Cahaya matahari pagi menembus celah gorden berwarna pink pastel, menyapa wajah seorang gadis cantik bernama THALIA PUTRI DEWANTARA yang masih terlelap di balik selimut bergambar kelinci. Jam weker di meja belajar sudah berbunyi sejak lima menit lalu, tapi belum ada tanda-tanda si pemilik kamar mau bangun.
“Thaliaa… ayo bangun, sayang! Nanti terlambat!” suara lembut Mommy dari lantai bawah menggema.
Mata cantik Thalia akhirnya terbuka perlahan. “Haaah?!!” teriak Thalia kaget begitu melihat jam dinding. “Jam setengah tujuh?! Astaga! Aku kesiangan di hari pertama sekolah!”
Setelah lama tinggal di luar negri untuk ikut Granpa dan Grandmanya, hari ini Thalia akan kembali bersekolah di Jakarta dan tinggal bersama mommy dan daddynya.
Dalam sekejap, kamar Thalia berubah jadi medan perang kecil. Thalia meloncat dari tempat tidur, rambutnya yang panjang terurai berantakan seperti singa kecil baru bangun tidur. Setelah mandi ia berlari ke lemari, menarik seragam barunya yang masih tergantung rapi.
“Harus cepat, harus cepat!” gumamnya panik sambil berputar-putar mencari kaus kaki yang entah ke mana. Ia sempat salah pakai sepatu kanan dan kiri tertukar lalu tertawa sendiri. “Hihi, dasar Thalia..berasa mau ikut sirkus sepatu beda sebelah.!”
Begitu seragam putih dan rok abu-abunya terpasang sempurna, Thalia berdiri di depan cermin. Ia menarik napas panjang dan tersenyum pada bayangan dirinya.
“Semoga hari pertama sekolah menyenangkan ya, Thalia!” katanya pada diri sendiri sambil mengedipkan mata dan memberi pose dua jari di depan pipinya.
Dengan langkah kecil namun bersemangat, Thalia berlari menuruni tangga. Aroma roti panggang dan susu cokelat langsung menyapa hidungnya. Di meja makan, Daddy sedang membaca koran sementara Mommy sibuk menuangkan jus jeruk, dan susu untuknya.
“Morning, Mommy! Morning, Daddy!” seru Thalia ceria.
Ia langsung berlari kecil dan mencium pipi Mommy, lalu Daddy, dengan senyum selebar matahari pagi.
Mommy Riana Dewantara menatapnya sambil tertawa kecil. “Wah, cantiknya anak Mommy hari ini! Tapi rambutnya masih kayak singa kecil, tuh.”
“Eh?” Thalia menyentuh rambutnya dan langsung panik. “Aduh! Aku lupa nyisir!”
Daddy Rian Dewantara terkekeh sambil menurunkan korannya. “Tenang, singa kecil Daddy tetap yang paling manis.”
Thalia cemberut sebentar, tapi kemudian ikut tertawa. “Kalau begitu, singa kecil ini siap sekolah!” serunya dengan semangat penuh, sambil menggoyang tas barunya di udara.
Mommy dan Daddynya saling berpandangan, tersenyum bangga melihat gadis kesayangan mereka memulai pagi dengan tawa meskipun seperti biasa, penuh kehebohan khas Thalia.
“Sayang, kamu hari ini Daddy antar ya,” ucap Rian sang Daddy, sambil menatap lembut gadis kecilnya yang sedang meneguk susu cokelat dengan tergesa.
Thalia langsung menatapnya sambil menggeleng cepat. “Gak perlu, Daddy! Lia pakai motor sendiri aja..” katanya dengan nada bangga, seperti ingin menunjukkan bahwa ia sudah besar.
Rian dan Riana sang Mommy, saling berpandangan heran. Riana menaikkan alisnya, lalu bertanya penuh rasa penasaran, “Sejak kapan kamu bisa naik motor, sayang...?”
Thalia tersenyum manis sambil memainkan rambutnya. “Hmm… sejak kapan ya? Lupa deh. Tapi Lia bisa kok, Mommy Boleh ya?” Ia menatap Daddynya dengan ekspresi memohon, mata bulatnya berkilat seperti anak kucing yang minta izin main keluar rumah.
Rian menghela napas panjang, menyerah pada tatapan itu. “Baiklah… asal hati-hati ya, jangan ngebut.”
“Siap, Kapten Daddy!” jawab Thalia sambil memberi hormat ala tentara, membuat kedua orang tuanya tertawa.
Namun, tawa itu langsung berubah jadi panik ketika Thalia melirik jam tangannya. “Waduh! Cuma sepuluh menit lagi bel sekolah bunyi!” serunya.
Dengan cepat ia merapikan rambutnya, mengambil tas, lalu mengecup pipi Mommy dan Daddy. “Lia berangkat dulu ya! Love youuu!” katanya sambil berlari menuju garasi.
Tak lama kemudian..
Breng peng...peng..peng..!
Suara mesin tua yang khas menggema dari garasi. Rian dan Riana saling pandang lagi, kali ini dengan dahi berkerut.
“Jangan bilang…” gumam Rian pelan, lalu keduanya buru-buru berlari ke arah garasi.
Begitu sampai, mereka langsung melongo. Bukan motor sport, bukan juga motor matic seperti dugaan mereka… tapi sebuah Vespa tua warna krem yang bergetar pelan, penuh stiker lucu dan pita pink di kaca spionnya.
Di atasnya, Thalia duduk dengan helm besar yang hampir menutupi seluruh kepalanya, wajahnya penuh senyum bangga. “Lucu kan, Daddy, Mommy? Vespa ini keren banget!” katanya sambil menyalakan klakson yang malah berbunyi beep-beep! lucu.
“Thalia… itu dari mana kamu..” Rian belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
Thalia sudah memotong, “Nanti cerita ya! Lia berangkat dulu, love you Mommy Daddy!”
Vespanya melaju pelan keluar garasi sambil mengeluarkan suara khasnya: “prrrrrttt… brmmm… prrrttt…”
Rian hanya bisa mengelus wajahnya. “Entah kekacauan apa yang akan dia perbuat hari ini…” gumamnya pasrah, sementara Riana menahan tawa, menatap punggung kecil putrinya yang semakin jauh di jalan.
Suara mesin Vespa tua terus berderak riuh di sepanjang jalan menuju sekolah. Thalia, dengan rambut terurai yang keluar dari helmnya, tampak berjuang keras menyeimbangkan motor kecilnya. “Ayo, Coki! Sedikit lagi, kita hampir sampai!” katanya menyemangati vespanya yang dinamai Coki.
Namun begitu gerbang Manggala High School (MIS) mulai tampak di depan mata, Thalia mendadak panik. Dari kejauhan ia melihat penjaga sekolah mulai menarik pintu gerbang besar berwarna biru tua.
“JANGAN TUTUPPP!!” teriak Thalia refleks.
Tanpa berpikir panjang, ia memutar gas Vespa tua itu habis-habisan.
“AWAS!! WEYYY....MINGGIRR!! ALAMAAAKK!!”Teriaknya heboh pada murid yang akan melewati gerbang.
Suara Vespa dan teriakannya menggema keras di depan sekolah.
“Breng! Peng! Peng! Beep! Beep! Beep!
BRUKK...!!”
Semua mata langsung tertuju ke arah sumber suara. Debu mengepul.Dan di sana… Thalia terpaku di atas Vespanya yang kini bersandar miring pada gerbang besi yang penyok di bagian bawah.
Helmnya sedikit miring, rambutnya acak-acakan, ekspresinya campuran antara syok dan tidak percaya.
“Ya Tuhan…” gumam Thalia pelan, suaranya bergetar. “Baru hari pertama sekolah… udah kecelakaan tunggal…”
Ia menepuk-nepuk bodi vespanya pelan dengan wajah murung. “Kamu sih, Coki. Gak bisa diajak kerjasama, ya?”
Suasana di depan gerbang langsung hening, lalu pelan-pelan berubah jadi bisik-bisik heboh dari para murid yang ada di parkiran.
“Siapa tuh cewek?”
“Murid baru, kayaknya…”
“Gila, orang lain naik mobil, motor sport… dia malah naik vespa tua!”
“Pasti anak beasiswa.”
“Waduh, dia bakal kena marah Kak Athar tuh, apalagi gerbangnya penyok!”
Thalia mendengar semua bisikan. Tapi bukannya malu, ia malah jongkok di samping Vespanya, menatap bagian bodi yang baret dengan ekspresi sedih.
“Coki, kamu gak papa kan? Maaf ya nabrak pagar… tapi kamu hebat kok, gak sampai jatuh,” katanya pelan sambil mengusap stiker kelinci di bodi Vespa.
Para murid hanya bisa saling pandang sebagian menahan tawa, sebagian lagi tak percaya dengan pemandangan absurd itu. Di antara mereka, beberapa senior yang baru datang langsung berhenti di tempat, menatap gerbang yang penyok dan gadis kecil dengan seragam rapi yang kini sedang bicara… pada motornya sendiri.
Hari pertama Thalia di MIS baru saja dimulai, tapi sepertinya nama Thalia Putri Dewantara akan langsung terkenal, bukan karena prestasi, tapi karena tabrakan spektakuler di pagi hari.
“Ya ampun, Neng… kenapa gerbangnya ditabrak?” gumam Pak Maman, penjaga sekolah, sambil menatap besi gerbang yang kini penyok di bagian bawah. Ia memegangi kepala, wajahnya penuh panik. “Aduh, bisa kena marah saya, Neng…”
Thalia yang masih jongkok di samping Vespanya mendongak, lalu nyengir polos. “Hehe, maaf ya, Pak. Lia gak sengaja kok. Tapi atasnya masih bagus, loh, Pak! Masih bisa dipakai kan?”
Pak Maman hendak menjawab, “Bukan, ma...”
Belum sempat kata-katanya selesai, tiba-tiba suasana sekolah mendadak ramai. Dari arah lobi dan parkiran terdengar suara riuh para murid.
“Tuh mereka datang!”
“Lihat, OSIS datang!”
“Kak Athar!gak cape ganteng terus"
"Raka!Love you.."
"Dion!Doni! Rafi!”
Lima pria dengan seragam rapi dan jas OSIS hitam melangkah masuk dengan aura yang membuat semua orang menahan napas. Langkah mereka kompak, wajah-wajah karismatik itu seolah membawa sorotan spotlight sendiri.
Thalia yang masih jongkok langsung memutar bola matanya malas.
“Berasa di dunia novel banget,” gumamnya ketus. “Pasti yang muncul most wanted sekolah, idola para ciwi...”
Ia kembali fokus mengelus Vespanya, Coki, seolah dunia di sekitarnya tidak penting.
"Coki sabar ya nanti mami bawa kamu ke bengkel.. Huh untung cuma baret gak perlu di infus.. " gumamnya.
Kelima cowok tadi berhenti di depan gerbang. Salah satu dari mereka, Doni, yang terlihat paling ramah, menatap ke arah Pak Maman.
“Ada apa, Pak?” tanyanya sopan.
Pak Maman berdiri gugup, tangannya menunjuk ke arah Thalia yang masih jongkok. “I..ini, Den… Neng ini nabrak gerbang sampai penyok.”
Semua kepala langsung menoleh ke arah yang ditunjuk. Di sana, tampak seorang gadis mungil dengan helm miring, seragam rapi tapi sedikit berantakan, sedang mengusap Vespanya penuh cinta.
Rafi langsung bersiul pelan. “Baru kali ini gue lihat cewek naik Vespa.”
Raka menimpali cepat. “Mana Vespanya penuh stiker lagi! liat ada kelinci, bintang, sama… unicorn?!”
Doni menggaruk kepala sambil memperhatikan gerbang dan vespa si gadis mencoba logika. “Tapi kok bisa gerbangnya sampai penyok gitu, ya? Padahal cuma ditabrak Vespa tua.”
Dion sudah bersiap ikut menimpali, tapi sebelum sempat bicara, suara datar dan dingin Athar memotong udara.
“Ganti.”
Satu kata. Pelan tapi tegas.
Semua langsung menoleh ke sumber suara. Athar, ketua OSIS yang berdiri paling depan, menatap lurus ke arah gerbang tanpa ekspresi. Tatapannya dingin, nadanya seolah tak memberi ruang diskusi.
"Maksudnya Den..? " Tanya pak Maman bingung.
“Maksudnya Ganti Gerbangnya pak. Hari ini juga.”Ucap Raka menatap pak Maman yang kebingungan.
Pak Maman menelan ludah dan mengangguk.
"RO" (Ruang Osis)Singkat Athar dan mengkode untuk menghukum Thalia.
"Hei kamu ayo ikut kita, kita akan hukum kamu karena merusak fasilitas sekolah". Rafi sedikit mendekat agar Thalia mendengarnya.
Suasana mendadak tegang. Murid-murid yang tadinya ramai mulai diam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, dan hukuman apa yang akan Thalia terima.
Sementara itu, Thalia hanya menghela napas panjang dan menepuk Vespanya pelan. “Tuh kan, Coki. Aku bilang juga apa, gara-gara kamu kita jadi terkenal,” katanya lirih sambil berdiri perlahan.
Ia menatap gerbang yang penyok, lalu melihat para cowok OSIS yang berjalan di depannya seperti pemeran utama drama.
Langit sudah sedikit mendung ketika Thalia mengikuti langkah lima pemuda di depannya menuju ruang osis. Suasana sekolah terasa canggung, sebagian murid masih membicarakan
“cewek vespa nabrak gerbang”, dan Thalia biasa saja ketika mendengar bisik-bisik di sepanjang koridor. Langkahnya ringan, bahkan sempat bersenandung pelan sambil menggoyangkan kuncir rambutnya.
Sebelum sampai di depan pintu ruang OSIS, Thalia merogoh ponselnya, mengetik cepat pesan pada daddynya.
“Daddy, tolong cariin bengkel buat Coki ya. Dia lecet parah, habis nabrak gerbang sekolah, tapi masih gagah kok...Love u daddy!”
Setelah mengirim pesan, ia menghela napas, sudah lama rasanya tidak masuk ruang osis, atau ruang BK semenjak tinggal bersama grandma dan granpanya di luar negri. Thalia mengetuk pintu.
“Masuk,” terdengar suara dari dalam, tegas namun tenang.
Thalia membuka pintu perlahan. Ruang OSIS terlihat rapi dan beraroma pengharum ruangan, dengan logo sekolah besar terpajang di dinding.
Di tengah ruangan, empat cowok duduk di hadapan meja panjang, sementara satu lagi, Athar si ketua osis duduk di kursi pojok dengan tangan yang sibuk bergerak di atas keyboard laptopnya, tidak terganggu sama sekali, dengan apa yang akan di lakukan para sahabatnya.
Thalia berjalan pelan, menunduk sedikit bukan karena takut, tapi karena ia tidak ingin menjadi pusat perhatian lagi, yang bisa menimbulkan kekacauan. Setelah menarik kursi, ia duduk tenang, memeluk tas di pangkuan.
Keempat cowok di hadapannya saling pandang. Mereka menyangka gadis itu ketakutan.
Rafi mencondongkan tubuhnya dan berkata dengan nada sok berwibawa, “Angkat kepala lo. Sebutin nama dan kelas lo....”
Perlahan, Thalia mendongak.
Dan… hening.
Keempatnya langsung melongo. Bibir mungilnya, hidung mancung, mata hazel yang jernih, pipi berisi yang manis, semua terlihat makin mempesona di bawah cahaya ruangan.
Doni refleks berbisik tanpa sadar, “Cantiknya…”
Athar di pojok berdehem pelan. “Ehem.”
Mereka semua langsung tersadar dan merapikan posisi duduk masing-masing, pura-pura serius.
Rafi berdeham, mencoba kembali berwibawa. “S-siapa tadi nama lo?”
Thalia yang sejak tadi sadar sedang diperhatikan dengan tatapan kagum, hanya bergumam dalam hati, ‘Lebay banget, baru liat cewek cantik mungkin ya, udah kayak liat bidadari jatuh dari pohon pete’
Ia menatap mereka tenang. “Nama saya Thalia Putri. Anak Mommy Riana dan Daddy Rian.”Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan polos, “Kelasnya gak tau, soalnya saya baru masuk.”
Empat pasang mata kembali melongo.
Raka spontan nyeletuk, “Eh buset, lengkap amat, Neng. Gak sekalian nama kakek-nenek sama alamat rumahnya juga?”
Thalia membuka mulut, siap menjawab dengan polosnya, “Oh kakek saya na...”
Belum sempat selesai, Thalia menjawab Dion cepat-cepat memotong dengan ekspresi panik. “Udah-udah, gak usah di jawab. Kita bukan sensus penduduk!”
Thalia hanya menaikkan alis, sementara Raka dan Rafi sudah tertawa pelan menahan geli. Doni malah masih menatapnya dengan ekspresi terpana.
Athar dari pojok belum berkata apa-apa, tapi jelas telinganya menangkap percakapan mereka.
Dan Thalia tahu… ini baru awal dari “drama panjang” antara dirinya dan geng OSIS paling terkenal di sekolah itu.
Ruang OSIS yang tadinya tenang kini terasa tegang tapi anehnya… sedikit ramai oleh energi Thalia yang tak bisa diam.
Setelah beberapa menit diinterogasi, Rafi akhirnya menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatap Thalia dengan gaya sok serius.
“Jadi, karena lo udah merusak fasilitas sekolah…” ucapnya pelan, membuat suasana seolah mencekam. “Lo akan dihukum.”
Belum sempat Rafi melanjutkan ucapannya, Thalia langsung menjerit,
“BERSIHIN KANTIN?!”
Suaranya menggema keras sampai kaca ruangan bergetar. Semua anggota OSIS langsung terlonjak kaget.
“Eh buset, suara lo kayak toa!” seru Doni sambil mengusap telinganya.
Thalia tak menggubris, ia malah berfikir keras sambil menepuk dagu. “Kalau disuruh bersihin kantin, bisa sambil jajan, nih. Enak juga…” gumamnya lirih agar tidak didengar semua orang. Namun Thalia salah mereka mendengar emua gumamannya.
“Bukan!” potong Rafi cepat-cepat, menahan tawa.
Thalia langsung menepuk tangan. “Oh! Bersihin perpustakaan!” katanya ceria. “Lumayan, bisa tidur di antara rak buku, sambil baca novel.”kembali Thalia memikirkan ide absurdnya.
Rafi menatapnya tak percaya. “Bukan itu juga..”
“Toilet.”
Suara dingin itu datang dari pojok ruangan. Dalam sekejap, suasana langsung sunyi.
Semua menoleh ke arah Athar, ketua OSIS yang sedari tadi diam. Ia tak menatap Thalia, hanya memandangi berkas di tangannya. Tapi nada suaranya tak bisa dibantah. Tegas. Datar. dan memerintahkan.
“Nah iya, bersihin toilet,” ucap Rafi cepat-cepat, seperti menguatkan perintah bosnya.
Thalia mematung sejenak, wajahnya menegang, lalu perlahan menatap mereka dengan ekspresi memelas yang nyaris menggemaskan.“Yah… bersihin tempat lain aja, ya? Asal jangan toilet…” katanya dengan suara lembut, bibirnya manyun, pipinya sedikit menggembung.
Doni nyaris meledak tertawa, Raka menutup mulutnya menahan gemas, sementara Dion menunduk pura-pura sibuk menulis. Rafi bahkan harus berpaling agar tak terlihat tersenyum.
Tapi Athar? Tetap diam. Tatapan dinginnya tidak berubah sedikit pun, pada berkas dan laptop di tangannya.
Rafi akhirnya kembali bersuara dengan nada formal, “Itu sudah keputusan ketua OSIS, tidak bisa di ganggu gugat.”
Thalia mendengus pelan, wajahnya cemberut total. “Ih, gagal semua rencana ku…” gumamnya sambil berdiri, menepuk-nepuk roknya. “Ya udah deh. Gue bersihin toilet…”
Begitu Thalia melangkah keluar, suasana di ruang OSIS langsung meledak.
“Gila tuh cewek gemesin banget!” seru Raka setengah berbisik.
“Iya, sumpah, liat dia cemberut aja berasa pengin ngarungin, gue mau bawa ke masion.” timpal Doni spontan.
“Cantiknya natural, bro. Jarang banget ada cewek kayak gitu,” tambah Dion sambil geleng-geleng.
Suasana makin riuh, sampai suara dingin Athar kembali memotong seperti cambuk.
“Berisik....”
Hening seketika. Semua diam.
Kini Thalia melangkahkan kaki ke toilet belakang sekolah, tempat yang paling jarang dikunjungi siapa pun kecuali petugas kebersihan, kini menjadi lokasi misi “hukuman pertama” Thalia Putri Dewantara.
Gadis itu berdiri di depan pintu toilet sambil menatap kain pel dan ember di tangannya.
Ia menarik napas panjang, lalu mengangkat tangannya dan mengepal.“Baiklah, Thalia. Semangaaat!” serunya pada diri sendiri dengan senyum lebar.
Ia menurunkan ember, lalu membuka tas ranselnya mencari sesuatu yang selalu dia bawa. Dari dalam ransel, ia mengeluarkan… speaker mini berwarna pink!
“Gak asik kalau gak ada musik,” katanya santai. “Biar semangat, dan penghuni toilet ikutan joget.. "
Thalia menyalakan musik dari ponselnya dan detik berikutnya, toilet belakang MIS mendadak berubah jadi tempat konser pribadi. Lagu “Mangu (versi DJ remix)” menggema di seluruh area belakang sekolah.
Beat-nya menggetarkan lantai, sementara Thalia sudah mulai bergerak lincah.
Sambil mengepel, ia bernyanyi keras-keras, suaranya mengalun indah dan ceria.
🎵 “Cerita kita sulit dicerna, dikunyah aja mungkin bakal sama...oh cerita kita tak lagi samaaa, samain aja mungkin jodohnya” 🎵
Beberapa lirik dia ganti seenaknya. Mungkin jika ada penciptanya akan di mintai royalti.
Gagang pel di tangannya ia jadikan mikrofon.
Ia berputar, melompat kecil, lalu mengepel dengan gaya seperti sedang tampil di panggung besar.
Sesekali ia berhenti untuk menyapa penonton gaibnya..
“Terima kasih, semuanya! Jangan lupa tepuk tangannya yaa!” katanya sambil menunduk hormat.
Sayangnya, satu-satunya “penonton” saat itu adalah beberapa burung di pepohonan belakang dan seseorang yang baru saja muncul dari arah barat.
Athar.
Ketua OSIS itu awalnya hanya berniat ke toilet siswa yang letaknya tidak jauh dari situ. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara musik keras dan… nyanyian.
Ia berkerut kening. “Suara apa itu?” gumamnya datar.
Saat menoleh ke arah sumber suara, matanya mendapati pemandangan yang sulit dijelaskan dengan logika seorang siswi baru sedang berdansa kecil sambil mengepel, menggoyang kepala mengikuti irama DJ remix, dan menjadikan gagang pel sebagai mic seolah sedang tampil di Indonesian Idol versi toilet.
Athar berdiri di ujung lorong, memandangi pemandangan itu dengan ekspresi datar yang hampir tidak bisa didefinisikan antara heran dan… bingung.
“...Aneh,” gumamnya pelan, sebelum akhirnya memutuskan untuk berjalan menjauh. Tapi dia masih tetap bisa mendengar suara Thalia yang terbawa angin.
Sementara itu Thalia, terus bergoyang dan bernyanyi tanpa sadar ada yang mengawasinya.
Ia menatap lantai yang kini bersih berkilau.
“Wah, jago juga gue..!Nyanyi sambil ngepel sambil goyang bener-bener multi talenan...eh multi talent” katanya dengan bangga.
Setelah memastikan lantai toilet sudah kinclong sampai bisa buat ngaca, Thalia pun menepuk tangan puas.“Baiklah, misi bersih-bersih selesai. Saatnya jadi siswi normal,” ujarnya mantap, mengambil tas ranselnya dan mematikan speaker.
Langkahnya ringan menuju ruang kepala sekolah. Dengan gaya sopan tapi santai, Setelah di persilahkan masuk, Thalia bertanya“Permisi, Pak. Saya mau tanya, kelas saya di mana ya?”
Beberapa guru yang lewat langsung saling pandang, siapa kiranya gadis yang berdiri di ruangan ini? Oh ya, tentu saja gadis yang nabrak gerbang sekolah pagi tadi.
Setelah mendapat penjelasan, Thalia mengangguk cepat.
“Baiklah, kelas 12 IPA 1, ya? Makasih, Pak..saya permisi.”
Thalia berjalan menuju kelas itu dengan langkah pelan. Matanya menatap papan nama kelas di depan pintu.“Kayaknya ini deh…” bisiknya, lalu menarik napas panjang.
“Semoga gak jadi pusat perhatian. Aamiin.”
Thalia menatap refleksinya di kaca jendela rambut diikat tinggi, wajah cantik tapi sederhana, tanpa polesan berlebih.
Ya, Thalia memang cantik, tapi tidak suka dijadikan bahan sorotan, atau pusat perhatian karena kecantikannya. Bagi dia, pujian berlebihan itu cuma bikin ribet terutama dengan sesama cewek dan cowok yang gampang salah paham.
Dengan hati-hati, ia mengetuk pintu.
Terdengar suara dari dalam,
“Masuk.”
Thalia membuka pintu pelan. Semua kepala di kelas serempak menoleh ke arahnya. Suasana mendadak hening beberapa detik.
Gurunya, seorang wanita paruh baya berpenampilan rapi Bu Rima namanya, Ia menatap Thalia dengan senyum tipis.
“Ah, ini siswi baru ya. Gak usah dijelaskan kenapa terlambat, kami semua sudah dengar soal insiden gerbang,” katanya datar tapi dengan nada menahan tawa.
Beberapa siswa langsung cekikikan.
Thalia menggaruk tengkuknya pelan. “Hehe… iya, Bu.”
“Baik, perkenalkan dulu dirimu ke teman-temanmu.”
Thalia mengangguk sopan dan menunduk sedikit.Namun sebelum sempat membuka mulut, sebuah suara dari barisan belakang menyela.
“Ngapain lo nunduk? Ada uang jatuh, ya?”
Disusul suara lain, “Atau lo malu karena tonggos?”
Seketika kelas pecah tawa.
“Wkwkwk, gila lo, parah!”
Thalia tetap menunduk, bukan karena malu, tapi karena menahan tawa sarkastik.
Ia mengangkat kepalanya perlahan. Senyumnya muncul, manis tapi dengan aura “awas aja lo.”
Detik itu juga, tawa yang tadi keras langsung… mati total.
Semua yang tadinya nyengir, kini terdiam terpaku. Mata mereka membulat, beberapa cowok bahkan tanpa sadar menelan ludah.
“Cantiknya…” gumam seseorang tanpa sadar.
Thalia hanya mendengus kecil. Kan bener, pusat perhatian lagi.
“Nama gue Thalia Putri,” katanya datar.
Dari sudut ruangan, seorang cowok nyeletuk,
“Marga lo apa?”
Thalia memiringkan kepala, pura-pura polos.
“Hah? Marga apa? Apa marga Itu yang suka ditanya kalau mau beli baju, kan?”
“Maksudnya?” cowok itu bingung.
“Ya, kayak… ‘Berapa marga bajunya, Mbak?’ gitu kan?” ujarnya serius.
Kelas meledak lagi, kali ini bukan karena ngeledek, tapi karena tak tahan menahan tawa absurdnya.
Guru di depan hanya bisa menutup wajahnya sambil tersenyum lelah.“Sudah, sudah. Thalia, silakan duduk di bangku kosong sebelah jendela.”
Thalia berjalan santai, menaruh tasnya, lalu berbisik pelan pada diri sendiri,
“Selamat datang di Manggala High School, Thalia. Hari pertama, udah nabrak gerbang, bersihin toilet, dan jadi bahan tawa. Keren, kan?”
Begitu Thalia duduk di kursi dekat jendela, suasana kelas mendadak tegang.
Bukan karena apa-apa tapi karena semua orang tahu siapa pemilik bangku itu.
“Dia... dia duduk di situ?” bisik seorang siswi.
“Ya ampun, itu kan tempatnya Athar.”
“Si ketua OSIS paling dingin sejagat Manggala!”
“Dia aja gak mau satu meja sama sahabatnya, apalagi sama orang baru.”
Thalia yang baru membuka buku catatannya hanya bisa menaikkan alis, bingung dengan desisan dan tatapan aneh teman-temannya.
“Kenapa sih? Kursinya kosong juga,” gumamnya pelan.
Ah, paling mereka lebay, pikirnya santai. Gak mungkin cuma karena kursi doang seheboh itu.
Beberapa menit berlalu, kelas kembali tenang. Thalia mulai mencatat, mencoba fokus sampai pintu kelas terbuka. Suara langkah tegas terdengar, dan aura dingin seketika memenuhi ruangan.
Rombongan cowok dengan seragam rapi masuk Athar, Doni, Dion, Raka, dan Rafi.
Mereka baru saja selesai urusan OSIS. Semua mata langsung menoleh, terutama karena... bangku Athar sedang ditempati oleh si gadis baru yang tadi menabrak gerbang.
Athar berjalan tanpa ekspresi ke arah bangkunya. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Thalia.
“Minggir,” ucapnya datar.
Thalia yang sedang mencatat, mendengar suaranya santai.“Oh,” gumamnya, lalu menggeser duduknya ke arah kanan, menyangka Athar ingin duduk di kursi sebelah.
Seluruh kelas menahan napas Thalia apa dia gak tau.. oh Tuhan bukannya pergi malah bergeser. Semua penghuni kelas, menatap ke arah meja pojokan termasuk sang guru.
Athar menatap Thalia sekali lagi, kali ini lebih dingin.
“Pergi.”
Satu kata, datar, tapi cukup membuat bulu kuduk satu kelas meremang.
Tapi Thalia? Tidak bergeming sedikit pun.
Tapi saat Athar hendak memindahkan tangannya agar Thalia menyingkir, Thalia refleks berdiri, melangkah mundur, lalu bertolak pinggang.
“Lo kenapa sih ganggu orang belajar?” tegurnya spontan.
Satu kelas mendadak membeku.
Bahkan Doni dan Dion yang biasanya santai cuma bisa saling pandang, bersiap jika Athar marah.
Athar menatap Thalia tajam, tapi Thalia malah mendongak menatap balik Athar, Sama sekali gak ada rasa takut di wajahnya.
Yang ada malah... ekspresi kesal absurd.
“Lo mau duduk atau enggak, terserah,” lanjut Thalia dengan nada ketus tapi imut.
“Yang penting jangan ganggu gue, oke? Gue mau jadi murid baru yang rajin, gemar belajar...”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan polos,
“..dan rajin menabung di kantin.” cerocosnya tanpa peduli dengan Athar yang cengo.
Suasana yang tadinya tegang langsung meledak. Beberapa siswa menutup mulut, menahan tawa.
“Dia... ngomong gitu ke Athar?” bisik seseorang tak percaya.
Rafi menunduk sambil nyengir. “Sumpah, cewek ini bukan kaleng-kaleng.”
Raka menahan tawa. “Dia nyuruh duduk ke Athar bro..”
Doni nyeletuk, “Taruhan yuk, Athar bakal duduk bareng atau malah cabut?”
Dion menimpali, “Gue pegang yang duduk. Soalnya gue pengen lihat mereka ribut tiap hari.”
Athar sendiri masih berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi. Namun matanya menatap Thalia lama, tajam, dalam, seolah sedang menilai. Sementara Thalia, kembali duduk di kursinya dan fokus kembali mencatat.
"Padahal tinggal duduk gitu loh... Susah amat sih.., emang sekolah ini milik dia apa seenaknya ngusir orang.. " cerocos Thalia lirih tapi di dengar Athar.
Suasana kelas hening menahan napas menunggu...
Sampai akhirnya, Athar menarik kursinya dan duduk di sebelah Thalia.
Suara bisik-bisik langsung meledak.
“Gila... dia beneran duduk!”
“Ketos dingin duduk bareng cewek absurd itu!”
“Kayaknya sekolah bakal rame nih...”
Thalia melirik sekilas ke arah cowok dingin di sebelahnya, lalu bergumam pelan tapi jelas terdengar. "Nah gitu duduk anteng, gak perlu banyak drama deh.. "
Athar menghela napas pelan tanpa menatapnya.
“Berisik.”
Thalia hanya nyengir.
Dan sejak hari itu, seluruh kelas tahu satu hal,
Siswi baru bernama Thalia Putri baru saja menantang sang ketua OSIS, dan entah kenapa, Athar tidak menolak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!