nadhifa baru saja menyelesaikan sholat Ashar di mushola kecil di lantai 20, lantai paling atas sebelum rooftop. 

Ruang kerja di lantai 11 sudah hampir sepi, hanya tersisa beberapa rekan yang masih menyelesaikan tugasnya. Nadhifa mematikan komputernya, berencana pulang lebih awal hari ini.

Saat sedang memindahkan tas kerjanya ke bahu, pandangannya tertangkap pada sebuah pemandangan yang tidak biasa. Dari kursinya yang kebetulan menghadap langsung ke koridor executive, ia melihat sosok tinggi tegap yang tak asing lagi.

Alaric Alverio.

Aneh, pikir Nadhifa dalam hati. Seingatnya, Alaric sangat sibuk mengurusi induk perusahaan, Alverio Group, dan jarang sekali muncul di Alvera Corp, apalagi di jam-jam seperti ini.

Alaric tidak terlihat buru-buru. Malah, dia berjalan dengan santai menuju ruang kerja Renzo. 

Sebelum mengetuk, sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Dia langsung masuk tanpa menunggu jawaban.

Nadhifa, yang terpaku di tempat duduknya, tanpa sengaja mendengar suara obrolan hangat yang samar-samar dari balik pintu. Tertawa kecil. Suara Renzo yang biasanya tenang terdengar lebih cerah.

“Sepertinya mereka benar-benar dekat,” gumam Nadhifa, teringat gosip yang beredar tentang ikatan mereka yang seperti saudara kandung.

Tiba-tiba, gerak-gerik di balik tirai bambu yang menjadi partisi ruang Renzo menarik perhatiannya. Tirai itu tidak benar-benar rapat, terdapat celah-celah kecil. Dari posisinya, Nadhifa bisa melihat siluet dua figur di dalam.

Dia melihat Alaric melangkah mendekati Renzo. Lalu, yang terjadi selanjutnya membuat Nadhifa terbelalak, napasnya tersangkut di tenggorokan.

Dia menyaksikan Alaric dan Renzo. Dua sosok yang dikenalnya sebagai sepupu. Berpelukan erat, dan dalam sekejap, kepala mereka mendekat ... berciuman.

Astagfirullah!

Nadhifa langsung memalingkan muka, dadanya berdebar kencang seperti baru ditabrak mobil. Pipinya memerah membara, lebih karena rasa malu dan paniknya sendiri daripada yang ia saksikan.

Dia buru-buru berdiri, menjatuhkan pulpen yang ada di pangkuannya. Dengan tangan gemetar, dia mengambilnya sementara otaknya berputar kencang.

“Ya Allah, apa yang barusan aku lihat? Itu ... itu bukan ciuman antara saudara, 'kan? Tapi ... mereka 'kan sepupu? Atau...?”

Dia merasa seperti telah mengintip rahasia yang sangat pribadi, sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui.

Tanpa berpikir panjang, Nadhifa mengambil tasnya dan nyaris berlari menuju lift. Jari-jarinya menekan tombol ‘L’ berkali-kali, berharap lift cepat datang.

Dia terus beristighfar dalam hati, berusaha menenangkan diri yang campur aduk. Rasa bersalah karena ‘mengintip’ dan ingin tahu yang terlanjur membara membuatnya kalut.

Dunia Alverio yang semula tampak seperti drama keluarga yang rumit, kini tiba-tiba berubah menjadi sebuah labirin rahasia yang jauh lebih dalam dan gelap dari yang pernah ia bayangkan.

Dan tanpa sengaja, dia baru saja mengintip salah satu pintunya.

02. ANAK HARAM SANG KAKEK

Aroma kopi robusta menggantung di udara pantry yang lapang. Nadhifa menikmati secangkir kopi susunya di bar stool tinggi, mencoba menyegarkan pikiran di tengah jam istirahat yang singkat. Pikirannya masih berkutat pada laporan pemasaran ketika pintu pantry terbuka.

Sosok Renzo Alverio masuk dengan langkah santai. Mata mereka berpapasan.

“Siang,” sapa Renzo dengan senyum yang sama ramahnya seperti saat perkenalan pertamanya.

“Siang, Mas,” balas Nadhifa cepat.

Renzo mendekat, mengulurkan tangannya. “Renzo. Kita belum sempat berkenalan lebih dekat.”

Nadhifa melihat tangan yang terulur itu. Dalam sekejap, semua norma yang diyakininya berteriak. Dengan malu yang sopan, dia hanya mengangguk halus dan merapatkan kedua tangannya di pangkuan.

“Saya Nadhifa. Maaf, nggak apa-apa kalau cukup dengan anggukan saja?” ujarnya lembut.

Renzo menarik tangannya, tidak terlihat tersinggung. Malah, matanya berkedip penuh pengertian. “Oh, tentu aja. Nggak masalah. Jangan terlalu formal sama gue.”

Rasanya lega. Berbeda dengan Alaric yang aura jaga jaraknya begitu kuat, Renzo justru memancarkan energi yang hangat dan mudah didekati.

Dia lalu berpindah ke mesin kopi di sebelah tempat duduk Nadhifa, mulai menyeduh kopi untuk dirinya sendiri.

“Gue kuliah di Los Angeles,” ujarnya tiba-tiba, memecah keheningan. “Baru lulus, langsung disuruh pulang dan terjun ke sini. Jalur orang dalam, typical.” Renzo menambahkan dengan sedikit senyum kecut, seolah mengakui privilege-nya tanpa mau menyembunyikannya.

Nadhifa pun tak bisa menahan senyum kecil. Kejujurannya disampaikan dengan cara yang charming. “Itu bukan hal aneh lagi di sini. Banyak kok,” godanya ringan.

Renzo tertawa. “Benar. Tapi tetap aja, tekanan untuk langsung ‘bisa’ itu besar.” Dia kemudian menoleh kepada Nadhifa. “Kalo lo? Udah berapa lama di Alvera?”

“Aku? Baru tiga bulan. Tapi dulu pernah magang di Divisi Keuangan,” balasnya mulai terdengar lebih santai.

Renzo mengangkat alis, tertarik. “Oh? Kenapa sekarang malah pindah haluan ke Pemasaran? Biasanya orang Keuangan bakal bertahan di zona nyamannya.”

Nadhifa mendadak merasa didengarkan dengan sungguh-sungguh. “Aku suka tantangan. Di Pemasaran, kita nggak cuma berurusan sama angka, tapi juga dengan orang, tren, dan cerita. Rasanya lebih ... dinamis.”

“Alasan yang bagus.” Renzo mengangguk, mengangkat cangkir kopinya. “Selamat datang di dunia dinamis yang kadang bikin pusing tujuh keliling,” candanya.

Sambil tersenyum membalas candaan itu, di dalam hati Nadhifa, sebuah bayangan gelap muncul. 

Dia memperhatikan profil Renzo yang ramah, tawanya yang hangat, dan caranya membuat orang lain merasa nyaman. 

Dalam diam, pikirannya berteriak. Tidak bisa dibayangkan, pria yang tampak begitu normal, hangat, dan baik ini ... menyukai sesama jenis, bahkan dengan saudara sedarahnya sendiri.

Rasa penasaran yang lama dipendam bercampur dengan sedikit rasa kecewa dan kebingungan. Dia buru-buru menepis pikiran itu, merasa tidak pantas menghakimi.

“Terima kasih,” ucap Nadhifa akhirnya, lalu meneguk habis kopinya. “Maaf, aku ada laporan yang harus diselesaikan.”

Dia melompat dari bar stoolnya, memberikan senyum singkat sebelum berbalik pergi sambil membenarkan hijabnya. Jantungnya berdebar tidak karuan. 

Percakapan yang sebenarnya menyenangkan itu berakhir dengan pelariannya sendiri, karena dia tahu, semakin dekat dia dengan Renzo, semakin besar godaan untuk mengulik rahasia yang tidak seharusnya ia ketahui.

...***...

Cahaya lampu neon di langit-langit menerangi sepinya lantai 11. Hanya suara keyboard Nadhifa yang masih berdetak, memecah kesunyian. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikiran yang kusut karena laporan akhir yang tak kunjung rampung.

Suara pintu terbuka membuatnya terjaga. Dari balik layar laptop, ia melihat Renzo keluar dari ruangannya, wajahnya terlihat lelah namun tetap tenang. Tanpa diduga, pria itu bukannya menuju lift, malah berjalan mendekati mejanya.

Nadhifa langsung tegang. Jantungnya berdebar kencang, tidak karuan. 

Ada apa? 

Kenapa dia mendekat? 

Apa dia tahu kalau Nadhifa melihat sesuatu yang tidak seharusnya?

Renzo dengan santai menarik kursi dari meja sebelah dan mendudukkannya persis di seberang Nadhifa, menghadap ke jendela yang sudah gelap. Dia duduk, dan tatapannya yang jernih namun tajam tertuju padanya.

“Masih bertahan?” tanya Renzo, suaranya serak karena kelelahan.

“I-Iya. Laporan ini harus selesai malam ini,” jawab Nadhifa, berusaha terdengar normal sambil jarinya masih mengetik cepat.

Renzo mengangguk. “Gue perhatiin lo keliatan panik. Biasanya, kalo ada anggota tim gue yang kerja sampai larut, gue cuma pengin nemenin. Supaya mereka nggak merasa sendirian.” Ia tersenyum kecil. “Lagi pula, gue selalu yang terakhir pulang.”

Nadhifa merasa dadanya sedikit lega. Ternyata, itu alasannya. Bukan karena hal lain. “Terima kasih, Mas,” bisiknya.

Diam sejenak, sebelum Renzo memulai percakapan lagi. “Gue perhatiin, lo suka menyendiri. Bahkan saat istirahat, lo lebih sering di sini atau di pantry kecil, bukan di kafetaria. Boleh tau alasannya?”

Nadhifa menunduk. Dia tidak menyangka diperhatikan sedetail itu. “Aku ... biasa bawa bekal. Dan kadang tatapan mereka terasa nggak nyaman bahas soal hijabku,” akunya pelan, merujuk pada beberapa rekan yang kerap menyorotkan pandangan aneh pada hijabnya dan sikapnya yang pendiam.

Renzo malah terkekeh. Suara tawanya hangat di tengah kesunyian malam. “Nadhifa, itu bukan karena hijab lo.”

Nadhifa mengangkat kepala, bingung.

“Mereka kaya gitu karena lo yang terbaik di tim ini. Data-analis lo tajam, presentasi lo bersih, dan ide-ide lo segar. Mereka bukan nggak suka, mereka takut. Mereka pengin mojokin lo karena lo bikin mereka terancam. Mereka pengin lo ‘tumbang’.”

Kata-kata itu seperti siraman air segar. Nadhifa merasa dadanya yang sesak tiba-tiba menjadi lapang. Rasanya, selama ini dia salah membaca situasi. 

Ada perasaan hangat dan haru yang menyelimutinya. Di balik senyum ramahnya, Renzo ternyata adalah seorang pemimpin yang sangat peduli.

Mungkin karena rasa lega dan kehangatan yang tiba-tiba itulah, atau mungkin karena beban yang terlalu lama dipendam, kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Nadhifa, tanpa filter.

“Kalau begitu, mereka akan semakin ingin menjatuhkanku jika tahu ... bahwa aku adalah anak simpanan Tuan Ravenshire Alverio."

BRAK!

Kursi yang diduduki Renzo terpelanting ke belakang begitu ia berdiri secara reflek. Wajahnya yang biasanya tenang dan ramah kini pucat pasi, matanya terbelalak seperti melihat hantu.

“Apa?!” ujarnya terdengar parau, penuh dengan keterkejutan yang tak terbendung. “Tuan Ravenshire ... kakek gue? Lo ... Lo berarti ... Tan-te?”

Dia berdiri terpaku, memandangi Nadhifa yang kini menggigit bibirnya, menyesali ucapannya yang terlanjur meluncur. Ruangan yang tadinya dipenuhi kehangatan, kini berubah menjadi sunyi yang mencekam, dipenuhi oleh beratnya sebuah rahasia yang akhirnya terkuak.

“Diam-diam, lo adalah bagian dari keluarga kami?” gumam Renzo, masih tak percaya. “Tapi ... itu berarti…” 

Pikirannya langsung melayang pada konsekuensi yang jauh lebih besar, pada posisi Nadhifa, dan pada rahasia keluarganya yang ternyata lebih dalam dan gelap dari yang ia duga.

03. DIKASIH TAS MAHAL

APARTEMEN RENZO, ALVERIO LUX RESIDENCE

Suasana di apartemen mewah Renzo itu sunyi, hanya diisi oleh desis mesin pembuat kopi premium. Dari lantai tinggi ini, gemerlap lampu kota tampak seperti hamparan permata yang dingin, mencerminkan suasana hati Renzo.

Alaric, dengan mudahnya memasuki unit adik sepupunya ini, seolah itu adalah rumahnya sendiri. Dia berdiri di balik pulau dapur, serius menyeduh dua gelas kopi. Renzo duduk di bar stool, menatapnya dengan perasaan campur aduk.

“Lo nggak harus selalu datang setiap malam, Bang,” ucap Renzo, memecah kesunyian. Suaranya datar, tapi ada getar luka di dalamnya. “Lo udah punya istri, punya keluarga. Gue nggak mau jadi orang ketiga yang mengganggu.”

Alaric tidak langsung menjawab. Tangannya yang biasanya mantap memegang pena kontrak miliaran, kini terlihat menegang. Dia meletakkan kedua gelas kopi dengan agak keras hingga suaranya memecah kesunyian.

“Kenapa tiba-tiba?” ujar Alaric rendah, berbahaya. “Setelah semua ini? Kenapa sekarang lo memutuskan untuk ‘merelakan’ gue?”

Renzo menunduk, menatap pola marmer di meja dapur. Dia tidak bisa menjawab.

Tiba-tiba, Alaric beringsut mendekat. Gerakannya cepat dan penuh intensitas. Tangannya yang kokoh meraih kerah bathrobe putih yang dikenakan Renzo, menariknya hingga wajah mereka hampir bertemu. Nafasnya hangat menyentuh kulit Renzo.

“Ini karena Nadhifa, ya?” desis Alaric, matanya menyala dengan emosi yang tertahan lama. “Karena sekarang lo tahu ada ‘keluarga’ lain yang bisa lo jadikan tempat berlari? Karena lo merasa nggak sendirian lagi?”

Sekali lagi, Renzo diam. Diamnya seperti pengakuan.

Merasa diabaikan, amarah Alaric meledak. Tangannya yang lain meraih gelas kopi panas yang baru saja dia buat untuk Renzo. Dengan gerakan kasar, dia meremas gelas keramik itu di tangannya.

Crack!

Gelas itu pecah berantakan. Cairan kopi panas bercampur dengan pecahan keramik dan darah, mengalir deras dari telapak tangan Alaric. Luka lama di tangannya yang mungkin dari insiden sebelumnya, kini terbuka kembali, diperparah oleh tusukan pecahan gelas.

“Alaric!” teriak Renzo, melompat dari kursinya. Panik dan rasa bersalah menghantamnya bertubi-tubi. Dia buru-buru mengambil kotak P3K.

Dia mencoba meraih tangan Alaric yang berlumuran darah, tapi dengan kasar ditepis.

“Jangan sentuh gue!” geram Alaric, mendorong tangan Renzo. 

Wajahnya yang biasanya dingin dan terkendali, kini memerah oleh rasa sakit dan kemarahan yang tak tertahankan. Dia memandang Renzo dengan tatapan yang menghakimi dan penuh luka.

“Lo yang memutuskan, Ren. Tapi jangan berlagak korban seolah gue yang ninggalin lo. Gue yang terikat, gue yang harus hidup dalam kebohongan, dan sekarang ... lo yang mundur.”

Dengan langkah goyah, dia berbalik dan meninggalkan apartemen Renzo, meninggalkan pintu terbuka lebar dan jejak tetesan darah di lantai yang mengkilap.

Renzo terjatuh berlutut di tengah kekacauan itu. Tangannya yang bersih secara fisik, merasa kotor. Dia yang seharusnya merasa kecewa karena ditinggalkan, justru merasa seperti pendosa yang telah menyakiti orang yang paling dia sayangi. 

Dengan tangan gemetar, dia mulai membersihkan genangan kopi dan kaca yang pecah, sementara rasanya luka di hatinya jauh lebih dalam dan lebih perih dari luka di tangan Alaric.

***

Renzo berjalan santai di mal eksklusif, menikmati hari liburnya yang jarang didapat. Matanya tertarik pada sebuah tas kulit putih dengan gagang perak dengan desain elegan yang dipajak di etalase toko brand ternama. Saat ia hendak mendekat, dari sudut matanya, ia melihat sosok yang familiar.

Nadhifa Azzahra.

Dia berdiri persis di depan toko yang sama, terpana menatap tas yang sama, dengan ekspresi takjub bercampur ngeri. Mungkin sudah melirik label harganya.

“Nadhifa?” sapa Renzo, membuat gadis itu menoleh kaget.

“Mas Renzo! Selamat siang,” sahutnya cepat, sedikit kikuk.

“Siang. Lagi lihat-lihat?” tanya Renzo ramah.

“I-iya. Cuma lihat aja,” jawab Nadhifa malu-malu.

“Kebetulan, gue lagi bingung mau cari hadiah buat Mommy. Mau bantu pilih?” tawar Renzo, mencoba mencairkan suasana. “Gue butuh second opinion.”

Nadhifa ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. Dia mengikuti Renzo masuk ke dalam toko yang lantainya dari marmer mengilap dan berbau leather mewah itu. Nadhifa sendiri hampir tercekat melihat bandrol harga yang terpajang. Angka-angkanya membuatnya pusing.

Renzo dengan santai langsung menuju koleksi tas wanita. 

“Jadi, kamu sebut ‘Mama’ untuk ibu kandungmu, ya, Mas? Aku denger dari teman kerja soalnya," ujar Nadhifa penasaran, mencoba memahami dinamika keluarga Renzo.

Renzo mengangguk sambil mengamati sebuah tas. “Iya. ‘Mama’ itu Vivianne, ibu kandung. Kalo ‘Mommy’ itu Adelina, ibu tiri yang udah anggap gue kaya anak kandungnya sendiri. Gue lebih dekat sama Mommy.”

Penjelasannya sederhana, tapi Nadhifa bisa merasakan kompleksitas di baliknya.

Matanya kemudian tertuju pada sebuah tas berwarna coklat tua dengan jahitan rapi. “Itu bagus, Mas. Klasik, elegan. Cocok buat ... ‘Mommy’,” ucap Nadhifa, sudah bisa menebak mana yang lebih disayangi Renzo.

Renzo tersenyum. “Deal.” Dia langsung meminta sales untuk mengambilkannya.

Sambil menunggu, Renzo berjalan ke sisi lain. Pandangannya tertumbuk pada sepasang sepatu Brogue yang sangar. Rasanya sangat cocok untuk Alaric. Tapi dia menghela napas, mengusik pikiran itu, dan memalingkan muka. Dia harus menjaga jarak.

Di dekat kaca, sebuah tas berwarna putih dengan gagang perak menarik perhatiannya. Simple, cantik, dan terlihat kuat. Tanpa pikir panjang, dia mengambilnya.

Setelah membayar semua barang—tas coklat untuk Adelina, tas coklat model lain untuk Vivianne atas saran Nadhifa, dan tas putih itu—mereka pun keluar dari toko.

Nadhifa masih terlihat agak pucat. “Mas Renzo, tadi ... tadi kamu nggak lihat harganya dulu?” gumamnya merasa bersalah karena dia memilihkan dan Renzo langsung mengambil.

Renzo hanya tersenyum. “Hadiah itu soal niat, bukan angka, Dhifa. Yang penting tulus.”

Lalu, dengan gerakan tak terduga, dia menyodorkan tas mewah berisi tas putih itu kepada Nadhifa. “Ini buat lo.”

Nadhifa membelalak. “A-Apa? Nggak, Mas! Aku nggak bisa menerima ini!” tolaknya hampir panik. Dia bahkan sempat melihat harga tas itu, 55 juta rupiah. Lebih mahal dari tas yang dibeli untuk ibunya!

“Kenapa nggak? Ini hadiah karena lo udah bantu milih.”

“Tapi … itu terlalu mahal! Aku nggak pantas!”

Renzo tidak mendengarkan. Dengan lembut tapi pasti, dia mengambil tas itu dan mengalungkan tali tas itu ke pundak Nadhifa yang kaku.

“Cocok,” katanya, dengan senyum manisnya yang khas, mata yang berbinar. 

Sebelum Nadhifa bisa protes lebih lanjut, Renzo sudah berbalik dan berjalan menyusuri koridor mal, meninggalkannya begitu saja.

“Mas Renzo! Tunggu!” teriak Nadhifa, tapi pria itu hanya melambai tanpa menoleh, senyumnya masih tergambar jelas. 

Nadhifa berdiri terpaku, dengan tas seharga mobil bekas tergantung di pundaknya, merasa seperti dalam mimpi yang sama sekali tidak nyata. 

Degup jantungnya berdebar kencang, campur aduk antara rasa bersalah, kaget, dan sebuah kehangatan aneh yang mulai merayap di hatinya.

“Ingat Nadhifa, dia itu punya darah Alverio juga kaya kamu,” gumam Nadhifa yang tadinya senang jadi sesak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!