Lampu neon merah dan ungu berpendar di seantero ruang. Dentuman musik deep house membuat lantai club bergetar, sementara aroma parfum mahal bercampur wangi alkohol yang khas. Tawa, gelas berdesing, dan bisik-bisik percakapan memenuhi udara malam itu.
Di salah satu meja VIP dekat kaca besar, seorang wanita bergaun malam berkilau duduk bersandar. Rambutnya acak-acakan, bibirnya tersenyum setengah mabuk, dan di tangannya secangkir wine hampir kosong. Dia adalah Seraphina Luna, putri tunggal keluarga terpandang yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian.
“Gue mau pulang…” suaranya lirih, namun cukup lantang sehingga teman-temannya tersenyum dan saling bertukar pandang.
Salah satu dari mereka tertawa ringan. “Santai, Sera. Kita tungguin lo sampai…”
Sera memotong dengan nada manja, “I don’t care. Gue mau pulang sekarang. Lo ngerti nggak?” sambil meraih tasnya. Ia sedikit limbung berdiri, lalu tertawa lirih.
Di meja sebelah, seorang lelaki muda berjas hitam rapi memperhatikan dari kejauhan. Dia duduk dengan tenang, setelan jasnya membuatnya tampak seperti bayangan misterius di tengah hingar bingar club. Temannya, yang duduk di seberangnya, berbisik sesuatu. Ia menunjuk ke arah Sera.
“Lo tahu dia?” tanya temannya dengan suara tenang.
pria itu menggeleng pelan. Di bahkan kini balas menatap temannya." Lo kenal ?
Temannya hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “ Yah, siapa yang gak kenal sama Seraphina Luna. Supermodel terkenal. Putri ketua partai besar. Lo nggak akan nyangka kalau dia ada di sini sendirian.”
kalleandra , pria itu menatap Sera diam-diam, lalu mengalihkan pandangan. Ia bukan tipe yang tertarik pada gosip, tapi ada sesuatu dalam aura wanita itu yang membuatnya penasaran. selain itu wajah si wanita terasa familiar untuk dia.
Beberapa menit kemudian, suasana di meja Sera berubah. Ia terhuyung saat berdiri, hampir jatuh, namun seorang lelaki berjas hitam sigap menangkap lengannya.
“Kamu baik-baik saja ?” suara itu rendah tapi sopan.
Sera menatapnya dengan setengah mata, setengah mengantuk. “Who… you? You mau bawa gue pulang?” ujarnya sambil tersenyum manja.
Lelaki itu mengangguk pelan. “Kalau kamu tidak keberatan, saya bisa membantu.”
Rupanya Bimo, temannya maju mendekat kearah meja dimana wanita itu dan teman-temannya berada.
" Kalau gitu antar aku pulang ?"
" Wait, kamu kenal Sera ?" salah satu teman dari Sera menahan langkah Bimo." kalau gak aku bisa telepon asistennya."
" No, gak usah. Jangan hubungi Si pria tulang lunak itu apalagi Sira. gue mau balik sendiri." tegas Sera menolak dengan nada tinggi meski tubuhnya limbung.
"Lo antar dia, Al."
Tiba-tiba saja Bimo malah menarik tangannya. Mendorong tubuhnya untuk mendekat kearah Sera.
"Kok gue ?" Kalle jelas kebingungan.
" Udah Lo aja, searah kan kayanya sama rumah Sera." timpal Bimo enteng.
"Loh, mana gue tahu. Rumah cewek ini dimana."
“Dokter?” Sera tertawa pelan. “Gue nggak sakit… gue cuma butuh tempat tidur.”
Dia menoleh sekali lagi, matanya menatapnya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Penampilan Sera nampak mengenaskan dengan mata merahnya.Tanpa bicara lebih banyak, ia membantu Sera berdiri tegak lalu memimpin langkahnya keluar dari keramaian club.
"Sial, kalian punya hutang sama gue."
gerutuan kalle terdengar oleh dua temannya yang hanya membalas dengan senyuman nakal.
Diam-diam tanpa mereka sadari ada kamera merekam semua momen. Momen yang nantinya akan menjungkirbalikkan hidup mereka berdua.
##############
pelan Kalle membuka pintu mobil dengan gerakan tenang. Sera, walau sedikit limbung, masuk dengan gaya dramatis seperti model yang sedang melenggang di runway. Ia meletakkan tasnya di kursi penumpang, lalu menarik napas panjang.
“Lo bawa gue kemana?” tanya Sera sambil menatapnya setengah tertawa, suara masih sedikit serak karena alkohol.
“Kasih tahu rumahmu di mana ?,” jawab Kalleandra, tetap dengan nada sopan. Ia menutup pintu, lalu memutar kunci mobil. Mesin mobil menyala, dan aroma interior mobil yang wangi bercampur dengan bau alkohol dan parfum Sera.
"Rumah ? no, aku gak mau pulang ke rumah ? bawa aku ke apartemen kamu saja gimana ? Please."
tangan Sera yang mencekal lengan kalle pun di hempaskan begitu saja.
Gila, yang benar aja dia ikut ke apartemen ? bisa rame nanti.
laju mobil di buat setenang mungkin. sebab kalle tak ingin membuat Sera merasa tak nyaman.
Sera tertawa pelan, lalu mencondongkan kepalanya ke kaca jendela. Lampu kota berkelebat di luar, menciptakan siluet yang dramatis. Ia mulai bicara setengah lirih.
“You tahu nggak? Gue nggak suka kalau malam gue diacak-acak kayak gini.”
Kalleandra tetap diam, hanya sesekali meliriknya di kaca spion. Ada ketegangan aneh di antara mereka. Chemistry yang belum mereka sadari mulai terbentuk.
Setelah beberapa menit, Sera mengalihkan pembicaraan. “Lo dokter, ya? Gue nggak pernah kepikiran dokter bakal nganter cewek mabuk pulang malam-malam.” Dia tersenyum nakal. “Lo kayak pahlawan film romantis.”
Kalleandra tersenyum tipis. “Saya hanya membantu. Lagi tahu dari mana kalau aku ini Dokter ?"
Sera dengan santai maju mendekat ke arah kalle yang tengah menyetir tenang. Pria itu terkejut dengan sikap asal si wanita.
" Tubuh kamu bau obat soalnya." hidung Sera mengendus lengan Kalle.
Sera tertawa lirih, lalu memandangnya serius walau setengah mabuk. “You ngerti nggak, dokter? Gue nggak suka lo diam-diam gitu.”
Kalleandra hanya mengangguk pelan. Dia tahu, Sera mencoba membuatnya membuka percakapan, tapi ia memilih tetap tenang.
Tak lama, Sera meminta mobil berhenti.
“Stop… gue mau turun di apartemen gue aja.”
Kalleandra menggeleng. “Saya tidak tahu alamatmu.”
“Yaudah… lo ikut gue!” Sera memaksa sambil tersenyum penuh tantangan. “Nanti gue kasih lo tahu.”
Kalleandra diam, tapi akhirnya memutar arah mobil. Di sela-sela perjalanan, lampu kamera paparazzi mulai berkedip-kedip. Sera memperhatikan dari kaca jendela.
“You see that? Lo ngerti nggak… ini bakal jadi berita besar, dokter misterius.” Dia tersenyum nakal sambil memandangnya.
Kalleandra tetap diam, pandangannya fokus ke jalan. Dari tadi Sera meracau soal berita besar dan kamera paparazi yang dia tidak paham sama sekali. Dalam diam itu, suasana mobil terasa penuh arti, penuh ketegangan yang belum terucapkan.
################
Malam makin larut ketika mobil Kalle berhenti di depan bangunan apartemen kecil bergaya minimalis.
Sera yang sejak tadi setengah terlelap langsung membuka mata begitu mobil berhenti.
“Ini bukan apartemen gue,” gumamnya setengah kesal.
Kalle mematikan mesin dan menoleh pelan. “Aku tahu. Aku cuma… nggak tahu alamat kamu, Sera. Jadi aku bawa kamu ke tempatku aja dulu. Aman, nggak jauh dari rumah sakit.”
“Tempat lo?” alis Sera naik setengah senti.
“Lo pikir gue bakal nginep di rumah cowok yang baru gue temuin?”
Nada suaranya menantang, tapi tubuhnya masih setengah goyah. Alkohol di sistemnya jelas belum sepenuhnya pergi.
Kalle menarik napas pelan. “Aku cuma mau kamu istirahat. Kamu nggak harus nginep, tapi kamu juga nggak bisa jalan pulang dalam keadaan kayak gini.”
Sera menatapnya lama. Ada sedikit gengsi, tapi juga rasa lelah yang menekan.
Akhirnya dia melepas seatbelt dan bersuara pelan, “Fine. Tapi kalau lo macem-macem, besok nama lo nongol di semua headline gosip negeri ini.”
“Percaya deh, aku lebih takut kehilangan lisensi dokter daripada headline gosip,” jawab Kalle datar.
Sera mendengus geli. “Lucu juga lo.”
Mereka masuk ke apartemen. Ruangannya bersih, simpel, terlalu normal buat seseorang sekelas Sera yang biasa hidup di penthouse kaca dengan view kota. Bau peppermint samar dari diffuser di pojok ruangan membuat suasana anehnya tenang.
“Lo rapi banget,” komentar Sera sambil menatap sekeliling. “Rumah lo kayak nggak ada kehidupan.”
“Aku sering di rumah sakit,” balas Kalle. "Hidupku kayak pasien: teratur, tapi nggak santai.”
Sera nyengir. “Kayak pasien? You need therapy, doc.”
Kalle hanya menatapnya tanpa ekspresi. “Kamu butuh air putih. Banyak.”
Sera tertawa lirih, lalu berjalan ke sofa dan menjatuhkan tubuhnya. “You’re such a mood killer.”
Ia menatap langit-langit, lalu memejamkan mata sebentar. Kalle menatapnya lama—ada sesuatu di perempuan itu. Cantik, iya. Tapi juga… rumit. Kayak orang yang berusaha menutup luka pakai glitter.
“Kalau kamu butuh mandi, kamar mandinya di kanan,” ujar Kalle pelan.
Sera mengangkat tangan tanpa membuka mata. “Nggak usah. Gue cuma mau tidur lima menit. Jangan ganggu.”
Kalle menghela napas, mengambil selimut tipis, dan menutupinya pelan. Ada momen sunyi di sana—aneh tapi damai.
Beberapa detik kemudian, kilatan cahaya di luar jendela membuat Kalle menoleh. Lampu kamera. Paparazzi.
Sial.
Dia buru-buru menutup gorden, tapi terlambat. Beberapa kamera sudah sempat memotret. Ia tahu… besok pagi, foto itu bakal jadi bahan gosip nasional.
Pagi harinya, matahari baru muncul ketika Kalle akhirnya tiba di rumah lamanya—tempat orang tuanya tinggal. Ia belum tidur semalaman.
Sera sudah ia antarkan pulang subuh-subuh, masih setengah sadar, ke rumahnya di kawasan elite. Dan tentu saja, para jurnalis sudah menunggu di luar pagar.
Sekarang, ia berdiri di depan pintu kamarnya sendiri, membuka dasi dengan wajah lelah.
Suara bentakan kecil terdengar dari kamar sebelah.
“Nadira ! Kamu pikir jam berapa ini?!”
Kalle menoleh. Itu suara ayahnya. Lagi-lagi adiknya kena marah.
Dia mengetuk pintu kamar adiknya pelan. Tidak ada jawaban. Saat ia buka pintu, suasana kamar itu kontras banget dengan kamarnya yang polos.
Dinding penuh poster majalah mode. Rak-rak kecil dipenuhi foto model ternama.
Dan di tengah semuanya—majalah edisi terbaru terpampang di atas meja rias.
Wajah Seraphina Luna terpampang di sana.
Tatapan dingin. Bibir merah. Gaun putih yang elegan.
Tagline besar di sampul depan: “Seraphina Luna— The Untouchable Goddess of Fashion.”
Kalle terdiam lama.
Lalu tersenyum kecil.
“Jadi ini idola kamu, Dek. pantas semalam aku kaya gak asing sama wajahnya. Dia memang "Seraphina Luna."
bayangan kilas balik malam dimana dia memandang wajah itu beberapa detik. Perempuan yang semalam tertidur di sofanya, dengan make-up setengah luntur dan cara bicara seenaknya.
Supermodel yang disembah banyak orang.
Dan ternyata, sekarang entah kenapa, nasib mereka sudah terikat.
Ia memejamkan mata sebentar, lalu tertawa pelan.
“Lucu juga hidup,” gumamnya. “Satu malam, dan dunia bisa jungkir balik.”
Pagi itu, kantor Luxe Press sudah lebih berisik daripada pasar ikan.
“Aku berani sumpah ya, kalau berita ini nggak trending, aku resign,” seru Adira, menepuk meja redaksi.
Laptopnya terbuka, menampilkan sederet foto buram tapi jelas: Supermodel Seraphina Laras, dengan gaun hitam, mata setengah terpejam, disangga oleh seorang lelaki tinggi berjaket abu-abu menuju mobil.
Dimas yang duduk di sebelahnya bersiul pelan.
“Lihat pose-nya. Elegan sekaligus hancur. Foto mabuk paling estetik tahun ini.”
Dari ruangan kaca, Celina Arista, pemimpin redaksi Luxe, melangkah dengan sepatu hak tinggi yang nyaring.
“Bagus. Upload jam sembilan. Headline-nya…”
Dia berhenti, menatap foto itu sekali lagi, senyum tipis muncul di bibir merahnya.
“Supermodel Seraphina Luna Tertangkap Basah Keluar dari Klub Bersama Pria Misterius. Dunia Panggung Berguncang.”
Adira berseru puas, “Buset, itu judul nancep banget!”
Celina hanya mengibaskan rambutnya. “Kita nggak butuh kebenaran, kita butuh pembaca.”
Satu klik di keyboard, dan berita itu meluncur ke dunia maya.
Dalam hitungan menit, Luxe Press jadi trending di semua platform.
Satu jam kemudian, foto yang sama muncul di seluruh grup gosip, forum mode, dan akun-akun anonim yang haus sensasi.
Di luar kantor, Adira menatap layar ponselnya dan terkekeh.
“Selamat pagi, dunia. Skandal pertamamu hari ini sudah datang.”
#############
Sementara itu, di apartemen kaca lantai 25, Sera bangun dengan kepala berat dan mata perih.
Semalam samar. Club, lampu, tawa teman-temannya, lalu seseorang yang membantunya berdiri.
Semuanya blur.
“Good morning, sleeping beauty,” suara khas terdengar dari arah dapur.
Bian, asisten sekaligus stylist setianya, muncul dengan piyama satin ungu dan ekspresi campur panik.
Tapi bukan kopi yang dibawanya — melainkan ponsel.
“Ini bukan good morning, Sera! Ini… bad headline morning!”
Sera memicingkan mata. “What the hell are you talking about?
Bian menyerahkan ponselnya. Di layar, terpampang berita besar: Supermodel Seraphina Luna dengan Lelaki Misterius di Klub Malam!
Wajah Sera langsung tegang. “What—this is nonsense ..!!
Bian menepuk dahinya. “Gue nggak peduli nonsense atau NASA, yang jelas lo trending! Lihat tuh! Luxe Press, sayang. Mereka udah dapet fotonya. Bahkan angle-nya bagus banget, sampai pori lo keliatan.”
Sera mendengus, menarik napas berat. “Mereka bahkan nggak tahu siapa cowok itu.”
“Ya, tapi publik nggak butuh tahu. Publik cuma butuh gosip!”
Bian mengacak rambutnya sendiri. “Gue udah dapet telepon dari agensi—mereka minta lo ke kantor. Sekarang. Katanya harus damage control.”
Sera berdiri pelan, berjalan ke kaca besar apartemennya.
Jakarta siang itu cerah, tapi wajahnya tidak.
“Mereka pikir aku harus minta maaf hanya karena mabuk?”
pria itu mengangkat bahu. “Mereka pikir lo harus minta maaf karena lo manusia.”
Sera yang sudah akan beranjak ke kamar mandi menahan langkahnya. Tubuh tinggi semampainya dia putar menghadap asisten sekaligus sahabatnya, Bian.
"wait, ini gue bisa balik ke apartemen sama siapa ? Lo bisa tahu gue di sana dari mana ?"
" Dari kuku jempol gue, puas Lo ?" jawab Bian kesal.".
" Gue serius ini."
" Gue telepon Lo, yang angkat cowok. terus kasih tahu kalau Lo di apartemen dia. tapi pas sampe sana gue tidak menemukan itu lelaki. yang ada malah mas-mas OB sama satu laki-laki patuh baya. Tadinya gue pikir Lo di apa-apain sama mereka ternyata gak."
Sera menghela nafasnya. Jadi lelaki itu gak ada disana ? siapa namanya ? mereka belum sempat berkenalan selain yang dia ingat pria itu disebutnya Dokter. Ah, sudahlah gak penting juga. Karena hari ini ada yang lebih sangat penting untuk dia hadapi
###################
Sementara itu, di rumah sederhana di selatan kota, aroma roti panggang memenuhi dapur.
Nadira duduk di meja makan, nonton berita gosip dari tablet.
“Wah, Kak! Kak Sera trending lagi! Tapi kali ini beneran parah deh…”
Ia memperbesar layar, memperlihatkan foto buram Sera yang disangga oleh seorang pria.
Kalle baru keluar dari kamar, rambutnya masih basah, meneguk kopi pelan.
“Siapa itu?” tanyanya santai.
Nadira menunjuk layar. “Tuh! Cowok yang bareng Sera di klub. Tapi wajahnya blur sayang banget. Gue penasaran banget siapa tuh beruntung banget bisa nyentuh bahunya.”
Kalle mendekat. Tatapannya tertahan.
Mobil di foto itu… platnya.
Itu mobilnya sendiri.
Kalle membeku, nyaris menumpahkan kopinya. Masih beruntung nomer plat mobilnya tak begitu jelas terlihat.
“Kamu baca berita kaya begini ?"
“Hah? Kenapa?”
“Gak bermutu aja."
" Tapi ini Seraphina Luna, mas. idolaku banget. Dia itu jarang bahkan hampir gak pernah namanya kena gosip begini. Pacarnya aja di tutupi. Pokoknya hidup dia itu sangat rahasia dan ekslusif." urai Nadira.
Hm, jadi dia punya pacar ? kenapa malam itu dia tidak menghubungi pacarnya saja ?
" Intinya dia cantik banget, sempurna look like angel gitu."
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar.
Grup teman-temannya dari klub malam semalam meledak.
- Rafi : " Tidak sia-sia usah Bimo meminta Kalle mengantar Sera. Langsung jadi trending topik uyy."
Bimo : “ Tolong untuk ucapkan terima kasih pada gue dong ? Halo Kalleandra Aryasatya."
Kalle : berisik, gara-gara kalian. Gue jadi kena imbasnya. Ini gimana ? berita begini pasti bakal bikin heboh di klinik."
Rafi : Tapi ini pas lo bawa ke apartemen endingnya gak sampai skidipapapkan ? Lo GK khilaf dong walau Sera ini indah banget."
Bimo : mohon maaf Kalle itu gak sama kek isi otak Lo, Rafi. Istighfar nak..! Yuk, Abi tuntun."
Kalle memijit pelipisnya.
“Sial.”
Ia menatap keluar jendela. Mematikan ponselnya
Cuma niat nolong orang mabuk. Kok bisa jadi headline gosip nasional.
###################
Di sisi lain kota, rumah keluarga Adipati Wiratama jauh dari kata tenang.
Sebuah ruang tamu besar, dinding dipenuhi lukisan dan piagam kehormatan, tapi pagi itu hawa di dalamnya dingin.
“Lihatlah, anakmu itu! Anak yang kamu lindungi, sayangi. malah masuk berita gosip! Kali ini malah lebih parah. Bersama lelaki tidak di kenal.
Suara Ayu Laraswati, ibu Sera, melengking, nadanya tajam seperti pisau.
Ayahnya, Adipati Wiratama, duduk tenang di kursi, memandangi layar televisi yang memutar berita Luxe Press.
Ia tidak bicara lama. Hanya mengangkat satu tangan, menenangkan istrinya.
“Sudah. Aku akan urus.”
“Urus? Dengan apa? Dengan uang? Dengan politik? Sera itu bikin malu!”
Adipati hanya tersenyum tipis.
“Semua masalah bisa diurus… asal kita tahu siapa yang harus diajak bicara.”
Ia memanggil salah satu stafnya, menyerahkan ponsel.
“Cari tahu siapa pria di foto itu. Bila perlu datangi apartemennya. Aku mau secepatnya mendapat jawaban.
Lelaki dengan kemeja batik itu pun segera pergi.
" Aku sudah bilang, kamu bujuk dia buat kembali ke rumah. Ini malah di biarkan pindah ke apartemen. Anak itu makin lama makin susah di atur." lagi, ayu sang istri meracau kesal.
"Sebagai ibu harusnya kamu bisa lebih lunak sama dia."
Ayu mendelik, tak terima dengan ucapan Adipati.
" Dua bulan lagi ada rapat pemegang saham di rumah sakit. sekaligus nama-nama calon pengganti aku akan di umumkan. kamu yakin gak mau bujuk Sera untuk bergabung di rumah sakit milik kita ?"
" Rumah sakit milikmu dan keluargamu. selama ini aku kan tidak di libatkan sama sekali." ujar Adipati
" Jadi kamu mau melepaskan rumah sakit itu ke sodaraku yang lain ? kamu gak mau bantu aku ? setelah aku selama ini membantumu."
Adipati diam. ucapan telak Ayu serasa menamparnya. Beberapa jam kemudian, staf itu kembali dengan laporan.
“Pak… mobil itu atas nama dr. Kalleandra Aryasatya. Dokter muda. Bekerja di salah satu rumah sakit swasta. Dia juga mempunyai klinik.
Ruangan mendadak hening.
Adipati menegakkan punggungnya.
“Kalau begitu, kita panggil dia. Aku ingin tahu… apa niatnya mendekati anakku.”
Sera menutup pintu apartemennya perlahan. Matanya masih memerah sedikit, tapi nada bicaranya sudah kembali dingin. Di depannya, Bibi sudah berdiri dengan wajah dramatis tapi rapi, sementara Sira duduk di sofa, ekspresinya serius.
Bian mengibas-ngibaskan tangannya, flamboyan seperti biasa, tapi tetap profesional.
“Seraaa… seriously, last night itu gimana? Club, mabuk, sama siapa kamu? People are already talking !”
Sera mencondongkan tubuh, tatapannya tajam, suaranya tenang tapi tegas.
“Relax, Bian. I told you, I'm fine. Dia cuma bantuin aku, nothing else. Udah jelas kan?”
Sira menegaskan, suara kalem tapi tegas.
“Sera, ini bisa serius merusak image kamu. Kita harus memastikan semuanya under control. Public nggak akan tunggu klarifikasi lama-lama.”
Sera menepuk meja sedikit, senyum tipis di bibirnya.
“I know. Tapi aku bukan anak kecil yang harus dijagain terus. You handle media, I handle myself. Jangan overthinking.”
Bian mengangkat alisnya tapi menekankan risiko, tetap dewasa.
“Yes, I get it… tapi kalau kontrak kamu kena masalah, itu bakal jadi chaos. Kita harus siapin plan B, Sera.”
Sera menatap dingin tapi kalem, menegaskan batas.
“Plan B itu tanggung jawab kalian. Aku bisa handle diri sendiri. Jangan panik. Itu saja.”
Bian menghela napas, mengangkat bahu dramatis tapi tetap terlihat loyal.
“Understood, boss… just saying, the streets are talking, honey.”
Sera hanya tersenyum tipis, menarik napas, lalu menoleh ke jendela apartemennya. Di luar, cahaya kota berpendar, dan hatinya terasa sesak. Ia tahu, gosip ini bisa merusak reputasinya—tapi ia tidak akan membiarkan siapapun mengatur hidupnya.
############
Kalle sedang memeriksa seorang anak yang batuk pilek. Telepon berdering, dan asistennya menyampaikan bahwa seseorang ingin bertemu dengannya di luar jadwal: orang suruhan ayah Sera.
Dia menatap telepon sejenak, ekspresinya datar tapi fokus. Ia tahu, ini bukan urusan kecil. Setelah memeriksa dan memberikan resep sembari mengantar ibu dan pasiennya keluar, ia pun menemui tamu yang terlihat sangat rapi
" Selamat sore, Dokter Kalle. Perkenalkan saya restu. asisten dari bapak Adipati Wiratama."
Adipati Wiratama..! Nama yang lumayan di kenal. Untuk apa dia ingin menemuinya. mereka sama sekali tidak saling mengenal.
" Kalau boleh tahu ada urusan apa ? Maaf tapi kami sama sekali belum mengenal ?" ujar Kalle sedikit kebingungan.
"Ini berkaitan dengan mbak Sera."
"Sera ?"
"Seraphina Luna, putri bapak Adipati Wiratama."
Reflek Kalle membuka mulutnya. oke, dia paham. Jadi Seraphina, wanita yang dia tolong malam itu putri dari Adipati Wiratama.
Di restoran private, suasana serius tapi elegan. Ayah Sera menunggu, duduk tegak, wajahnya tidak menampakkan emosi berlebihan, tapi aura otoritasnya sangat terasa.
“Dr. Kalle,” suara ayah Sera tenang tapi penuh kekuatan.
Keduanya saling berjabat tangan. Lantas sama sama mempersilakan untuk duduk. Dengan batas meja.
"Maaf mengganggu waktunya. asistenku tadi katakan kalau anda sedang sibuk di klinik."
"oo, tidak apa-apa, pak. Kebetulan sudah waktunya tutup. Hanya klinik kecil saja."
"Klinik Bunda sehat..! Sudah beroperasi sejak 4 tahun dan mempunyai program gratis imunisasi setiap bulannya."
meski terkejut, Kalle menutupi dengan senyumnya. Hebat sekali pria di depannya bisa mendapatkan informasi dengan detail.
" Boleh saya tahu maksud undangan pertemuan malam ini ?" tanya Kalle, meski sebenarnya dia sudah bisa menebaknya.
"Baiklah, untuk mempersingkat waktu. malam ini saya memanggil Dokter Kalle karena ingin mendengar penjelasan mengenai kabar yang beredar di luar mengenai anda dan putri saya di dalam sebuah apartemen." terang Adipati lugas.
Kalle menatap lurus, kalem tapi tegas.
“ Ini hanya bentuk kesalahan pahaman saja, Pak. Saya tidak ada niat buruk dengan Sera. Malam itu saya hanya membantu dia karena kondisinya sedang dalam keadaan tidak baik. Itu saja."
Ayah Sera mengamati Kalle, matanya tajam seperti mencoba menembus pikiran dokter itu.
" Sebelumnya kami sama sekali tidak saling mengenal. Malam itu pertama kalinya kami bertemu. Jadi saya tidak tahu kemana mengantarnya pulang."
" Putriku pasti menyusahkanmu malam itu."
" oo sama sekali tidak pak."
" Tapi kamu tahu kalau karena ini gosip menyebar dengan sangat liar ?"
" Kebetulan saya tidak mengikuti perkembangan gosip di media. tapi beberapa teman memberi informasinya."
“Kalau begitu, ada solusi yang lebih efektif untuk meredam gosip. I want you to marry Sera.”
Kalle tersentak sejenak, menolak dengan tegas.
“Maaf Pak. Tapi ini bukan solusi terbaik. Biar saya dan Sera yang akan menyelesaikan ini. Mungkin bisa dengan conference pers. Tidak perlu ada pernikahan"
Ayah Sera menghela napas ringan, tanpa terlihat emosi.
“Saya menghargai saranmu. Saya juga percaya tidak ada niat burukmu pada putriku, Kalle. Tapi saya juga harus memikirkan reputasi dan posisi keluarga. Kita bisa membicarakan kompensasi—saya siap membantu melebarkan klinik kecilmu, yang fokus untuk anak-anak kurang mampu. Ini kesempatan besar.” jelas Adipati." lagi juga saya kenal dengan Professor Gunardi, ayah angkatmu.
Kalle terdiam. Nama seorang yang dia hormati di sebut Adipati. Belum lagi tawaran itu menggiurkan secara finansial, tapi menabrak prinsip pribadinya. Ia ingin mandiri, tidak ingin menyusahkan orang lain.
“Saya minta maaf, Pak Adipati. Untuk saat ini saya tidak bisa menerima tawaran bapak.” Kalle akhirnya menjawab, nada tetap tenang tapi serius
" Jangan menolak dulu, Dokter bisa pertimbangkan tawaran saya."
##################
" Oke satu take lagi, Sera."
Luca, teman sekaligus fotografer andalan Sera berteriak memberikannya instruksi. Wanita itupun menurut. Selintas, sosok Bian terlihat mengangkat handphone miliknya tinggi-tinggi mengisyaratkan sesuatu.
" Siapa ?"
Bian tak menjawab selain kode yang diberikan padanya. Nomer yang ia kenal. Yang langsung membuatnya terdiam. Segera Sera mencari tempat aman untuk mengangkat panggilan telepon.
“Yes, ayah,” kata Sera, suara sopan, menunduk sedikit. “ Hm, baiklah, habis foto Saya akan datang."
" Tumben Raden Adipati Wiratama manggil putri ayunya. Mau kasih mandat apa dia ?"
Setengah bercanda Bian sambil merapihkan rambut Sera yang berantakan.
"Mau kasih warisan keknya." Luca, pria itu sudah masuk kedalam ruang ganti.
" Lo beneran mau datang ?"
" Kalau yang ini harus datang. Daripada asistennya obrak-abrik ini studio." jawab Sera." paling dia mau nanya soal gosip gue sama itu laki-laki."
" Siapa namanya ?"
" Luca, gue kan udah bilang. Mabuk itu membuat otak gue lemah urusan mengingat orang."
Bian tiba-tiba saja mencengkram kuat bahu Sera. Membuat gadis itu berteriak pelan.
"Gimana kalau ayahmu udah ketemu sama itu laki-laki. Terus kalian mau di pertemukan dan di jodohkan ?"
Sera bengong. sebelum dia akhirnya memukul pelan kepala Bian.
" Kalau ngomong biar cuma mengkhayal, jangan ketinggian banget, Bian. gak mungkin keluarga gue semudah itu menjodohkan anaknya. Reyhan aja sampai sekarang belum dapat green card dari mereka." ucap Sera." udah ya, gue balik dulu."
###########################
" Kok kamu langsung menawari dia untuk menikah sama Sera ? Kita saja belum tahu asal usulnya, keluarganya. Aneh."
Ayu, istrinya kembali terlihat tak terima dengan keputusan Adipati. Baru saja suaminya bercerita tentang Kalle, pria yang katanya menolong Sera yang dalam keadaan mabuk.
"Asal usulnya nanti menyusul kita cari tahu. tapi dengan posisi dia yang sekarang di tambah dia itu anak angkat Prof Gunardi. Aku rasa tidak mengecewakan." jelas Adipati." Kitakan ada Saphira medical center."
"maksudnya kamu mau dia bergabung dengan rumah sakit kita ?"
" Kalleandra itu Dokter anak paling terbaik untuk saat ini. Klinik dia juga punya nama dan berkembang. Dari pada dia berada di tempat yang sederhana kenapa tidak di angkat ketempat yang lebih layak sesuai kemampuannya."
"Tapi aku mau putriku yang ada di posisi ini. Bukan orang lain," tegas Ayu.
" Aku bisa membantunya. Asal kau juga mau membantu aku dalam rencana ini."
Ayu, wanita itu sudah akan menjawab. Namun sosok Seraphina Luna, putrinya kini terlihat berjalan ke arah mereka.
" Masih hapal jalan pulang ?" Sindir Ayu.
"Ayah yang minta aku untuk pulang.
Sera mencium punggung tangan dan pipi ibunya, Ayu. Tak ketinggalan juga pada Adipati. Bagaimana pun ini rumah orang tuanya, dan dia pernah tinggal di sini cukup lama jadi dia harus tetap menghormati mereka berdua.
Adipati, ayahnya langsung menyampaikan bahwa Kalle sudah dipanggil, dan idenya untuk menikahkan mereka berdua demi meredam gosip bukan sekadar wacana. Sera mengerutkan dahi.
" Aku belum dapat informasi lengkap soal Kalleandra. Biar nanti itu jadi urusan Restu. Yang penting dia itu anak angkat Prof Gunardi. Ayah kenal dengannya dan dia bukan orang sembarangan."
" Jadi apa yang ayah dapatkan soal lelaki itu ?"
" Dia Dokter anak. Bekerja di salah satu rumah' sakit swasta yang tidak terlalu terkenal. Punya klinik anak yang baru saja berkembang tapi punya nama. Aku rasa dia lumayan pantas untuk menikah denganmu."
"Ayah, aku di antar dia malam itu. Meski aku dalam keadaan mabuk tapi masih ada kesadaran kecil. Dan aku ingat kalau kami tidak melakukan hal di luar batas. kami tidak tidur bersama malam itu." terang Sera.
" Tapi orang di luar tahunya kamu di bawa lelaki keluar dari club dengan baju tidak pantas kamu itu, mabuk pula. Dan kalian masuk ke apartemen. Semuanya jelas, Seraphina. Gambar, videonya." bantah Ayu, ibunya.
" Bu--."
" Kamu tahu itu semuanya masuk ke dalam chat grup keluarga kita. Ommu, tantemu, semua yang ada di grup Saphira medical center. Kamu mikir dampak dari kelakuan liar kamu itu ? Mana Sera, mana yang kamu bilang kalau pilihanmu ini adalah terbaik. bahwa pilihanmu ini adalah duniamu. Mana ibu tanya sekarang. itu yang sekarang itu hasilnya."
" Bu, gak usah melebar kemana-mana." Sera mencoba tak terpancing.
" Sudah. Kalian ini kalau bertemu ribut saja. Kita ini sedang mencari solusi bukan menambah masalah." Adipati melerai." Ayah sudah tawarkan jalan terbaik untuk kalian menikah."
Mendengar kalimat terakhir ayahnya, Sera terbelalak kaget. Tunggu..! Menikah? dengan pria itu ?
" Ayah serius ? Menikah bukan jalan satu-satunya. lagi aku juga udah punya pacar. Bisa jadi dia juga sama."
Ayahnya menatap serius.
“Sejak awal saya tidak pernah setuju hubunganmu dengan Reyhan. Kamu harus pikirkan posisi keluarga, reputasi… dan masa depan Saphira Medical Center.” sahut Adipati
Sera menelan ludah, hatinya berat. Ia tahu, sebagai anak tunggal, semua keputusan keluarga selalu terasa menimpa pundaknya. Ia harus patuh, tapi apa menikah' adalah jalan satu-satunya.
#############
" Bapak Adipati baru saja menghubungiku. Dia menanyakan soal kamu. Sepertinya dia tertarik dengan kemampuan kamu sebagai Dokter anak. kebetulan istrinya Ibu Ayu, adalah pemilik rumah sakit Saphira medical center. Rumah sakit yang kamu dulu sering sebut ingin bergabung disana. ini jadi seperti --."
" Bapak Adipati adalah ayah dari Sera. Perempuan yang saya bantu malam itu. Prof, pasti tahu kabar panasnya ? Dia menemui karena ingin gosip ini mereda."
" Bagus itu. Bagaimana pun berita ini terlanjur meluas. Bagi keluarga bapak Adipati ini akan sangat berpengaruh. lalu solusi apa yang dia tawarkan ?"
Prof Gunardi. pria yang masih nampak segar di usianya yang sudah memasuki angka enam puluh tahun kini sedang menatap lekat pada sosok Kalle.
" Sebuah pernikahan. Dia ingin saya menikahi putrinya, Sera."
Mendengarnya Prof Gunardi terdiam. pria tua itu pasti tidak menyangka akan apa yang dikatakan Kalle. Tawaran yang terasa begitu sangat ganjil baginya.
" Dia juga mau membantu untuk program klinik anak kita, Prof. Terus terang bagian ini agak sedikit menggoda untuk saya pertimbangkan. Tapi menikah bukan solusi yang tepat. Dulu mungkin pernikahan menjadi cita-cita saya, tapi saat seseorang menolaknya saya merasa menikah sudah bukan menjadi prioritas."
" Kamu masih mengingat soal Alina ?"
Sebuah nama keluar dari bibir Prof Gunardi. Nama yang sudah lama sekali Kalle kubur dalam-dalam.
Sementara, Sera menutup teleponnya dengan muka kesal. Reyhan, menghubunginya hanya untuk meminta penjelasan tentang gosip yang beredar. pria itu meluapkan emosinya, menyudutkan dia. sampai pertengkaran pun terjadi.
" Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku. Selalu mengatakan sibuk dan tidak ada waktu untuk bertemu." ucap Reyhan dengan penuh emosi.
" Ada juga aku yang nanya sama kamu, Rey. Kemana kamu setiap aku hubungi tak pernah ada. Bahkan chat aku aja jarang kamu bales."
" Jangan memutar balikkan fakta, jangan menyudutkan orang, Sera. Kamu yang musti intropeksi diri."
Kalimat yang kemudian Sera akhiri dari pada menjadi sebuah keributan panjang. Sungguh dia sangat lelah hari ini. Ayahnya, ibunya, bahkan Reyhan semua seakan memojokkannya.
Sera menunduk sebentar, lalu memutar badan, meninggalkan taman di pinggir kota tanpa sepatah kata lagi. Ia melangkah ke jalan yang berbeda, menuju lampu kota yang berpendar, dan matanya tertumbuk pada baliho besar yang menampilkan wajahnya sendiri.
Di sisi lain kota, Kalle menyusuri trotoar, pikirannya masih memikirkan pertemuan dengan ayah Sera, pertemuannya dengan Prof Gunardi, tawaran yang dilematis, dan pilihan yang harus dijalankannya. Saat matanya menoleh, ia melihat wajah Sera di baliho yang sama, tapi mereka berada di dunia yang berbeda, jarak nyata di antara mereka.
Tidak ada kata yang diucapkan, hanya ketegangan yang terasa dan simbolisasi dunia mereka mulai bersinggungan. Malam itu menjadi titik awal dari hubungan yang baru—antara prinsip Kalle, kendali hidup Sera, dan dunia publik yang menuntut mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!