Di sebuah pelosok desa terpencil, tepatnya di dalam kebun yang jauh dari ramainya desa, kini seorang wanita cantik sedang bertaruh antara hidup dan mati demi melahirkan belahan jiwa.
Aroma usang gubuk tua itu mengikat tubuhnya, dengan kedua kaki yang telah terpasung. Wajahnya kusam. Sorot mata itu sayu menahan luka. Tubuhnya diam, namun jiwanya berontak.
Erangan kuat menyamai suara tangisan sosok bayi laki-laki yang baru saja lahir dengan sendirinya. Tubuh yang semula terkoyak, kini berhasil melunak kala mendengar suara tangisan bayi berjenis kelamin laki-laki.
Mungkin saking cukup lelahnya, antara setengah sadar wanita tadi mendengar suara derap langkah seseorang yang diam-diam masuk. Dan samar-samar ada suara gumaman seseorang yang menginterupsi agar bayi malang itu segera di pindahkan.
Namun sebelum bayinya dibawa pergi, wanita tadi sempat mencolek sisa darah yang mengalir dari kedua kakinya untuk ia tekankan pada lengan sang putra.
Disisa tenaganya, wanita tadi bersuara. "Dimana bayiku?!" Suaranya nyaris patah. Sisa tenaganya nyaris habis. Pandanganya semakin sayu, bahkan terhalang oleh banyaknya keringat yang keluar. Anak rambutnya sudah lusuh acak-acakan.
Suara derap langkah terakhir itu berhenti tepat didepan mata wanita malang tadi. Pria yang mengenakan kemeja digulung siku, menunduk dengan menopangkan sebelah satu kakinya. "Bayimu sudah mati!" Tekanya sembari mengulas senyum remeh.
Wanita malang itu berontak. Tangisan, raungan, kini memecah ruangan sepetak itu. Hatinya terasa sakit, serta jiwanya terkoyak hebat. Belum sempat jemarinya menyeret sang bayi untuk ia dekap, namun para iblis berkedok manusia itu sudah lebih dulu mengambil bayinya.
"Kamu bukan sosok suami! Kamu iblis!" Teriak wanita tadi.
Tak mengindahkan, pria tadi malah mengadakan tanganya keatas, mengisyaratkan pada sang asisten untuk mengambilkan sesuatu.
Sebuah benda kecil bewarna hitam mengkilap dengan senapan tajam, kini sudah tergenggam ditangan pria tadi. Senyumnya merekah sinis, lalu bangkit sambil ia usap pelan.
"Ucapkan selamat tinggal, karena setelah ini kau akan menyusul orang tuamu! Dan aku sudah pernah bilang sama kamu, jika sejak dulu pun aku tak pernah mau menikahi wanita cacat sepertimu!" Pria tadi mengambil nafas untuk menjeda kalimatnya beberapa detik. "Sudah miskin, tapi tidak tahu diri."
Sementara wanita tadi, ia hanya mampu terpaku diam. Sorot matanya menatap lurus namun kosong. Wajahnya terhambar sudah lelah, bahkan menjawab pun ia tiada selera. Hanya senyap, kosong, bak ia hidup didalam jiwa yang telah lama mati.
DOR!
DOR!
Pelatuk ditarik, hingga timah panas itu berhasil menembus dinding otak wanita tadi. Tidak hanya satu tembakan. Dua tembakan dalam waktu bersamaan melesat kuat, hingga mengeluarkan darah segar mengalir hingga ke wajahnya.
Secara perlahan, wanita itu terjatuh, sakit, panas, lalu perlahan matanya tertutup. Namun, samar-samar ia masih mendengar dua pria tadi tertawa iblis menertawakan kematiannya.
"Tuhan, beri aku kesempatan hidup kembali. Aku tidak terima harus mati mengenaskan dalam tangan iblis itu." Gumam batinnya sebelum ia benar-benar gugur.
Pemakaman di lakukan secara privat, dan di hadiri oleh keluarga inti saja.
Dan kini, nama Ayu Maheswari hanya menjadi kenangan pedih yang tak berkesudahan. Wanita cantik itu rela menawarkan pernikahan kepada putra Tuan Galuh Adipati, demi membebaskan sang Ayah dari jerat hutang kala memenuhi kebutuhan sakit Ibunya semasa hidup dulu.
Namun, Ayu tidak pernah mendapatkan keadilan sebagai sosok Istri di tengah-tengah keluarga terpandang itu. Ia dibawa suaminya-Damar Adipati pindah ke sebuah desa terpencil di daerah Jawa Tengah.
Ayu di makamkan di pemakaman khusus keluarga besar Adipati, sebab tidak ingin beberapa orang desa mencurigai keluarga terpandang itu.
*****
Perlahan namun pasti, Ayu kembali mengerjakan matanya. Tubuhnya terasa lemah, dengan hembusan nafas lirih menyertai. Begitu pandanganya terbuka sempurna, alangkah terkejutnya ia melihat sosok suaminya-Damar, ia tengah berdiri kaku menatapnya. Namun, Damar tidak sendiri. Ada wanita cantik yang kini juga menatap kearah Ayu dengan wajah muak, sambil mengapit lengan Damar.
Jelas saya Ayu tersentak. "Bagaimana bisa dia ada di hadapanku? Bukanya aku sudah mati setelah di tembak tadi?" Ayu masih menatap bingung orang-orang di sekelilingnya, ketika parubaya wanita yang kini berdiri dikiri ranjang menatapnya nyaris menangis.
"Non Rumi ... Syukurlah Nona sudah siuman. Bibik ikut bahagia," kata parubaya wanita tadi, berdiri agak berjarak, namun tatapanya penuh rasa syukur.
"Rumi? Siapa Rumi?" Ayu masih belum menyadari jika ia terbangun di tubuh gadis yang bernama Rumi.
Dari arah luar, derap langkah kian menggema semakin dekat masuk dalam ruangan yang penuh aroma obat itu. Sosok pria setengah baya kira-kira berusia 55 tahunan, memakai pakaian formal, kini berhenti di samping ranjang menatap Ayu dengan tatapan dingin. "Syukurlah jika sudah sadar!" Suara parubaya itu begitu tenang, datar, tanpa ada tatapan kasih sayang di dalamnya.
Setelah itu pria parubaya tadi menoleh kepada sang Pelayan. "Jaga Rumi, Bik! Saya mau keluar menemui Dokter dulu!"
Baru saja Parubaya tadi menginjakan kakinya diambang pintu, tetiba saja Ayu memekik suaranya. "Saya bukan Rumi!"
Wanita yang berdiri disamping Damar, ia sontak saja menatap kaku terheran. "Apa maksud kamu?! Berlagak lupa ingatan setelah koma 1 bulan."
Tanpa menoleh, parubaya tadi langsung melanjutkan jalannya keluar. Dalam pikiranya, mungkin putri angkatnya itu masih belum sepenuhnya sadar dari siumannya.
Damar mengusap lengan kekasihnya. Bukan kekasih, Namun lebih tepatnya sang selingkuhan. "Mungkin Rumi masih belum sepenuhnya sadar. Kau harus memakluminya." Kata Damar begitu lembut. Dan baru hari itu ia mendengar sendiri suara suaminya bagaikan kapas yang terbawa angin. Tenang, penuh kelembutan.
"Kalian berdua benar-benar manusia durjana. Bagaimana mungkin Damar dapat setenang itu setelah membunuhku?!" Batin Ayu menolak itu. Sorot matanya sejak tadi tampak asing, penuh rasa muak menatap dua orang didepannya.
"Sudah benar kamu koma untuk selamanya! Muak sekali aku melihatmu siuman, Rumi!" Kecam wanita tadi.
Ayu yang terjebak dalam tubuh Rumi hanya mampu diam sejenak, sebelum lidahnya merajam jantung saudaranya itu.
"Kenapa? Kau takut melihat aku sudah kembali? Mungkin setelah ini aku akan hidup lebih kuat! Aku tidak terima kalian menjadikan aku sebuah boneka yang dengan bebas kalian mainkan!"
Wanita bernama Raisa itu sungguh terkejut melihat perubahan saudara angkatnya. Ia menatap kekasihnya sekilas, lalu kembali menatap Ayu seakan tidak terima.
Bik Asih-sang Pelayan juga dibuat menganga dengan perubahan sikap Nona mudanya. Sorot mata tuanya sampai melekat, seolah tengah memastikan wanita cantik yang saat ini tengah bersandar benar-benar Nonanya atau tidak.
"Non Rumi baik-baik saja?" Bik Asri hanya memastikan. Suaranya pelan, selalu menjadi garda terdepan setiap kali keluarga besar itu menyakiti Rumi.
Ayu mengangguk. "Tidak ada yang perlu Bibi cemaskan. Aku lebih dari baik-baik saja," katanya sambil menatap sang pelayan penuh kasih.
Raisa masih menggeram. Ia berjalan lebih dekat. Niatnya ingin mencengkram lengan adiknya, namun Ayu lebih dulu menampiknya. Meski tubuhnya masih terasa lemah, namun ia tidak ingin melihat Rumi kesakitan karena ulah keluarganya.
"Kamu sudah berani sama aku, Rumi?!" Tangan Raisa menggantung, lalu ia tunjuk wajah adiknya dengan guratan penuh rasa kebencian.
Damar melerai. Ia tarik secara lembut lengan kekasihnya. "Lebih baik kita keluar, dan biarkan Rumi beristirahat terlebih dulu!"
Raisa mendesah kasar. Menaikan tas lengannya yang tadi sempat terjatuh. Lalu segera berjalan keluar dengan langkah kasar.
Sementara Ayu-ia membeku melihat bagaimana suaminya memperlakukan wanita tadi dengan penuh kelembutan. Dan kini ia tahu, rupanya ia terjebak di tubuh adik angkat dari selingkuhan suaminya.
Parubaya bernama Pak Darma Suseno itu menghentikan langkahnya kembali, setelah keluar dari ruangan Dokter. Putri sulungnya menghampiri, menatapnya penuh rasa tidak terima.
"Ada yang tidak beres dari otak putri Papah setelah dia siuman! Bagaimana bisa dia berani membantah ucapanku, jika dulu saja hanya dapat diam dan menangis!" Raisa menahan nafasnya dalam-dalam, mencoba tenang meski bantahan kalimat Rumi berputar dalam ingatannya.
Pak Darma masih terdiam untuk kesekian detik. Wajahnya tenang bak air danau, hingga lemparan batu kecil itu mengubah ketenangannya. "Semua orang bebas mengekspresikan apa yang dia rasakan! Dan tidak selamanya Rumi akan diam melihat sikap kolotmu!" Kecamnya.
Raisa semakin melotot. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa sang Ayah malah membela adik angkatnya ketimbang putri kandungnya sendiri. Sedangkan ia menghampiri Ayahnya demi untuk mencari perlindungan agar sang Ayah membelanya. Dan Raisa rasa, Ayahnya juga berlaku dingin. Entah apa yang terjadi dalam keluarganya itu.
Tak mempedulikan kemarahan sang putri. Pak Darma berlalu begitu saja. Sebagai sang Ayah, Pak Darma salah satu sosok manusia yang tidak begitu menyikapi masalah rumah apalagi hubungan satu-persatu keluarganya. Pria berusia 55 tahun itu lebih banyak diam. Menyepi. Bahkan selalu menolak untuk berbagi momen kehangatan yang tercipta.
Pak Darma seolah hidup dalam raga yang jiwanya telah mati.
Raisa menggeram lebih kuat. Kali ini kemarahannya tidak dapat terkontrol lagi. Namun begitu tangan Damar mengusap lengannya berapa kali, entah mengapa ia merasa sedikit tenang. "Mikirin Rumi membuat aku hampir gila!"
Damar hanya mampu mendesah dalam. Jika sudah begini, jalan satu-satunya hanya menawari kekasihnya itu untuk belanja. Raisa paling tidak bisa menolak kartu hitam ditangan Damar.
"Lebih baik kita belanja saja! Kau bilang ingin membeli tas terbaru? Ayo kita kesana, karena aku telah memesankannya untukmu."
Raisa seketika berbinar. Ia menoleh dan tiba-tiba mengecup singkat pipi Damar. "Kita pergi saja sekarang! Lama-lama disini aku bisa gila."
Damar mengangguk. Sedikit tersenyum lalu lengannya ditarik kembali oleh Raisa.
*
*
Sementara di ruangan ICU, Dokter baru saja tiba. Ia tampak serius memeriksa tubuh Rumi yang masih terlalu lemas.
Hanya ditemani Sang Ayah dan satu Maid dari rumah. Ayu yang berada dalam raga Rumi, menatap asing, diam, namun ia dapat merasakan kehangatan dalam jiwa Rumi yang hampir terkubur. Sering kali di abaikan, di acuhkan, bahkan tak pernah dianggap ada, Ayu dapat melihat kala Rumi sering diam-diam menangis sendiri di dalam kamarnya. Namun hari ini, entah mendapat dorongan dari mana, Pak Darman mau melihat keadaan putrinya.
"Tunggu 1 jam kedepan, baru setelah itu boleh di pindahkan!" Dokter tadi melepas stetoskopnya, menatap Pak Darma dengan serius.
"Baik, Dokter!"
Dokter wanita yang mengenakan jilbab ungu muda, kini menatap Rumi yang sudah berusaha ingin bangkit sendiri. "Jika belum terlalu kuat, jangan dulu di paksakan! Tidak boleh berpikir keras terlebih dulu. Lekas membaik, Rumi!" Dokter wanita itu tersenyum hangat. Yang mana Ayu rasa Dokter tadi adalah Dokter khusus yang merawat sakitnya Rumi.
Setelah kepergian Dokter, ruangan itu kembali hening. Ketiga orang didalam itu hanya mampu diam larut dalam pikiranya masing-masing.
Pak Darma duduk di sofa sambil membaca majalah yang tersedia. Meskipun pandangannya tampak serius, namun ia juga menyadari sikap aneh dari putri angkatnya itu. Tak halnya yang di rasakan oleh sang Maid. Pelayan tua itu bingung, bahwasannya ia kini tidak mengenali sikap lemah Nonanya. Seolah yang terbangun bukan lagi seorang Rumi.
"Kalau Non butuh sesuatu, bilang saja sama Bibik!"
Ayu hanya mampu mengangguk lemah. Ia yang memiliki sikap sopan, hanya mampu menatap segan, karena memang ia tidak mengenali siapa saja orang-orang tadi, kecuali suaminya-Damar.
***
Sementara di lain tempat, kini Damar dan Raisa masih dalam perjalanan menuju pusat perbelanjaan terbesar di kotanya. Wanita berusia 25 tahun itu masih menahan kesal, duduk diringi desahan nafas dalam.
Damar menoleh. Mengulas senyum tipis, lalu membelai sekilas wajah tirus kekasihnya. Bukan kekasih, lebih tepatnya selingkuhan.
"Hanya karena Rumi, kau masih kesal?"
Raisa berdecih. "Kau masih bertanya hanya karena Rumi?!" kesal Raisa memalingkan wajah sekilas. "Rumi sudah mulai membantah ucapanku, Damar!"
Pria tampan itu terkekeh tipis. Pas di pertigaan lampu merah, mobilnya berhenti. Ia sedikit menurunkan kaca mobilnya, menghirup udara sore yang begitu hangat.
"Ayah ... Hari apa Ibu akan melahirkan adik buat Anan?" Celetuk bocah kecil berusia 6 tahun yang memakai helm kecil, duduk didepan sang Ayah.
Pria muda seusia Damar, hanya mampu tersenyum dan begitu semangat untuk menjawab celoteh putranya. "Kenapa memangnya? Adnan sudah nggak sabar ya, punya adik?"
"Iya, Ayah. Nanti adik Anan akan Anan gendong," katanya sambil menunjukan gigi susunya.
Wanita hamil yang kini duduk dijok motor belakang, seketika menyambut obrolan kecil itu dengan senyum hangat.
"Ayah sayang sama Ibu?"
Pria tadi mengangguk dibalik helmnya. "Sayang banget! Ayah sayang Ibu, Adnan, sama calon adik yang di dalam perut."
Sungguh, bahagia yang tercipta begitu sederhana. Motor yang tidak begitu mewah, pakaian sopan tanpa merk terkenal, rupanya mampu menumbuhkan cinta, dan tidak semua orang bisa mendapatkannya, termasuk Damar saat ini.
Sejak tadi Damar hanya mampu menatap keluarga kecil tadi penuh luka. Entah mengapa bayangan saat pelatuk pistol itu ia lepaskan, kini berputar kuat bagaikan rekaman rusak yang tiada akhir.
Bayangan Ayu yang tengah menangis, menjerit kesakitan, bahkan hampir depresi karena siksaan yang ia serta keluarganya berikan setiap hari, kini semakin menyeruat dalam relungnya yang terdalam.
Padahal sejatinya, Ayu tidak pernah melakukan kesalahan fatal. Sebagai istri, meskipun tidak teranggap, Ayu tetap tabah menjalani hari-harinya sebagai pelayan. Meski begitu semuanya tidak cukup.
Entah dorongan dari mana, hingga kemurkaan berhasil mengalahkan akal sehatnya. Damar lagi-lagi dibuat gelisah akan kematian istrinya itu.
Dint!
Raisa menoleh kebelakang sekilas, lalu segera menyadarkan lamunan kekasihnya. "Damar, lampunya sudah hijau. Ada apa denganmu?!" Ucapnya menampakan wajah kesal.
Damar masih terdiam. Namun tanganya segera menekan gas, serta fokus kembali dalam kemudi.
Raisa tak mempedulikan itu. Ia masih teramat muak dengan perubahan adik angkatnya tadi. Suasana dalam mobil itu mendadak hening.
Damar masih teringat ucapan terakhir adiknya, sebelum Afan memutuskan pindah keluar negri.
"Baik, aku terima keputusan itu! Tapi ingat! Jika terjadi suatu hal menyakitkan kepada Ayu ... Kupastikan hidupmu hancur! Tidak peduli jika kau adalah kakakku!"
Pada saat itu Damar hanya terdiam. Kalimat ancaman itu terjabar begitu lugas, tenang, namun penuh kepemilikan yang tidak pernah tersampaikan.
Bagaimana jika Afan tahu jika Ayu sudah tiada. Dan bagaimana jika Afan tahu jika wanita yang begitu dekat dengannya itu kini hanya tinggal namanya saja.
Sementara di rumah sakit Abdi Bangsa Yogyakarta, di ruangan ICU. pukul 18.30 wib.
Kini Rumi baru saja dipindahkan menuju ruangan rawat VVIP lantai 8. Masih ditemani sang Ayah, dan Bik Asih, membuat Ayu yang terjebak di tubuh Rumi merasa kembali hidup di sekitar orang-orang yang menyayanginya.
"Kami permisi, Pak!" Dua Perawat tadi melenggang keluar, setelah memastikan semuanya tertata dengan baik.
Pak Darma hanya mengangguk. Ia berjalan menghampiri Rumi, menatap putri angkatnya begitu dingin. Mendapat tatapan asing itu, Ayu rasa sosok Rumi tidak memiliki hubungan dekat dengan pria yang mengaku sebagai Ayahnya. Ayu merasa kasian. Sedangkan semasa hidupnya, Ayu begitu kuat mendapatkan kasih sayang dari Ayahnya-Pak Fauzi.
Entah bagaimana sekarang kabarnya sang Ayah. Apakah Pak Fauzi tahu jika putrinya sudah tiada atau tidak. Ayu sangat merindukan kasih sayang Ayahnya.
"Bagaimana perasaanmu, Rumi?" Kalimat itu terasa dingin, namun ada rasa cemas yang tak mampu Pak Darma jabarkan lebih erat.
"Saya baik-baik saja!" Jawab Rumi secara acuh. Jiwanya yang sudah terganti dengan jiwa Ayu, kini yang ada hanyalah rasa sakit, luka, rasa berontak, bahkan dendam.
Saya? Rumi mengubah kalimat 'Aku' dengan kata 'Saya'? Dada Pak Darma sedikit berdesir nyeri, kala putrinya tak lagi merecokinya seperti waktu-waktu lalu.
"Bagus!" Katanya dingin. "Bik Asih menginap disini malam ini. Nanti Yono akan mengirimkan perlengkapan pakaian Bibi. Saya pulang dulu!"
Bik Asih menunduk segan. "Baik, Pak!"
Hentakan sepatu dengan dingingnya ubin begitu nyaring dalam pendengaran Rumi. Bagaimana bisa seorang Ayah tidak begitu mempedulikan keadaan putrinya, atau bersikap peduli dengan memberinya beberapa pertanyaan pendukung. Ayu masih belum dapat menemukan jawaban tentang keluarga barunya kini. Entah apa yang terjadi sebenarnya dengan sosok gadis bernama Rumi itu. Dan bagaimana gadis malang itu sampai berakhir di rumah sakit hingga koma.
Perlahan, Rumi mulai bangkit dari tidurnya. Ia menyibak selimut diatas tubuhnya, dan berkeinginan untuk turun. Namun belum sampai kakinya menapak keramik, Bik Asih lebih dulu menahannya.
"Non Rumi mau kemana?" Tanyanya cemas. Bik Asih segera berputar kearah kanan ranjang, dan bergegas menghadang jalan Nona mudanya.
Rumi tersenyum tipis. "Saya hanya mau ke kamar mandi!"
"Bibi bantuin ya, Non! Sebentar, Bibi ambilin dulu infusnya." Dengan cekatan, Bik Asih kini berjalan disamping tubuh Rumi, sedikit membantu langkah Nona mudanya yang masih begitu lemah.
"Ini, Non! Nanti panggil Bibi kalau sudah selesai, ya!"
Rumi hanya mampu mengangguk. Lalu pintu ia tutup dengan gerakan pelan.
Dan benar saja, begitu Ayu menatap cermin disisi dinding, ia tercengang melihat wajah cantik seorang Rumi. Sorot mata sendu dibalik lentiknya bulu mata indah. Serta hidung mancung bertengkar, bibir tipis berwarna pink alami, wajahnya putih kemerahan, semakin membuat kecantikan itu terpancar kuat. Namun, kecantikannya tertutupi oleh sikap lugunya.
"Rumi, kita sama-sama sakit karena perbuatan dua manusia durjana itu. Tolong, bekerja samalah denganku. Aku tahu, kau sejujurnya ingin berontak. Tapi kekuasaan lebih unggul dari pada statusmu saat ini." Lirih Ayu menatap kuat kearah cermin. Seolah ia kini tengah berbicara dengan Rumi, mengajaknya bersatu untuk membalaskan dendam. "Mulai sekarang, dapat kupastikan, tidak akan ada lagi yang dapat menindas kita."
Pintu terbuka kembali dari dalam. Dengan antusias, Bik Asih membantu sang Noa. Ia memegangi lengan Rumi untuk kembali ke ranjang.
'Mumpung sepi, aku harus mencari tahu apa yang terjadi dengan gadis ini. Aku yakin, Bik Asih pasti tahu semuanya.' batin Ayu begitu ia sampai di atas ranjang.
Bik Asih masih sibuk memasang kembali infus itu. Dan kini waktu sudah menunjukan pukul 17.30 wib.
Sambil merapikan barang diatas nakas, Bik Asih berkata, "Non, saya ambilkan air hangat ya?! Sudah mau petang, tadi Non belum bersih-bersih."
"Terimakasih, Bik! Tapi saya tadi sudah sekalian bersihkan badan." Ucap Rumi yang begitu agak segan. Kalimatnya begitu lugas dan tenang, hingga membuat Bi Asih sedikit terheran.
Bahkan, wanita tua itu sampai memalingkan wajah, menatap sang Nona seolah memastikan, benar tidaknya wanita yang duduk diatas ranjang sang Nona muda.
Rumi tersenyum tipis sambil mengernyit. "Apa ada yang salah dengan saya, Bik?"
"Non Rumi baik-baik saja, kan? Ini benar Non Rumi?!" Bik Asih sedikit berpikir, merasa bingung, sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Mungkin hanya perasaan saya saja, Non." Putusnya.
Rumi hanya mampu tersenyum tipis. Lalu kembali menoleh pada Bik Asih. "Bik," panggilnya penuh ketegasan. "Apa saya memang selalu sendiri seperti ini?" Ada nada kesedihan dibalik pertanyaan yang dilontarkan oleh Rumi.
Bi Asih terdiam sejenak. Merasa kalut, karena tidak biasanya sang Nona bertanya seperti itu. Sejak dulu pun, Nona mudanya itu selalu di acuhkan. Meskipun sama-sama mendapat fasilitas yang memadai, tapi waktu. Kasih sayang. Itu semua tidak pernah kedua orang tuanya berikan untuknya. Lalu, mengapa Nona mudanya itu sampai menanyakan hal yang sudah sering ia terima.
Pikir Bik Asih, mungkin karena Rumi baru saja sadar dari komanya. Jadi, agak sensitif. Demi menenangkan Nona mudanya itu, Bik Asih ikut duduk ditepi ranjang, lalu mengusap lengan Rumi.
"Non kan sudah tahu. Bukanya Bibi nggak mau jawab, Bibi hanya nggak ingin melihat Non semakin terpuruk. Nggak usah dipikirin yang selalu membuat hati Non sakit. Kan masih ada Bibi yang selalu dampingi Non Rumi."
Ayu semakin yakin, jika keluarga Rumi tidak ada yang begitu peduli dengannya. Nyatanya saja, tidak ada satu pun pihak keluarga yang menemani, atau bersikap empati terhadap sakitnya.
"Bik ... Apa benar pria tadi Ayah Rumi?" Tetiba saja Rumi berkata seperti itu.
Meskipun sedikit terasa janggal oleh beberapa pertanyaan Nonanya, Bik Asih dengan sabar menjawab dan menjelaskan. Lagi-lagi, mungkin Nona mudanya sedikit sensitif.
"Kok Non tanya begitu. Itu ya Papahnya Non. Siapa lagi?!" Kekeh Bik Asih mencairkan suasana.
"Papah? Tapi kenapa biasa saja melihat saya siuman, Bik? Dan ... Dimana Mamah saya? Lalu, wanita tadi siang bersama pria itu ... Siapa dia? Kenapa benci sekali dengan saya?" Dan lagi, pertanyaan polos itu tak mampu Ayu bendung, hingga membuat Bik Asih semakin agak takut.
"Non benar-benar nggak ingat? Apa perlu Bibi panggilkan Dokter?"
Rumi menghentikan gerakan sang Maid. Ia menggelengkan kepala cepat, "Tidak usah, Bik! Mungkin ... Saya masih sedikit pusing karena efek koma."
"Jangan di paksain buat mikir dulu, Non! Ibu ada di rumah. Semenjak Non koma, kesehatan Ibu sedikit menurun. Mungkin setelah tahu jika Non sadar, pasti Ibu sehat lagi." Bik Asih hanya ingin melihat Nona mudanya sedikit tenang. Lalu ada jeda sedikit, seolah berat sekali untuk menjawab. "Yang tadi, itu Mas Damar, calon tunangannya Non Raisa, kakak Non. Sikap Non Raisa yang tadi, jangan dimasukan dalam hati ya Non. Kan memang sikapnya sejak dulu selalu seperti itu sama Non Rumi."
"Apa? Calon tunangan?" Ayu sampai membekap mulutnya karena saking terkejut.
Melihat reaksi Nona mudanya, hal itu semakin membuat Bik Asih yakin, jika ada sesuatu yang ganjil dalam sikap Nonanya.
"Non kaget? Kan sudah sejak lama, Non. Memangnya kenapa?"
Ayu yang semula terkejut, kini berusaha menormalkan wajahnya semaksimal mungkin. Dadanya berdesir nyeri mendapati kebohongan yang disembunyikan suaminya selama ini. 'Ternyata mereka sudah tunangan? Ya Tuhan ... Rasanya sakit sekali. Jahat sekali suamiku. Mungkinkah kematianku juga rencana besar dari mereka?!' tanpa terasa air mata Rumi luruh begitu saja. 'Anaku? Aku yakin anaku masih hidup. Mereka pasti telah menyembunyikan bayiku. Aku tidak terima Tuhan. Berilah keadilan!'
Entah mengapa, melihat Nonanya menangis membuah Bik Asih juga ikut menahan sesag. Tangan keriputnya terulur mengusap lengan rapuh Rumi. "Menangis lah, keluarkan semuanya Non! Ada Bibi yang sayang sama Non."
Rumi yang membutuhkan bahu untuk bersandar, sontak saja menyandarkan kepalanya pada bahu lemah Bik Asih. "Apa sesakit itu menjadi Rumi, Mbok? Apa tidak ada yang peduli dengan sakit Rumi?"
Mbok Asih terdiam, membiarkan Nona mudanya menumpahkan semua sesag yang menyergap dada. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimana hari-hari menyedihkan menjadi Rumi.
"Ayah ... Lusa aku akan mewakili sekolah dalam ajang karate. Ayah bisa 'kan hadir?" Rumi sudah antusias membawa undangan untuk orang tuanya, berdiri dengan wajah cerah.
Bukanya menjawab tidak atau iya, Pak Darma hanya mengangkat tangan sebelah. Wajahnya tenang, tak menghiraukan, dan tetap asik menatap laptop kerja didepannya.
Jika sudah seperti ini, Rumi hanya mampu tersenyum getir, "Ya sudah, Rumi akan bilang sama Ibu saja!" Sejak dulu pun ia tidak diperkenankan memanggil kedua orang tuanya dengan sebutan Papah dan Mamah.
Bu Sintia sedang duduk tenang diruang tengah. Tampak fokus pada majalah yang ia pegang, sambil sesekali menyesap teh hangat.
"Bu ... Lusa Aku akan mewakili sekolah dalam perlombaan. Ibu bisa 'kan hadir? Ini pihak sekolah memberikan Ibu undangan," kata Rumi antusias sambil menyodorkan undangan dari sekolahnya.
Bu Sintia menoleh.
"Maaf Rumi, tapi lusa Ibu sudah hadir di sekolah Kakakmu." Jawab Bu Sintia begitu lembut. "Ibu bangga sekali, Kakaku mewakili sekolahnya dalam ajang dance. Pasti lusa penampilannya sangat memukau," tanpa peduli perasaan Rumi, Bu Sintia membayangkan penuh kagum. "Maaf ya, Rumi! Nanti biar Bik Asih saja yang nemenin kamu ke sekolah besok."
Rumi hanya mampu menelan kekecewaan kembali. Ia masih bisa tersenyum, meski dadanya terasa sesag. Dan hal itu bukan pertama kalinya ia mendapat menolakan. Sejak SMP pun, Rumi selalu di nomor duakan, sebab usianya dari sang Kakak hanya berselisih 2 tahun saja.
***
Sementara di kediaman megah Suseno, sudah sejak pukul 5 sore Pak Darma tiba di rumah. Dan seperti biasanya, ia selalu menyindiri di ruangan kerja yang berada di lantai 2.
Disana, Pak Darma menarik laci disisi meja kerjanya. Parubaya itu mengambil sebuah foto berukuran kecil, yang menunjukan hangatnya sebuah keluarga kecil yang baru saja menyambut kelahiran bayi perempuan. Jemarinya terangkat, mengusap hangat pada wajah wanita yang tengah duduk disamping suaminya. Dan bayi mungil itu. Bayi itu tampak nyaman dalam dekapan sang Ayah, ketika seseorang berhasil mengabadikan moment spesial itu.
Tes!
Tak terasa air mata Pak Darma luruh begitu saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!